Pengelolaan reservoir atau reservoir management perlu dilakukan dengan tujuan dendayagunakan kapasitas perusahaan (manusia, teknologi, financial) seoptimal mungkin, dengan pengendalian biaya seefektif mungkin, sehingga laba yang diperoleh dari pengusahaan reservoir maksimal. Maksimalisasi Laba (Nilai Perusahaan) dapat dilakukan antara lain dengan maksimalisasi pendapatan dan costs
effectiveness. Menurut Satter & Thakur (1994) untuk pengelolaan reservoir dibutuhkan ‘synergy & multidisciplinary, integrated team efforts” (Gambar 54). Agar terjadi sinergi, semua anggota Tim
harus mempunyai ‘access’ terhadap data yang sama. Untuk itu dibutuhkan adanya data base (Data
storage & retrieval system), integrated reservoir information system serta tools yang tepat. Proses
pengelolaan reservoir (Gambar 55) dimulai dari (1) menetapkan target dan strategi, (2) menusun rencana, (3) implementasi (pelaksanaan), (4) monitoring dan (5) evaluasi.
Gambar 54 Reservoir Management Team (Satter & Thakur, 1994)
Langkah pertama dalam pengelolaan reservoir adalah menetapkan target dan strategi pengembangan lapangan, dimulai dari menetapkan kapasitas power plant yang akan dibangun dan strategi pengembangan pembangkit serta target waktu dioperasikan. Strategi pengembangan power plant akan diikuti dengan penetapan strategi produksi dan injeksi dan rencana pengembangan. Kapasitas pembangkit ditentukan oleh beberapa hal, antara lain adalah besarnya cadangan/potensi listrik dari reservoir dan permintaan listrik. Daya listrik dari suatu pembangkit listrik ditentukan oleh laju alir masa uap, enthalpy uap masuk turbin serta tekanan kondemsor. Laju alir masa sangat tergantung dari tekanan alir dari sumur sedangkan enthalpy uap tergantung dari tekanan dan temperatur uap masuk turbin. Turbin didesain dengan Turbin Inlet Pressure tertentu. Besarnya tekanan masuk turbin dipilih dengan mempertimbangkan tekanan alir dari sumur dan kelangsungan produksi uap untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik selama masa produksi, minimal 25-30 tahun. Seperti halnya dalam mengelola reservoir minyak, over-exploitation (produksi yang berlebihan) sebaiknya tidak dilakukan
dalam memproduksikan fluida panas bumi. Oleh karena itu pengembangan lapangan panas bumi umumnya dilakukan secara bertahap. Sebagai contoh pembangkit listrik panas bumi di lapangan Kamojang dikembangkan secara bertahap, yaitu diawali dengan membangun unit-1 30 MW (beroperasi sejak 1983). Setelah diperoleh kepastian mengenai karakterisasi reservoir, kapasitas pembangkit ditingkatkan dengan membangun unit-2 dan unit-3 masing-masing dengan kapasitas 55 MW (beroperasi sejak tahun 1987) dan unit-4 dengan kapasitas 60 MW (beroperasi sejak akhir tahun 2008), sehingga kapasitas totalnya mencapai 200 MW. Sebagai lapangan panas bumi pertama yang dikembangkan di Indonesia, pengembangan lapangan panas bumi dilakukan dengan azas kehati-hatian. Hal ini terlihat dari besarnya turbin inlet pressure yang relatif rendah, yaitu 6.5 bar abs (unit 1,2 dan 3). Untuk unit-4 PT Pertamina Geothermal Energy memilih besarnya turbin inlet pressure yang lebih tinggi 11 bar. Dengan turbin inlet pressure 6.5 bar abs, konsumsi uap adalah sekitar 7.2 ton/jam/MW, sedangkan dengan yang lebih tinggi, yaitu turbin inlet pressure 11 bar abs, konsumsi uap turun menjadi sekitar 6.1 ton/jam/MW. Hal ini menunjukan penghematan pemakaian uap, karena jumlah uap yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 MW menjadi lebih sedikit.
Gambar 55 Reservoir Management Process (Satter & Thakur, 1994)
Demikian pula halnya dengan lapangan panas bumi dominasi uap Darajat. Pengembangan dilakukan secara bertahap, dimulai dari unit-1 dengan kapasitas 55 MW. Unit-1 ini Turbine Inlet Pressure nya 10 bar abs, lebih tinggi dibandingkan unit-1, 2 dan 3 PLTP Kamojang. Unit-2 dengan kapasitas sebesar 81.6 MW memiliki Turbine Inlet Pressure lebih tinggi dari unit-1, yaitu 13 bar abs. Unit-3 dengan kapasitas 110 MW memiliki Turbine Inlet Pressure lebih tinggi dari unit-2, yaitu 20 bar abs dan tekanan kondensor sedikit lebih rendah, yaitu 0.07 bar abs. Berdasarkan analisis yang dilakukan penulis, diperkirakan konsumsi uap untuk masing-masing unit adalah sebagai berikut: Unit-1 sebesar 6.5 ton/jam/MWe, Unit-2 sebesar 6.2 ton/jam/MWe dan Unit-3 sebesar 5.4 ton/jam/MWe. Hal ini menunjukan penghematan pemakaian uap, karena jumlah uap yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 MW menjadi lebih sedikit. Peningkatan efisiensi pemakaian uap perlu diusahakan untuk menjaga kelangsungan produksi (sustainability).
Pemilihan strategi produksi antara lain meliputi pemilihan lokasi dan spasi sumur, konfigurasi casing dan liner didalam sumur (sumur standard atau big holes), tekanan alir sumur (well flowing pressure). Untuk memperoleh sumur dengan kemampuan produksi yang tinggi, target pemboran diprioritaskan di daerah yang diperkirakan mempunyai temperatur dan permeabilitas tinggi. Agar produksi sumur satu tidak menyebabkan penurunan produksi di sumur lain, spasi sumur dijaga agar jaraknya tidak terlalu berdekatan. Strategi produksi lain yang umum dilaksanakan adalah membor sumur bigholes didaerah yang diperkirakan mempunyai produktivitas tinggi. Sebagai mana telah dijelaskan sebelumnya, pengalaman di beberapa lapangan menunjukkan bahwa biaya pemboran sumur berdiameter besar kira-kira 25% lebih mahal dari sumur standard, tetapi produksinya bisa 50% lebih besar dan pemakaian lahan untuk sumur produksi menjadi sedikit berkurang karena jumlah sumur yang harus dibor untuk mensuplai uap ke pembangkit menjadi berkurang jumlahnya.
Selain strategi produksi, perlu dipikirkan juga strategi injeksi. Reinjeksi merupakan bagian dari pengelolaan reservoir, yaitu mengisi kembali volume pori batuan dengan air untuk mencegah
penurunan tekanan yang terlalu cepat, menjaga produksi uap dan mencegah terjadinya subsidence. Selain itu juga untuk mencegah polusi panas (thermal pollution) dan polusi kimia (chemical pollution). Panas yang terkandung dalam air apabila dibuang ke lingkungan atau ke sungai yang terdapat di sekitarnya akan merusak lingkungan dan mematikan mahluk hidup di sungai. Demikian pula halnya dengan air (brine) apabila mengandung boron, arsenic dan atau mercury.
Di Lapangan dominasi air hasil pemisahan dari separator (separated water) dan atau kondensat diinjeksikan kebawah permukaan. Air hasil pemisahan dari separator mempunyai temperatur mendekati temperatur titik didih dan jumlah atau volumenya cukup besar, tergantung fraksi uap di kepala sumur dan separator. Jumlah sumur injeksi di lapangan panas bumi dominasi air lebih banyak dibandingkan dengan di lapangan panas bumi dominasi uap. Sebagai ilustrasi menurut Usman Slamet and Dewi G. Moelyono (2000), pada perioda 1991di lapangan panas bumi Awibengkok – Gunung Salak, pada tahap awal pengembangan, yaitu pada perioda 1991-1994, delapan sumur produksi dan enam sumur injeksi dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan uap bagi dua power plant 2 x 55 MW. Untuk memenuhi kebutuhan 4x55 MW kemudian dibor lagi 30 sumur, terdiri dari 19 sumur produksi dan 11 sumur injeksi.
Di lapangan dominasi uap, reinjeksi adalah reinjeksi kondensat dari kondensor/cooling tower. Jumlah air yang diinjeksikan relatif sedikit dibandingkan reiinjeksi air di lapangan dominasi air. Dengan demikian jumlah sumur injeksi relatif sedikit dibandingkan jumlah sumur reiinjeksi di lapangan dominasi air. Sebagai contoh, pada saat PLTP Kamojang mempunyai kapasitas 140 MW, jumlah sumur injeksi hanya 3-5 sumur, sedangkan jumlah sumur produksinya sekitar 28 sumur.
Penginjeksian kembali air ke dalam reservoir dapat menimbulkan beberapa permasalahan, diantaranya menyebabkan: (1) penurunan temperatur reservoir, terjadinya thermal breakthrough dan (2) terbentuknya scale (penyumbatan) di dalam sumur injeksi, yang terjadi akibat perbedaan temperatur fluida injeksi dengan temperatur batuan reservoir juga menambah biaya investasi. Sebagai contoh, di lapangan panas bumi Awibengkok-Gunung Salak, pada perioda tahun 1990 reinjeksi dari sumur yang lokasinya relatif tidak jauh dari sumur produksi telah mengakibatkan terjadinya penerobosan air injeksi ke dalam sumur produksi dalam waktu relatif singkat. Penerobosan air injeksi telah menyebabkan menurunnya temperatur fluida produksi. Hal ini menyebabkan penurunan enthalpy fluida masuk turbin, mengakibatkan daya listrik yang dihasilkan pembangkit menurun.
Reinjeksi umumnya dilaksanakan dengan strategi sebagai berikut:
− Letak sumur injeksi tersebut terhadap sumur produksi relatif cukup jauh untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya ‘thermal breakthrough”
− Penempatan sumur injeksi di dekat sumur produksi akan mengakibatkan terjadinya penurunan temperatur yang drastis pada sumur produksi. Sehingga harus dicari jarak optimal agar kedua hal tersebut dapat diatasi. Keseimbangan jarak tersebut akan mengakibatkan keseimbangan pada sistem reservoir.
− Sumur injeksi dipilih lokasinya di daerah yang memiliki temperatur lebih rendah. Biasanya di dekat batas reservoir. Tetapi hal ini mengakibatkan penurunan tekanan di sumur produksi lebih cepat juga mengakibatkan terbentuknya steam cap di reservoir tersebut sebab fluida injeksi tersebut berubah menjadi uap sebelum sampai di sumur produksi.
− Pilih kondisi temperatur dimana kandungan kimia dalam air tidak memungkinkan terjadinya scaling silika.
− Injeksi dilakukan ke zona lebih dalam dari reservoir.
Setelah menentukan target dan strategi produksi dan injeksi, langkah selanjutnya dalam reservoir
bahwa perencanaan lapangan uap atau pengembangan hulu meliputi penentuan jumlah sumur, dimana sumur produksi/injeksi/make-up akan di bor, konfigurasi casing dan liner didalam sumur, apakah sumur standard atau big holes serta menentukan tekanan alir sumur (well flowing pressure).
Setelah rencana diimplementasikan, maka langkah selanjutnya dari proses reservoir management adalah pemantauan atau monitoring. Pemantuan kinerja reservoir dilakukan pada prinsipnya dilakukan untuk menjaga agar sumber energi ‘sustainable“. Tujuan dari pemantauan adalah mengetahui bagaimana keadaan reservoir sekarang dan mengetahui perubahan yang dapat terjadi akibat diproduksikannya fluida dari reservoir. Pertanyaannya adalah perubahan apa yang dapat terjadi akibat diproduksikannya fluida dari reservoir, apa dampak dari perubahan tersebut terhadap lingkungan sekitar, serta langkah-langkah apa yang harus dilakukan untuk mengurangi dampak negatif. Eksploitasi berarti pengambilan masa dan ekstrasi panas dari dalam reservoir. Masa fluida yang diambil dari reservoir, tidak seluruhnya langsung digantikan oleh masa fluida dari batuan sekelilingnya (recharge fluid) ataupun dari air injeksi. Pengalaman di lapangan-lapangan panas bumi telah menunjukan bahwa pengambilan masa fluida dari dalam reservoir akan menyebabkan terjadinya penurunan tekanan reservoir. Sebagai ilustrasi di lapangan panas bumi Wairakei (New Zealand), yaitu lapangan panas bumi dominasi air pertama di dunia yang dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, karena selama 40 tahun tidak dilakukan reinjeksi maka pada perioda 1960 – 1975, tekanannya turun hingga 25 bar.
Salah satu dampak dari penurunan tekanan reservoir tentunya adalah penurunan produksi sumur. Dengan menurunnya tekanan reservoir, maka pada tekanan kepala sumur yang sama laju alir masa dari sumur akan menurun, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 56.
Gambar 56 Contoh Penurunan Kemampuan Produksi di Sumur Panas Bumi Akibat dari Penurunan Tekanan Reservoir
Penurunan tekanan reservoir karena produksi dapat menyebabkan terjadinya ‘boiling” atau menyebabkan “boiling” di zona dua phasa semakin meningkat, baik disekitar sumur produksi atau diseluruh reservoir. Ada dua kemungkinan yang terjadi di dalam reservoir, yaitu (1) air dan uap di dalam reservoir tercampur secara uniform (merata) atau (2) air dan uap di dalam reservoir terpisah karena gravitasi dan membentuk steam cap.
Grant et al. (1982) mengilustrasikan perubahan yang mungkin terjadi di dalam reservoir dominasi air sejalan dengan diproduksikannya fluida dari reservoir (exploited) pada Gambar 57, dimana dimperlihatkan penurunan tekanan reservoir akibat eksploitasi akan merubah zona satu fasa menjadi zona dominasi air (di bagian bawah) dan merubah zona dua fasa dominasi air menjadi dominasi uap (di bagian atas). Lebih lanjut Grant et al. (1982) menyatakan terjadi atau tidaknya steam cap (tudung uap) tergantung dari permeabilitas vertikal batuan. Uap yang mempunyai densitas lebih rendah dibandingkan air akan cenderung bergerak keatas dan membentuk tudung uap.
Terbentuknya steam cap sebagai akibat eksploitasi terjadi di beberapa lapangan, antara lain di lapangan Wairakei (New Zealand) dan di lapangan Awibengkok-Gunung Salak. Pada saat penulis melakukan kunjungan ke lapangan Awibengkok, Unocal Geothermal Indonesia menjelaskan bahwa
mereka merubah strategi injeksi. Agar tidak terjadi penerobosan air injeksi yang terlalu cepat, diputuskan untuk memindahkan sumur injeksi ke dekat batas luar reservoir (jauh dari sumur produksi) dan menginjeksikan air ke kedalaman lebih dalam dari reservoir. Perubahan ini menyebabkan penurunan tekanan reservoir lebih cepat dan mengakibatkan sumur-sumur yang semula merupakan sumur dominasi air berubah menjadi dominasi uap. Hasil kajian mengindikasikan terbentuknya tudung uap di suatu area. Dengan terbentuknya tudung uap, strategi produksi kemudian diubah, yaitu produksi dari tudung uap. Dengan mengubah strategi produksi, diharapkan jumlah sumur produksi dan injeksi menjadi lebih sedikit; demikian pula halnya dengan jumlah separator. Pengurangan jumlah sumur produksi dan injeksi akan mengurangi biaya. Disadari bahwa ada dampak negatif dari perubahan ini, yaitu kandungan non-condensible gas dalam uap meningkat dan mengakibatkan tekanan kondensor meningkat. Peningkatan tekanan kondensor dapat menyebabkan penurunan daya listrik. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut dipilih teknologi yang lebih baik untuk gas ekstraktor.
Gambar 57 Perubahan yang Mungkin terjadi di Dalam Reservoir Dominasi Air Sejalan dengan Diproduksikannya Fluida dari Reservoir (Exploited). [Grant et al., 1982].
Gambar 58 Peta Lapangan Panas Bumi Tongonan di Philipina Memperlihatkan Adanya Air yang Masuk dari Luar ke Dalam Reservoir (Gonzales et al. (2005)
Penurunan tekanan reservoir juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan temperatur reservoir karena masuknya air dari luar reservoir sebagaimana dialami di beberapa lapangan panas bumi, antara lain di lapangan panas bumi Mahanagdong di Philipina sebagaimana dijelaskan oleh Gonzales et al. (2005) dan diilustrasikan pada Gambar 58.
Perubahan lain yang mungkin terjadi sebagai akibat penurunan tekanan reservoir adalah berubahnya karakterisasi manifestasi panas bumi di permukaan. Contohnya adalah di lapangan Rotorua-New Zealand, dimana eksploitasi yang berlebihan sebelum tahun 1990an telah mematikan sejumlah mata air panas dan geyser. Di beberapa lapangan lain, penurunan tekanan reservoir akibat eksploitasi menyebabkan aktivitas panas bumi menjadi lebih aktif.
Perubahan lain yang mungkin terjadi adalah perubahan kandungan kimia air dan uap. Perubahan kandungan kimia dapat menyebabkan terjadinya scaling yaitu pembentukan endapan, dapat terjadi di sumur atau di pipa alir permukaan. Terjadinya endapan akan menyebabkan penurunan produksi. Grant et al. (1982) menyatakan dalam hal terjadi penyumbatan akibat terbentuknya endapan dimana terlihat laju alir masa menurun hingga mendekati nol. sementara enthalpy tidak berubah.
Menurut Herdianita (2010), dengan memonitor kandungan kimia fluida sumur, banyak informasi yang dapat diperoleh, antara lain adalah terjadinya reinjection returns atau kembalinya air injeksi kedalam reservoir (diindikasikan oleh adanya peningkatan kandungan Chlorida), terjadinya penurunan enthalpy fluida (diindikasikan oleh adanya penurunan konsentrasi Silika), masuknya air hasil pemansasan uap kedalam reservoir sebagaimana diindikasikan oleh adanya peningkatan ratio
Sulphate/ Chloride, perubahan tingkat pendidihan air (dari perbandingan CO2/H2S), perubahan zona produksi di dalam sumur, perubahan potensi scaling dan perubahan pH air reservoir.
Pemantauan berkala aktivitas manifestasi panas bumi, kandungan kimia, kinerja reservoir, air tanah, subsidence dan erupsi hidrothermal, lingkungan, pemantauan sumur produksi dan sumur injeksi, pemantauan kinerja PLTP perlu dilakukan secara berkala.
Langkah selanjutnya dari proses reservoir management setelah pemantauan atau monitoring.adalah evaluasi. Data perlu dianalisa untuk menentukan langkah perbaikan dalam rangka meningkatkan perolehan (revenue) dan mengefektifkan biaya. Untuk meningkatkan revenue, bila dimungkinkan lapangan perlu terus dikembangkan dengan meningkatkan atau menambah kapasitas pembangkit (dengan mempertimbangkan potensi cadangan) atau mengoptimalkan pembangkit yang ada, misalnya dengan memanfaatkan air hasil pemisahan dari separator, untuk menambah daya listrik atau untuk pemanfaatan langsung.
8 PENUTUP
Metoda dan teknologi yang digunakan dalam pengembangan lapangan panas bumi (pengembangan hulu) dan pengembangan pembangkit listrik (pengembangan hilir) telah diuraikan secara singkat., berikut estimasi besarnya investasi untuk pengembangan panas bumi dan pengelolaan reservoir.
9 REFERENCES
Alyssa Kagel, 2008: The State of Geothermal Technology, Part II: Surface Technology, the Geothermal Energy Association for the U.S. Department of Energy, 78 pp.
Berry1, B.R., 1998: 1996-1998 Production And Exploration Drilling Program At Darajat Geothermal Field, West Java, Indonesia, Proceedings 20th NZ Geothermal Workshop 1998,
Bignall, G., 1994: Thermal Evolution and Fluid-Rock Interactions in the Orakei Korako-Te Kopia Geothermal System, Taupo Volcanic Zone, New Zealand, Ph.D Thesis, University of Auckland, 400 pp.
Bodvarsson G.S. and Whiterspoon P.A., 1989: Geothermal Reservoir Engineering, Geotherm. Sci. & Tech., Volume 2(1) pp. 1-68.
Clothworthy, A.W., Ussher, G.N.H et. al., 2006: Towards an Industry Guideline for Geothermal Reserve Determination, Proceedings 28th New Zealand Geothermal Workshop 2006.
DiPippo, R. (2008): Geothermal Power Plants: Principles, Applications, Case Studies and Environmental Impact, Elsevier, Second Edition, 493 pp.
Edwards, L.M., Chilingar, G.V. et al., Editors., 1982: Handbook of Geothermal Energy, Gulf Publishing Company, 1982, Chapter 2
Gatlin, C., 1960: Petroleum Engineering, Drilling and Well Completion, Prentice Hal, Inc., Englewood Cliffs, N.J.,341 pp
Grant., M.A., Donaldson, I.G. and Bixley, P.F., 1982: Geothermal Reservoir Engineering. Academic Press., New York, 3669 pp.
Hochstein, M.P., 1990: Classification and assessment of geothermal resources. In: Dickson, M.H. and Fanelli, M., eds., Small Geothermal Resources: A Guide to Development and Utilization, UNITAR, New York, pp. 31—57
Nenny Miryani Saptadji , 2001: Teknik Panas Bumi, Diktat Kuliah Prodi S1 Teknik Perminyakan ITB.
Nenny Miryani Saptadji, 2001: Pengembangan Lapangan Panas Bumi, Diktat Kuliah Prodi S1 Teknik Perminyakan ITB.
O’Sullivan M.J & McKibbin R., 1989: Geothermal Reservoir Engineering, a Manual for Geothermal Reservoir Engineering Course at the Geothermal Institute – University of Auckland.
Peter Barnett, 2006: Moving a Geothermal Project from Concept to Commercial Reality, Seminar Nasional Panas Bumi, Bali 3-4 April 2006.
Rogers G.F.C. dan Mayhew Y.R., 1980: Thermodynamic and Transport Properties of Fluids, Blackwell Publisher, Fourth Edition, 24 pp.
Romerico C. Gonzalez, Edwin H. Alcober, Farrell L. Siega, Virgilio S. Saw, Dwight A. Maxino, Manuel S. Ogena, Zosimo F. Sarmiento and Herman V. Guillen, 2005: Field Management Strategies for the 700 MW Greater Tongonan Geothermal Field, Leyte, Philippines, Proceedings World Geothermal Congress 2005, Antalya, Turkey, 24-29 April 2005
Satter & Thakur, 1994: Petroleum Reservoir Managment
SNI 03-5012-1999: Klasifikasi Potensi Energi Panas Bumi Di Indonesia.
Suryadarma, Tafif Azimuddin et al., 2005: The Kamojang Geothermal Field: 25 Years Operation, proc World Geothermal Congress 2005, Antalya, Turkey, 24-29 April 2005.
Usman Slamet and Dewi G. Moelyono, 2000: Maximizing Community Benefits and Minimizing Environmental Impacts in the Gunung Salak Geothermal Project, Indonesia, Proceedings World Geothermal Congress 2000, Kyushu - Tohoku, Japan, May 28 - June 10, 2000