• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi lahan perikanan budidaya secara nasional diperkirakan sebesar 15,59 juta hektar, yang terdiri atas lahan budidaya budidaya air tawar 2,23 juta hektar, budidaya air payau 1,22 juta hektar dan budidaya laut 12,14 juta hektar. Sedangkan pemanfaatanya hingga saat ini masing-masing baru mencapai 10,1% untuk budidaya air tawar, 40% untuk budidaya air payau dan 0,01% untuk budidaya laut. Luasan potensi kegiatan budidaya laut tersebut terbentang dari ujung bagian barat Indonesia sampai ke ujung wilayah timur Indonesia. Komoditas-komoditas yang dapat dibudidayakan pada areal tersebut antara lain

ikan kakap, kerapu, tiram, kerang darah, teripang, kerang mutiara dan abalone serta rumput laut (Dahuri, 2002).

Pada tahun 2004 produksi perikanan budidaya nasional adalah 1,47 juta ton dengan kenaikan rata-rata pertahun dari tahun 2000 adalah 10,36%. Jumlah produksi tersebut telah menempatkan Indonesia sebagai negara produsen perikanan budidaya ketiga terbesar setelah China dan India. Produksi perikanan budidaya Indonesia dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 didominasi oleh produksi udang ditambak. Sedangkan persentase rata-rata kenaikan produksi per tahun tertinggi adalah budidaya laut. Produksi budidaya laut mulai meningkat hampir dua kali lipat pada tahun 2004 dari tahun 2003, hal ini terkait dengan program pengembangan budidaya rumput laut. Nilai produksi perikanan budidaya juga mengalami peningkatan dari Rp. 11,06 trilliun pada tahun 2000 menjadi Rp. 19,27 triliun pada tahun 2004, atau naik rata-rata 14,93% per tahun. Kenaikan nilai produksi rata-rata tertinggi yaitu sebesar 32,94% pada budidaya karamba.

Komoditas dominan dan mengalami perkembangan cukup pesat adalah udang, yaitu dari 143.750 ton pada tahun 2000 menjadi 238.843 ton pada tahun 2004 atau mengalami kenaikan rata-rata per tahun 13,86%. Perkembangan produksi udang yang cukup pesat ini didukung oleh adanya upaya introduksi udang jenis baru yaitu udang putih atau vannamei yang berasal dari perairan sub tropis. Sampai saat ini produksi udang nasional masih ditopang oleh produksi udang vanname, terutama pada tambak-tambak intensif skala besar.

Selain dikonsumsi didalam negeri produksi perikanan budidaya Indonesia juga terserap pada pasar luar negeri seperti negara-negara di Eropa, Amerika, Jepang dan negara maju lainnya. Beberapa jenis komoditas perikanan budidaya yang diekspor adalah udang, kerapu, nila, rumput laut, kepiting, patin, lele, bandeng, kodok, abalone, ikan hias dan mutiara. Pertumbuhan ekspor perikanan Indonesia didominasi oleh udang dan cakalang. Pada tahun 2000 volume ekspor udang Indonesia sebesar 116.187 ton meningkat menjadi 139.450 ton pada tahun 2004. Jika memperhatikan neraca ekspor-impor peroduk perikanan, maka dapat disimpulkan bahwa masih terjadi surplus perdagangan komoditas perikanan. Hal ini membuktikan bahwa bidang periknan tidak membebani neraca pembayaran, bahkan sebaliknya justru merupakan andalan untuk memperoleh devisa. Surplus perdagangan hasil perikanan untuk memperoleh devisa pada

tahun 2000 sebesar US$ 1,56 milyar dan terus mengalami peningkatan hingga US$ 1,62 milyar pada tahun 2004.

Peningkatan produksi perikanan budidaya yang telah dicapai selama ini, telah memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan konsumsi ikan per kapita nasional dari 21,57 kg per kapita pada tahun 2000 menjadi 23,18 kg per kapita pada tahun 2004. Disamping itu perkembangan perikanan budidaya juga telah memberikan dampak pada penyerapan tenaga kerja. Selama kurun waktu 5 (lima) tahun (2000 – 2004) mengalami peningkatan rata-rata sebesar 3,05% per tahun. Jumlah pembudidaya ikan meningkat dari dari 2,18 juta orang pada tahun 2000 menjadi 2,46 juta orang pada tahun 2004. Tenaga kerja di perusahaan perikanan budidaya, baik yang berstatus pemilik modan asing (PMA) maupun pemilik modal dalam negeri (PMDN) mengalami peningkatan dari 3.151 orang tenaga asing dan 154.173 orang tenaga kerja lokal pada tahun 2000, meningkat menjadi 4.719 orang tenaga kerja asing dan 187.124 orang tenaga kerja lokal pada tahun 2004. Rumah tangga perikanan (RTP) budidaya secara keseluruhan berjumlah 1,2 juta buah pada tahun 2000 dan meningkat menjadi 1,4 juta buah pada tahun 2004 dengan jumlah terbesar pada budidaya kolam, budidaya sawah dan tambak.

Pemanfaatan potensi pengembangan budidaya perikanan dapat dilakukan melalui pembenihan, pembudidayaan, penyiapan prasarana, pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungan. Kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan mampu meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan produksi usaha perikanan budidaya. Kegiatan budidaya perikanan di laut dapat diklasifikasikan menjadi kegiatan marikultur dan budidaya air payau. Untuk usaha marikultur biasanya menggunakan jaring apung, sedangkan usaha budidaya air payau menggunakan kolam dan petak tambak (Dahuri, 2002).

Kegiatan budidaya perikanan ditentukan oleh beberapa faktor antara lain sumber air menyangkut kualitas dan kuantitasnya, potensi/ketersediaan lahan menyangkut topografi, tekstur dan kesuburannya yang diperkirakan dapat dimanfaatkan bagi usaha budidaya serta peruntukkan lahan dan potensi konflik dengan kegiatan lain disekitarnya. Oleh karena itu pengembangan usaha budidaya adalah mengupayakan peningkatan produktivitas suatu lahan atau perairan yang sudah terseleksi dengan menambahkan input-input teknologi yang ada. Hal ini menyebabkan tingkat perkembangan dan tingkat produksi yang dicapai berbeda di setiap daerah, sesuai dengan teknologi dan tingkat kesuburan

lahan atau perairan yang ada serta kemampuan masyarakat mengaadopsi teknologi baru. Sehingga potensi produksi dalam usaha budidaya merupakan produksi yang dapat dicapai dari lahan yang ada serta produksi dari lahan potensial dengan perkiraan pada tingkat produktivitas tertentu yang mungkin diterapkan.

Pengembangan budidaya perikanan ke depan harus mampu mendayagunakan potensi yang ada, sehingga dapat mendorong kegiatan produksi berbasis ekonomi rakyat, meningkatkan perolehan devisa negara, serta mempercepat pembangunan ekonomi masyarakat pembudidaya ikan di Indonesia secara keseluruhan. Pada pelaksanaannya pengembangan perikanan budidaya harus dilakukan dengan memperhatikan CCRF (code of conduct for responsible fisheries) antara lain dengan memperhatikan (1) kelestarian lingkungan sumberdaya alam, pengembangan dilakukan secara berkelanjutan, keamanan pangan, tidak memodifikasi genetik biota, eco-labelling dan ketertelusuran.

Dalam upaya mensukseskan Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan Presiden Republik Indenesia pada 11 Juni 2005, khususnya revitalisasi perikanan budidaya, maka pemerintah menetapkan prioritas atau fokus kegiatan pengembangan spesies yang (1) mempunyai permintaan besar baik pasar luar maupun dalam negeri, (2) dapat dikembangkan secara menguntungkan, (3) mudah diadopsi pembudidaya, serta (4) waktu produksi pendek yaitu pengembangan komoditas udang dan rumput laut. Selain itu Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya juga menetapkan 8 (delapan) komoditas lainnya sebagai komoditas unggulan karena mempunyai potensi untuk ekspor, yaitu: patin, kerapu, nila, lele, gurame, bandeng, abalone dan ikan hias.

Sesuai dengan visi pengembangan perikanan budidaya yaitu adalah mewujudkan perikanan budidaya yang berdaya saing dan berkelanjutan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi andalan maka kebijakan pembangunan perikanan budidaya adalah (1) pengembangan produksi perikanan budidaya untuk ekspor, (2) pengembangan produksi perikanan budidaya untuk peningkatan konsumsi ikan dalam negeri, dan (3) pengendalian pemanfaatan sumberdaya perikanan budidaya.

Pada pelaksanaanya kebijakan tersebut dikemas dalam 3 (tiga) program pokok pengembangan perikanan budidaya yaitu (1) program peningkatan

produksi perikanan budidaya untuk ekspor (PROPEKAN), (2) program peningkatan produksi perikanan budidaya untuk konsumsi ikan masyarakat (PROKSIMAS), dan (3) program perlindungan dan rehabilitasi sumberdaya perikanan budidaya (PROLINDA). Program tersebut ditunjung oleh 6 program penunjang yaitu (1) pengembangan prasarana, (2) pengembangan sistem perbenihan, (3) pengembangan sistem produksi, (4) pengembangan sistem pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungan, (5) pengembangan sistem usaha budidaya dan (6) pengembangan sistem administrasi dan kelembagaan.

Menurut Cholik et al (2005) bahwa membangun akuakultur nasional haruslah berdampak positip pada hal sebagai berikut : tingkat konsumsi ikan oleh masyarakat, tingkat pendapatan pembudidaya ikan, berkembangnya akuakultur berkelanjutan dan peningkatan ekspor, pengurangan tekanan terhadap sumberdaya ikan wilayah pantai, pengkayaan stock ikan di laut dan perairan umum, pasok bahan baku bagi industri terkait dan pelestarian lingkungan hidup. Pengembangan akuakultur harus dilaksanakan secara bertanggung jawab dan sebagai pedoman dapat digunakan CCRF yang sudah diadopsi di banyak negara. Akuakultur yang memiliki criteria tersebut merupakan akuakultur yang akan menjadi tumpuan harapan bangsa.