• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan masyarakat dunia pada abad ke-21 telah menunjukkan kecenderungan adanya perubahan perilaku dan gaya hidup serta pola konsumsi pangan dari daging merah (red meat) ke produk perikanan. Intensitas kegiatan atau kesibukan di era kompetisi ketat cenderung meningkat, mengakibatkan manusia tidak leluasa lagi memanfaatkan waktu untuk menikmati makanan konvensional yang dimasak dan dikonsumsi di tempat jauh dari tempat bekerja. Aktivitas perjalanan lintas daerah, kultural, negara, senantiasa membutuhkan makanan universal yang diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dari berbagai agama, kepercayaan dan budaya. Kecenderungan peningkatan angka harapan hidup penduduk sebagai salah satu indikator penentu indeks kesejahteraan (human development index), menuntut persiapan manusia menyongsong era generasi berusia panjang (older generation era). Salah satu bahan makanan yang dapat memenuhi tuntutan di atas adalah produk perikanan. Hasil olahan produk ini dianggap lebih sehat dikonsumsi, netral, dan hasil olahannya sangat beragam. Kebutuhannya di masa mendatang diprediksi melampaui 50%

kebutuhan protein hewani masyarakat dunia 3 g/kg berat badan per hari atau sekitar 54 kg/kapita/tahun.

Pasokan ikan dunia saat ini sebagian besar berasal dari penangkapan ikan di laut. Namun demikian, pemanfaatan sumberdaya tersebut di sejumlah negara dan perairan internasional saat ini dilaporkan telah berlebih. Data FAO (2002) menunjukkan bahwa pasokan ikan dari kegiatan penangkapan di laut di sebagian negara, diperkirakan tidak dapat ditingkatkan lagi. Demikian pula kecenderungan ini terjadi pada usaha penangkapan ikan di perairan Indonesia. Bahkan berdasarkan hasil penelitian oleh Komisi Stock Assessment pada tahun 2000 menunjukkan bahwa potensi lestari ikan perairan laut Indonesia mengalami penurunan dari 6,18 juta ton/tahun menjadi 6,01 juta ton/tahun. Oleh karena itu, alternatif pemasok hasil perikanan diharapkan berasal dari perikanan budidaya (akuakultur).

Saat ini akuakultur tidak hanya berperan menopang pemenuhan kebutuhan bahan pangan berupa protein hewani, akan tetapi juga dalam menyediakan bahan baku bio-industri, dan upaya pelestarian spesies ikan yang terancam punah (endangered species). Industri pengekstrak bahan aktif dari organisme akuatik terutama laut, seperti berbagai jenis rumput laut, membutuhkan bahan baku dalam jumlah yang besar dan cenderung terus meningkat. Berbagai jenis biota akuatik yang dieksploitasi seperti ikan kerapu terhindar dari ancaman kepunahan setelah berkembangnya kegiatan budidaya. Dalam pelestarian fungsi lingkungan perairan, para pembudidaya ikan dapat menjadi ”pengamanan swakarsa” dari ancaman perusak lingkungan seperti: pengebom dan penggunaan racun dalam kegiatan penangkapan ikan; pembuangan limbah industri ke perairan; penambangan karang. Harus disadari bahwa para pembudidaya sangat berkepentingan dengan kualitas lingkungan yang terpelihara.

Peran akuakultur dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam mungkin tidak banyak disadari. Sumberdaya lahan pantai berpasir yang tidak dapat dimanfaatkan untuk pertanian terbukti bermanfaat untuk tambak udang dengan konstruksi khusus seperti biocrete dan knock down concrete. Selokan air atau saluran irigasi sangat produktif dan efisien untuk kolam air deras dan karamba ikan. Tambak-tambak garam yang awalnya berfungsi tunggal, melalui modifikasi dan penerapan teknik akuakultur dapat berfungsi ganda yaitu

menghasilkan kista dan biomassa artemia, yang nilainya jauh lebih tinggi daripada garam yang dihasilkan.

Dalam kaitannya dengan keanekaragaman hayati, sumberdaya perikanan meliputi semua biota yang hidup di perairan tawar maupun laut. Indonesia dengan perairan laut seluas 5,8 juta km2 merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia (Soegiarto dan Polunin, 1981 dalam Dahuri, 2002). Kelompok utama biota yang memiliki jumlah spesies terbanyak di perairan laut Indonesia adalah moluska atau kekerangan (2.500 spesies) terdiri atas kelompok gastropoda (1.500 spesies) dan kelompok bivalve (1.000 spesies), diikuti oleh kelompok ikan (lebih dari 2.000 spesies), kelompok krustase (1.502 spesies). Kelompok lainnya adalah hewan karang (910 spesies), sponge (850 spesies), tumbuhan (832 spesies), ekhinodermata (745 spesies), burung (148 spesies), mamalia (29 spesies) dan reptil (6 spesies). Sampai saat ini pemanfaatan keanekaragaman hayati tersebut, baik untuk usaha akuakultur maupun bahan baku industri masih sangat kecil.

Walau akuakultur bermula dari penerapan teknologi yang sangat sederhana, bercirikan pedesaan (rural farming activity) dan subsisten atau sampingan, seperti tambak di Jawa Timur, budidaya ikan mas di Jawa Barat, namun pada akhir abad 20 akselerasi perkembangan perikanan budidaya menunjukkan kecenderungan industrialisasi dengan penerapan teknologi maju. Perikanan budidaya bukan lagi budidaya yang konvensional, tetapi kegiatan ekonomi dengan manajemen modern yang berimplikasi besar pada berbagai sektor. Berbagai IPTEK berkembang untuk mendukung pengembangan budidaya menuju skala besar dan bernilai tambah tinggi. Investasi dalam usaha ini juga melibatkan modal multinasional. Produk akuakultur telah membawa perubahan besar bagi industri pangan yaitu menawarkan pasokan yang konsisten, tingkat harga yang relatif rendah dan jenis produk yang lebih sesuai dengan selera konsumen, baik dari segi mutu maupun jumlah.

Guna mempertahankan stok atau potensi lestari sumberdaya ikan di perairan laut perlu alternatif pengelolaan yang tepat, dalam hal ini dapat memberikan kesempatan sumberdaya ikan melakukan pemulihan secara alami dan mempertahankan pendapatan nelayan yaitu dengan pengembangan perikanan tangkap yang berbasis pada perikanan budidaya. Perikanan tangkap berbasis budidaya ini pada prinsipnya adalah pengembangan budidaya ikan untuk menunjang ketersediaan stok sumberdaya ikan di perairan umum atau laut

(De Silva et al., 2006). Tujuan dari sistem pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan atau pembudidaya dan sekaligus mempertahankan kelestarian stok sumberdaya ikan di alam.

Lebih lanjut di jelaskan De Silva et al. (2006), bahwa dalam pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya tersebut terlihat adanya interaksi antara kegiatan perikanan tangkap dan budidaya. Pelaksanaan pengelolaan ini melibatkan pembudidaya ikan atau kegiatan budidaya ikan pada tahap penyiapan benih ikan untuk ditebar dan kegiatan penangkapan setelah ikan mencapai ukuran tertentu. Kegiatan budidaya yang dilakukan dalam pelaksanaan pengelolaan tersebut dalam bentuk kegiatan pembenihan ikan di hatchery, dilanjutkan dengan pemeliharaan benih sampai siap ditebar dan dibudidayakan dalam karamba jaring apung.

Kegiatan perikanan tangkap dalam pengelolaan ini berperan pada saat pengaturan penangkapan ikan yang telah ditebar di perairan umum. Penangkapan tersebut berdasarkan ukuran ikan, ikan yang dapat ditangkap adalah ikan yang sudah mencapai ukuran konsumsi. Sedangkan jumlah penangkapan dalam sebenarnya tidak dibatasi sesuai jumlah ikan yang ditebar. Alat tangkap yang digunakan merupakan alat tangkap yang selektif dan tidak destruktif atau merusak dan disesuaikan dengan jenis dan habitat ikan yang di tebar.

Sistem pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya terlihat interaksi mutualisme antara kegiatan budidaya (pembenihan, pendederan dan pembesaran) dengan kegiatan penangkapan ikan di perairan umum tersebut. Dengan pelaksanaan pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya, kesejahteraan pembudidaya akan terjamin yaitu dari hasil usahan pembenihan dan pembesaran, sementara itu tingkat kesejahteraan nelayan juga akan meningkat dengan ketersediaan stok ikan di perairan yang terjamin dan berkelanjutan (sustainable).

Besarnya tekanan terhadap sumberdaya perikanan baik dari kegiatan penangkapan maupun perubahan dan penurunan mutu lingkungan pada suatu kawasan perairan dapat dikendalikan diantaranya dengan kegiatan penebaran kembali benih ikan atau restocking, perbaikan mutu lingkungan dan pengendalian kegiatan penangkapan. Sedangkan dalam hal pengelolaan sumberdaya pendekatan co-management terbukti lebih efektif. Karena dengan

pendekatan co-management seluruh stakeholders terkait dilibatkan dan merasa memiliki kepentingan terhadap objek yang dikelola seperti sumberdaya perikanan.

Kegiatan perikanan tangkap berbasis budidaya (culture based fisheries- CBF) adalah salah satu model pengelolaan sumberdaya perikanan yang menerapkan prinsip co-management yang pada pelaksanaannya melakukan upaya penebaran kembali (restocking), pemeliharaan lingkungan perairan dan pengendalian kegiatan penangkapan dalam rangka mewujudkan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan pada suatu perairan oleh masyarakat setempat dengan pembinaan dan stimulasi dari pemerintah. Rangkaian kegiatan yang komprehensif tersebut oleh Lorenzen (1995) disebut sebagai adaptive management yaitu pengelolaan berdasarkan aspek biologi ikan, biofisik perairan dan pemberdayaan pelakunya.

Model perikanan tangkap berbasis budidaya telah diadopsi banyak negara penghasil produk perikanan utama dunia dalam pemanfaatan sumberdaya perairan untuk kegiatan perikanan seperti: China, Thailand, Vietnem, Philipina, Kamboja, Birma, Bangladesh, Laos dan Sri Lanka. Upaya ini dilakukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang terdiri atas ikan dan perairan habitatnya bagi kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia kegiatan yang hampir sejenis sudah menjadi kearifan lokal (local wisdom) di beberapa daerah seperti Lebak-Lebung di Sumatera Selatan, Ikan Larangan di Sumatera Barat, Sasi di Maluku dan Awik-Awik di Nusa Tenggara Barat. Akan tetapi sebahagian kearifan lokal tersebut telah memudar atau kurang efektif karena pengaruh modernisasi dan globalisasi. Untuk itu perlu dilakukan upaya perbaikan guna meningkatkan efektivitas pelaksanaanya, dimana model perikanan tangkap berbasis budidaya dapat menjadi salah satu pilihan untuk dikembangkan.

Pada pelaksanaannya keberhasilan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya sangat ditentukan oleh aspek kelembagaan pengelola (organisasi, keanggotaan dan aturan), penetapan wilayah, penentuan jenis ikan yang akan ditebar, ketersediaan benih ikan, pengendalian kegiatan penangkapan dan pengawasannya, serta untuk implementasinya di perairan laut yang bersifat open acces maka model comunity-based fisheries management dapat diterapkan. Model comunity-based fisheries management telah direkomendasikan oleh Valbo-Jorgensen dan Thompson (2007) sebagai hasil

kegiatan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya yang dilaksanakannya di Bangladesh.

Program pemacuan stok dalam rangka peningkatan sumberdaya ikan sudah dikembangkan di beberapa negara seperti Jepang, China dan Norwegia. Pemacuan stok ikan di Jepang telah berdampak terhadap peningkatan produksi sea bream sebesar 8% dan Blue crab sebesar 22 %. Laporan FAO tahun 1999 menyebutkan bahwa upaya pemacuan stok di perairan umum daratan di China dan Vietnam dapat meningkatkan hasil penangkapan sebesar 20% dari total hasil penangkapan sebesar 2 juta ton/tahun. Sedangkan di Norwegia berhasil meningkatkan produksi ikan hingga 32%.

Penerapan teknik pemacuan sumberdaya ikan di Indonesia yang berupa penebaran dan introduksi ikan serta perlindungan sumberdaya ikan melalui penetapan kawasan suaka perikanan telah lama dilakukan terutama di perairan umum daratan sejak jaman penjajahan Belanda. Meskipun kegiatan introduksi dan restoking ikan telah lama dilakukan, kontribusinya terhadap hasil tangkapan belum menunjukkan hasil yang nyata bahkan di beberapa perairan berdampak terhadap penurunan keragaman dan kelimpahan species lokal yang disebabkan oleh kompetisi dan atau predasi. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh penerapannya yang tidak didasarkan atas hasil kajian ilmiah yang memadai dan tidak dilakukan atas kaidah pendekatan kehati-hatian.

Hal tersebut berbeda dengan peningkatan kelimpahan stok ikan melalui pengelolaan suaka perikanan yang dilakukan sejak sebelum penjajahan Belanda, seperti suaka perikanan Danau Loa Kang dan Danau Batu Bumbun di DAS Mahakam, Kalimantan Timur yang dikelola pada masa Kerajaan Kutai Kartanegara, sekitar 500 tahun yang lalu. Suaka tersebut sangat berperan dalam memasok benih ikan secara alami dan berperan dalam pelestarian sumberdaya ikan. Dewasa ini, penerapan kearifan lokal dalam pengelolaan suaka tersebut telah luntur sehingga suaka yang ada tidak berfungsi optimal lagi.

Menurut Badan Riset Kelautan dan Perikanan, (2009) bahwa BRKP telah melakukan penerapan pemacuan sumberdaya ikan di Indonesia berbasis hasil kajian ilmiah yang dirintis sejak tahun 2000 di perairan umum daratan dan laut. Di perairan umum daratan, pelaksanaan pemacuan sumberdaya ikan terutama dilakukan di perairan waduk dan danau. Di beberapa kawasan, penerapan pemacuan sumberdaya ikan mulai mempertimbangkan aspek daya dukung perairan, kesesuaian habitat dan jenis ikan, peluang kompetisi antara jenis ikan

tebaran dengan jenis ikan asli, jumlah padat tebar optimal, dan monitoring dan evaluasi keberhasilan ataupun kegagalannya serta diikuti dengan pengembangan kelembagaan pengelolaannya. Di perairan laut, penerapan pemacuan sumberdaya ikan disertai penerapan teknik rehabilitasi habitat terumbu karang.

Berbagai penerapan pemacuan sumberdaya ikan yang telah dilakukan menunjukkan hasil yang menggembirakan antara lain:

a) Introduksi ikan patin (Pangasionodon hypopthalmus) di Waduk Wonogiri, Jawa Tengah.

b) Introduksi udang galah (Macrobrachium rosernbergii) di Waduk Darma, Jawa Barat

c) Pengembangan suaka ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) di Danau Singkarak, Sumatera Barat.

d) Introduksi ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) dari Danau Singkarak ke Danau Toba, Sumatera Utara.

e) Penebaran kembali (restocking) ikan baung (Mystus nemurus) di Waduk Wadaslintang, Jawa Tengah

f) Penebaran ikan bandeng (Chanos chanos) di Waduk Djuanda, Jatiluhur- Jawa Barat

g) Rehabilitasi terumbu karang di Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat dan Jemeluk, Bali.

Introduksi ikan patin siam ukuran 10-15 gram per ekor dengan jumlah total 45.000 ekor ke Waduk Wonogiri (luas 7.800 ha) dilakukan pada tahun 2002. Ikan patin yang ditebarkan tersebut ternyata dapat melakukan pemijahan di muara sungai yang masuk waduk sehingga dengan melindungi kawasan pemijahan dan asuhannya, tidak diperlukan penebaran kembali benih patin. Introduksi ikan ini telah meningkatkan produksi perikanan tangkap sebesar 112.215 kg (tangkapan ikan patin) senilai 785,5 juta rupiah pada tahun 2004 dan pada tahun 2007, hasil tangkapan ikan patin meningkat menjadi 150.034 kg senilai 1,3 milyar rupiah.

Introduksi udang galah di Waduk Darma menghasilkan produksi sebesar 337,65 kg senilai 13,5 juta rupiah meskipun udang galah yang ditebarkan hanya 26.500 ekor atau 26,5% dari jumlah optimum penebaran, yaitu sekitar 100.000 ekor. Apabila penebaran udang galah dilakukan secara optimum maka ditaksir

akan dihasilkan produksi senilai 70-140 juta rupiah per tahun yang akan menambah pendapatan bagi 120 orang nelayan di perairan waduk tersebut.

Untuk mengatasi penurunan hasil tangkapan ikan bilih di habitatnya yang asli (Danau Singkarak) telah pula diterapkan pembentukan suaka buatan di Sungai Sumpur, salah satu sungai yang masuk Danau Singkarak. Dari suaka buatan tersebut ternyata dapat melestarikan induk ikan bilih sebanyak 3,3 juta ekor per tahun dan benih ikan bilih sebanyak 5,46 juta ekor per tahun. Benih ikan bilih ini masuk ke danau sebagai peremajaan stok ikan bilih yang akan ditangkap nelayan.

Introduksi ikan bilih sebanyak 2.850 ekor, satu-satunya ikan endemik dari Danau Singkarak dilakukan ke Danau Toba pada tahun 2003. Ikan bilih yang ditebarkan mampu tumbuh dan berkembang biak dengan baik sehingga pada tahun 2005, hasil tangkapan ikan bilih mencapai 653,6 ton senilai 3,9 milyar rupiah. Hasil tangkapan ikan bilih terus meningkat sehingga pada tahun 2007 produksinya mencapai 8.500 ton dan pada tahun 2008 meningkat tajam menjadi 13.000 ton.

Pada tahun 2003-2004, penebaran kembali (restocking) ikan baung telah pula dilakukan di Waduk Wadaslintang. Ikan baung adalah ikan asli di perairan waduk ini dan ekonomis tinggi, namun populasinya menurun karena tekanan penangkapan dan keterbatasan habitat pemijahannya. Upaya penebaran kembali ikan baung ini telah berhasil meningkatkan hasil tangkapan sebesar 15% dari total hasil tangkapan ikan.

Pada tahun 2008, berdasarkan rekomendasi hasil riset, telah dilakukan penebaran ikan bandeng di Waduk Djuanda, Jawa Barat sebanyak 2,112 juta ekor. Ikan bandeng tumbuh pesat dari ukuran rata-rata satu gram per ekor menjadi 100-150 gram per ekor dalam waktu 3 bulan setelah penebaran. Selama empat bulan penangkapan telah tercatat sebanyak 65 ton ikan bandeng senilai 455 juta rupiah pada tingkat harga nelayan.

Pemacuan sumberdaya ikan dalam bentuk rehabilitasi terumbu karang yang dilakukan di perairan laut, seperti Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat dan Teluk Jemeluk, Bali menunjukkan indikasi keberhasilan dalam pemulihan terumbu karang dan peningkatan kanekaragaman jenis ikan di perairan tersebut.

Belajar dari pengalaman empiris tersebut dengan rata-rata produksi perikanan tangkap perairan umum daratan sebesar 290.880 ton dan perikanan tangkap di laut sebesar 4,3 juta ton, maka dengan pemacuan stok target

peningkatan produksi perikanan tangkap yang dicanangkan sebesar 19,24% dapat dicapai hanya melalui penerapan pemacuan stok di perairan umum daratan saja. Pada tahun 2010 produksi perikanan tangkap di perairan umum daratan tersebut diprediksi akan mencapai sekitar 1,2 Juta ton.

Menurut Bell et al (2006), bahwa ada contoh keberhasilan dalam pemacuan stock yang dilakukan di Jepang tentang perikanan scallop. Menurut Uki (2006), bahwa keberhasilan pemacuan stock yang dilakukan di Jepang dalam pengkayaan stock di laut untuk peningkatan perikanan scallop di Hokkaido, Jepang dengan memberikan kontribusi panen tetap tahunan sebesar 300,000 ton per tahun. Panen tersebut menggambarkan peningkatan kelipatan empat dalam penangkapan yang maksimum. keberhasilan dari pengkayaan stok scallop di Hokkaido sebagai akibat : metode yang simple dan efektif dalam penangkapan dan pembesaran spat dalam jumlah besar; habitat yang ideal untuk pengembangan scallop; rata-rata kelangsungan hidup spat sebesar >30%. Selanjutnya disebutkan bahwa elemen yang luar biasa dalam perikanan ini adalah pengembangan metode untuk penangkapan, pembesaran dan penebaran sebesar 2 milliar benih setiap tahun. Pemakaian spat yang liar tidak hanya untuk bypass kebutuhan hatcheries, tapi juga menghilangkan resiko pengenalan binatang genetic modifikasi. Biaya mengumpulkan dan pembesaran spat dalam ukuran tertentu dilakukan oleh nelayan. Mereka juga mengorganisir monitoring dan pengawasan populasi scallop dan lingkungan pada 200 titik di area perikanan, menyesuaikan penangkapan spat setiap tahun agar dapat memenuhi kebutuhan estimasi untuk menebarkan benih, menghilangkan predator starfish, dan memberikan pelatihan kepada anggota baru di koperasi.