IKAN PATIN SIAM (Pangasionodon hypophthalmus)
ABSTRAK
Penggunaan metode elektroporasi dengan menggunakan sperma sebagai perantara transfer gen asing untuk memproduksi ikan transgenik telah dibuktikan keberhasilannya. Tujuan penelitian yang dilakukan adalah mendapatkan kondisi elektroporasi yang optimal pada sperma ikan patin siam (Pangasionodon hypophthalmus). Penelitian dilakukan di Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar di Sukamandi dan Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik di Institut Pertanian Bogor. Plasmid yang mengandung gen EGFP (enhanced green fluorescent protein) yang disambungkan dengan promoter -aktin ikan mas ditransfer ke dalam sperma menggunakan metode elektroporasi untuk memproduksi ikan patin siam transgenik. Elektroporasi dilakukan menggunakan tipe kejutan square wave dengan lama kejutan (pulse length) 30 milidetik dan interval kejutan (pulse interval) 0,1 detik. Perlakuan berupa kombinasi antara kuat medan listrik (125, 187,5 dan 250 V/cm) dan jumlah kejutan listrik (1 dan 3). Konsentrasi DNA plasmid adalah 10 µg/ml TE. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan kuat medan listrik dari 125 sampai 250 V/cm menurunkan motilitas sperma, adapun jumlah kejutan tidak mempengaruhi motilitas sperma. Motilitas sperma yang dikejut pada 125 V/cm lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya walaupun kelangsungan hidup sperma relatif sama antar perlakuan dan kontrol kecuali pada sperma yang dilektroporasi pada 250 V/cm dengan jumlah kejutan 3 kali. Sperma yang dielektroporasi masih memiliki kemampuan untuk membuahi sel telur. Derajat penetasan tertinggi berasal dari telur yang dibuahi sperma yang dielektroporasi pada 125 V/cm dengan jumlah kejutan 1 dan 3 kali. Keberadaan gen EGFP dideteksi pada sperma yang dielektroporasi maupun pada sperma yang hanya diinkubasi (kontrol). Namun, pada fase larva gen EGFP hanya dapat dideteksi pada larva yang berasal dari telur yang difertilisasi sperma yang dielektroporasi. Oleh karena itu, elektroporasi dapat digunakan untuk memproduksi ikan patin transgenik. Ekspresi gen EGFP dimulai pada fase 2-8 sel dan mencapai puncaknya pada fase neurula.
OPTIMALIZATION ELECTROPORATION METHODS
ON STRIPPED CATFISH (Pangasiondon hypohthalmus) SPERM
AS A CARRIER FOR GENE TRANSFER
ABSTRACTThe success of transgenic fish production has been proven through eggs fertilization using the electroporated sperms carrying exogenous DNA. This study was conducted in order to obtain the optimal electroporation condition for stripped catfish (Pangasionodon hypophthalmus) sperm. The research was done at Research Institute for Freshwater Fish Breeding and Aquaculture, Sukamandi and Reproduction and Genetic of Aquatic Organism Laboratory, Bogor Agricultural University. Plasmid containing enhanced green fluorescent protein (EGFP) gene driven by carp -actin promoter was transferred into sperm using electroporation method towards transgenic stripped catfish production. Electroporation was carried out using square wave shock with pulse length of 30 ms and pulse interval of 0.1 s. Treatments are combination between electric field strengths (125; 187,5 and 250 V/cm) and pulse number (1 and 3). Exogenous DNA concentration was 10 µg/ml of Tris-EDTA. Results showed that increasing of electric field strength from 125 to 250 V/cm decreased sperm motility, while pulse number did not affect sperm motility. Electric field strength of 125 V/cm gave the best motility of sperm, although sperm viability relatively similar between treatments and control except at 250 V/cm with 3 pulses number. Further, electroporation treated sperm were able to fertilize eggs. Higher hatching rate of eggs was obtained in electroporation treatment at 125 V/cm with pulse number of 1 and 3. The persistence of transferred EGFP was detected in electroporated and incubated sperms (control). However, EGFP was only detected in larvae from eggs that fertilized by electroporated sperm. Thus, electroporation could be applied to produce transgenic stripped catfish. EGFP expression was started at 2-8 cells stage, and peak expression was achieved at neurula stage. Keywords: electroporation, sperm, Pangasionodon hypophthalmus
PENDAHULUAN
Pada saat ini, tersedia beberapa teknik transfer gen untuk memproduksi ikan transgenik, termasuk mikroinjeksi DNA ke dalam nukleus telur yang telah dibuahi (Ozato et al. 1986), elektroporasi pada telur dan sperma (Inoue et al. 1990; Lu et al. 2002), lipofeksi gonad (Lu et al. 2002), retroviral vector (Lin et al. 1994) dan particle gun bombardment (Yazawa et al. 2005). Di antara teknik- teknik ini, mikroinjeksi merupakan teknik yang paling banyak dipakai dan
memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk memproduksi ikan transgenik. Namun demikian, teknik mikroinjeksi membutuhkan keterampilan yang tinggi dan keberhasilannya ditentukan oleh karakteristik telur seperti ukurannya yang kecil, korion yang keras, mudah pecah, buram, dan sebagainya (Lanes et al. 2009). Produksi hewan transgenik melalui mikroinjeksi relatif mahal dengan tingkat keberhasilan 1-4% (Anzar & Buhr 2006).
Spermatozoa dapat berperan sebagai “carrier” DNA eksogen, karena memiliki kemampuan alami untuk mentransfer DNA eksogen ke dalam oosit dan memproduksi benih transgenik (Anzar & Buhr 2006). Brackett et al. (1971) pertama kali mendemonstrasikan bahwa sperma kelinci mampu mengikat DNA eksogen yang ada dalam larutan, dan DNA ini terlokalisasi dalam kepala sperma. Hampir dua dekade berikutnya, Arezzo (1989) dan Lavitrano et al. (1989) membuktikan bahwa sel spermatozoa bulu babi dan tikus dapat digunakan sebagai vektor untuk transfer gen. Menurut Sin et al. (2000), sperm-mediated gene transfer (SMGT) merupakan metode yang ideal untuk transfer gen secara massal pada organisme yang fertilisasinya eksternal seperti pada ikan salmon. SMGT dapat berguna untuk transgenesis pada spesies yang memiliki fekunditas yang tinggi, ukuran telur yang kecil dan dapat diakses dengan mudah pada spermatozoa (Lanes et al. 2009).
SMGT efisien dalam memproduksi babi transgenik yang mengandung human decay accelerating factor (hDAF) dengan tingkat transkripsi 64% pada jaringan yang diuji. Teknik ini lebih sederhana dibandingkan mikroinjeksi pada zigot dan membuka kesempatan untuk melakukan transgenesis pada skala massal. Beberapa laporan penelitian menyebutkan bahwa spermatozoa tikus, ayam, kerbau, dan manusia mampu mengikat DNA eksogen. Walaupun hewan transgenik dari berbagai spesies telah berhasil diproduksi, efisiensi transfer DNA dengan perantara sperma masih dipertanyakan, terutama disebabkan tingkat pengikatan DNA eksogen yang rendah oleh spermatozoa, sehingga menurunkan kesempatan fertilisasi oosit oleh spermatozoa yang tertransfeksi (disarikan dari Anzar & Buhr 2006).
Berdasarkan beberapa hasil penelitian pada ikan, SMGT yang baik hanya ditemukan pada sperma yang dielektroporasi, seperti pada nila (Oreochromis
niloticus), zebra (Danio rerio), salmon (Oncorhynchus tshawytscha), koan (Ctenopharyngodon idellus) dan silver red sea bream (Sparus sarba) (disarikan dari Lanes et al. 2009). Menurut Inoue et al. (1990), dibandingkan dengan mikroinjeksi, elektroporasi merupakan teknik yang lebih mudah dalam pengerjaannya karena elektroporasi pada telur hasil fertilisasi dapat memproduksi 10 sampai 100 kali lipat dibandingkan mikroinjeksi (Powers et al. 1992). Namun demikian, efisiensi transfer gen masih belum cukup mampu untuk menangani sejumlah besar telur hasil pemijahan dalam waktu yang sangat singkat pada spesies akuakultur.
Aplikasi elektroporasi dengan perantara sperma pada ikan memiliki beberapa keuntungan antara lain yaitu: (1) Teknik ini merupakan teknik transfer gen secara massal, (2) Teknik ini mampu mengatasi beberapa kekurangan sistem transfer gen konvensial yang disebabkan karakter telur seperti warna yang kabur/buram, menempel, melayang, pronuklei yang tidak tampak, dan korion yang keras, (3) DNA asing harus ditransfer ke dalam nukleus, jika telur hasil fertilisasi dielektroporasi dengan DNA asing, fragmen DNA memiliki kesempatan yang lebih besar untuk ditransfer ke dalam beberapa tempat selain blastodisk karena volumenya sangat kecil dalam telur hasil fertilisasi, (4) Sperma ikan mudah ditangani karena penambahan air secara sederhana mampu untuk mengaktifkan sperma, (5) Sperma dari hewan akuatik dapat di-kriopreservasi sehingga sperma dapat selalu tersedia untuk digunakan. Oleh karena itu, sperma ikan dapat digunakan sebagai vektor untuk mengintroduksi DNA asing untuk memproduksi ikan transgenik (Tsai 2000).
Keberhasilan transfer gen ke dalam organisme akuatik telah dibuktikan melalui elektroporasi sperma menggunakan DNA eksogen sebelum fertilisasi. Efisiensi transfer DNA pada telur ikan ayu (Plecoglossus altivelis) melalui metode elektroporasi dengan perantara sperma adalah 55% ( Cheng et al. 2002), lebih baik dibandingkan loach sebesar 50% (Tsai et al. 1995), tetapi lebih rendah dibandingkan ikan zebra sebesar 80% (Powers et al. 1992). Pada penelitian ini akan dilakukan introduksi gen yang tersusun dari promoter β-aktin ikan mas (pCcBA) yang disambungkan dengan gen enhanced green fluorescent protein (EGFP) dengan menggunakan teknik elektroporasi pada sperma ikan patin siam
(Pangasionodon hypophthalmus). Untuk mendapatkan efisiensi transfer gen yang tinggi, pada penelitian ini diuji kombinasi tingkat kuat medan listrik (electric field strength) dan jumlah kejutan listrik (pulse number) pada sperma ikan patin siam. Diharapkan, gen EGFP yang ditransfer mampu terinsersi dan terekspresi pada ikan patin siam.
BAHAN DAN METODE
Koleksi Gamet
Induk jantan dan betina yang digunakan adalah induk ikan patin siam berukuran 2 - 4 kg yang diperoleh dari Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar Sukamandi. Induk diseleksi berdasarkan tingkat kematangan gonadnya. Induk yang telah mencapai TKG III dipilih untuk dipijahkan. Induk hasil seleksi dari kolam induk dipindahkan ke dalam bak pemijahan.
Keseragaman kematangan telur dan ovulasi diinduksi melalui penyuntikan hormon. Induk betina diberi suntikan pertama berupa HCG dengan dosis 500 IU/kg bobot. Suntikan kedua diberikan dengan selang waktu 24 jam berupa ovaprim dengan dosis 0,6 ml/kg bobot. Striping untuk mendapatkan sel telur dilakukan 9 - 12 jam dari penyuntikan kedua.
Induk jantan diinduksi melalui penyuntikan ovaprim dengan dosis 0,2 – 0,3 ml/kg bobot. Striping untuk mendapatkan sperma dilakukan 9 - 12 jam setelah penyuntikan.
Konstruksi Plasmid
Konstruksi gen pCcBA-EGFP (Hidayani 2009) yang digunakan tersusun dari promoter β-aktin ikan mas (pCcBA) dan gen enhanced green fluorescent protein (EGFP) dimodifikasi dari vektor ekspresi pEGFP-NI (Clontech). Vektor pEGFP-N1 (panjang 4,7 kb) dipotong (digesti) menggunakan enzim restriksi Kpn I dan Apa I sebelum disambungkan (diligasi) dengan sekuens promoter pCcBA (panjang 1,9 kb). Proses digesti dilakukan dengan melarutkan 5 µl pEGFP-N1, 2,5
µl 10xK buffer, 5µl BSA, 1 µl enzim Kpn I, 1 µl enzim Apa I dan 35,5 µl SDW. Reaksi digesti diinkubasi selama satu jam pada suhu 37ºC.
Proses ligasi (penyambungan) dilakukan dengan mencampurkan 1 µl pCcBA, 6,5 µl 2x buffer ligasi, 1 µl enzim T4 DNA ligase dan 4,5 µl plasmid pEGFP-NI yang telah dipotong. Inkubasi dilakukan selama dua jam pada suhu ruang dan dilanjutkan semalam di dalam refrigerator (suhu sekitar 4°C). Peta konstruksi gen pCcBA-EGFP (6,0 kb) dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Peta konstruksi gen pCcBA-EGFP (6,0 kb). pCcBA= promoter β- aktin ikan mas. EGFP= enhanced green fluorescent protein. PolyA= poliadenilasi. KpnI, ApaI, AgeI, NotI= enzim restriksi.
Elektroporasi Sperma
Elektroporasi sperma dilakukan dengan menggunakan mesin Gene Pulser II (Biorad, USA). Sperma diencerkan dengan menggunakan larutan fisiologis (1 : 7) sebelum dicampur dengan plasmid. Untuk mendapatkan kondisi elektroporasi yang optimal maka dilakukan penelitian pendahuluan untuk mendapatkan kisaran kuat medan listrik yang mendukung motilitas dan kelangsungan hidup spermatozoa yang tinggi sehingga tetap memiliki kemampuan untuk membuahi sel telur. Kisaran kuat medan listrik yang digunakan yaitu antara 250 – 1250 V/cm. Berdasarkan hasil pada penelitian pendahuluan tersebut, diketahui bahwa kejutan listrik dengan menggunakan 250 V/cm menunjukkan nilai motilitas dan kelangsungan hidup sperma yang terbaik (Tabel 2). Pengujian lebih lanjut dilakukan untuk mendapatkan kombinasi kuat medan listrik dan jumlah kejutan listrik yang optimal sehingga didapatkan nilai motilitas spermatozoa dan ketahanan hidup spermatozoa yang tinggi serta larva yang membawa DNA eksogen. Kuat medan listrik yang diujikan adalah 125; 187,5 dan 250 V/cm
pCcBA
pCcBA-EGFP (6,0 kb)
EGFP
Poly A
dengan jumlah kejutan listrik 1 dan 3 kali. Elektroporasi dilakukan dengan tipe kejutan square wave dengan panjang kejutan (pulse length) 30 milidetik dan interval kejutan (pulse interval) 0,1 detik. Konsentrasi DNA plasmid yang digunakan adalah 10 µg/ml dalam TE.
Motilitas dan Kelangsungan Hidup Spermatozoa
Kualitas sperma hasil elektroporasi diukur dengan menentukan derajat motilitasnya. Satu tetes sperma diteteskan dengan menggunakan mikropipet di atas gelas objek kemudian ditutup dengan gelas penutup. Pada tepi gelas penutup diteteskan akuades lalu dilihat pergerakan spermatozoa setelah terkena air di bawah mikroskop dengan perbesaran 10x40. Penilaian motilitas didasarkan pada kriteria banyaknya sperma yang bergerak maju (progresif) dengan skor seperti ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria penilaian motilitas spermatozoa
Kriteria Skor
>70% spermatozoa bergerak cepat dengan arah maju dengan pergerakan ekor bervariasi
5,0 55-70% spermatozoa bergerak maju dan beberapa menunjukkan
gerakan cepat
4,0 40-55% spermatozoa bergerak maju dan beberapa menunjukkan
gerakan cepat
3,0 25-40% spermatozoa menunjukkan gerakan arah maju 2,0 10-25% spermatozoa menunjukkan gerakan arah maju 1,0 1-10% spermatozoa bergerak maju, kebanyakan spermatozoa tidak
bergerak
0,5
semua spermatozoa tidak bergerak 0,0
Kuantitas sperma yang hidup setelah elektroporasi diamati melalui pewarnaan eosin. Sperma diteteskan di atas gelas objek dan ditambahkan eosin 2%, kemudian dicampur secara merata dan dibuat preparat ulas yang tipis. Preparat ulas dibiarkan kering udara kemudian dibilas dengan akuades. Preparat diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 10x40 dengan 3 bidang pandang. Spermatozoa yang hidup ditandai dengan kepala sperma yang berwarna merah muda dan berbentuk bulat, sedangkan kepala sperma yang mati berwarna hitam dan berbentuk tidak beraturan (Gambar 9).
Gambar 9. Spermatozoa ikan patin siam. a = spermatozoa hidup, b = spermatozoa mati
Deteksi Gen EGFP pada Sperma dan Larva Ikan Patin Siam
Ekstraksi DNA. Pada sampel sperma, sebelum dilakukan ekstraksi DNA, sampel sperma dicuci untuk membuang sisa plasmid pada media elektroporasi. Adapun untuk larva, tidak perlu dilakukan pencucian terlebih dahulu. Sperma hasil elektroporasi dicuci dengan cara menambahkan larutan fisiologis dan disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 1 menit. Supernatan yang terbentuk dibuang, pelet sperma diresuspensi dengan menggunakan 20 µl larutan fisiologis. Proses pencucian pelet sperma diulang sebanyak tiga kali.
Sampel sperma atau larva dimasukkan ke dalam tabung mikro, ditambahkan β00 μl cell lysis solution (Puregene, Minneapolis, USA), β μl Proteinase K (20 mg/ml) dan selanjutnya dihomogenasi menggunakan vorteks. Inkubasi dilakukan pada suhu 55°C selama semalam (overnight). RNase sebanyak β μl (4 mg/ml) ditambahkan ke dalam larutan dan diaduk dengan hati-hati dengan cara membolik-balik tabung mikro. Larutan diinkubasi pada suhu 37°C selama 60 menit dan disimpan dalam suhu 4°C selama 5 menit. Sebanyak β00 μl protein precipitation solution (Puregene, Minneapolis, USA) ditambahkan ke dalam larutan, diaduk perlahan, dan selanjutnya disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 10 menit. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung mikro berisi
isopropanol, lalu tabung mikro dibolak-balik sebanyak 50x dengan hati-hati dan disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 - 15 menit. Supernatan dibuang dan ditambahkan γ00 μl Etanol 70% dingin. Sentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit, supernatan dibuang dan pelet DNA dikering-udarakan. Steril destillated water (SDW) sebanyak 50 μl digunakan untuk melarutkan DNA. Larutan DNA dapat disimpan dalam freezer (suhu -20°C) hingga akan digunakan dalam proses selanjutnya.
Polymerase chain reaction. Keberadaan DNA eksogen (EGFP) di dalam sperma dan larva diamati dengan metode PCR. PCR dilakukan dengan menggunakan primer GFPr (5’-ACG AAC TCC AGC AGG ACC AT-3’) dan GFPf (5’-GGT CGA GCT GGA CGG CGA CG-3’). PCR dilakukan dengan program: 94°C selama 3 menit; (94°C selama 30 detik; 62°C selama 30 detik; 72°C selama 1 menit) sebanyak 35 siklus; 72°C selama 3 menit; dan 4°C (tak hingga). Pengecekan hasil amplifikasi PCR dilakukan dengan elektroforesis menggunakan gel agarosa 0,7%. Produk amplifikasi gen EGFP berada pada ukuran sekitar 600 bp.
Ekspresi Gen EGFP pada Embrio dan Larva Ikan Patin Siam
Ekstraksi RNA. RNA total diisolasi dari 50 butir embrio atau larva. Sampel disimpan dalam botol sampel yang telah berisi isogen sebanyak 200 µl. Sampel dihancurkan oleh penggerus yang sebelumnya telah disterilkan dengan DEPC 1%. Ke dalam Eppendorf ditambahkan larutan isogen sampai mencapai volume akhir 800 µl. Chloroform p.a. sebanyak 200 µl ditambahkan ke dalam Eppendorf dan larutan disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama lima menit pada suhu ruang. Supernatan yang terbentuk dipindahkan ke dalam Eppendorf baru yang telah berisi 400 µl isopropanol. Larutan disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit pada suhu 4°C. Pada Eppendorf akan terbentuk pelet RNA, dan cairan yang terdapat pada Eppendorf dibuang. Ke dalam Eppendorf ditambahkan 1 ml alkohol 70% (dingin) kemudian sentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit. Pelet RNA dikeringkan dengan cara membuang larutan yang terdapat pada Eppendorf. Sampel RNA disimpan dengan cara menambahkan 30 µl DEPC 1%. Konsentrasi RNA total hasil isolasi
diukur menggunakan alat pengukur konsentrasi RNA/DNA (GeneQuant). Absorbansi diukur pada panjang gelombang 260 dan 280 nm.
Sintesis cDNA. Sintesis complementary DNA (cDNA) menggunakan kit Ready-To-Go You-Prime First Strand Beads (Amersham pharmacia biotech, USA). Konsentrasi RNA dibuat γ μg dalam γ0 μl DEPC. Larutan RNA diinkubasi pada suhu 65°C selama 10 menit dan kemudian disimpan di atas es. Sampel RNA dipindahkan ke dalam tube FSRMB (First strand reaction mix beads) dan ditambahkan γ μl primer ’dTγ’RACE-VECT” (5’-GTA ATA CGA ATA ACT ATA GGG CAC GCG TGG TCG ACG GCC CGG GCT GGT TTT TTT TTT TTT TTT T-3’) dengan konsentrasi 1 µg/3 µl. Larutan dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 1 jam. cDNA yang terbentuk ditambahkan 30 µl SDW steril dan disimpan dalam refrigerator.
Analisis Ekspresi EGFP. Ekspresi EGFP pada embrio dan larva diamati setiap enam jam dengan metode RT-PCR . PCR dilakukan dengan menggunakan primer GFPr (5’-ACG AAC TCC AGC AGG ACC AT-3’) dan GFPf (5’-GGT CGA GCT GGA CGG CGA CG-3’). PCR dilakukan dengan program: 94°C selama 3 menit; (94°C selama 30 detik; 62°C selama 30 detik; 72°C selama 1 menit) sebanyak 25 siklus; 72°C selama 3 menit; dan 4°C (tak hingga). Pengecekan hasil amplifikasi PCR dilakukan dengan elektroforesis menggunakan gel agarose 0,7%. Produk amplifikasi gen EGFP berada pada ukuran sekitar 600 bp. Sebagai kontrol internal digunakan gen β-aktin. Deteksi gen β-aktin dilakukan dengan menggunakan metode PCR. Primer yang digunakan adalah bact-F (5’- TAT GAA GGT TAT GCT CTG CCC-3’) dan bact-R (5’- CAT ACC CAG GAA AGA TGG CTG-3’). PCR dilakukan dengan program: 94°C selama 3 menit; (94°C selama 30 detik; 58°C selama 30 detik; 72°C selama 30 detik) sebanyak 30 siklus; 72°C selama 3 menit; dan 4°C (tak hingga). Pengecekan hasil amplifikasi PCR dilakukan dengan elektroforesis menggunakan gel agarose 1%. Gen -aktin ikan patin siam berada pada ukuran sekitar 300 bp. Pengukuran level ekspresi gen EGFP dilakukan dengan mengukur ketebalan pita DNA hasil elektroforesis menggunakan software UN-SCAN-IT gel 6.1. Hasil pengukuran level ekspresi gen EGFP dibandingkan dengan gen -aktin yang berfungsi sebagai kontrol loading RNA.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Motilitas dan Kelangsungan Hidup Spermatozoa Setelah Elektroporasi
Uji pendahuluan untuk mendapatkan kondisi elektroporasi yang optimal pada sperma ikan patin siam dilakukan dengan menguji berbagai level kuat medan listrik. Hasil pengujian berbagai kondisi kuat medan listrik terhadap motilitas dan kelangsungan hidup spermatozoa dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Motilitas spermatozoa ikan patin siam yang dielektroporasi pada beberapa tingkat kuat medan listrik
Kuat medan listrik (V/cm) Indeks Motilitas (skor)
Kontrol 4 250 3 500 2 750 1 1000 0,5 1250 0
Kelangsungan hidup spermatozoa menurun setelah dielektroporasi dari 250 sampai 1250 V/cm. Kelangsungan hidup spermatozoa yang dielektroporasi pada 250 V/cm tidak berbeda dengan 500 V/cm, tetapi berbeda dengan 750 V/cm, 1000 V/cm dan 1250 V/cm. Motilitas dan kelangsungan hidup spermatozoa yang dielektroporasi pada 250-500 V/cm menunjukkan hasil terbaik dan tidak berbeda dibandingkan dengan spermatozoa yang tidak dielektroporasi (Gambar 10).
Gambar 10. Kelangsungan hidup spermatozoa (%) yang dielektroporasi pada beberapa tingkat kuat medan listrik.
Selanjutnya, untuk mendapatkan kondisi elektroporasi yang optimal, sperma dielektroporasi dengan kombinasi kuat medan listrik (125; 187,5 dan 250 V/cm) dan jumlah kejutan listrik (1 dan 3). Peningkatan kuat medan listrik dari 125 sampai 250 V/cm menyebabkan menurunnya motilitas spermatozoa, tetapi jumlah kejutan tidak mempengaruhi motilitas spermatozoa. Spermatozoa yang dielektroporasi pada 125 V/cm menunjukkan nilai motilitas terbaik. Namun demikian, kelangsungan hidup spermatozoa relatif tidak berbeda antar perlakuan dan kontrol kecuali pada spermatozoa yang dielektroporasi pada 250 V/cm dengan jumlah kejutan 3 kali. Pengaruh elektroporasi pada motilitas dan kelangsungan hidup spermatozoa ditunjukkan pada Tabel 3 dan Gambar 11. Berdasarkan data tersebut, sperma yang dielektroporasi pada 125 V/cm dengan jumlah kejutan 1 dan 3 kali memberikan kondisi terbaik untuk elektroporasi pada sperma ikan patin siam.
Tabel 3. Motilitas spermatozoa yang dielektroporasi pada beberapa tingkat kombinasi kuat medan listrik dan jumlah kejutan
Perlakuan Kuat medan listrik (V/cm) 0 (Kontrol) 125 187,5 250
Jumlah kejutan listrik 1 5 3 3 2
3 3 3 2 2
Gambar 11. Kelangsungan hidup spermatozoa (%) yang dielektroporasi pada beberapa tingkat kombinasi kuat medan listrik dan jumlah kejutan.
Aplikasi kejutan listrik pada suspensi sel menginduksi polarisasi komponen membran sel dan mengembangkan potensi tegangan di seluruh membran. Pada saat perbedaan potensial antara bagian dalam dan luar membran sel melewati titik kritis, komponen membran di-reorganisasi ke dalam pori dalam area terlokalisasi, dan kemudian sel menjadi permeabel terhadap masuknya makromolekul (Knight, 1981; Knight & Scrutton, 1986). Proses modifikasi permeabilitas membran sel melalui kuat medan listrik disebut elektroporasi. Perubahan permeabilitas bersifat sementara, dengan syarat kejutan listrik tidak melebihi batas kritis bagi sel (Tsong 1983). Ukuran pori dapat diubah melalui berbagai panjang kejutan (dalam milidetik), kuat medan listrik (dalam Volt/sentimeter), dan kekuatan ionik media (Tsong 1983). Pada ikan patin siam, kelangsungan hidup spermatozoa yang dielektroporasi pada 125 V/cm adalah 58,4-66,5%, tetapi ketika sperma dielektroporasi pada 1250 V/cm menyebabkan kematian pada spermatozoa. Berdasarkan penelitian Cheng et al. (2002), motilitas sperma ikan ayu menurun sampai 50% setelah 120 detik ketika dikejut dengan voltase 9 kV. Symonds et al. (1994) juga mendemonstrasikan bahwa aktivitas sperma chinook salmon menurun dari 82% menjadi 2% pada saat sperma dielektroporasi dengan kuat medan listrik yang meningkat dari 625 V/cm menjadi 1000 V/cm. Penelitian Sin et al. (2000) pada sperma salmon menunjukkan bahwa kondisi elektroporasi optimal pada sperma salmon adalah pada kuat medan listrik 800 sampai 1000 V/cm, panjang kejutan 27,4 milidetik, dan 2 kejutan. Motilitas sperma pasca elektroporasi bergantung pada voltase, panjang kejutan, jumlah kejutan dan kekuatan ionik buffer (Symonds et al. 1994). Ukuran pori dapat diubah melalui variasi panjang kejutan (milidetik), kuat medan listrik (Volt/cm), dan kekuatan ionik dari media (Tsong 1983).
Sperma yang dielektroporasi pada 125; 187,5 dan 250 V/cm tetap memiliki kemampuan untuk membuahi telur. Berdasarkan data pada Gambar 12, telur yang dibuahi oleh sperma yang dielektroporasi pada 125 V/cm dan 187,5 V/cm dengan jumlah kejutan satu kali, menunjukkan derajat pembuahan yang lebih tinggi dibandingkan telur yang dibuahi oleh sperma yang dielektroporasi pada 250 V/cm. Namun demikian, derajat penetasan telur sangat dipengaruhi oleh