• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelompokan Bahasa

BAB V SIMPULAN DAN SARAN-SARAN

Diagram 2.1. Pengelompokan Bahasa

Diagram tersebut menunjukkan bahwa bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa Jerman diturunkan oleh bahasa yang sama, yakni proto-Jerman (proto-Germanic). Proto-Jerman dan ketiga bahasa lainnya diturunkan oleh bahasa yang sama, yakni proto-Indo-Eropa (proto-Indo-European).

Menurut Crowley, pengelompokan bahasa tidak didasarkan pada retensi bersama (shared retention) melainkan pada inovasi bersama inovasi ( shared innovation) bahasa-bahasa berkerabat. Menggunakan retensi bersama sebagai dasar pengelompokan bahasa tidak tepat karena terlalu banyak bunyi yang

mengalami retensi dalam bahasa-bahasa berkerabat. Inovasi dijadikan sebagai landasan pengelompokan bahasa didasarkan pada fakta bahwa inovasi dalam satu bahasa tidak mungkin terjadi secara tersendiri dan pasti mempunyai hubungan dengan inovasi pada bahasa-bahasa kerabatnya. Namun perlu diperhatikan bahwa inovasi bersama dapat terjadi secara kebetulan melalui proses perubahan paralel (parallel development or drift).

Misalnya, dalam banyak bahasa Oseanik moderen, konsonan hilang pada akhir kata ( C →/___#). Dalam bahasa Enggano, pulau di selatan Sumatera, inovasi yang sama juga terjadi. Namun, bahasa-bahasa Oseanik tidak berada dalam satu kelompok dengan bahasa Enggano karena bahasa ini tidak mempunyai kemiripan lain dengan bahasa-bahasa Oseanik. Atas dasar itu, faktor-faktor berikut harus dihindarkan:

a. perubahan bunyi yang sangat tidak biasa;

b. perubahan-perubahan fonologis, khususnya perubahan-perubahan yang tidak biasa terjadi secara bersamaan dalam bahasa-bahasa berkerabat;

c. perubahan-perubahan yang berkorespondensi dengan perubahan- perubahan yang tidak ada hubungannya dengan perubahan-perubahan gramatikal dan semantik.

2.1.1.7 Kata Pinjaman

Langacker (1972:333). memberikan penjelasan mengenai kata-kata

pinjaman. Meskipun tidak dapat disangkal bahwa kosakata dasar bersifat uni- versal yang memperkecil kemungkinan adanya pinjam-meminjam, ada baiknya diperhatikan secara serius kemungkinan adanya kata-kata pinjaman. Dia mengatakan bahwa :

Borrowed lexical items often disobey otherwise general phonotactic restrictions of the borrowing language. Long lexical items that cannot be broken down into familiar morphemes are also likely to have been borrowed.

Sapir (1921:197) mempunyai pandangan yang senada dengan Langacker tersebut. Dia mengatakan bahwa kata-kata pinjaman sering melanggar sistem fonetik bahasa yang meminjam meskipun kata-kata pinjaman tersebut telah mengalami modifikasi fonetik.

Gudschinsky (1956) menjelaskan cara untuk menentukan kata-kata non- kerabat akibat adanya pinjaman baik dari bahasa-bahasa kerabat maupun bahasa-- bahasa nonkerabat. Menurut Gudschinsky (1956:181), kata-kata dalam .bahasa yang diteliti yang mempunyai bentuk dan arti yang sama atau mirip dengan kata-kata dalam bahasa nonkerabat yang mempunyai atau pernah mempunyai hubungan budaya dengan bahasa yang, diteliti harus dicurigai sebagai kata-kata pinjaman.

Untuk menentukan kata-kata pinjaman dari bahasa-bahasa kerabat, harus dilihat frekuensi munculnya fonem-fonem tertentu dalam bahasa-bahasa yang dibandingkan. Fonem-fonem yang frekuensi pemunculannya sangat terbatas dianggap merupakan pinjaman dari bahasa yang menunjukkan frekuensi yang tinggi pemunculan fonem-fonem tersebut. Dalam membandingkan dialek

Huautta dan San Miguel bahasa Mazatec, misalnya, terlihat bahwa kata n'ai 'ayah' dalam kedua dialek itu bukanlah kata-kata kerabat karena pemunculan

ai dalam dialek San Miguel hanya terbatas pada istilah-istilah keagamaan, sedangkan dalam dialek Huautla, pemunculan klaster itu tidak terbatas.

Dalam penelitiannya terhadap delapan bahasa nusantara, Kridalaksana (1963-1973) mengatakan bahwa kata-kata yang sama bentuk dan artinya dalam dua bahasa nonkerabat dianggap sebagai pinjaman dari sesamanya. Kridalaksana yang mengutip Gudschinsky (1956:181) membuat kekeliruan dengan mengabaikan masalah kontak budaya antara dua bahasa nonkerabat. Persamaan bentuk dan arti tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk menentukan bahwa kata- kata tertentu merupakan pinjaman jika kedua bahasa dalam mana kata-kata itu dijumpai tidak mempunyai atau tidak pernah mempunyai kontak budaya.

Masalah lain yang perlu mendapat perhatian dalam penelitian tersebut ada- lah, Kridalaksana tidak menunjukkan penerapan rumus-rumus penentuan pasangan-pasangan kata kerabat dan penentuan waktu pisah bahasa-bahasa itu serta penentuan standar kesalahan. Langkah seperti ini akan menyulitkan pembaca untuk mengetahui apakah ada kekeliruan dalam penerapan rumus-rumus tersebut.

Uraian tentang kata-kata pinjaman (loan words) ini sangat diperlukan untuk menghindari kesalahan dalam pengumpulan dan pemilihan data yang termasuk dalam daftar kosakata dasar yang dijadikan peneliti sebagai alat penjaring data.

2.1.1.8 Kata-Kata Tabu

Teeter (1963) mengatakan bahwa kata-kata nonkerabat dapat terjadi akibat adanya faktor tabu atau dalam istilah Gillieron dalam V.Teeter verbal pathology.

Menurut Teeter, selain memperhatikan kata-kata kerabat, seorang peneliti perlu juga memperhatikan kata-kata nonkerabat yang muncul akibat adanya faktor tabu, karena hal ini akan mempengaruhi akurasi penelitian. Ada kalanya, pasangan kata tertentu mempunyai bentuk dan arti yang sangat berbeda akibat adanya faktor

tabu (dalam satu bahasa kata tertentu dianggap tabu, tetapi dalam bahasa lainnya kata yang sama dianggap tidak tabu). Jika faktor tabu tidak ada, kemungkin pa- sangan kata itu adalah berkerabat. Oleh karena itu, seorang peneliti harus menanyakan kepada informannya apakah ada di antara kata-kata yang diucapkan- nya itu merupakan pengganti kata-kata yang dianggap tabu.

Yang menjadi kesulitan dalam penerapan teori ini adalah kemungkin bahwa peneliti dan informan tidak akan saling mengerti dalam pembicaraan yang menyangkut masalah tabu.

Kontribusi penjelasan tentang kata-kata tabu dan pengaruhnya terhadap keabsahan data adalah untuk menghindarkan masuknya kata-kata kosong karena informan tidak menyebutkan padanan-padanan kata tertentu yang dianggap tabu.

2.1.1.9 Inovasi

Menurut Kridalaksana (1983:65), inovasi adalah perubahan bunyi, bentuk atau makna yang mengakibatkan terciptaanya kata baru.

2.1.1.10 Bahasa-bahasa Batak

Bahasa-bahasa Batak adalah bahasa-bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar masyarakat etnik Batak di Tapanuli, Sumatera Utara. Menurut Sibarani (1997), sebagian besar masyarakat Batak bertempat tinggal di Tapanuli, sebagian lainnya di bagian Timur Laut Tapanuli yakni Simalungun, dan sebagian lainnya di sebelah Barat Laut Danau Toba yakni Tanah Karo (lihat peta pada lampiran penelitian ini). Dia menjelaskan, pembagian linguistik bahasa Batak terdiri atas bahasa Batak Toba, bahasa Batak Karo, bahasa Batak Simalungun, bahasa Batak Pakpak Dairi, dan bahasa Batak Angkola Mandailing.

Menurut http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Batak yang diunduh 20 Agustus 2013, bahasa-bahasa Batak adalah sekelompok bahasa yang dituturkan di Sumatera Utara. Kelompok ini dimasukkan ke dalam kelompok yang dijuluki

Northwest Sumatra-Barrier Islands dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia. Berdasarkan sumber itu, bahasa-bahasa Batak terdiri atas tiga kelompok yakni kelompok Utara (bahasa Alas-Kluet, bahasa Dairi, dan bahasa Karo), kelompok Selatan (Toba, Angkola, dan Mandailing), dan perantara (bahasa Simalungun). Sementara itu, Keraf ( 1991:2009) menjelaskan, bahasa-bahasa Batak terdiri atas bahasa Toba, bahasa Karo, bahasa Simalungun, bahasa Angkola, bahasa Dairi, dan bahasa Alas.

Dalam penelitian ini, bahasa-bahasa Batak meliputi bahasa Toba, bahasa Simalungun, bahasa Pakpak Dairi, bahasa Angkola,bahasa Karo, dan bahasa Mandailing. Alasan peneliti untuk memisahkan bahasa Angkola Mandailing menjadi bahasa Angkola dan bahasa Mandailing adalah perkembangaan kedua bahasa telah menjadikan kedua bahasa mempunyai perbedaan yang semakin jauh.

2.2 Kerangka Teori

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang perubahan bahasa. Fakta bahwa bahasa terus mengalami perubahan melalui perkembangan atau inovasi adalah landasan linguistik historis komparatif yang mempelajari sejarah perkembangan proto-bahasa (parent language) menjadi bahasa-bahasa yang diturunkannya (sister languages). Fakta ini jugalah yang melandasi studi komparatif terhadap bahasa-bahasa yang berhubungan secara genetis untuk menemukan perangkat-perangkat korespondensi yang dapat dijadikan data untuk

melakukan rekonstruksi proto- bahasa, menentukan tingkat kekerabatan dan mengelompokkan bahasa-bahasa berkerabat. Atas dasar perubahan bahasa itulah penelitian ini dilakukan. Berkaitan dengan itu, teori tentang perubahan bahasa disajikan di bawah ini.

2.2.1 Teori Perubahan Bahasa

Menurut McManis dkk., (1987:265-267), teori tentang perubahan bahasa bahwa bahasa-bahasa yang mempunyai kemiripan berhubungan satu dengan yang lain dan diturunkan oleh satu bahasa yang dinamakan proto-bahasa (proto- language) muncul pada abad ke-18. Teori tersebut diawali dengan pernyataan Sir William Jones bahwa kesamaan yang terdapat dalam bahasa Sanskrit, bahasa Junani, dan Latin Kuno dapat dijadikan sebagai bukti bahwa ketiga bahasa itu diturunkan oleh satu bahasa.

Teori Jones itu dikembangkan pada abad ke-19 dan kemudian dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin tentang evolusi mahluk hidup. Pada saat itu, para sarjana berpendapat bahwa perkembangan bahasa dapat dianalogikan dalam banyak hal dengan fenomena biologis. Atas dasar itu, disimpulkan bahwa bahasa seperti organisme-organisme hidup lainnya mempunyai silsilah (family trees) dan moyang.

Pada tahun 1871, August Scleicher melahirkan teori yang dinamakan Teori Pohon Keluarga Bahasa atau Teori Silsilah Bahasa (Family Tree Theory). Teori ini menyebutkan, bahasa berubah dalam pola yang teratur dan dapat dijelaskan (Hipotesis Regularity Hypothesis ‘Hipotesis Keteraturan’) dan kesamaan antara satu bahasa dengan bahasa-bahasa lainnya disebabkan oleh hubungan genetis di antara bahasa-bahasa tersebut (Relatedness Hypothesis ‘Teori

Keberhubungan’). Untuk menunjukkan hubungan seperti itu, perlu dilakukan rekonstruksi terhadap proto-bahasa yang menurunkan bahasa-bahasa berkerabat. Teknik merekonstruksi proto-bahasa dinamakan comparative method ‘metode komparatif’.

Atas dasar analogi hubungan bahasa dengan manusia, teori tersebut menggunakan istilah proto-bahasa (mother atau parent language) dan bahasa- bahasa berkerabat (sister languages) yakni, bahasa-bahasa yang diturunkan proto- bahasa.

Namun, terdapat kelemahan teori pohon keluarga karena dapat menimbulkan dua pandangan yang salah tentang perubahan bahasa. Pertama, setiap bahasa mempunyai satu komunitas yang mempunyai bahasa yang sama tanpa adanya variasi internal dan tanpa adanya kontak antara bahasa-bahasa yang berkerabat. Kedua, proto-bahasa terpecah menjadi bahasa-bahasa turunannya secara tiba-tiba tanpa adanya tahapan-tahapan (intermediate stages).

Tidak ada bahasa yang mutlak berbeda atau terpisah dari bahasa-bahasa lainnya tetapi selalu terdiri atas dialek-dialek yang dapat digolongkan dalam satu bahasa dan selalu mempunyai kesamaan-kesamaan dengan bahasa-bahasa kerabatnya, meskipun berada dalam sub-kelompok yang berbeda. Penelitian tentang bahasa-bahasa kontemporer menunjukkan, bahasa tidak terpisah secara tiba-tiba melainkan secara perlahan-lahan dan teratur, yang dimulai dengan lahirnya dialek-dialek dan kemudian berubah menjadi bahasa-bahasa yang berbeda setelah mengalami perubahan secara perlahan-lahan dalam kurun waktu yang lama. Batas dua dialek atau dua bahasa tidak dapat dilakukan secara tepat karena sering dipengaruhi oleh faktor non-linguistik (misalnya, faktor politik).

Untuk mengatasi masalah ini, Johannes Schimidt menciptakan Wave Theory (Teori Gelombang) tahun (1872). Teori ini menyebutkan, perubahan perlahan-lahan yang terjadi dalam dialek, bahasa atau kelompok bahasa-bahasa, mirip dengan sebuah gelombang yang membesar dari satu titik di kolam tempat sebuah batu (sumber perubahan) terjatuh. Dialek-dialek terbentuk oleh tersebarnya perubahan-perubahan yang berbeda dari titik-titik sumber perubahan yang berbeda pada tingkat yang berbeda. Beberapa perubahan menguatkan satu sama lain dan beberapa perubahan lainnya melengkapi atau mempengaruhi secara parsial satu sama lain dalam batas tertentu, seperti gelombang-gelombang yang terjadi akibat dilemparkannya sejumlah batu ke dalam kolam yang saling menindi satu sama lain. Teori Gelombang itu menolak Teori Pohon Keluarga untuk mengatasi kedua pendapat yang salah tentang perkembangan bahasa

Teori Pohon Keluarga dan Teori Gelombang tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan dan akurat tentang perubahan bahasa dan keberhubungan bahasa-bahasa. Misalnya, bahasa-bahasa dapat menunjukkan persamaan linguistik meskipun bahasa-bahasa tersebut tidak berhubungan satu sama lain. Persamaan itu mungkin merupakan akibat peminjaman melalui kontak bahasa (language contact), pergeseran (perubahan-perubahan yang sama tanpa adanya hubungan satu sama lain dalam dialek-dialek atau bahasa-bahasa yang berbeda, persamaan jenis struktur morfologi, sintaksis dan alasan-alasan lain. Namun demikian Teori Pohon Keluarga dan Teori Gelombang sangat bermanfaat dalam studi perubahan bahasa.

Meskipun McManis dkk., (1987) mengatakan bahwa teori Keluarga Pohon Bahasa yang diciptakan Sir William Jones pada abad ke-18 merupakan teori pertama tentang hubungan genetis bahasa, menurut Finegan & Besnier

(1979), Grim telah menciptakan Grimm’s Law pada tahun 1822 untuk menjelaskan pergeseran bunyi secara teratur dari pra-Indo-Eropa ke bahasa Germanik dan Romance. Grimm mengatakan, pergeseran bunyi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Hambat tidak bersuara (voiceless stops) bergeser menjadi frikatif tidak bersuara (voiceless fricatives: p > f, t > , k > h (lebih dikenal dengan p t k > f h)

2. Hambat bersuara (voiced stops) bergeser menjadi hambat tidak bersuara (voiced stops): b > p, d > t, g > k

3. Hambat aspirasi bersuara (voiced aspirated stops) bergeser menjadi hambat tak beraspirasi bersuara: b > b, d > d, g > g

Pergeseran-pergeseran bunyi tersebut digambarkan dengan ketiga diagram berikut:

Proto-Indo-Eropa

*p *t *k

f p  t h k

Dokumen terkait