• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.2 Tanggung Jawab Sosial Perusahaan/ CSR

2.1.2.1 Definisi dan Konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan/CSR

Kedermawanan perusahaan menurut Saidi (2003) sesungguhnya adalah kedermawanan sosial dalam kerangka kesadaran dan komitmen perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab ini merupakan salah satu dari empat bentuk tanggung jawab yang dimilikinya, tiga lainnya adalah tanggung jawab perusahaan secara ekonomi untuk menghasilkan laba, tanggung jawab dalam menaati hukum dan tanggung jawab etis.

Menurut pandangan konsep modern, perusahaan tidak dapat dipisahkan dari para individu yang terlibat di dalamnya dan stakeholder di luar perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan bertanggung jawab secara internal bagi kelangsungan usahanya serta memiliki tanggung jawab sosial pada publik. Menurut pandangan ini, masyarakat adalah sumber dari segala sumber daya yang dimilikinya dan direproduksinya. Para profesional yang bekerja memiliki tanggung jawab ganda, kepada pemilik dan kepada publik. Konsep ini dikenal dengan non-fiduciary responsibility.

Pada filantropi, seseorang atau suatu pihak tidak sekedar memberi untuk memuaskan keinginan atau kebutuhan mereka. Tetapi yang penting pemberian tersebut harus mempedulikan siapa, untuk apa, dan apa dampaknya agar benar-benar membawa manfaat bagi yang menerima. Pada konteks perusahaan, Steiner (1994) dalam Nursahid (2006) memberikan definisi tentang filantropi yakni pemberian sejumlah uang, waktu, produk atau jasa untuk membantu kebutuhan

atau untuk mendukung bekerjanya lembaga-lembaga menuju kesejahteraan manusia yang lebih baik.

Tanggung Jawab Sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh perusahaan sesuai dengan isi pasal 74 Undang-undang Perseroan Terbatas (UUPT) yang baru. Kini dunia usaha tidak lagi hanya memperhatikan catatan keuntungan perusahaan semata (single bottom line), melainkan sudah meliputi keuangan, sosial, dan aspek lingkungan biasa disebut (triple bottom line). Sinergi tiga elemen ini merupakan kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan.

Berdasar pada Trinidad and Tobaco Bureau of Standards (TTBS), Corporate Social Responsibility (CSR) diartikan sebagai komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal, dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komuniti lokal, dan masyarakat secara lebih luas (Sankat Clement K, 2002 dalam Zainal, 2006). Sedangkan The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) mendefinisikan CSR sebagai komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komuniti-komuniti setempat dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan kualitas hidup (fox, et al, 2002 dalam Zainal, 2006). Terkait dengan definisi tersebut, beberapa hal yang dapat digaris bawahi yakni pertama, bahwa CSR merupakan komitmen dari bisnis atau usaha. Kedua, CSR berkontribusi terhadap peningkatan ekonomi dan kualitas kehidupan masyarakat. Artinya bahwa model CSR hendaknya untuk pembangunan yang berkelanjutan, dimana tanggung jawab sosial perusahaan bukan hanya sebatas pada kedermawanan dari perusahaan, namun menyangkut pada pengelolaan CSR sehingga dapat memberikan dampak positif pada kualitas kehidupan komuniti lokal dan masyarakat serta kapasitas ekonomi. Perihal ketiga yakni karyawan dan keluarganya, komuniti lokal dan masyarakat secara luas dan keseluruhan merupakan dimensi-dimensi yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan CSR.3

3Rabin Ibnu Zainal.2006.Best Practices: Corporate Social Responsibility (CSR) “Sebuah pengalaman

Hess dan Siciliano juga memberikan penjelasan mengenai CSR dengan membedakannya melalui dua pendekatan yakni Classical Economy Approach dan Activist Approach (Hess dan Sicilliano, 1996:53-55 dalam Soemanto, 2007). Pendekatan The Classical Economy Approach melihat bahwa CSR dilakukan dengan mematuhi peraturan dan kode etik yang berlaku dalam masyarakat, yaitu tidak menyebabkan kerugian konsumen, pekerja, atau lingkungan sekitar, dengan tetap mengupayakan keuntungan perusahaan. Pendekatan kedua yakni Activist Approach melihat perusahaan memiliki tanggung jawab tidak hanya kepada pemilik perusahaan, tetapi kepada semua pihak yang memiliki kepentingan atas perusahaan4.

Sementara itu, Mark Goyder (Iriantara, 2004:77 dalam Rahman, 2009) membagi bentuk CSR menjadi dua:

a) Membentuk tindakan atas program yang diberikan terhadap komunitas dan nilai yang menjadi acuan dari CSR. Pembagian ini merupakan tindakan terhadap luar korporat, atau kaitannya dengan lingkungan di luar korporat seperti komunitas dan lingkungan alam. Bagaimana sebuah korporat menerapkan dan atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan komunitas sekitarnya.

b) Mengarah ke tipe ideal yang berupa nilai dalam korporat yang dipakai untuk menerapkan atau mewujudkan tindakan-tindakan yang sesuai dengan keadaan sosial terhadap komunitas sekitarnya. Intrepetasi yang benar dari CSR adalah ekspresi dari tujuan perusahaan dan nilai-nilai dalam seluruh hubungan yang dibangun. Nilai-nilai yang ada diartikan berbeda dengan norma yang ada dalam perusahaan.

Menurut Rahman (2009) Bentuk program CSR memiliki dua orientasi. Pertama, internal yakni CSR yang berbentuk tindakan atas program yang diberikan terhadap komunitas. Kedua, eksternal yakni CSR yang mengarah pada tipe ideal yang berupa nilai dalam korporat yang dipakai untuk menerapkan atau

Palembang:Badan penerbit Fakultas Ekonomi Unsri di dukung oleh partenership for Governance Reform in

Indonesia, Uni Eropa, dan P3EM FE Unsri.

4Bakdi Soemanto dkk.2007.Sustainable Corporation “implikasi hubungan harmonis perusahaan dan

mewujudkan tindakan-tindakan yang sesuai keadaan sosial terhadap komunitas sekitarnya.

Menurut Wibisono (2007) istilah Triple Bottom Line dipopulerkan oleh John Elkington pada tahun 1997 melalui bukunya “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”. Elkington mengembangkan konsep triple bottom line dalam istilah economic prosperity (profit), environmental quality (planet) dan social justice (people).

1. Profit (keuntungan)

Profit merupakan unsur terpenting dan menjadi tujuan utama dari setiap kegiatan usaha. Profit sendiri pada hakikatnya merupakan tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Sedangkan aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efisiensi biaya, sehingga perusahaan mempunyai keunggulan kompetitif yang dapat memberikan nilai tambah semaksimal mungkin.

2. People (masyarakat pemangku)

Menyadari bahwa masyarakat merupakan stakeholder penting bagi perusahaan, karena dukungan mereka, terutama masyarakat sekitar, sangat diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan. Maka sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan masyarakat lingkungan, perusahaan perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesarnya kepada masyarakat.

3. Planet (lingkungan)

Unsur ketiga yang mesti diperhatikan juga adalah lingkungan. Jika perusahaan ingin eksis dan akseptable maka harus disertakan pula tanggung jawab kepada lingkungan. Lingkungan sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang kehidupan. Hubungan dengan lingkungan adalah hubungan sebab akibat. Dimana jika manusia merawat lingkungan, maka lingkungan akan memberikan yang terbaik, begitu pula sebaliknya.

Lingkup penerapan CSR secara gagasan Prince of Wales International Business Forum dalam Wibisono (2007) mengusung lima pilar yakni:

Berkaitan dengan internal perusahaan untuk menciptakan SDM yang andal, di sisi lain, perusahaan juga dituntut melakukan pemberdayaan masyarakat.

2. Strengtening economies

Perusahaan harus memberdayakan ekonomi masyarakat sekitarnya, agar terjadi pemerataan kesejahteraan.

3. Assesing social chesion

Upaya menjaga keharmonisan dengan masyarakat sekitar, agar tidak menimbulkan konflik.

4. Encourging good governance

Perusahaan dalam menjalankan bisnisnya mengacu pada Good Corporate Governance (GCG).

5. Protecting the environment

Mengharuskan perusahaan untuk menjaga lingkungan sekitarnya

Dalam prakteknya di lapangan, menurut Rahman (2009) suatu kegiatan disebut CSR ketika memiliki sejumlah unsur berikut:

1. Continuity dan sustainability atau berkesinambungan dan berkelanjutan merupakan unsur vital dari CSR. Suatu kegiatan amal yang berdasar trend ataupun insidental, bukanlah CSR. CSR merupakan hal yang bercirikan pada long term perspective bukan instant, happening atau pun booming. CSR adalah suatu mekanisme kegiatan yang terencanakan, sistematis, dan dapat dievaluasi.

2. Community empowerment atau pemberdayaan komunitas. Membedakan CSR dengan kegiatan yang bersifat charity atau pun philantrophy semata. Tindakan-tindakan kedermawanan meskipun membantu komunitas, tetapi tidak menjadikannya mandiri. Salah satu indikasi dari suksesnya sebuah program CSR adalah adanya kemandirian yang lebih pada komunitas, dibandingkan dengan sebelum program CSR hadir.

3. Two ways. Artinya program CSR bersifat dua arah. Korporat bukan lagi berperan sebagai komunikator semata, tetapi juga harus mampu mendengarkan aspirasi dari komunitas. Ini dapat dilakukan dengan need

assessment, yaitu sebuah survei untuk mengetahui needs, desire, interest dan wants dari komunitas.

Menurut Iriantara (2004) dalam Rahman (2009), ada tiga perspektif terkait dengan CSR:

1. Kapital reputasi

Memandang penting reputasi untuk memperoleh dan mempertahankan pasar. CSR dipandang sebagai strategi bisnis yang bertujuan untuk meminimalkan risiko dan memaksimalkan keuntungan dengan menjaga kepercayaan stakeholder.

2. Ekososial

Memandang stabilitas dan keberlanjutan sosial dan lingkungan sebagai strategi untuk menjaga keberlanjutan bisnis korporat.

3. Hak-hak pihak lain

Memandang konsumen, pekerja, komunitas yang terpengaruh bisnisnya dan pemegang saham, memiliki hak untuk mengetahui tentang korporat dan bisnisnya.

2.1.2.2 Motivasi dan Bentuk Penyaluran Tanggung Jawab Sosial Perusahaan/CSR

Kedermawanan sosial perusahaan juga berhubungan dengan beberapa hal, antara lain adalah motivasi yang mendorong perusahaan untuk melakukan kedermawanan sosial, cara pengambilan keputusan dan nilai-nilai yang akan dicapai dalam memberikan sumbangan. Hal-hal tersebut merupakan hal yang penting untuk diketahui dalam rangka menggali potensi dana lokal, karena selama ini ada kecendrungan dana lokal lewat sumbangan sosial perusahaan tersalurkan dalam area yang sangat variatif sesuai dengan keinginan perusahaan penyumbang5.

Menurut Onny S Prijono (1994) dalam Saidi (2003) dicatat bahwa sumbangan perusahaan pada dasarnya berbasis pada pemberian individu dan cukup sulit membedakan seorang pemilik atau ekskutif puncak dengan perusahaan yang diwakilinya. Sifatnya yang cenderung individual, motif sumbangan sosial

5Zaim Saidi dkk.2003.Sumbangan Sosial Perusahaan “Profil dan Pola Distribusinya di Indonesia Survei 226 Perusahaan di 10 Kota. Jakarta Selatan: Piramedia

yang diberikan perusahaan juga berorientasi pada sesuatu yang bersifat transendental. Sehingga dana yang tersalur dari perusahaan lebih mengarah pada kegiatan yang bersifat transeden seperti panti asuhan, panti jompo, tempat ibadah, dan bencana alam.

Menurut Steiner (1994) dalam Nursahid (2006) terdapat sejumlah alasan mengapa perusahaan memiliki program-program filantropi atau kedermawanan sosial yaitu pertama, untuk mempraktikan konsep “good corporate citizenship”. Kedua, untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan ketiga, untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia terdidik. Kedermawanan sosial biasanya di dasari dua motif sekaligus, yakni: motivasi untuk menyenangkan atau membahagiakan orang lain (altruisme) pada satu sisi dan pada saat yang bersamaan terjadi pula bias kepentingan perusahaan di sisi lain.

Studi PIRAC menggambarkan pola-pola kedermawan perusahaan. Dilihat dari sifat dan bentuknya, sebagian besar sumbangan yang diberikan perusahaan yang bersifat insidentil dan dalam bentuk natura (in-kind). Sumbangan natura diberikan antara lain dalam bentuk: produk perusahaan, jasa profesional, pemakaian sarana perusahaan, peralatan bekas pakai, keterlibatan perusahaan dalam kepengurusan lembaga sosial, dorongan agar staf perusahaan menjadi volunteer, kampanye penggalangan dana di lingkungan perusahaan, dan beriklan di penerbitan yang dikelola lembaga swadaya masyarakat. Sementara sumbangan secara tunai diberikan dalam bentuk: hibah, joint promotion, iuran anggota, special event, payroll giving, dan zakat perusahaan.

Sejumlah model penyaluran sumbangan juga teridentifikasi dalam studi Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC). Ada empat model penyaluran sumbangan, yakni: pertama, perusahaan menjalankan kedermawanan secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial tanpa perantara. Kedua, sumbangan diberikan melalui organisasi atau yayasan sosial yang didirikan oleh perusahaan atau grupnya. Ketiga, perusahaan bermitra dengan pihak lain seperti LSM, instansi pemerintah, universitas dan media massa. Keempat, perusahaan ikut mendirikan atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan tertentu.

Pada metode penyalurannya ini, ada beberapa pola kerjasama yang bisa diterapkan perusahaan dalam bermitra dengan organisasi lain dalam menyalurkan sumbangan. Pola pertama, perusahaan menanggung seluruh biaya yang diperlukan, baik dana untuk disumbangkan, maupun biaya operasional untuk menyalurkannya. Pola kedua, perusahaan hanya menyediakan dana untuk disumbangkan, sedangkan organisasi yang menjadi mitra perusahaan hanya menanggung biaya operasional untuk menyalurkan dana tersebut. Pola lainnya yakni modifikasi dari pola yang terakhir disebutkan tadi yaitu selain menyediakan dana, perusahaan juga membantu membiayai sebagian biaya operasional sehingga beban organisasi mitra menjadi lebih ringan.

Sedangkan untuk besaran sumbangan, menyumbang (filantropi) merupakan aktivitas yang umum dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia. Kenyataan ini secara kasat mata dapat diindikasikan dengan berbagai liputan di media massa yang memberitakan kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh berbagai perusahaan.

Menurut Zaim Saidi (2003) dalam Nursahid (2006), tipologi kedermawanan sosial perusahaan di bagi ke dalam lima kategori: charity (amal), image building (promosi), facility (insentif pajak), security prosperity (ketahanan hidup atau peningkatan kesejahteraan) dan money laundering (manipulasi). Memahami beragam motivasi kedermawanan ini penting dari prospektif etis, agar tujuan normatif kedermawanan sosial dalam rangka pemberdayaan masyarakat tidak terdiskusi dan dimanipulasi oleh kepentingan yang tidak sehat.

Menurut Blakemore (1998) dalam Nursahid (2006), kebijakan sosial bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia kendati tujuan ini sulit dan mungkin sering kali gagal dilakukan. Blakemore juga mengemukakan prinsip-prinsip kebijakan sosial dalam pendekatan kesejahteraan sosial dimana kebijakan ini harus didasarkan pada prinsip: kesetaraan (equality), kebutuhan (need) dan kebebasan (freedom). Adapun makna yang saling terkait dari prinsip-prinsip tersebut: pertama, sebuah prinsip mungkin mempunyai makna etis atau moral. Prinsip ini akan memperlihatkan mengenai “benar” dan “salah” terkait dengan standar moral tertentu. Oleh karena itu kebijakan sosial harus merefleksikan norma dan nilai masyarakat. Kedua, prinsip dilihat sebagai sebuah aturan dimana

dalam pengertian ini masing-masing sistem mengembangkan mekanisme birokrasi yang berorientasi pada penciptaan kesejahteraan.

Transformasi menjadi upaya penting lain dalam melihat praktik kedermawanan sosial perusahaan. Hal ini didasari bahwa sebagian besar donasi perusahaan (menurut hasil survei PIRAC) merupakan donasi yang berbentuk hibah sosial, sementara masih sedikit yang berupa hibah pembangunan. Hibah sosial adalah bantuan kepada suatu organisasi nirlaba untuk kegiatan-kegiatan sosial, pendidikan, sedekah atau kegiatan lain yang melayani kemaslahatan masyarakat dengan hak pengelolaan hibah sepenuhnya pada penerima. Sedangkan hibah pembangunan merupakan bantuan selektif kepada suatu organisasi nirlaba yang menjalankan suatu kegiatan atau agenda yang sejalan dengan organisasi pemberi bantuan. Tranformasi terhadap orientasi ini perlu dilakukan karena hibah sosial umumnya adalah hibah yang diperuntukan guna pemenuhan keperluan sesaat dan sifatnya konsumtif. Oleh karena itu perlu di dorong kegiatan kedermawanan dari aktivitas yang bersifat sedekah menuju kepada pengembangan dan akhirnya pemberdayaan, sebagaimana digambarkan dalam tabel berikut:

Tabel 3. Karakterisasi Tahap-Tahap Kedermawanan Sosial Perusahaan

Tahapan Charity Philanthropy Corporate Citizenship

Motivasi Agama, tradisi, adat

Norma etika, hukum universal, redistribusi kekayaan

Pencerahan diri dan rekonsiliasi dengan ketertiban sosial

Misi Mengatasi

masalah sesaat Mencari dan mengatasi masalah Memberikan kontribusi kepada masyarakat

Pengelolaan Jangka pendek, menyelesaikan masalah sesaat Terencana, terorganisir, terprogram Terinternalisasi dalam kebijakan perusahaan

Pengorganisasian Kepanitian Yayasan/dana abadi, profesionalisasi

Keterlibatan baik dana maupun sumber daya lain

Penerima manfaat

Orang miskin Masyarakat luas Masyarakat luas dan perusahaan

Kontribusi Hibah social Hibah pembangunan Hibah (sosial maupun pembangunan) dan keterlibatan sosial Inspirasi Kewajiban Kepentingan bersama

2.1.2.3 Pihak-Pihak Terkait dalam Tanggung Jawab Sosial Perusahaan/CSR Pada implementasi tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR, beberapa stakeholder terkait yakni pertama adalah pemerintah. Pemerintah dapat melakukan peran dalam empat ranah yakni menyediakan data dan informasi, memberi dukungan infrastruktur publik, melakukan sosialisasi program, dan menginisiasi kebijakan insentif fiskal. Kedua yakni sektor privat. Perusahaan dapat memposisikan diri sebagai pihak yang harus merencanakan CSR secara matang, mengeluarkan anggaran untuk investasi sosial, menyosialisasikan, dan membuka ruang sehingga tercipta integrasi CSR dengan kebijakan pemerintah dan masyarakat. ketiga yakni Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)6.

Perlu disepakati bahwa perusahaan atau korporat merupakan bagian dari suatu sistem komunitas. Secara internal, perusahaan perlu mempertahankan keberlanjutan dan eksistensi usahanya. Sedangkan di pihak lain, stakeholder lainnya pun membutuhkan perusahaan untuk dapat berkembang, untuk itu korporate atau perusahaan tidak bisa berdiri sendiri dikarenakan perusahaan juga merupakan bagian dari suatu sistem komunitas.

Menurut Wibisono (2007) Stakeholders yang jamak diterjemahkan dengan pemangku kepentingan adalah pihak atau kelompok yang berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap eksistensi atau aktivitas perusahaan dan karenanya kelompok-kelompok tersebut mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh perusahaan. Rhenald Kasali (2005) dalam Wibisono (2007) membagi stakeholders menjadi sebagai berikut:

1. Stakeholders internal dan stakeholders eksternal

Stakeholders internal adalah stakeholders yang berada di dalam lingkungan organisasi. Misalnya karyawan, manajer, dan pemegang saham (shareholders). Sedangkan stakeholders eksternal adalah stakeholders yang berada di luar lingkungan konsumen organisasi seperti penyalur atau pemasok, konsumen atau pelanggan, penyalur atau pemasok, konsumen atau pelanggan, masyarakat, pemerintah,

6Bakdi Soemanto dkk.2007.Sustainable Corporation “implikasi hubungan harmonis perusahaan dan

pers, kelompok sosial masyarakat, pemerintah, pers, kelompok sosial responsible investor, licensing partner dan lain-lain.

2. Stakeholders primer, stakeholders sekunders dan stakeholders marjinal.

Tidak semua elemen dalam stakeholders perlu diperhatikan. Perusahaan perlu menyusun skala prioritas. Stakeholders yang paling penting disebut stakeholders primer, stakeholders yang kurang penting disebut stakeholders sekunder dan yang bisa diabaikan disebut stakeholders marjinal.

3. Stakeholders tradisional dan stakeholders masa depan.

Karyawan dan konsumen dapat disebut stakeholders tradisional, karena saat ini sudah berhubungan dengan organisasi. Sedangkan stakeholders masa depan adalah stakeholders pada masa yang akan datang diperkirakan akan memberikan pengaruhnya pada organisasi seperti mahasiswa, peneliti, dan konsumen potensial.

4. Proponents, opponents dan uncommitted

Diantara stakeholders ada kelompok yang memihak organisasi (proponents), menentang organisasi (opponents), dan ada yang tak peduli atau abai (uncommitted).

5. Silent majority dan vocal minority

Dilihat dari aktivitas stakeholders dalam melakukan komplain atau mendukung perusahaan, tentu ada yang menyatakan penentangan atau dukungannya secara vokal (aktif) namun adapula yang menyatakan secara silent (pasif).

Dwight W Justice (2006) dalam Taufik Rahman (2009) menyebutkan bahwa salah satu peluang terbaik dari isu CSR dalam kaitannya dengan peran serikat pekerja adalah makna dari CSR sebagai tindakan sukarela untuk mematuhi dan melampaui seluruh regulasi. Adopsi penuh konvensi ILO, deklarasi HAM, dan deklarasi PBB dalam konferensi Rio kembali dalam persepektif CSR sudah bukan sebagai pilihan anjuran melainkan menjadi kewajiban. Isu mengenai perlakuan yang setara, jaminan keamanan setiap pekerja, kebebasan berserikat, memberikan rasa hormat dengan sepenuh hati atas hak-hak politik dan hak-hak

sipil, pemberian kompensasi dan standar kehidupan bagi pekerja dan keluarga secara wajar, memberikan proteksi penuh atas kesepakatan kolektif, dan seterusnya sudah bukan lagi sebagai isu, wacana atau cita-cita. Selanjutnya, Justice (2006) dalam Taufik Rahman (2009) menyatakan jika kesadaran akan hal di atas sudah menjadi bagian etis dan praktis pelaku bisnis, maka serikat pekerja atau bahkan individu pekerja bisa secara sukarela menyatakan dan mengusulkan ide mengenai apa dan bagaimana sebaiknya CSR perusahaan. Selain sebagai partisipati pro aktif, serikat pekerja juga bisa berperan sebagai kelompok kontrol untuk memverifikasi laporan keberlanjutan perusahaan untuk kemudian memberikan masukan untuk perbaikan kinerja CSR perusahaan. Menurut Luke Wilde (2003) dalam Taufik Rahman (2009) praktik bisnis di sebuah perusahaan hendaknya menunjukan kinerja-kinerja sebagai berikut:

1. Menghormati para pekerjanya sebagai bagian terpenting dari praktik bisnis, terus mempromosikan, melindungi, menjamin keamanan, dan menjamin perlindungan atas hak-hak para pekerja.

2. Perusahaan menjamin bahwa proses produksi mereka tidak melanggar HAM dan tidak digunakan untuk kepentingan yang bertentangan dengan HAM.

3. Perusahaan harus meneguhkan pandangan positif bahwa mereka memiliki kewajiban kepada seluruh pemangku kepentingan untuk meminimumkan dampak negatif sosial, ekonomi, dan lingkungan dari eksistensi dan operasinya.

4. Perusahaan harus benar-benar merasa kewajiban untuk mendatangkan dampak positif bagi kesejahteraan sosial, ekonomi, dan lingkungan kepada seluruh pemangku kepentingan (internal dan eksternal).

2.1.2.4 Cara Pandang dan Implementasi CSR7

Cara perusahaan memandang CSR atau alasan perusahaan menerapkan CSR bisa diklasifikasikan dalam tiga kategori. 1) Sekedar basa-basi dan keterpaksaan. Artinya CSR hanya dipraktikan lebih karena faktor eksternal (eksternal driven). 2) Sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban (compliance).

CSR diimplementasikan karena memang ada regulasi, hukum, dan aturan yang memaksakannya. 3) Bukan lagi sekedar compliance tapi beyond compliance alias compliance plus. CSR diimplementasikan karena memang ada dorongan yang tulus dari dalam (internal driven). Implementasi CSR itu merupakan langkah-langkah pilihan sendiri sebagai kebijakan perusahaan, bukan karena dipaksa oleh aturan ataupun tekanan dari masyarakat.

Implementasi CSR pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: 1) Terkait dengan komimen pemimpin perusahaan yang dituangkan berupa kebijakan perusahaan terkait CSR. 2) Menyangkut ukuran dan kematangan perusahaan. Perusahaan yang besar dan mapan lebih mempunyai potensi memberi kontribusi ketimbang perusahaan kecil dan belum mapan. 3) Regulasi dan sistem perpajakan yang diatur pemerintah.

Perusahaan-perusahaan yang telah berhasil dalam menerapkan CSR menggunakan pertahapan implementasi CSR sebagai berikut:

1. Tahap Perencanaan

Tahap ini terdiri dari 3 langkah utama yaitu Awareness Building, CSR Assesment, dan CSR Manual Building. Awareness Building merupakan langkah awal untuk membangun kesadaran perusahaan mengenai arti penting CSR dan komitmen manajemen, upaya ini dapat dilakukan melalui seminar, lokakarya, dan lain-lain. CSR assesment merupakan upaya untuk memetakan kondisi perusahaan dan mengidentifikasi aspek-aspek yang

Dokumen terkait