BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
2. Pengembangan Masyarakat
Pengembangan masyarakat merupakan upaya dalam mengembangkan sebuah kondisi masyarakat secara berlanjut dan aktif berlandaskan prinsip-prinsip keadilan sosial dan saling menghargai antar sesama. Pengembangan masyarakat dalam artian memiliki nilai-nilai keterbukaan, persamaan, pertanggungjawaban, kesempatan, pilihan, partisipasi, saling menguntungkan, saling timbal balik, dan pembelajaran terus-menerus. Inti dari pengembangan masyarakat yaitu mendidik, membuat anggota masyarakat mampu mengerjakan sesuatu dengan memberikan kekuatan atau sarana yang diperlukan dan memberdayakan mereka (Dr. Zubaedi, 2013, p. 4).
Menurut Payne dalam (Dr. Zubaedi, 2013, p. 4) kegiatan pengembangan masyarakat difokuskan hanya pada upaya menolong orang-orang lemah yang memiliki minat untuk bekerja sama dalam kelompok, melakukan identifikasi terhadap kebutuhan serta melaksanakan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pengembangan masyarakat diimplementasikan dalam beberapa kegiatan. Pertama,
program-program pembangunan yang memungkinkan masyarakat akan memperoleh daya dukung dan kekuatan dalam memenuhi kebutuhannya. Kedua, kampanye dan aksi sosial yang disinyalir kebutuhan-kebutuhan warga kurang mampu dapat dipenuhi oleh pihak-pihak lain yang bertanggung jawab. Menurut Twelvetrees dalam (Dr. Zubaedi, 2013, p. 5) pengembangan masyarakat merupakan “the process of assisting ordinary people to improve
their own communities by undertaking collective actions.”
Pengembangan masyarakat berkaitan dengan aspek lain dalam upaya melakukan pemberdayaan, yaitu konsep kebutuhan dan metode intervensi sosial pada level mezzo (komunitas dan organisasi).
a. Konsep Kebutuhan
Suatu pernyataan atau definisi dari kebutuhan masyarakat yang normatif atau bermuatan-nilai. Hal tersebut mengandung pandangan-pandangan tertentu tentang hak dan kewenangan (entitlements), serta berisi suatu gagasan standar minimum yang dapat diterima dari kesejahteraan (wellbeing) pribadi dan masyarakat. Sebagai contoh, mengklaim bahwa sebuah masyarakat „membutuhkan‟ sebuah pusat penitipan anak mengandung suatu asumsi tentang hak-hak orang tua atas gaya hidup tertentu atau akses ke pasar tenaga kerja, lalu hak anak-anak atas suatu tingkat pengasuhan tertentu, serta manfaat-manfaat yang akan dihasilkan oleh sebuah tempat penitipan anak kepada kehidupan pribadi dan masyarakat.
Sekiranya hanya berfokus pada sebuah masalah sosial, diskusi mengenai kebutuhan ternyata perhatiannya kepada pertanyaan yang lebih teknis (dan lebih aman) tentang penyediaan solusi. Contoh, sebuah „masalah‟ kejahatan anak-anak, yang diartikan sebagai suatu masalah „hukum dan ketertiban‟ yang menjadi suatu „kebutuhan‟ polisi. Suatu pernyataan kebutuhan merupakan pernyataan normatif sekaligus deskriptif yang mencerminkan nilai atau ideologi maupun pengetahuan atau keahlian dari penentu kebutuhan. Ini diartikan bahwa setiap model pernyataan kebutuhan harus mempertimbangkan identitas penentu-kebutuhan. Dilihat dari pernyataan diatas, terdapat empat kelompok yang terlibat dalam pendefinisian kebutuhan pada tingkat komunitas, yaitu populasi keseluruhan; pengguna layanan (konsumen) atau calon pengguna layanan dari layanan atau fasilitas yang „dibutuhkan‟; pemberi layanan, adalah mereka yang memenuhi kebutuhan masyarakat. Contohnya seperti, pekerja masyarakat, pekerja sosial, pekerja kesejahteraan rakyat, kepastoran, pekerja kesehatan, dan politisi lokal (Tesoriero, 2016, pp. 150-155). Berikut penjelasan empat kategori kebutuhan dari Bradshaw (1972) dalam Kettner (1990) dan Ife (2002), yaitu : (Adi, Perencanaan Partsipatoris Berbasis Aset Komunitas, 2007, pp. 73-75) Kebutuhan Normatif (Normative Need) yaitu kebutuhan yang diartikan oleh sekelompok orang yang memiliki otoritas ataupun norma
yang ada. Ini termasuk menentukan kebutuhan populasi keseluruhan.
Kebutuhan yang dipersepsikan (Perceived Need) atau dikenal juga dengan nama Kebutuhan yang dirasakan (Felt Need). Perceived ataupun felt need kebutuhan yang dipikirkan lalu harus didapatkan atau kebutuhan yang dirasakan komunitas sasaran. Kebutuhan ini hanya dipikirkan saja tetpai belum bisa terealisasi sebagai tuntutan atau upaya nyata.
Kebutuhan yang diekspresikan (expressed need), kebutuhan yang diungkapkan oleh komunitas sasaran lalu mencari berbagai layanan untuk memenuhi kebutuhan. (Ife 2002:63) maksud dari mencari berbagai layanan disini adalah dengan berupaya mengekspresikan kepada suatu lembaga atau pemerintah dalam memenuhi kebutuhan, contoh ada suatu daerah yang terkena dampak bencana longsor, lalu rumah-rumah mereka rusak parah dan fasilitas umum tidak dapat digunakan, salah satunya akses jalan yang terputus sehingga mereka sulit untuk melakukan aktivitas. Maka, komunitas tersebut membuat tuntutan kepada pemerintah daerah setempat agar cepat melakukan perbaikan untuk fasilitas tersebut.
Kebutuhan oleh Kettner (1990:50) disebut kebutuhan relatif (relative need). Sedangkan Ife (2002:62) disebut kebutuhan komparatif (comparative need). Kebutuhan relatif ini pada dasarnya bukan berasal dari asumsi akan
adanya standar layanan yang diinginkan. Kebutuhan relatif ini lebih terfokus pada kesenjangan antara jenis layanan yang diberikan ke komunitas di area yang berbeda.
Dinamika peradaban manusia dalam sejarahnya selalu tumbuh dan berkembang secara dinamis sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam setiap kehidupan manusia. Sebagai makhluk yang terus mencari dan menyempurnakan dirinya, manusia senantiasa berusaha dan berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya untuk tetap bertahan dengan manusia lainnya. Perjuangan memenuhi kebutuhan hidup ini telah memotivasi manusia untuk menggunakan akal budinya secara maksimal dimanapun manusia itu berada. Karena tuntutan pemenuhan kebutuhan naluri kehidupannya, maka manusia sebagai makluk yang berakal budi (rationalanimal) selalu berpikir untuk bagaimana ia menghadapi tuntutan-tuntutan naluriah itu. (Marius, Perubahan Sosial, 2006, pp. 128-129)
b. Metode Intervensi Sosial pada Level Mezzo (Komunitas dan Organisasi)
Intervensi pada level komunitas dalam ilmu Kesejahteraan Sosial selalu dikaitkan dengan berbagai istilah yang berbeda di beberapa negara, antara lain istilah
pengorganisasian dan pengembangan masyarakat yang banyak digunakan di Inggris dan Australia), community
organization, dan community intervention (istilah yang
banyak digunakan di Amerika Serikat). Di Indonesia sendiri istilah yang banyak digunakan adalah pengorganisasian dan pengembangan masyarakat. Pada dasarnya praktik pada level komunitas (community
practice) terdiri dari beberapa model intervensi yang
dikemukakan oleh Glen, yaitu :
Community Development (Pengembangan Masyarakat)
Community Action (Aksi Komunitas)
Community Service Approach (pendekatan pelayanan
masyarakat)
Model intervensi komunitas (community intervention) menurut Rothman, antara lain :
Locality development (pengembangan komunitas lokal) Social action (aksi sosial)
Social planning/policy (perencanaan sosial dan kebijakan sosial)
Model intervensi perencanaan sosial dan kebijakan sosial diatas adalah model intervensi yang lebih mengarah pada upaya mengubah masyarakat di cakupan yang lebih luas, seperti tingkat provinsi, regional (antarprovinsi), ataupun nasional. Sedangkan model intervensi aksi sosial
dan pengembangan masyarakat lokal, lebih kearah intervensi tingkat komunitas lokal. Oleh karena itu, penelitian ini hanya akan membahas mengenai bentuk intervensi sosial yang bisa dilakukan di level komunitas lokal saja. Selain pandangan dari Glen dan Rothman, menurut Popple (1996: 55-72) dalam Isbandi model intervensi pada level komunitas (Community Work) memiliki pembagian yang berbeda, yaitu :
Community care (pelayanan komunitas)
Community organization (pengorganisasian masyarakat)
Community development (pengembangan masyarakat)
Social/community planning (perencanaan komunitas
dan perencanaan sosial)
Community education (Pendidikan komunitas)
Community action (aksi komunitas)
Dengan berbagai model intervensi diatas yang terkait model intervensi komunitas lokal adalah model intervensi pengembangan masyarakat dan pendekatan pelayanan masyarakat. Jika suatu badan usaha mengatakan bahwa mereka mengadakan pengembangan masyarakat, maka kemungkinan hanya dua model intervensi tersebut yang digunakan. Di Indonesia, model intervensi aksi komunitas
sebenarnya dapat diterapkan di level komunitas lokal dan biasanya digunakan oleh lembaga non-pemerintah (non
government organization) guna „menekan‟ pihak-pihak
tertentu, tetapi organisasi pemerintah juga dapat menerapkan intervensi tersebut (Adi, Kesejahteraan Sosial : Pekerjaan Sosial, Pembangunan Sosial, dan Kajian Pembangunan, 2015, pp. 187-189).
Model intervensi pengembangan masyarakat memiliki strategi untuk mencapai suatu keberhasilan dalam merealisasikan program terkait pengembangan masyarakat. Strategi tersebut menggunakan pendekatan secara non-direktif (partisipatif). Pendekatan non-non-direktif dilakukan sesuai pendapat masyarakat yang paham akan kebutuhan dan mengetahui apa yang baik untuk mereka. Pada pendekatan ini, community worker bukan berperan sebagai orang yang menetapkan apa yang „baik‟ atau „buruk‟ bagi masyarakat. Pemeran utama dalam perubahan masyarakat adalah masyarakat itu sendiri, community worker hanya menggali dan mengembangkan potensi masyarakat. Masyarakat memiliki kesempatan penuh dalam membuat analisis, mengambil keputusan, serta penentuan cara-cara untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. Katalisator dan pemercepat perubahan (enabler) merupakan peran
community work yang membantu mempercepat terjadinya
perubahan dalam suatu masyarakat. Menurut Batten (1967:11) dalam (Adi, Kesejahteraan Sosial : Pekerjaan
Sosial, Pembangunan Sosial, dan Kajian Pembangunan, 2015, pp. 198-199) bahwa pendekatan community worker ini berusaha menstimulus tumbuhnya kemampuan masyarakat dalam menentukan arah langkahnya sendiri (self determination) dan menolong dirinya sendiri (self
help). Guna mengembangkan pendekatan non-direktif,
dibutuhkan adanya keinginan warga untuk bertindak (self
directed action). Ada beberapa prasyarat dalam menumbuhkan self directed action menurut Batten (1967 : 12-13) dalam (Adi, Kesejahteraan Sosial : Pekerjaan Sosial, Pembangunan Sosial, dan Kajian Pembangunan, 2015, p. 202), yaitu :
1) Adanya beberapa orang yang tidak merasa puas terhadap keadaan mereka dan sepakat tentang suatu hal yang sebenarnya mereka butuhkan
2) Menyadari bahwa kebutuhan tersebut hanya akan terpenuhi jika mereka ingin berusaha untuk memenuhinya.
3) Mereka mempunyai sumber daya yang memadai dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini termasuk : a) Memiliki pengetahuan yang dapat membantu
mereka dalam mengambil keputusan tentang suatu hal yang harus mereka lakukan dan cara terbaik untuk mencapainya.
b) Memiliki sumber daya yang mendukung terkait dengan pengetahuan, keterampilan, dan peralatan untuk melakukan tindakan.
c) Memiliki pendapatan yang memadai (intrinsik maupun ekstrinsik) guna mempersatukan mereka dalam melaksanakan keputusan yang sudah ditetapkan bersama.
Menurut Batten dalam buku Kesejahteraan Sosial bahwa keinginan melakukan perubahan dalam masyarakat sudah cukup kuat dan kondisi yang diinginkan sudah terpenuhi, maka pada hakikatnya mereka dapat mengembangkan diri tanpa bantuan dari luar. Namun, kenyataannya hal yang diinginkan tersebut sering kali belum terlihat. Maka, diperlukannya community worker untuk membantu mereka, tugas mereka yaitu :
1) Menumbuhkan keinginan untuk bertindak dengan menstimulus masyarakat agar mengadakan diskusi mengenai suatu hal yang menjadi masalah dalam masyarakat, sehingga mereka dapat memutuskan apa yang mereka butuhkan.
2) Memberikan suatu informasi mengenai pengalaman kelompok lain dalam mengorganisasi diri untuk menghadapi hal serupa.
3) Membantu masyarakat membuat analisis situasi secara sistematik mengenai hakikat dan penyebab masalah yang dihadapi, lalu menelusuri keuntungan dan
kerugian di setiap usulan yang sudah dipaparkan dalam upaya memecahkan masalah.
4) Mengkoneksikan masyarakat dengan sumber yang dapat dimanfaatkan untuk membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi.