• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Pengembangan

2.1.1.1 Pengertian Pengembangan Masyarakat

Sebagaimana asal katanya, pengembangan masyarakat terdiri dari dua konsep yaitu “pengembangan” dan “masyarakat”. Secara singkat, pengembangan merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Bidang-bidang pembangunan biasanya meliputi beberapa sektor, yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial-budaya. Sementara masyarakat dapat diartikan dalam dua konsep, yaitu (Mayo, 1998: 162 dalam Suharto, 2005): pertama, masyarakat sebagai sebuah “tempat bersama” yakni sebuah wilayah geografi yang sama. Sebagai contoh sebuah rukun tetangga, perumahan di daerah perkotaan atau kampung di wilayah desa. Kedua, masyarakat sebagai “kepentingan bersama” yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas.

Menurut Johnson (1984) dalam Suharto (2005), pengembangan masyarakat merupakan spesialisasi atau setting praktek pekerjaan sosial yang bersifat makro. Secara singkat, pengembangan masyarakat memiliki tempat khusus dalam khazanah pendekatan pekerjaan sosial, meskipun belum dapat dikategorikan secara tegas sebagai satu-satunya metode milik pekerjaan sosial (Mayo, 1998 dalam Suharto, 2005). Dalam diskursus akademis pekerjaan sosial, pengembangan masyarakat lebih dikenal sebagai Community Organization atau Community Development (Gilbert dan Specht, 1981 dalam Suharto, 2005) atau bimbingan sosial masyarakat (Soetarso, 1991 dalam Suharto, 2005). Di Australia, Inggris dan beberapa negara Eropa, pengembangan masyarakat disebut sebagai pekerjaan kemasyarakatan (community work), penyembuhan sosial (social treatment), perawatan sosial (social care) atau perawatan masyarakat (community care) (Twelvetrees, 1993: Payne, 1986 dalam Suharto, 2005). Pengembangan Masyarakat dapat didefinisikan sebagai metode yang memungkinkan orang dapat meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar pengaruhnya

terhadap proses-proses yang mempengaruhi kehidupannya (AMA, 1993 dalam Suharto 2005).

2.1.1.2 Model Pengembangan Masyarakat

Jack Rothman dalam klasiknya yang terkenal, Three Models of

Community Organization Practice (1968) dalam Suharto (2005),

mengembangkan tiga model yang berguna dalam memahami konsepsi tentang Pengembangan Masyarakat: (1) pengembangan Masyarakat lokal (locality development), (2) perencanaan sosial, dan (3) aksi sosial. Paradigma ini merupakan format ideal yang dikembangkan terutama untuk tujuan analisis dan konseptualisasi.

Pengembangan masyarakat lokal adalah proses yang ditujukan untuk menciptakan kemajuan sosial dan ekonomi bagi masyarakat melalui partisipasi aktif serta inisiatif anggota masyarakat itu sendiri. Anggota masyarakat dipandang bukan sebagai sistem klien yang bermasalah melainkan sebagai masyarakat yang unik dan memiliki potensi. Pengembangan masyarakat lokal pada dasarnya merupakan proses interaksi antara anggota masyarakat setempat yang difasilitasi oleh pekerja sosial. Pekerja sosial membantu meningkatkan kesadaran dan mengembangkan kemampuan mereka dalam mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan. Pengembangan masyarakat lokal lebih berorientasi pada “tujuan proses” (process goal) daripada tujuan tugas atau tujuan hasil (task or product goal). Setiap anggota masyarakat bertanggung jawab untuk menentukan tujuan dan memilih strategi yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Pengembangan kepemimpinan lokal, peningkatan strategi kemandirian, peningkatan informasi, komunikasi, relasi, dan keterlibatan anggota masyarakat merupakan inti dari proses pengembangan masyarakat lokal yang bernuansa bottom-up. Model pengembangan masyarakat dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Tiga Model Pengembangan Masyarakat

Parameter Pengembangan

Masyarakat Lokal Perencanaan Sosial Aksi Sosial Orientasi tujuan Kemandirian,

integrasi dan kemampuan masyarakat (tujuan proses)

Pemecahan masalah social yang ada di masyarakat (tujuan tugas/hasil)

Perubahan struktur kekuasaan proses, lembaga dan sumber (tujuan proses &tugas) Asumsi mengenai

struktur masyarakat dan kondisi masalah

Keseimbangan, kurang kemampuan dalam relasi dan pemecahan masalah

Masalah sosial nyata: kemiskinan, pengangguran, kenakalan remaja Ketidakadilan, kesengsaraan, ketidakmerataan, ketidaksetaraan Asumsi mengenai kepentingan masyarakat Kepentingan umum atau perbedaan-perbedaan yang dapat diselaraskan

Kepentingan yang dapat diselaraskan atau konflik kepentingan

Konflik kepentingan yang tidak dapat diselaraskan: ketiadaan sumber Konsepsi mengenai

kepentingan umum Rationalist-unitary Idealist-unitary Realist-individualist Orientasi terhadap struktur kekuasaan Struktur kekuasaan sebagai kolaborator, perwakilan Struktur kekuasaan sebagai pekerja dan sponsor

Struktur kekuasaan sebagai sasaran aksi, dominasi elit kekuasaan harus dihilangkan Sistem klien atau

sistem perubahan Masyarakat secara keseluruhan Seluruh atau sekelompok

masyarakat termasuk masyarakat fungsional

Sebagian atau sekelompok anggota masyarakat tertentu Konsepsi mengenai

klien atau penerima pelayanan

Warga masyarakat

atau negara Konsumen Korban

Peranan masyarakat Partisipan dalam proses pemecahan masalah

Konsumen atau

penerima pelayanan Pelaku, elemen, anggota Peranan pekerja social Pemungkin,

koordinator, pembimbing

Peneliti, analis, fasilitator,

pelaksanaan program

Aktivis, advokasi: agitator, broker, negotiator

Media perubahan Mobilisasi

kelompok-kelompok kecil Mobilisasi organisasi formal Mobilisasi organisasi massa dan politik Strategi perubahan Pelibatan masyarakat

dalam pemecahan masalah

Penentuan masalah dan keputusan melalui tindakan rasional para ahli

Katalis dan pengorganisasi masyarakat untuk mengubah struktur kekuasaan

Teknik perubahan konsensus dan diskusi kelompok, partisipasi, brain storming, role playing, bimbingan dan penyuluhan

Advokasi, andragogy, perumusan kebijakan, perencanaan program

Konflik atau unjuk rasa, konfrontasi atau tindakan langsung, mobilisasi massa, analisis kekuasaan, mediasi, agitasi, negosiasi, pembelaan

2.1.1.3 Asas-Asas dan Prinsip-Prinsip Pengembangan Masyarakat

Pengembangan masyarakat (community development) sebagai suatu perencanaan sosial perlu berlandaskan pada asas-asas: (1) komunitas dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan; (2) mensirnegikan strategi

komprehensif pemerintah, pihak-pihak terkait (related parties) dan partisipasi warga; (3) membuka akses warga atas bantuan profesional, teknis, fasilitas, serta intensif lainnya agar meningkatkan partisipasi warga; dan (4) mengubah prilaku profesional agar lebih peka pada kebutuhan, perhatian, dan gagasan warga komunitas (Ife, 1995 dalam Nasdian, 2006).

Ife (1995) dalam Nasdian (2006) memaparkan 26 prinsip pengembangan masyarakat (community development) seperti berikut:

a. Prinsip ekologis, ada beberapa prinsip dalam kaitannya dengan masalah ekologi yaitu:

1) Holistik. Dimana prinsip ini melandaskan pada falsafah yang berorientasikan pada lingkungan dengan memperhatikan pada kehidupan dan alam atau lingkungan.

2) Keberlanjutan. Program pengembangan masyarakat berada dalam kerangka sustainability yang berupaya untuk mengurangi ketergantungan kepada sumber daya yang tidak tergantikan dan menciptakan alternatif serta tatanan ekologis, sosial, ekonomi, dan politik yang berkelanjutan di tingkat lokal. Prinsip ini membutuhkan penggunaaan secara minimal dari sumberdaya yang tidak dapat diperbarui. Hal ini berimplikasi pada masyarakat setempat dalam hal penggunaan lahan, gaya hidup, konservasi, transportasi, dan lain-lain.

3) Keanekaragaman. Merupakan salah satu aspek penting prinsip ekologis, dimana di alam keanekaragaman akan menjadi siklus kehidupan. Pada pembangunan masyarakat prinsip dalam ini menekankan penghargaan terhadap nilai-nilai permasalahan yang ada, desentralisasi, jejaring, dan komunikasi yang setara, serta teknologi yang mudah untuk diterapkan pad tingkat yang lebih rendah.

4) Pembangunan bersifat Organik. Penerapan pembangunan yang bersifat organik melalui suatu pengertian bahwa terdapat hubungan yang kompleks antara warga komunitas dan

lingkungannya. Komunitas lebih organik ketimbang mekanik karena cara kerja komunitas tidak mengikuti hukum sebab-akibat. 5) Keseimbangan. Di alam keseimbangan dinamis akan menjaga

keseimbangan alam secara keseluruhan. Dimana merubah keseimbangan ini akan mengubah tatanan kehidupan. Dalam sebuah sistem, kehilangan keseimbangan akan menimbulkan resiko kegagalan lingkungan, dalam perspektif pembangunan masyarakat prinsip keseimbangan diarahkan pada keseimbangan antara kepentingan global dan lokal, keadilan gender, responsibilitas, dan keadilan dalam hukum.

b. Prinsip keadilan sosial

6) Konfrontasi dengan Kebatilan Struktural. Prinsip ini mengakar pada perspektif keadilan sosial dalam pengembangan masyarakat. Seorang community workers harus dapat menyadari adanya cara dimana tekanan pada suatu kelas, gender, dan suku bangsa berlangsung kompleks. Seorang community workers perlu lebih kritis tehadap latar belakang warga komunitas, ras, jenis kelamin, sikap berdasarkan kelas warga komunitas, dan partisipasi warga komunitas pada struktur penindasan tersebut.

7) Memusatkan perhatian pada wacana yang merugikan. Wacana kekuasaan dan penindasan perlu menjadi perhatian dalam community development. Worker perlu untuk memiliki kemampuan mengidentifikasi dan menguraikan wacana kekuasaan dan untuk memahami bagaimana wacana tersebut secara efektif mengistimewakan dan memberdayakan sebagian orang, sekaligus juga memarginalkan dan menitikberdayakan sebagian orang yang lainnya.

8) Pemberdayaan. Makna pemberdayaan adalah “membantu” komunitas dengan sumberdaya, kesempatan, keahlian, dan pengetahuan agar kapasitas komunitas meningkat sehingga dapat berpartisipasi untuk menentukan masa depan warga komunitas.

9) Mendefinisikan kebutuhan. Prinsip ini sangat penting dalam menentukan prioritas kebutuhan pembangunan masyarakat. Ada dua hal dalam penentuan kebutuhan: (1) pembangunan masyarakat dilakukan atas dasar kesepakatan dari berbagai elemen, (2) memperhatikan preseden yang ditimbulkannya dan memperhatikan prinsip keadilan sosial dan keseimbangan ekologis.

10) Hak Asasi Manusia. Program pengembangan masyarakat harus mengacu kepada prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia yang meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, hak untuk ikut serta dalam kehidupan kultural, hak untuk memperoleh perlindungan keluarga, dan hak untuk “self determination”.

c. Menghargai nilai-nilai lokal

11) Pengetahuan lokal. Prinsip ini mendasarkan pada pentingnya untuk memperhatikan pengetahuan lokal dalam pembangunan masyarakat, dimana masyarakat sampai dengan kelas bawah mampu mengidentifikasi dan melakukan validasi tentang pengetahuan tersebut.

12) Budaya lokal. Globalisasi budaya telah mengambil identitas budaya masyarakat di seluruh dunia, bahwa budaya lokal dapat menunjukan kemampuannya dalam mendukung pembangunan masyarakat, ini mengingat bahwa budaya lokal tidaklah statis namun dinamis. Bahkan prinsip ini sesuai dengan hak asasi manusia, inklusif berkelanjutan, dan juga diarahkan oleh masyarakat dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan. 13) Sumber daya lokal. Pemanfaatan sumber daya lokal lebih baik

daripada menggunakan sumberdaya atau bantuan dari pihak luar. Penggunaan ini mencakup seluruh bentuk, meliputi keuangan, teknis, sumber daya alam akan dapat mendorong bermacam-macam cara dalam pembangunan masyarakat.

14) Keterampilan lokal. Dalam pembangunan masyarakat “pihak luar” harus mengetahui ada ketrampilan lokal yang dapat dimanfaatkan.

Memaksimalkan ketrampilan lokal lebih baik dalam pembangunan masyarakat. Untuk itulah dalam melakukan pembangunan masyarakat harus berjalan dua arah antara luar dan masyarakat. 15) Menghargai proses lokal. Pemaksaan solusi spesifik, struktur atau

proses dari luar komunitas jarang dapat bekerja. Ini menjadi salah satu rasionalitas dari community development bahwa segala sesuatu tidak dapat bekerja dengan baik jika dipaksakan dari luar komunitas. Oleh karena itu pendekatan community development tidak dapat dipaksakan, tetapi harus terbangun dengan sendirinya dalam komunitas dengan cara yang sesuai dengan konteks spesifik dan sensitif terhadap kebudayaan masyarakat lokal, tradisi, dan lingkungan.

d. Proses

16) Proses, hasil, dan visi. Penekanan pada proses dan hasil menjadi isu utama dalam pembangunan masyarakat. Pendekatan pragmatis cenderung akan melihat hasil, sehingga bagaimana upaya untuk memperoleh hasil tersebut tidaklah begitu penting. Namun pendapat ini ditentang oleh banyak pihak, karena proses dan hasil pada hakekatnya merupakan dua hal yang saling berkaitan. Proses pada dasarnya harus merefleksikan hasil, demikian juga hasil merupakan refleksi dari proses. Dalam konteks ini, moral dan etika dalam memperoleh hasil akan menjadi pusat perhatian.

17) Keterpaduan Proses. Proses bekerja dikomunitas dan perlu “dekat” dengan penelitian dan pengkajian agar proses integrasi dapat dipertahankan.

18) Peningkatan kesadaran. Prinsip ini membantu anggota masyarakat dalam melakukan pencarian pontensi dalam kehidupan , menghubungkan dengan struktur yang ada, mendiskursus kekuatan, dan tekanan. Ada empat aspek atau tahap, yaitu menghubungkan anggota masyarakat dan politik, membangun hubungan dialogis, berbagi pengalaman dalam menghadapi tekanan dan membuka kesempatan untuk aksi. Prinsip ini

merupakan bagian penting dalam pemberdayaan dan juga pembangunan masyarakat.

19) Partisipasi. Partisipasi dalam pengembangan komunitas harus menciptakan peran serta yang maksimal dengan tujuan agar semua orang dalam masyarakat tersebut dapat dilibatkan secara aktif pada proses dan kegiatan masyarakat.

20) Konsensus dan kerjasama. Penerapannya adalah agar orang-orang yang terlibat dalam proses mencari penyelesaian terhadap suatu masalah dan betul-betul menyadari bahwa keputusan yang diambil adalah yang baik. Pendekatan konsensus bekerja dengan persetujuan. Tujuannya menghasilkan solusi yang menjadi milik bersama. Pendekatan pengembangan komunitas berusaha membuat kerjasama pada tindakan masyarakat setempat, dengan cara membuat orang-orang bersama dan mencari untuk memberi imbalan pada prilaku kerjasama. Dengan berkoperasi akan mampu “sharing” perasaan dan permasalahan yang dihadapi sehingga dalam jangka panjang akan mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi bersama dalam komunitas.

21) Pembangunan Terpadu. Proses pengembangan masyarakat tidak berjalan secara parsial, tetapi merupakan satu kesatuan proses pembangunan yang mencakup aspek sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, lingkungan, dan personal. Keenam aspek tersebut penting dan saling terkait satu sama lain. Program pengembangan masyarakat yang hanya menekankan satu aspek saja akan menghasilkan ketidakseimbangan dalam pembangunan.

22) Tanpa Kekerasan. Prinsip ini berusaha menemukan cara untuk melawan berbagai bentuk kekerasan atau paksaan yang nyata, seperti: militerisme, paksaan fisik dalam bentuk-bentuk seperti hukuman fisik, hukuman mati, kebrutalan polisi, dan lain-lain. Pengembangan masyarakat dilaksanakan tanpa kekerasan struktural, yakni dengan cara tanpa mengubah lembaga yang ada dan struktur sosial masyarakat.

23) Inklusif. Penerapan prinsip ini menekankan agar community workers tetap menghargai orang lain walaupun orang tersebut berlawanan pandangan. Meskipun tidak setuju dengan gagasan, nilai, dan politik suatu komunitas tetapi tetap menghargainya dan berupaya merangkulnya daripada mengasingkan mereka.

24) Membangun Komunitas. Prinisip ini mencari cara dimana setiap orang dapat memberikan kontribusi dan menjadi dihargai oleh yang lain. Oleh karena itu, program pengembangan masyarakat mencakup penguatan interaksi sosial di tingkat komunitas, mengajak kebersamaan, menterjemahkan melalui dialog, pemahaman, dan tindakan sosial.

e. Prinsip global dan lokal

25) Hubungan antara global dan lokal. Saat ini seluruh dunia tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh globalisasi, sehingga tidak bisa lagi hidup, namun juga lokalitas menjadi fokus dalam pembangunan. Gerakan global akan berdampak pada seluruh komunitas dan memberikan kontribusi dalam permasalahan dan isu-isu yang dihadapi oleh masyarakat. Sehingga, setiap community worker harus bisa memahami kondisi global dengan baik sebagaimana dia memahami kondisi lokal, serta bagaimana keduanya berinteraksi di tingkat komunitas.

26) Praktik anti penjajah. Penjajahan (kolonialisme) dapat mempengaruhi community worker di segala situasi. Penjajahan dapat menjadi suatu ideologi ekstrim yang menggiurkan, karena hanya dengan tahapan yang pendek dengan mempercayai bahwa community worker adalah seseorang yang mempunyai sesuatu yang ditawarkan dan dengan menghargai suatu latar belakang kebudayaan yang dimiliki dan pengalaman praktik menjajah. Ini akan mengabadikan dominansi penjajah.

2.1.1.4 Peran Serta Masyarakat

Pada prakteknya terdapat berbagai jenjang peran serta masyarakat, dimana jenjang ini ditentukan oleh seberapa jauh masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap seluruh proses penataan ruang. Peran serta masyarakat tertinggi adalah peran serta yang yang benar-benar memberikan otoritas pada komunitas atau masyarakat. sebagaimana dikatakan Arstein (1969) terdapat ladder of citizen participation atau tangga partisipasi masyarakat. hal ini dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Tangga Partisipasi Masyarakat

no Tangga/

Tingkatan Partisipasi

Hakekat Kesertaan Tingkatan

Pembagian Kekuasaan 1 Manipulasi Permainan oleh pihak tertentu Tak ada partisipasi

2 Terapi Sekedar agar masyarakat tidak

marah atau mengobati

3 pemberitahuan Sekedar pemberitahuan searah atau sosialisasi

Sekedar justifikasi agar masyarakat mengiyakan

4 Konsultasi Masyarakat didengar, tetapi tidak selalu dipakai sarannya

5 Penentraman Saran masyarakat diterima

namun tidak selalu

dilaksanakan

6 Kemitraan Timbal balik dinegosiasikan Tingkatan kekuasaan ada di masyarakat 7 Pendelegasian

kekuasaan

Masyarakat diberi kekuasaan (sebagian atau seluruh program)

8 Kontrol

masyarakat Sepenuhnya dikuasai oleh masyarakat

Sumber:Arstein (1969) dalam Setiawan (2003)2

Pada tabel tersebut menjelaskan bahwa berbagai tingkatan kesertaan dapat diidentifikasikan mulai dari tanpa partisipasi sampai pelimpahan kekuasaan. Pengelola tradisional selalu enggan untuk melewati tingkat tanpa partisipasi dan tokenism dengan keyakinan bahwa masyarakat biasanya apatis. Sebaliknya, masyarakat semakin meningkat kesadarannya dengan mengharapkan partisipasi yang lebih bermanfaat, termasuk pula pelimpahan sebagian kekuasaan.

Peran serta masyarakat dapat dilakukan dalam beberapa kali selama proses analisa dan perencanaan. Smith (1982) dalam Setiawan (2003) menyarankan bahwa perencanaan dapat dilakukan dalam tiga tahap yakni pertama, normatif.

Dimana keputusan diambil untuk menentukan apa yang seharusnya dilakukan. Kedua, strategik. Dimana keputusan dibuat untuk menentukan sesuai yang dapat dilakukan. Ketiga, operasional. Dimana keputusan dibuat untuk menentukan apa yang dilakukan. Menurut Smith banyak program partisipasi masyarakat dilakukan pada tahap operasional. Walaupun demikian Smith dan ahli lainnya seperti Korten (1983), Howell (1987) atau Pinkerton (1989) dalam Setiawan (2003) menyarankan bahwa kemitraan seharusnya dilakukan lebih awal dalam proses perencanaan, sehingga anggota masyarakat dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang lebih awal dan penting.

Dokumen terkait