• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Akses Pemasaran UKM, Permodalan, dan Produks

1.5.3. Program Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah

1.5.3.1. Pengembangan Akses Pemasaran UKM, Permodalan, dan Produks

Didalam penelitian ini, yang dijadikan fokus penelitian oleh penulis berkaitan dengan program pemberdayaan UKM di Kota Medan adalah pengembangan akses pemasaran UKM, permodalan, produksi. Dimana ketiga hal tersebut merupakan kegiatan dalam program pemberdayaan UKM.

Dalam Pasal 14 UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dirumuskan bahwa “ Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat melakukan pembinaan dan pengembangan usaha kecil dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran dan distribusi, sumber daya manusia, dan teknologi.

1. Bidang pemasaran

Dirumuskan langkah pembinaan dan pengembangan, baik di dalam maupun di luar negeri. Langkah tersebut dicapai lewat pelaksanaan penelitian dan pengkajian pemasaran, menyediakan sarana serta dukungan promosi dan uji pasar bagi UKM.

Selain itu juga dimaksudkan untuk mengembangkan lembaga pemasaran dan jaringan distribusi, serta memasarkan produk usaha kecil.

Pemasaran oleh banyak pengusaha kecil dan menengah dianggap sebagai aspek yang paling penting. Pendapat yang sering muncul adalah bahwa “kemampuan menghasilakan produk tetapi tidak disertai kemampuan memsarkan produk tersebut adalah kehancuran“. Oleh karena itu permasalahan di bidang pemasaran pada UKM sering ditempatkan sebagai masalah utama diantara masalah-masalah lainnya.

Permasalahan UKM pada bidang pemasaran terfokus pada tiga hal, yaitu (1) permasalalahan persaingan pasar produk, (2) permasalahan akses terhadap informasi pasar dan (3) permasalahan kelembagaan pendukung UKM. Munculnya permasalahan- permasalahan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kekurangmampuan pengusaha kecil untuk membaca dan mengakses peluang- peluang pasar yang potensial dan yang memiliki prospek cerah, yang akibatnya adalah pemasaran produk cenderung statis dan monoton, baik dilihat dari segi diversifikasi produk, kualitas ,maupun pasar. Hal ini terjadi karena pengetahuan dan keterampilan pengusaha masih lemah ditambah lagi akses terhadap informasi pasar yang kurang serta kelembagaan pendukung yang belum berperan khususnya dalam hal membantu pemasaran. Lembaga pendukung tersebut misalnya asosiasi atau instansi yang seharusnya mampu menjembatani dalam pemasaran produk UKM.

2. Bidang Permodalan

Permodalan menjadi masalah klasik UMKM bagi sejumlah pelaku UMKM, umumnya mereka mengeluhkan tentang terbatasnya modal, yang menyebabkan usaha mereka dari tahun ke tahun tidak berkembang menjadi lebih besar. Tapi untuk

beberapa kasus, tim penulis menemukan contoh ada pelaku usaha yang memulai usahanya dengan modal hanya 2 juta rupiah dan itupun pinjaman dari bank gelap alias rentenir, tapi setelah 5 tahun, kini memiliki omzet penjualan mencapai sekitar 150 juta per-bulan. Pelaku usaha ini bahkan mampu menampung tenaga kerja sekitar 50 orang.

Contoh di atas menunjukkan pada kita betapa seandainya saja para pelaku UMKM bisa mendapatkan akses modal yang lebih baik dari perbankan dan dengan bunga yang sesuai, bisa kita bayangkan tingkat kemajuan yang akan dicapai oleh UMKM dalam mengembangkan usahanya tersebut. Bila tanpa dibantu permodalan saja mereka bisa tumbuh dan berkembang, apalagi bila mereka mendapat dukungan permodalan.

Ini menggambarkan betapa akses UMKM terhadap permodalan sangat kecil. Di lain pihak, kebijakan perbankan juga masih berorientasi pada kredit konsumtif (kredit perumahan, kredit mobil, dll). Alokasi kredit yang dikucurkan oleh perbankan untuk konsumtif jauh lebih besar dibandingkan dengan pembiayaan dan investasi. Alasannya, dengan bunga mencapai 40 persen per tahun, kredit komsumtif lebih menguntungkan. Sedangkan kredit pembiayaan dan investasi hanya sekitar 20 persen.

Kecilnya jatah kredit untuk sektor pembiayaan rupanya menjadi perhatian pemerintah. Bank Indonesia menetapkan pada tahun 2003 kucuran kredit untuk UMKM sebesar 42,3 trilyun rupiah. Dana kredit tersebut berasal dari perbankan nasional, termasuk Bank Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Selanjutnya pada tahun 2004 meningkat secara signifikan menjadi 72,1 trilyun rupiah. Pada tahun 2005 Bank Indonesia (BI) menargetkan dan menyalurkan kredit kepada sektor

UMKM sebesar 60,4 trilyun rupiah. Peningkatan ini juga menunjukkan keyakinan perbankan bahwa pasar di sektor UMKM masih luas.

Tapi kenyataannya, para pelaku UMKM masih saja mengeluh, sebagai akibat rumitnya mengakses kredit di perbankan. Bank selalu saja memberlakukan persyaratan standar bagi kreditur, termasuk berlaku juga bagi kalangan UMKM. Misalnya mengharuskan adanya agunan dan kelengkapan surat-surat izin usaha. Padahal kenyataannya, masih cukup banyak UMKM yang bentuk usahanya belum memiliki izin formal (informal), tapi sangat produktif dan menyerap tenaga kerja yang sangat besar. Ada beberapa bank yang cukup berani mengucurkan kredit bagi UMK hanya dengan syarat-syarat yang sederhana dan mudah, seperti Bank Danamon DSP (Danamon Simpan Pinjam).

Permodalan bagi UMK ini rupanya menjadi program yang menarik bagi Bank Danamon. Melalui DSP, Bank Danamon ini telah membuat simpul-simpul di kecamatan untuk menghimpun dana sekaligus penyalurannya kepada UMKM. Program ini menyalurkan kredit tanpa agunan dengan kriteria telah menjadi nasabah setidaknya lima bulan. Sedangkan jumlah kredit dibatasi maksimal 4 kali lipat dari saldo rata-rata tiap tahunnya. Program ini mudah-mudahan menjadi jawaban dari sejumlah persoalan permodalan UMKM Sumut dan diakui oleh lembaga keuangan lainnya.

Dalam sebuah perbincangan, Pemimpin Kantor Bank Indonesia Medan, Hadi Hasyim menyebutkan pihaknya telah melakukan sosialisasi di tiga daerah seperti Sibolga, Deli serdang dan Tanah karo berkenaan dengan peluang kredit bagi UMKM.

Semakin besar alokasi dana untuk kredit UMKM diharapkan akan berdampak pada kemudahan dalam memperoleh kredit.

Namun sebuah fakta lain menyebutkan, restrukturisasi (pembangunan kembali) kredit UMKM bukan tidak mungkin terjadi penyimpangan di lapangan, apalagi melibatkan dana yang sangat besar. Dikhawatirkan, UMKM skala kecil tidak mendapatkan kredit ini. Dan ini terungkap dalam sebuah rapat dengar pendapat dengan DPRD Sumut. Data dari pihak perbankan menyebutkan kalau usaha menengah-lah yang lebih banyak memperoleh fasilitas kredit perbankan.

Bukan rahasia lagi, sulitnya akses permodalan bagi UMKM ini telah memberi peluang berkembangnya rentenir. Pelaku UMKM yang kerap mengalami kesulitan permodalan, karena tak punya pilihan, akhirnya lebih memilih meminjam dari rentenir dengan bunga yang mencekik leher bisa mencapai 15-20 persen per bulan. Alternatif ini terpaksa dipilih karena meminjam melalui rentenir ini relatif tanpa prosedur dan pencairannya juga sangat cepat, jauh berbeda dengan kredit melalui perbankan.

Bahkan hampir 80 persen usaha mikro dan kecil sumber pembiayaannya masih dari modal sendiri dan sumber nonformal (seperti tengkulak dan rentenir) yang membebankan tingkat bunga jauh di atas tingkat suku bunga lembaga nonbank (seperti koperasi) maupun perbankan.

Oleh karena itu, pemerintah diminta untuk lebih intensif melakukan upaya- upaya guna meningkatkan akses UMKM pada lembaga jasa keuangan, baik perbankan maupun keuangan nonbank (seperti modal ventura, koperasi, dan lembaga keuangan mikro lainnya) (Wahyuni, dkk, 2005: 2-6).

3. Bidang Produksi

Dalam usaha kecil menengah yang merupakan kegiatan ekonomi rakyat tidak terlepas dari produksi. Yang sering menjadi permasalahan produksi UKM kita saat ini adalah ketersediaan bahan baku. Dimana suplai bahan baku untuk usaha kecil menengah ini kurang memadai dan berfluktuasi.

Hal ini disebabkan oleh :

a. Adanya pembeli besar yang menguasai bahan baku

b. Harga bahan baku masih terlalu tinggi

c. Kualitas bahan baku rendah karena tidak adanya standarisasi dan adanya manipulasi kualitas bahan baku.

d. Sistem pembelian bahan baku secara tunai menyulitkan pengusaha kecil, sementara pembayaran penjualan produk umumnya tidak tunai.

Dokumen terkait