• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II Tinjauan Teori

2.2. Pengembangan Masyarakat

Pengembangan masyarakat merupakan gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup seluruh komunitas melalui partisipasi aktif dan jika mungkin berdasarkan prakarsa komunitas (Brokensha dan Hodge yang dikutip oleh Adi, 200:23). Gerakan tersebut meliputi berbagai kegiatan pembangunan ditingkat lokal baik yang dilakukan pemerintah ataupun oleh lembaga-lembaga non pemerintah. Sementara itu AMA (Association of Metropolitan Authorities) mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai metode yang memungkinkan orang dapat meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar pengaruhnya terhadap proses-proses yang mempengaruhi kehidupan (Suharto, 2005: 38). Disamping itu pengembangan masyarakat merupakan salah satu metode pekerjaan sosial yang utamanya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui pendayagunaan sumber- sumber yang ada pada mereka serta menekankan prinsip-prinsip partisipasi sosial.

Ife (1995:108-115) mengemukakan beberapa prinsip pengembangan masyarakat, di antaranya adalah: (1) terintegrasi, pengembangan masyarakat hendaknya dapat mengintegrasikan berbagai aspek kehidupan masyarakat, yaitu sosial, ekonomi, politik, budaya, lingkungan dan pribadi/spiritual, (2) keberlanjutan, yang diindikasikan dengan penggunaan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seminimum mungkin dan pembatasan pertumbuhan yang cenderung bertentangan dengan prinsip keberlanjutan (3) pemberdayaan, yang berarti memberikan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan, dan ketrampilan untuk meningkatkan kapasitas atau kemampuan untuk menentukan masa depan sendiri dan untuk berpartisipasi dalam mempengaruhi kehidupan komunitasnya, (4) kemandirian, yaitu masyarakat didorong untuk menggunakan sumberdaya yang dimiliki dan tidak mengandalkan dukungan proyek atau sumbangan dari luar, (5) keinklusifan/tanpa kekerasan, yang dapat ditempuh dengan membangun dialog dan meningkatkan saling pengertian, (6) konsensus, yaitu mengarah pada persetujuan dan bertujuan untuk mencapai solusi yang yang dimiliki oleh komunitas, dan (7) partisipasi, yang bertujuan agar setiap orang terlibat aktif dalam aktivitas-aktivitas komunitas.

Dengan demikian, pengembangan masyarakat dapat diartikan sebagai suatu geraka n, baik yang dilakukan pemerintah ataupun masyarakat dengan tujuan meningkatkan taraf hidup seluruh komunitas yang melibatkan partisipasi aktif dan prakarsa masyarakat. Adapun perinsip-prinsip pengembangan masyarakat diantaranya adalah terintegrasi, keberlajutan, pemberdayaan, kemandirian, keinklusifan/tanpa kekerasan, konsensus dan partisipasi.

2.3. Pemberdayaan

Pemberdayaan merupakan strategi atau pendekatan dalam paradigma pembangunan yang berpusat pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat (people centered development). Pendekatan ini menyadari pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal, melalui kesanggupan untuk melakukan kontrol internal atas sumberdaya melalui redistribusi modal atau kepemilikan (Korten yang dikutip oleh Sumarjo dan Saharudin, 2005:1).

Pemberdayaan adalah proses peningkatan kemampuan individu, atau kelompok,-- kekuatan politik, keluarga atau masyarakat-- agar dapat mengambil peran dalam meningkatkan kondisi mereka. Akar pemberdayaan terletak pada pondasi politik dan filosofi masing-masing budaya seperti tertuang dalam konsep demokrasi yang mewujud dalam institusi politik. Semua hal tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip pemberdayaan warga negara untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berakibat pada tingkat kesejahteraan (Swift yang dikutip oleh Dubois dan Miley, 2005:25). Konsep pemberdayaan berhubungan dengan kekuatan individu dan kompetensinya serta sistem yang saling bergantung dan perilaku yang proaktif pada aktivitas sosial, kebijakan sosial, perubahan sosial, dan pengembangan masyarakat. Itu semua dapat diterapkan secara praktis pada semua tingkat (Anderson yang dikutip oleh Dubois dan Miley, 2005:25).

Akar pemberdayaan terletak pada pondasi politik dan filosofi masing- masing budaya seperti tertuang dalam konsep demokrasi yang mewujud dalam institusi politik. Semua hal tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip pemberdayaan warga negara untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berakibat pada tingkat kesejahteraan (Swift yang dikutip Dubois dan Miley, 2005:25). Konsep pemberdayaan berhubungan dengan kekuatan individu dan kompetensinya serta sistem yang saling bergantung dan perilaku yang proaktif pada aktivitas sosial, kebijakan sosial, perubahan sosial, dan pengembangan masyarakat. Itu semua dapat diterapkan secara praktis pada semua tingkat (Anderson yang dikutip oleh Dubois dan Miley, 2005:16).

Tujuan utama dari pendekatan pemberdayaan adalah membuat masyarakat berdaya (mempunyai kekuatan). Kekuatan tersebu t meliputi aspek fisik dan material, aspek ekonomi dan pendapatan, aspek kelembagaan (tumbuhnya kekuatan individu dalam bentuk kelompok), kekuatan kerja sama, kekuatan intelektual (peningkatan SDM), dan kekuatan komitmen bersama untuk mematuhi dan menerapkan prinsip-prinsip pemberdayaan. Masyarakat berdaya berarti tahu, mengerti, paham dan termotivasi, berkesempatan, melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang tersebut, berenergi, mampu bekerjasama, mengetahui berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan secara optimal, berani mengambil resiko atas keputusannya, mampu mencari

dan menangkap informasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan taraf kehidupannya dan mampu bertindak secara optimal. Adapun ciri-ciri masyarakat berdaya adalah: (1) mampu memahami diri dan potensinya, (2) mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), dan mengarahkan dirinya sendiri, (3) memiliki kekuatan untuk berunding, bekerjasama secara saling menguntungkan dengan bargaining power yang memadai, dan (4) bertanggung jawab atas tindakannya sendiri (Sumarjo dan Saharudin, 200:2).

Masyarakat berdaya memiliki arti yang sama dengan kemandirian masyarakat. Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan membuka kesempatan bagi seluruh elemen masyarakat dalam seluruh tahapan program. Setiap komponen dan elemen masyarakat pasti mempunyai kemampuan atau potensi. Sumodiningrat sebagaimana dikuti oleh Jamasy (2004:40) mengatakan bahwa upaya untuk mencapai kemandirian masyarakat adalah dengan mewujudkan potensi kemampuan yang mereka miliki. Upaya untuk mencapai kemandirian tidak mudah dan tidak bisa diukur dengan waktu. Namun demikian, tidak mustahil proses pemberdayaan menuju kemandirian ditentukan ukuran waktunya. Hal tersebut tergantung pada bagaimana proses dalam mengelola sebuah program dan bagaimana mempertahankan komitmen (komitmen kepada misi dan komitmen kepada profesionalisme).

Nugroho sebagai mana dikutip oleh Jamasy (2004:42) mengemukakan bahwa pemberdayaan merupakan prasyarat mutlak bagi upaya penanggulangan kemiskinan yang memiliki tujuan penting, yaitu: (1) menekan perasaan ketidakberdayaan masyarakat miskin bila berhadapan dengan struktur sosial-politis, yaitu dengan meningkatkan kesadaran kritis atas posisinya; (2) memutuskan hubungan-hubungan yang bersifat eksploitatif terhadap orang miskin, yang dapat dilakukan bila terjadi reformasi sosial, budaya dan politik; (3) menanamkan rasa persamaan (egalitarian) dan memberikan gambaran bahwa kemiskinan bukan merupakan takdir tetapi sebagai penjelmaan konstruksi sosial; (4) merealisasikan rumusan pembangunan dengan melibatkan masyarakat miskin secara penuh; (5) perlunya pembangunan sosial dan budaya bagi masyarakat miskin seperti perencanaan hidup, perubahan kebiasaan hidup, peningkatan produktivitas

dan kualitas kerja); dan (6) distribusi infrastruktur pembangunan yang lebih merata.

Kerangka pikir pada proses pemberdayaan mengandung tiga tujuan penting, yaitu (1) menciptakan suasana dan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang; (2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat atau kelompok yang akan diberdayakan, misalnya melalui peningkatan taraf pendidikan, peningkatan derajat kesehatan, peningkatan akses terhadap sumber-sumber kemajuan; dan (3) upaya melindungi atau mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, menciptakan keadilan, serta menciptakan kebersamaan dan kemitraan antara yang sudah maju dan yang belum berkembang (Jamasy, 2004:41-42).

Pendekatan pemberdayaan yang mampu mengangkat masyarakat miskin menjadi berdaya dan berkembang adalah dengan melalui media kelompok. Kelompok dapat dijadikan sebagai media pembelajaran bagi para anggota sekaligus proses tukar menukar informasi, pengetahuan dan sikap. Dalam kelompok, kekuatan individu akan muncul sebagai kekuatan kelompok, dan disinilah terjadi proses penguatan dan pemberdayaan (Jamasy, 2004:55).

Pemberdayaan merupakan strategi pembangunan yang berpusat pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Pemberdayaan merupakan proses peningkatan kemampuan peningkatan kemampuan individu, atau kelompok, -- kekuatan politik, keluarga atau masyarakat-- agar dapat mengambil peran dalam meningkatkan kondisi mereka. Tujuan pemberdayaan adalah membuat masyarakat mandiri yang dapat dicapai dengan mewujudkan potensi kemampuan yang mereka miliki, menekan perasaan tidak berdaya, memutuskan hubungan-hubungan yang bersifat eksploitatif terhadap orang miskin, menanamkan rasa persamaan, menanamkan kesadaran bahwa kemiskinan bukan merupakan takdir, melibatkan masyarakat miskin secara penuh, perlunya pembangunan sosial dan budaya bagi masyarakat miskin dan, distribusi infrastruktur pembangunan yang lebih merata.

Adapun kerangka pikir dalam proses pemberdayaan bertujuan menciptakan suasana dan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat

berkembang, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat, peningkatan akses terhadap sumber-sumber kemajuan, melindungi atau mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, menciptakan keadilan, serta menciptakan kebersamaan dan kemitraan antara yang sudah maju dan yang belum berkembang. Proses pemberdayan dapat dilakukan melalui media kelompok yang merupakan sarana pembelajaran, tukar menukar informasi, pengetahuan dan sikap.

2.4. Pengembangan Kapasitas Kelembagaan

Pengembangan kapasitas merupakan suatu pendekatan pembangunan di mana semua orang memiliki hak yang sama terhadap sumber daya, dan menjadi perencana pembangunan bagi diri mereka sendiri (Eade yang dikutip oleh Tonny dan Utomo, 2004:67). Sementara itu menurut Maskun, pengembangan kapasitas masyarakat merupakan suatu pendekatan pembangunan yang berbasis pada kekuatan-kekuatan dari bawah secara nyata (Tonny dan Utomo, 2004:68). Kekuatan -kekuatan tersebut adalah kekuatan sumber daya alam, sumber daya ekonomi dan sumber daya manusia sehingga menjadi local capacity. Kapa sitas lokal yang dimaksud adalah kapasitas pemerintah daerah, kapasitas kelembagaan swasta dan kapasitas masyarakat desa terutama dalam bentuk peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam menghadapi tantangan pengembangan potensi alam dan ekonomi setempat.

Pengembangan kapasitas kelembagaan adalah upaya untuk mengubah kemampuan, peran dan peranan kelembagaan menjadi lebih baik dari pada keadaan sekarang (Purwaka, 2003:53). Sementara itu pendapat lain mengatakan bahwa pengembangan kapasitas kelembagaan adalah proses memperbaiki kemampuan lembaga guna mengefektifkan penggunaan sumber daya manusia dengan keuangan yang tersedia (Israel, 1992:13). Brinkerhoff sebagaimana dikutip oleh Israel (1992:14) mengemukakan bahwa pengembangan kelembagaan adalah prose s menciptakan pola baru kegiatan dan perilaku yang bertahan dari waktu ke waktu karena didukung oleh norma standar dan nilai-nilai dari dalam. Dengan demikian pengembangan kapasitas kelembagaan merupakan upaya atau proses untuk mengubah/memperbaiki

kemamp uan lembaga dengan cara mengefektifkan penggunaan sumber daya manusia dan keuangan yang tersedia, dan menciptakan pola baru kegiatan dan perilaku.

Selanjutnya Israel (1992:14) mengatakan bahwa pengembangan kapasitas kelembagaan meliputi sistem manajemen, struktur dan perubahan organisasi, kebijaksanaan pengaturan staf dan personalia, pelatihan staf, manajemen keuangan dan perencanaan, penyusunan anggaran, akunting, auditing, perawatan dan pengadaan sarana dan fasilitas kelompok.

Menurut Setiabudi (2002:7), ada enam fitur utama dari kelompok/institusi masyarakat yang sehat, kuat dan mandiri, yaitu: (1) adanya visi/misi/harapan/tujuan kelompok; (2) adanya sistem manajemen kelompok; (3) adanya sistem manajemen keuangan kelompok; (4) adanya norma akuntabilitas kelompok; (5) adanya linkage/jaringan; dan (6) adanya upaya pembelajaran dan evaluasi.

Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan kapasitas kelembagaan/kelompok meliputi: (1) tujuan dan harapan kelompok, (2) struktur kelompok, (3) manajemen kelompok, (4) manajemen keuangan, (5) norma kelompok, (6) pembelajaran, (7) jaringan, dan (8) pengadaan sarana/fasilitas kelompok.

Pengembangan kapasitas kelembagaan kelompok merupakan salah satu bentuk pemberdayaan melalui media kelompok, karena di dalamnya terdapat aspek pembelajaran dalam rangka meningkatkan kemampuan SDM anggotanya. Di samping itu, pemberdayaan pada umumnya dilakukan secara kolektif (Parson et al yang dikutip oleh Suharto, 2005:68).

2.6. Kelompok Swadaya Masyarakat

KSM adalah kelompok yang terbentuk karena adanya program P2KP (yang mensyaratkan menjadi anggota KSM bagi anggota masyarakat yang ingin memperoleh pinjaman modal). KSM terdiri atas anggota masyarakat yang memiliki usaha ekonomi produktif. Pembentukan KSM dapat didasarkan atas kesamaan dalam hal tujuan ekonomi, domisili, tujuan sosial dan tujuan pembelajaran. Tujuan pembentukan KSM adalah: (1) memudahkan tumbuh

kembangnya ikatan -ikatan dan solidaritas sosial serta semangat kebersamaan antar masyarakat; (2) mendorong warga masyarakat agar lebih dinamis dalam mengembangkan kegiatan, nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan; (3) mendorong agar proses pemberdayaan berjalan lebih efektif dan efisien; (4) mendukung terjadinya proses saling asah dan saling asuh antar sesama anggota; (5) terjadinya konsolidasi kekuatan bersama antar yang lemah maupun antar yang kuat dan yang lemah di suatu KSM; (6) mengembangkan dan melembagakan tanggung renteng, membangun jaminan karakter antar anggota, wadah proses belajar/interaksi antar anggota, menggerakkan keswadayaan dan modal, meningkatkan dan menertibkan angsuran pinjaman, menguatkan dan mengembangkan usaha anggota dan sebagainya (tanpa nama, 2004:46).

KSM dituntut untuk mempunyai kemampuan administratif, baik internal maupun eksternal. Kemampuan internal administratif berkaitan dengan penggunaan sumber daya manusia, sarana dan teknologi yang diperlukan guna melaksanakan fungsi kelembagaannya. Sedangkan kemampuan administratif eksternal meliputi proses kegiatan dan hubungan dengan lembaga dan kelompok lain di luar administratif suatu lembaga, terutama untuk memperoleh bantuan pengetahuan dan ketrampilan teknis yang diperlukan bagi pengembangan kemandiriannya (Supriatna, 1997:126).

Upaya untuk memperbaiki KSM didasarkan pada empat asumsi dasar, yaitu: (1) produktivitas pengambilan keputusan yang tidak tersentralisir, (2) program yang terencana dengan memperluas partisipasi, (3) program yang dapat diajarkan dan dimanfaatkan bagi peningkatan kualitas kelompok, dan (4) pengembangan potensi kepemimpinan kelompok yang dapat menularkan pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman. Yang menjadi kunci pokok proses pengembangan dan pendidikan ketrampilan KSM, agar mereka mampu mengidentifikasi masalah, proses pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan penentuan perencanaan program, sumber dana dan daya maupun pelaksanaan programnya (Zaltman dan Duncan yang dikutip oleh Supriatna, 1997:126).

Agen perubahan atau fasilitator sangat dibutuhkan bagi penumbuhan kemampuan administratif kelompok masyarakat dari segi pengembangan pengetahuan dan ketrampilan bagi proses penyusunan program dan pelaksanaannya. Disamping itu fasilitator atau agen perubahan dapat berfungsi untuk mempercepat pelaksanaan otonomi dan kemampuan administratif kelompok masyarakat (Supriatna, 1997:127). Bantuan pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman dari para konsultan selaku fasilitator pendidikan masyarakat dapat bersumber dari pemerintah, pekerja sosial, penyuluh lapangan kesehatan, penyuluh pertanian, pendidik/guru, atau LSM dan Perguruan Tinggi.

Kelompok yang disiapkan dan diberdayakan dengan baik akan berfungsi sebagai wahana proses belajar mengajar anggota, wahana untuk menajamkan masalah bersama yang dihadapi, wahana pengambilan keputusan untuk menentukan strategi menghadapi masalah bersama, dan wahana memobilisasi sumber daya para anggota. Untuk mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi, kelompok harus terus menerus didorong untuk meningkatkan pendapatan, keterbukaan wawasan, aktif bekerja sama dan meningkatkan sikap demokratis-partisipatif dalam penyelenggaraan kelompok. Upaya peningkatan pendapatan ditandai dengan seringnya penyelenggaraan pemupukan modal, tabungan, serta usaha produktif anggota. Keterbukaan ditandai oleh kesediaan anggota kelompok untuk menerima gagasan dan kelembagaan baru. Kegotongroyongan ditandai dengan adanya upaya pemberian bantuan dari keluarga yang sudah sejahtera kepada keluarga yang belum sejahtera. Sementara demokrasi ditandai oleh kepemimpinan kelompok yang dipilih dari dan oleh anggota serta pengambilan keputusan yang dilakukan secara musyawarah (Supriatna, 1997:129).

Koentjaraningrat sebagaimana dikutio oleh Soekanto (2003:137) menyatakan bahwa suatu kelompok sekurang-kurangnya mempunyai enam unsur, yaitu: (1) sistem norma yang mengatur tingkah laku, (2) rasa kepribadian kelompok yang disadari semua anggotanya, (3) interaksi yang intensif antara warga kelompok, (4) sistem hak dan kewajiban yang mengatur interaksi antar anggota kelompok, (5) adanya pemimpin yang mengatur kegiatan kelompok,

dan (6) sistem hak dan kewajiban terhadap harta produktif, harta konsumtif atau harta pusaka tertentu.

Dalam kelompok terjadi fenomena yang dinamakan dengan dinamika kelompok. Menurut Rivas dan Toseland (2001:70), ada empat dimensi dalam dinamika kelompok, yaitu pola interaksi dan komunikasi, kohesifitas, mekanisme kontrol (norma, aturan dan status), dan budaya kelompok. Menurut Northen sebagaimana dikuti p oleh Rivas dan Toseland (2001:70), interaksi sosial adalah sebuah istilah untuk menandai dinamika kelompok yang saling mempengaruhi dimana kontak/hubungan antara individu mewujud dalam sikap, perilaku dan partisapasi. Ada dua komponen interaksi sosial, yaitu komunikasi verbal dan non verbal.

Kohesi kelompok adalah semua kekuatan anggota yang ada dalam kelompok. Sebuah kelompok yang kohesif ditandai oleh beberapa hal, yaitu memuaskan kebutuhan anggota untuk berafiliasi, mengenali kebutuhan anggota, mempromosikan kemampuan anggota, meningkatkan perasaan memiliki terhadap kelompok, anggota kelompok tertarik pada kelompok ketika anggota merasa partisipasinya dihargai dan merasa disukai, dan menjaga perasaan aman. Kelompok akan lebih kohesif jika dapat memberikan perasaan aman pada anggotanya. Schachter sebagaimana dikuti oleh Rivas dan Toseland (2001:79) mengatakan bahwa ketakutan dan keterasingan meningkatkan kebutuhan seseorang untuk berafiliasi.

Sosial kontrol adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses dimana sebuah kelompok sebagai sebuah satu kesatuan yang bertujuan memenuhi harapan-harapan dari para anggota untuk mampu meraih tujuan. Kontrol sosial terdiri dari beberapa faktor yang saling berinteraksi, termasuk norma yang berkembang dalam kelompok dan aturan serta status individu sebagai anggota kelompok. Tanpa ada keteraturan yang pasti, interaksi kelompok akan menjadi kacau dan tidak terprediksi, dan kelompok tidak akan berfungsi secara efektif. Keteraturan sosial dan stabilitas dan adalah prasyarat untuk pembentukan dan penjagaan sebuah kelompok yang kohesif. Kontrol sosial dapat digunakan untuk menjaga kelompok dari anggota kelompok yang menyimpang. Kontrol sosial yang terlalu ketat dapat

mengurangi kohesifitas kelompok dan menimbulkan konflik kelompok dan ketidakpuasan anggota. Kontrol sosial terdiri atas norma, peran, status. (Toseland dan Rivas, 2001:82)

Norma adalah harapan dan kepercayaan yang mengendalikan perilaku anggota dalam kelompok. Norma mengacu pada perilaku anggota secara khusus dan perilaku tersebut dapat diterima di kelompoknya. Norma menstabilisasi dan mengatur perilaku anggota dalam kelompok. Dengan menyediakan petunjuk untuk perilaku yang diterima, norma akan meningkatkan stabilitas dan memprediksi serta membuat rasa aman bagi anggotanya. Selain itu norma juga akan menolong untuk memudahkan mengorganisasi dan mengkoordinasi perilaku untuk mencapai tujuan (Toseland dan Rivas, 2001:83).

Peran merupakan hal yang penting mempengaruhi anggota kelompok. Peran sangat erat hubungannya dengan norma. Norma adalah harapan yang ada pada kelompok, sementara peran adalah fungsi individu dalam kelompok. Tidak seperti norma yang mendefinisikan perilaku pada situasi tertentu, peran mendefinisikan perilaku berkaitan dengan tugas-tugas khusus yang ada dalam kelompok sebagai anggota. Peran mewujud dalam keterlibatan anggota dalam kelompok tersebut. Peran penting dalam sebuah kelompok karena mengantarkan individu masuk dalam divisi kerja dan menggunakan tenaganya (Toseland dan Rivas, 2001:84)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa KSM dituntut untuk mempunyai kemampuan administratif, baik internal ma upun eksternal. Adapun upaya untuk memperbaiki KSM didasarkan pada empat asumsi dasar, yaitu dalam hal pengambilan keputusan, memperluas partisipasi, peningkatan kualitas kelompok, dan pengembangan potensi kepemimpinan kelompok. Hal tersebut dapat dilakukan dengan bantuan fasilitator/agen perubahan. Untuk mencapai kemajuan, kelompok harus terus menerus didorong untuk meningkatkan pendapatan, keterbukaan wawasan, aktif bekerja sama dan meningkatkan sikap demokratis-partisipatif dalam penyelenggaraan kelompok.

Di dalam kelompok terdapat enam unsur, yaitu sistem norma, rasa kepribadian kelompok, interaksi yang intensif, sistem hak dan kewajiban yang mengatur interaksi antar anggota kelompok dan harta kelompok, dan adanya pemimpin yang mengatur kegiatan kelompok. Dalam kelompok terdapat dinamika kelompok yang terdiri yang terdiri atas empat dimensi, yaitu pola interaksi dan komunikasi, kohesifitas, mekanisme kontrol (norma, aturan dan status), dan budaya kelompok.

2.7. Kerangka Kerja Pengembangan Kapasitas Kelembagaan KS M

Berdasarkan Praktek Lapangan I, kemiskinan merupakan permasalahan utama yang ada di Desa Wonokromo, di mana sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai buruh dengan pendapatan yang rendah dan tidak tetap. Sudah banyak program pemerintah yang ada di desa ini, seperti KUT (Kredit Usaha Tani), P2KP (Proyek Penanggulangan K emiskinan Perkotaan) dan sebagainya. Namun demikian, masalah kemiskinan di desa tersebut belum juga teratasi.

Kemiskinan dapat dipandang dari dua perspektif, yaitu struktural dan kultural. Dari perspektif kultural, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya sumber daya manusia, etos kerja, kepercayaan diri, ketergantungan, semangat berkelompok dan sebagainya. Sehingga untuk mengatasi kemiskinan dapat dilakukan dengan meningkatkan sumber daya manusia dan etos kerja, meningkatkan kepercayaan diri dan menciptakan kemandirian serta mengembangkankan kapasitas kelompok yang ada. Perspektif struktural memandang bahwa kemiskinan antara lain disebabkan oleh kebijakan pembangunan yang belum berpihak kepada masyarakat miskin, kurangnya akses masyarakat miskin terhadap sumber -sumber perekonomian dan sebagainya. Dengan demikian untuk mengatasi kemiskinan antara lain dapat dilakukan dengan meningkatkan keberpihakan kebijakan pembangunan pada masyarakat miskin,dan memperbesar akses masyarakat miskin terhadap sumber-sumber perekonomian.

Program P2KP merupakan suatu proyek pemerintah yang berupaya mengatasi masalah kemiskinan, yaitu dengan memberikan BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) yang diserahkan kepada desa/kalurahan untuk dikelola

oleh BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat). Dana BLM di Desa Wonokromo sebagian kecil digunakan untuk pengerasan jalan dan sisanya dipergunakan untuk memberikan pinjaman kepada kelompok usaha ekonomi produktif yang sebut dengan Kelompok Swadaya Masyarakat. KSM dibentuk karena ada sekelompok orang yang memiliki usaha produktif atau baru memulai usaha dan ingin memperoleh pinjaman melalui P2KP (Laporan Praktek Lapangan II, 2005)

Secara konseptual, tujuan pembentukan KSM ada lah untuk: (1) memudahkan tumbuh kembangnya ikatan-ikatan dan solidaritas sosial serta semangat kebersamaan antar masyarakat; (2) mendorong warga masyarakat agar lebih dinamis dalam mengembangkan kegiatan, nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan; (3) mendorong agar proses pemberdayaan berjalan lebih efektif dan efisien; (4) mendukung terjadinya proses saling asah dan saling asuh antar sesama anggota; (5) terjadinya konsolidasi kekuatan bersama antar yang lemah maupun antar yang kuat dan yang lemah di suatu KSM; (6) mengembangkan dan melembagakan tanggung renteng, membangun jaminan karakter antar anggota, wadah proses belajar/interaksi antar anggota, menggerakkan keswadayaan dan modal, meningkatkan dan menertibkan angsuran pinjaman, menguatkan dan mengembangkan usah a anggota (tanpa nama, 2004:24).

Pada kenyataannya, tujuan-tujuan pembentukan KSM tersebut belum semuanya dapat tercapai, dan banyak KSM yang belum berfungsi secara optimal. Untuk mengetahui mengapa hal tersebut terjadi, perlu dilakukan ka jian secara mendalam terlebih dulu terhadap KSM yang ada. Kajian tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana kondisi dan kapasitas kelembagaan KSM yang ada di Desa Wonokromo sekarang ini. KSM terdiri atas para pelaku di sektor perdagangan, usaha kecil dan mikro di Desa Wonokromo. Bila sektor- sektor usaha tersebut dapat berkembang, diharapkan dapat ikut mengatasi masalah kemiskinan yang ada di desa tersebut. Logikanya, bila usaha dapat berkembang, pendapatan anggota kelompok akan meningkat sekaligus akan dapat menyerap tenaga kerja yang ada dan mampu mengeluarkan mereka dari

Dokumen terkait