• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelompokan Stasiun Penelitian Berdasarkan Karakteristik Habitat

1.3. Tujuan Penelitian

3.4.3. Pengelompokan Stasiun Penelitian Berdasarkan Karakteristik Habitat

1 ( ) ( 2 − − ∑ = N N N x n Id

dengan: Id = indeks distribusi Morisita N = jumlah total seluruh individu n = jumlah seluruh petak pengamatan ∑x2

Nilai indeks morisita yang diperoleh diinterpretasikan sebagai berikut: = jumlah individu jenis i per petak.

Id < 1, distribusi individu cenderung acak Id = 1, distribusi individu bersifat merata

Id > 1, distribusi individu cenderung berkelompok.

3.4.3. Pengelompokan Stasiun Penelitian Berdasarkan Karakteristik Habitat.

24 Sebaran jenis, ukuran siput gonggong berdasarkan karakteristik biofisik dianalisa menggunakan metode Corespondence Analysis (CA) (Legendre & Legendre, 1983; Foucart, 1985; Bengen, 1998). Analisis ini didasarkan pada matriks data yang terdiri atas I baris (stasiun pengamatan) dan J kolom (jenis siput gonggong dengan kelas ukuran tertentu) dimana pada perpotongan baris I dan kolom J ditemukan kelimpahan siput gonggong. Matriks ini merupakan tabel kontingensi stasiun pengamatan dan modalitas jenis siput gonggong berdasarkan kelas ukuran. Pada tabel kontingensi, I dan J mempunyai peranan yang simetris, membandingkan unsur-unsur I (untuk tiap J) sama dengan membandingkan hukum probabilitas bersyarat yang diestimasi dari nij/ni. Untuk masing-masing nij/nj, dengan

ni = ∑ nij (jumlah subjek I yang memiliki semua karakter j) dan nj = ∑ nij (jumlah jawaban karakter j).

Pengukuran kemiripan antar dua unsur I1 dan I2

d

dari I dilakukan melalui pengukuran jarak khikuadrat dengan rumus:

2 ( i,i’) = ∑( Xij/Xi – Xi’j/ Xi’ )2

dengan: Xi = Jumlah baris I untuk semua kolom J Xj

Xj = Jumlah kolom J untuk semua baris I

3.4.4. Morfometrik

Analisis hubungan morfometrik antara panjang cangkang dengan lebar dan tinggi cangkang siput gonggong adalah:

P = a + bL P = a + T L = a + T b b

3.4.5. Hubungan panjang –Berat

Pola pertumbuhan siput dapat diketahui melalui hubungan panjang cangkang dengan bobot tubuh siput (berat basah) yang dianalisis melalui

hubungan persamaan regresi kuasa (power regresion) sebagai berikut (Ricker, 1975): W = aLb atau Log W = log a + b log L

25 jumlah siput betina / jantan

Jumlah seluruh sampel dimana : W = berat basah (gr)

L = panjang cangkang (mm) a dan b = konstanta

Untuk menguji apakah konstanta b sama dengan 3 atau tidak (isometrik atau allometrik) dilakukan uji t. Persamaan diatas juga dilakukan terhadap jenis kelamin.

3.4.6. Potensi Reproduksi 3.4.6.1. Nisbah Kelamin

Nisbah kelamin dianalisa dengan cara membandingkan jenis siput betina dan jantan secara keseluruhan dikalikan dengan 100 %.

Nisbah kelamin = x 100 %

Untuk membandingkan apakah siput jantan dan betina seimbang atau tidak maka dilakukan dengan menggunakan uji Chi-Kuadrat (Sugiono, 2001). Dimana : X2 F = Chi-Kuadrat o F

= Frekuensi yang diobservasi

h = Frekuensi harapan

3.4.6.2. Fekunditas

Fekunditas didapat dengan metode gabungan (Effendie, 2002) sebagai berikut : Dimana :

− = k i h h f f f X 1 0 2 ( ) Q X x V x G F =

26 ) ( 2 X pi X X M = k + − ∑

[ ]

±

1

96

,

1

2

ni

qi

pi

X

m

F = Jumlah total telur (butir) G = Berat gonad total (gram) V = Volume pengenceran (cc) X = Jumlah telur sebagian (butir) Q = Berat gonad sebagian (gr)

Pengamatan fekunditas bertujuan untuk mengetahui potensi reproduksi siput gonggong yang dilakukan hanya pada individu betina dan waktu yang diamati hanya bulan Mei, Juni dan bulan Juli. Pengamatan dilapangan dilakukan dengan cara menyelusuri garis transek yang sejajar dengan garis pantai dan pengambilan sampel telur dilakukan hanya tiga (3) transek disetiap stasiunnya. Untuk mengetahui rata-rata jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor induk betina dalam satu koloni, maka dilakukan koleksi beberapa koloni telur untuk dihitung jumlahnya menggunakan metode gravimetri (Effendie, 1979).

3.4.6.3. Tingkat Kematangan Gonad

Penentuan TKG secara morfologi dari ikan sampel dilakukan berdasarkan petunjuk Cassie dalam Effendie (1979). Untuk menentukan pertama kali matang gonad pada ikan dapat diduga dengan menggunakan metode Spearman – Karber (Udupa, 1986) dalam Omar, 2004) sebagai berikut :

Jika ά = 0,05 maka batas-batas kepercayaan 95 % dari m adalah :

Antilog

Dimana :

M = Logaritma panjang ikan pada saat pertama kali matang gonad Xk

X = Selisih logaritma nilai tengah

= Logaritma nilai tengah kelas panjang pada saat semua ikan (100 %) sudah matang gonad

27

%

100

x

w

wg

GSI =

Pi = Proporsi ikan matang gonad pada kelas ke – i (pi = ri/ni) Ri = Jumlah ikan matang gonad pada kelas ke – i

Ni = Jumlah ikan pada kelas ke – i

qi = 1 – pi, panjang ikan pada waktu mencapai kematangan gonad yang pertama adalah M = antilog m. Untuk mengetahui rata-rata jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor induk betina dalam satu koloni, maka dilakukan koleksi beberapa koloni telur untuk dihitung jumlahnya menggunakan metode gravimetri (Effendie, 1979).

3.4.6.4. Indeks Kematangan Gonad

Indeks kematangan gonad sering disebut juga “koefisien kematangan” atau index of maturity. Namun yang banyak dipakai adalah Gonado Somatics Indeks (GSI) yang gunakan untuk mengukur aktivitas gonad (Effendie, 2002) dengan rumus sebagai berikut:

Dimana :

GSI = Gonado somatics indeks/indeks kematangan gonad (%) Wg = berat gonad (gram)

W = Berat tubuh ikan (gram)

28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Habitat Siput Gonggong

Teluk Klabat memiliki bentuk yang cukup unik, seolah-olah terdiri dari dua bagian yaitu bagian luar melebar di tengah menyempit, dimana terletak pelabuhan Blinyu dan bagian dalamnya melebar lagi (Gambar 7). Lokasi penelitian berada di teluk bagian luar yang dibagi menjadi dua bagian (sisi), bagian Barat dan bagian Timur. Kondisi perairan pada saat pengambilan sampel dalam kondisi surut terendah, Lokasi Timur (stasiun 1– 6), memiliki hamparan pantai pasir yang relatif pendek dengan substrat dasar perairan, berpasir. Lokasi Barat (stasiun 7- 14) hamparan pantai pasir yang sangat panjang (luas) dengan substrat dasar perairan, pasir berlumpur.

4.2. Karakteristik Fisik dan Kimia Perairan

Hasil pengukuran parameter fisik kimia perairan selama penelitian di Teluk Klabat dapat dilihat pada Lampiran 1

4.2.1. Suhu

Berdasarkan pengukuran suhu air diseluruh stasiun pengamatan, ada pada kisaran nilai 29,0 – 29,7°C (Tabel 2). Suhu terendah ditemukan pada stasiun 6 ( ST.6 ), sedangkan yang tertinggi ditemukan pada stasiun 3,4,13 dan 14 ( ST 3,4,13 dan St 14 ). Menurut Nontji (1993) kisaran suhu permukaan Perairan Indonesia adalah 28-30° C, kisaran suhu ini masih memungkinkan untuk metabolisme berbagai jenis organisme yang berada di perairan tersebut, termasuk juga untuk makrozoobentos. Kisaran suhu tersebut merupakan kisaran suhu normal untuk perairan daerah tropis seperti Indonesia. Menurut Romimohtarto dan Juwana (2001), suhu alami air laut berkisar antara 30-33°C. Suhu di permukaan relatif sama dengan suhu di dasar perairan, hal ini karena pada lokasi sampling berada di perairan dangkal. Dari nilai-nilai tersebut terlihat bahwa suhu perairan di semua lokasi pengamatan relatif sama dan berada dalam kisaran normal untuk daerah tropis. Melihat dari kisaran suhu tersebut maka bisa dikatakan bahwa di lokasi penelitian masih memiliki kisaran suhu yang normal terhadap kelangsungan hidup siput gonggong.

29 Suhu tertinggi 29,7°C dijumpai pada Stasiun 3,4,13 dan 14 (Lampiran 1). Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor lingkungan disekitarnya antara lain kedalaman dan intensitas cahaya matahari serta musim. Suhu terendah di dapatkan pada stasiun 6, hal ini disebabkan kondisi perairannya berada di mulut Teluk Klabat yang mendapat pengaruh langsung dari massa air laut teluk bagian dalam yang mendapat tambahan massa air dari sungai yang masuk ke Teluk Klabat dibanding stasiun lainnya, kondisi ini mengakibatkan kolom air lebih stabil.

4.2.2. Salinitas

Kadar salinitas di Teluk Klabat berkisar antara 31,6 ‰ – 33 ‰. Daerah pesisir seperti Pantai Teluk Klabat dimana daerah tersebut dapat terendam pada saat pasang tertinggi dan muncul ke permukaan pada saat surut terendah, sangat memungkinkan memiliki kadar salinitas yang tinggi sebagai akibat dari penguapan.

Di perairan Teluk Klabat bagian dalam terdapat dua buah sungai yaitu Sungai Antan dan Sungai Layang mengalirkan airnya ke arah mulut pantai, dan sampling dilakukan pada saat air laut pasang naik sehingga pengaruh air tawar yang masuk ke pantai tidak sampai mempengaruhi salinitas perairan Teluk Klabat bagian luar, lokasi dimana pengamatan dan pengambilan sampel data dilakukan. Hal ini disebabkan pengaruh massa air laut Natuna yang cukup besar, sehingga salinitas menjadi relatif stabil dibanding Pantai Teluk Klabat bagian dalam. Variasi salinitas pada masing-masing lokasi terjadi karena adanya gerak pasang surut yang menyebabkan terjadinya pengadukan pada kolom air hingga terjadi pertukaran air secara vertikal. Di permukaan, air cenderung mengalir keluar sedangkan air laut merayap masuk dari bawah. Akibatnya antara ke duanya terjadi percampuran. Menurut Nontji (1993), sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti, pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai.

30 4.2.3. Derajat Keasaman (pH)

Hasil pengukuran pH di lokasi penelitian cenderung bersifat basa. Dimana kisaran pH pada Teluk Klabat 7,6 – 7,7. Nilai tersebut memperlihat bahwa pH perairan cenderung bersifat basa dan termasuk normal bagi pH air laut di Indonesia yang pada umumnya bervariasi antara 6.0 - 8.5. Hutasoit (1991) menyatakan perairan yang mempunyai pH dengan kisaran 6.50 – 7.50 dikategorikan perairan cukup baik sedang perairan yang mempunyai pH dengan kisaran 7.50 – 8.50 dikategorikan perairan sangat baik. jika dibandingkan dengan hasil penelitian Muchtar, 1993 di Lombok Selatan yang mendapatkan nilai pH antara 8.3-8.35, maka nilai pH perairan yang diperoleh pada penelitian ini reltif lebih rendah. Hal ini mungkin saja terjadi melihat kondisi perairan yang berbeda. Menurut EPA (1996), biota laut memiliki kisaran pH ideal 6,5 sampai 8,5. Ini artinya kadar pH yang terdapat di Pantai Teluk Klabat masih bisa dikatakan berada dalam keadaan normal yang dibutuhkan bagi biota perairan di daerah tersebut. Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Derajat Keasaman (pH) air laut cenderung berada dalam keseimbangan karena ekosistem air laut mempunyai kapasitas penyangga yang mampu mempertahankan nilai pH. Menurut Odum (1971), air laut merupakan sistem penyangga yang sangat luas dengan pH relatif stabil sebesar 7 hingga 8,5.

Derajat keasaman merupakan faktor yang penting karena perubahan pH dapat mempengaruhi fungsi fisiologis khususnya yang berhubungan dengan respirasi (Arfiati dkk, 1999). Toleransi organisme air terhadap pH bervariasi, hal ini tergantung pada suhu air, oksigen terlarut, dan adanya berbagai anion dan kation serta jenis dan stadium organisme. Batas toleransi organisme terhadap pH sangat bervariasi dan pada umumnya sebagian besar dari biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH sekitar 7 - 8.50. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimia dalam perairan dan juga akan memberi pengaruh terhadap keanekaragaman komunitas biologi perairan, pH 6 - 6.50 menyebabkan keanekaragaman bentos akan sedikit menurun (Novotny dan Olem 1994 dalam Effendi 2003). Menurut Odum (1993), ). Nilai pH pada suatu perairan akan mempengaruhi sebaran faktor kimia perairan, hal ini juga akan mempengaruhi

31 sebaran organisme yang metabolismenya tergantung pada sebaran faktor-faktor kimia tersebut.

4.2.4. Komposisi butiran dan Total Organic Matter (TOM) sedimen

Hasil analisis laboratorium dari ukuran partikel substrat yang merupakan habitat siput gonggong diklasifikasikan menurut skala Wenworth yang menggolongkan partikel dari lempung (clay) sampai batu besar (boulder) dengan diameter 1/4096 mm sampai 2048 mm, setelah terklasifikasi kemudian didapatkan persentase rataan ukuran partikel berdasarkan stasiun. Jenis substrat sangat berkaitan dengan kandungan oksigen, sirkulasi air dan ketersediaan nutrien dalam sedimen. Komposisi butiran sedimen di sisi Timur dan Barat Pantai Teluk Klabat bagian luar memiliki dua jenis yang tidak terlalu berbeda dan didominasi oleh pasir, oleh karena itu bisa dikatakan secara keseluruhan substrat di Pantai Teluk Klabat pasir berlumpur (Tabel 2).

Tabel 2. Rataan Komposisi Sedimen dan TOM di Pantai Teluk Klabat.

Komposisi substrat, perairan Teluk Klabat secara umum adalah pasir berlumpur. Penyebaran partikel dasar ini disusun dan dikelompokan menurut Skala Wenworth (Tabel 2). Komposisi pasir bisa terbentuk dari patahan karang dan sisa-sisa biota yang telah mati. Sedimen berpasir memiliki kandungan oksigen relatif lebih besar dibandingkan sedimen yang halus, karena pada sedimen berpasir terdapat pori udara yang memungkinkan terjadinya pencampuran yang lebih intensif dengan air di atasnya, tetapi kendalanya pada sedimen berpasir tidak terlalu banyak terdapat bahan organik (Wood, 1987).

Komposisi sedimen (%)

Kelas Tekstur

TOM

Pasir Debu Liat (mg/l)

(8-0,25mm) (0,125mm) (<0,063 mm)

88,61 3,55 7,84 Pasir 0,51-5,89

85,75 3,99 10,25

Pasir

32 TOM pada suatu perairan dipengaruhi oleh kandungan bahan organik di sedimen melalui proses pengendapan ke dasar perairan. Laju pengendapan tersebut sangat dipengaruhi oleh kecepatan arus. Partikel yang halus akan terbawa oleh aliran air yang deras. Kisaran TOM pada perairan ini tidak terlalu tinggi yaitu berkisar antara 0,51 – 12,3 mg/l. Kandungan bahan organik terlarut pada masing-masing stasiun menunjukkan nilai yang bervariasi. TOM tertinggi dijumpai pada stasiun 8 dan 14 dengan rata-rata sebesar 12,33 dan 6,64 mg/l yang terendah dengan rata-rata 0.51 dan 0,98 mg/l terdapat pada stasiun 2 dan stasiun 11. Kandungan TOM dalam perairan sangat dipengaruhi oleh pemasukan zat-zat dari daratan dan adanya erosi dari hulu sungai yang banyak mengandung bahan organik (Susetiono, 1999).

Secara keseluruhan nilai TOM lebih tinggi ke arah muara sungai, hal ini sangat berhubungan dengan adanya partikel-partikel lumpur yang terbawa arus dari dua sungai yang bermuara di Teluk Klabat bagian dalam, kecepatan arus yang semakin kecil ke arah Teluk Klabat bagian luar ( lokasi penelitian ), stasiun 1 dan stasiun 11 serta stasiun 8 dan stasiun 14 dan juga nilai salinitas yang semakin tinggi, dimana tingginya salinitas sangat berhubungan dengan kandungan bahan-bahan mineral yang ada dalam perairan tersebut. Tekstur sedimen sangat erat kaitannya dengan fraksi butiran sedimen.

Tingginya bahan organik di Teluk Klabat disebabkan karena banyaknya sisa-sisa biota seperti hewan, serasah dari lamun dan alga yang telah mati kemudian terendapkan. Menurut Wood (1987), Pada sedimen yang halus, walaupun oksigen sangat terbatas tetapi kandungan bahan organik tersedia dalam jumlah yang banyak. Sedangkan menurut Susetiono (1999), dari hasil penelitiannya di Teluk Kuta, Lombok, NTB, banyaknya partikel halus dan TOM di Teluk Kuta menunjukkan bahwa lingkungan Teluk Kuta mempunyai tingkat turbulensi yang rendah.

Rendahnya turbulensi bisa dikarenakan daerah tersebut cenderung terlindungi atau juga karena terdapatnya hamparan lamun yang sangat lebat di daerah tersebut. Kandungan TOM dalam perairan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adanya pemasukan bahan organik dari lingkungan

33 sekitarnya dan kecepatan arus. Kandungan bahan organik terlarut pada masing-masing stasiun menunjukkan nilai yang bervariasi.

4.3. Sebaran Karakteristik Fisika-Kimia Air dan Sedimen

Sebaran Karakteristik Fisika-Kimia Air terhadap stasiun pengamatan dianalisis dengan menggunakan Analisis Komponen Utama. Menurut Legendre dan Legendre (1983), untuk mendeterminasi distribusi karakteristik fisik kimia perairan antar stasiun pengamatan, digunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analisis, PCA ). Analisis Komponen Utama digunakan karena parameter lingkungan perairan lebih tepat dalam menerangkan ordinasi. Data parameter lingkungan yang dianalisis mempunyai unit pengukuran yang berbeda, maka sebelum dilakukan Analisis Komponen Utama terlebih dahulu dilakukan pemusatan dan pereduksian terhadap data. Hasil dari analisis matriks korelasi data fisika kimia perairan menunjukkan bahwa kontribusi dua komponen utama terhadap ragam total mencapai 68,606 % dari ragam total, sedangkan kontribusi tiga komponen utama terhadap ragam total mencapai 80,499 % dari ragam total. Sebagian besar informasi terpusat pada sumbu 1 dan 2 dimana masing-masing sumbu menjelaskan 39,851% dan 28,756% dari ragam total, sedangkan sumbu 3 memberikan kontribusi 11,893 % dari ragam total. Nilai akar ciri (eigenvalue) dari ketiga komponen secara berurutan adalah 3,895; 2,876; dan 1,189. Hasi analisis pada Lampiran 2.

Diagram lingkaran korelasi parameter biofisik kimia lingkungan, pada sumbu 1 dan 2 (Gambar 1a), sumbu 1 menunjukkan parameter pH berkorelasi positif terhadap, DO dan temperatur, tetapi berkorelasi negatif dengan kedalaman dan tanah liat (liat). Pada sumbu 2, salinitas berkorelasi posistif dengan lumpur dan TOM, tetapi berkorelasi negatif dengan salinitas dan substrat pasir. Pada sumbu 1 dan sumbu 3 (Gambar 10 a,b), sumbu 1 menunjukkan parameter DO berkorelasi positif terhadap temperatur, pH dan substrat pasir. Dan berkorelasi negatif dengan TOM, liat dan kedalaman, sedangkan pada sumbu 3 variabel temperatur berkorelasi positif dengan pH, DO dan pasir.

34 Gambar 10.a,b. Diagram lingkaran korelasi antara parameter fisik kimia

lingkungan pada sumbu 1 dan 2, serta sumbu 1 dan 3.

Gambar 10c,d. Diagram representasi sebaran stasiun penelitian berdasarkan parameter fisik kimia lingkungan pada sumbu 1 dan 2, serta sumbu 1 dan 3.

Ket : tmp= temperatur pH= pH DO = oksigen terlarut sal = salinitas

Kkrh= kekeruhan lmpr = lumpur kpdtn= kepadatan liat = liat kdlm = kedalaman psr = pasir TOM = total kandungan organik

Adanya korelasi negatif antara DO pada sumbu pertama positif dengan liat pada sumbu pertama negatif, menunjukan bahwa semakin banyak kandungan tanah liatnya, maka kandungan oksigennya akan sedikit, begitu juga sebaliknya. Hal ini menunjukkan adanya korelasi diantara parameter-parameter tersebut

Sebaran stasiun penelitian berdasarkan parameter biofisik-kimia lingkungan pada sumbu 1 dan 2 (Gambar 10c) membentuk 3 kelompok individu, yang masing-masingnya memiliki karakteristik biofisik-kimia yang berbeda.

35 Kelompok I terdiri atas stasiun 3 dan 4 serta stasiun13 dan stasiun 14 yang dicirikan dengan temperatur, pH dan substrat pasir serta DO. Kelompok II terdiri atas stasiun 8,10 dan stasiun 11 dan 12 yang dicirikan dengan kekeruhan, TOM dan lumpur yang tinggi. Dan kelompok III yang terdiri atas stasiun 1,2 stasiun 5,6,7 dan stasiun 9 yang dicirikan dengan kedalaman, salinitas dan liat yang tinggi.

Pada sumbu 1 dan 3, sebaran stasiun membentuk 3 kelompok individu, yang masing-masing memiliki karakteristik biofisik kimia berbeda. Kelompok I terdiri atas stasiun 2,3, dan stasiun 4, serta stasiun 13 dan stasiun 14 yang dicirikan oleh kandungan oksigen terlarut, temperatur, pH dan substrat pasir yang tinggi. Kelompok II terdiri atas stasiun 2, 7 dan stasiun 9 serta stasiun 10 dicirikan oleh salinitas, TOM, liat dan lumpur, sedangkan kelompok III terdiri atas stasiun 1, 5 dan 6 serta stasiun 11 dan stasiun 12 dicirikan oleh kedalaman dan kekeruhan. 4.3.1. Distribusi Spasial Siput Gonggong Berdasarkan Kelas Ukuran dan

Jenis Kelamin

Pengelompokan titik-titik pengamatan dari hasil analisis berdasarkan kelas ukuran terdiri atas tiga kelompok yang mempunyai keterkaitan yang erat antara siput gonggong dengan stasiun pengamatan (Gambar 11)(Lampiran 3).

Gambar 11. Diagam analisis koresponden keterkaitan stasiun pengamatan dengan modalitas ukuran dan jenis kelamin siput gonggong pada sumbu 1 dan 2.

36

Hasil analisis memperlihatkan siput gonggong kelompok A (ukuran 20,39 mm-38,53 mm) banyak terdapat di stasiun 2 dan stasiun 3 yang dicirikan

temperatur, DO, pH dan kandungan substrat pasir yang tinggi, diduga pasir dijadikan areal perlindungan bagi anakan gongong, yang pada fase veliger mempunyai velum yang bersilia, kaki, mata dan tentakel. Stasiun 5 yang dicirikan dengan kedalaman dan kekeruhan yang tinggi diperkirakan merupakan lokasi yang disenangi siput gonggong dikarenakan kondisi perairan yang demikian dapat melindungi larva-larva veliger dari serangan musuh. Menurut Barnes (1994), sesaat setelah menetas larva veliger berenang bebas merupakan saat-saat paling kritis dan stadium veliger disenangi ikan sebagai makannya. Kelompok B (ukuran 38,54 mm-56,68 mm) banyak terdapat di stasiun 4, 6 dan stasiun 13 serta stasiun 14, sedangkan kelompok C (ukuran 56,69 mm-74,83 mm) dan kelompok D (ukuran 74,89 mm-92,98 mm) banyak terdapat di stasiun 1,2,7 dan stasiun 8,9 serta stasiun 10 dan stasiun 11.

Kelompok C dan kelompok D merupakan kelompok yang berukuran besar dan jenis kelaminnya sudah terlihat jelas, dengan kondisi lingkungan di stasiun ini sesuai dengan persyaratan hidup dari siput gonggong selain itu pada stasiun-stasiun ini diperkirakan banyak terdapat makanan hasil limpahan dari teluk bagian dalam yang merupakan muara dari dua sungai yang cukup besar. Amini (1986) menyatakan, siput gonggong banyak terdapat di perairan pantai dengan dasar pasir berlumpur dan kondisi perairan dimana banyak ditemukan rumput laut, sedangkan Dody (2009), menyatakan siput gonggong yang hidup diperairan pulau Bangka banyak ditemukan pada substrat pasir berlumpur.

37 4.3.2. Distribusi Spasial Siput Gonggong Berdasarkan Tingkat Kematangan

Gonad

Gambar 12. Diagram analisis koresponden keterkaitan stasiun pengamatan dengan tingkat kematangan gonad pada sumbu 1 dan 2.

Hasil pengukuran (Gambar 12) memperlihatkan distribusi spasial siput gonggong dengan tingkat kematangan gonad pada TKG 0, banyak dijumpai di stasiun 1,2 dan stasiun 3 serta di stasiun 5 yang dicirikan dengan kandungan oksigen tinggi, kekeruhan, kedalaman dan temperatur, pH dan substrat pasir. Kondisi lingkungan yang stabil sangat diperlukan oleh gonggong berukuran kecil, gonggong termasuk organisme yang sensitif terhadap perubahan lingkungan. Menurut Menurut Basmi (2000) suhu berperan penting dalam proses metabolisme dan laju fotosintesis organisme fitoplankton yang merupakan salah satu makanan bagi hewan bentos

Tingkat kematangan gonad (TKG I) banyak dijumpai pada stasiun 4,6 dan stasiun 8, Stasiun 11 serta stasiun 13 dan stasiun 14 yang dicirikan oleh temperatur, DO, pH dan pasir juga salinitas, TOM, lumpur dan liat serta kedalaman dan kekeruhan, melimpahnya siput gonggong yang masih memiliki tingkat kematangan gonad I (TKG I) menunjukkan bahwa siput gonggong yang masih muda memerlukan kondisi lingkungan yang memenuhi syarat untuk hidup

38 antara lain temperatur yang stabil, DO yang tinggi, lumpur tempat berkamuflase menghindar dari predator. Lingkungan juga merupakan tempat tumbuh dan berkembang baik individu maupun populasinya. Pada stasiun 7,9 dan 10 serta stasiun 12 yang karakteristik lingkungannya mencirikan salinitas, TOM, lumpur dan liat serta kedalaman dan tingkat kekeruhan yang tinggi banyak ditemukan siput gonggong yang memasuki tingkat kematangan gonad empat (TKG IV). Lokasi ini diperkirakan sebagai lokasi untuk mendapatkan makanan dan sekaligus lokasi pertemuan gonggong dewasa untuk melakukan pemijahan.

Pengelompokan stasiun penelitian berdasarkan karakteristik habitat, stasiun penelitian tersebar di sepanjang pantai Timur dan Barat Teluk Klabat dengan masing-masing terdiri atas 6 stasiun berada di Timur dicirikan oleh nilai temperatur, pasir, salinitas dan pH hal ini sesuai dengan pengamatan dilapangan, tekstur sedimen memang menjadi faktor pembatas utama bagi penyebaran siput gonggong pada habitatnya. Siput gonggong jarang ditemukan pada substrat yang didominasi oleh pasir. Di pantai bagian Barat terdapat 8 stasiun, merupakan stasiun-stasiun yang berada di rataan pantai yang sangat lebar yang dicirikan dengan tingginya lumpur, TOM dan nilai kekeruhan.

Tingginya nilai-nilai variabel ini diduga dipengaruhi oleh aliran dari sungai dan laut yang membawa material bahan organik serta adanya proses pengadukan dari kedua massa air tersebut serta terjadinya pengendapan dirataan sangat luas yang merupakan ciri topografi di daerah tersebut.

4.4. Kepadatan dan Pola Penyebaran Populasi Siput Gonggong

Dokumen terkait