• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengendalian Diri ( Self-Control)

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

2.2. Pengendalian Diri ( Self-Control)

2.2.1 Definisi Pengendalian Diri (Self-Control)

Pengedalian diri menurtut Goleman (2004) ialah mengelola emosi, yaitu menangani perasaan agar terungkap dengan pas. Mahoney dan Thoresen dalam Robert (1975) menjelaskan bahwa pengendalian diri merupakan jalinan yang utuh yang dilakukan individu terhadap lingkungannya. Individu dengan pengendalian diri tinggi sangat memperhatikan cara-cara yang tepat untuk berperilaku dalam situasi yang bervariasi. Individu cenderung akan mengubah perilakunya sesuai dengan permintaan situasi sosial, dengan cara mengatur kesan yang dibuat lebih responsif terhadap petunjuk situasional, lebih fleksibel, berusaha untuk memperlancar interaksi sosial, bersifat hangat dan terbuka.

Pengendalian diri menurut Blackburn (1993) adalah kemampuan untuk menunda atau menghalangi suatu respon kekhawatiran dalam semua analisis perkembangan dan belajar, dan telah diperiksa secara mendalam yang meliputi pengendalian dorongan, pengendalian diri, toleransi terhadap frustasi, penundaan pemuasan keputusan.

Menurut Chaplin (2002) self-control adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri; kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsif. Sedangkan Henry (1994) mendefinisikan kontrol diri sebagai pengendalian yang yang dilakukan oleh individu terhadap perasaan-perasaan, impuls-impuls, dan tindakannya sendiri.

Snyder dan Gangestad (1986) mengatakan bahwa pengendalian diri sangat relevan untuk melihat hubungan pribadi dengan ligkungan masyarakat yang sesuai dengan isyarat situasional dalam bersikap dan berpendirian yang efektif.

Goldfried dan Merbaum dalam Lazarus (1976) juga mengartikan pengendalian diri sebagai suatu kesempatan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif.

Plato dalam Howard Rachlin (2000) mendefinisikan kontrol diri ( self-control) sebagai sesuatu yang bisa diciptakan, jika kita mempunyai kemampuan atau motivasi yang kuat untuk melakukannya. Tidak ada perbedaan antara kognisi (knowledge) dan motivasi (self-control) dimana seseorang dikatakan bijaksana, apabila dia memiliki perilaku baik dan memiliki pengetahuan yang benar. Dan seseorang tidak sepenuhnya mengerti apa yang terbaik terhadap dirinya, sebelum dia melakukan kesalahan. Seseorang yang mempunyai pengetahuan akan mudah baginya untuk mengontrol segala perilakunya.

Hurlock (1980) mengatakan bahwa kontrol diri bisa muncul karena adanya perbedaan dalam mengelola emosi, cara mengatasi masalah, tinggi rendahnya

motivasi, dan kemampuan mengelola segala potensi dan pengembangan kompetensinya. Kontrol diri itu sendiri berkaitan dengan bagaimana individu mampu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dalam dirinya.

Menurut Ubaydillah (2008), self-control adalah kemampuan seseorang dalam mengelola emosi agar tetap di bawah kontrol (under-control) dan kemampuannya dalam menahan diri dari tindakan brutal ketika ada pemicu atau berada dalam kondisi yang menegangkan (stressful condition).

Seseorang yang memiliki kemampuan mengontrol diri akan mampu menggunakan akal sehat, tetap bisa memunculkan pandangan positif dan tenang (stabil). Sebagaimana yang dikemukakan Goldfried dan Merbau dalam Lazarus (1976), pengontrolan diri merupakan suatu proses yang menjadikan individu sebagai agen utama dalam membimbing, mengatur dan mengarahkan perilaku yang dapat membawanya ke arah konsekuensi positif.

Zerotothree (2004) mengatakan self-control adalah kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan tentang bagaimana dan kapan mengekspresikan perasaan-perasaan dan tindakan impuls-impuls.

Pengendalian diri menggambarkan keputusan individu yang melalui pertimbangan kognitif untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan tertentu seperti yang diinginkan (Lazarus, 1976).

Menurut Berk dalam Singgih (2006) pengendalian diri adalah kemampuan individu untuk menahan keinginan atau dorongan sesaat yang bertentangan

dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma sosial.

Messina dan Messina dalam Singgih (2006) menyatakan bahwa pengendalian diri adalah seperangkat tingkah laku yang berfokus pada keberhasilan menangkal pengrusakan diri (self-destructive), perasaan mampu pada diri sendiri, perasaan mandiri (autonomy) atau bebas dari pengaruh orang lain, kebebasan menentukan tujuan, kemampuan untuk memisahkan perasan dan pemikiran rasional, serta seperangkat tingkah laku yang berfokus pada tanggung jawab atas diri pribadi.

Pengendalian diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya (Hurlock, 1984). Hurlock (1973) menyebutkan terdapat tiga kriteria emosi dalam pengendalian diri, yaitu:

a. Dapat melakukan pengendalian diri yang bisa diterima secara sosial.

b. Dapat memahami seberapa banyak kontrol yang dibutuhkan untuk memuaskan kebutuhannya dan sesuai dengan harapan masyarakat.

c. Dapat menilai situasi secara kritis sebelum meresponnya dan memutuskan cara bereaksi terhadap situasi tersebut.

2.2.2 Manfaat Pengendalian Diri (Self-Control)

Christoper dan Albert dalam Atwater (1999) mengembangkan manfaat teori pengendalian diri (self-control), yang meliputi hal-hal di bawah ini:

1. Pengendalian setiap individu berbeda, dimana mereka yakin dapat menjalani kehidupannya.

2. Pengendalian diri seseorang tergantung pada interaksi antara individu tersebut dan lingkungannya. Dan juga tergantung faktor disposisi dalam diri dan karakteristik lingkungan.

3. Faktor penting dalam pengendalian diri adalah keyakinan bahwa kita dapat mempengaruhi hasil/aktual, memilih alternatif yang ada, membuat konsekuensi dan mematuhinya.

4. Dalam beberapa situasi, kemapuan pengendalian diri yang kuat sangat diperlukan supaya kita dapat bertahan, beradaptasi dan mampu dalam menghadapi perubahan dan kekurangberuntugan.

5. Pengendalian diri menjadi faktor pendukung mencapai kesusksesan dan menghambat kegagalan. Oleh karena itu, individu memerlukan tingkat pengendalian diri yang berbeda untuk menghadapi persoalan di dalam kehidupannya.

2.2.3 Aspek-Aspek Pengendalian Diri (Self-Control)

Berdasarkan konsep Averil (1973), terdapat 3 aspek yang tercakup dalam kemampuan mengontrol diri, yaitu:

Mengontrol perilaku merupakan kesiapan atau tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Aspek ini terdiri dari dua komponen, yaitu: mengatur pelaksanaan (regulated administration), dan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability). Kemampuan mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan dirinya sendiri atau seseuatu di luar dirinya. Individu yang mempunayi kemampuan mengontrol diri yang baik akan mampu mengatur perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan jika tidak mampu individu akan menggunakan sumber eksternal. Kemampuan mengatur stimulus merupakan kemampuan untuk mngetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi.

b. Mengontrol kognisi (cognitive control)

Merupakan kemampuan individu untuk mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologi atau untuk mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri dari dua komponen, yaitu: memperoleh informasi (information gain) dan melakukan penilaian (apparsial). Dengan informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan. Melakukan penilaian berarti individu berusaha menilai dan menafsirkan auatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif.

c. Mengontrol keputusan (decisional control)

Merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memillih berbagai kemungkinan tindakan. Aspek ini terdiri dari dua komponen, yaitu: mengantisisipasi peristiwa dan menafsirkan peristiwa, yaitu kemampuan menahan diri.

Aspek ini merujuk pada kemampuan individu dalam membuat pertimbangan dan menilai situasi terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan. Kemampuan mengontrol diri terletak pada kekuatan dari ketiga aspek tersebut. Kemampuan mengontrol diri ditentukan oleh seberapa jauh salah satu aspek mendominasi, atau kombinansi tertentu dari berbagai aspek dalam mengontrol diri.

2.2.4 Pengaruh Pengendalian Diri (Self-Control) Terhadap Perilaku

Calhoun dan Acocella (1990) menyatakan bahwa kontrol diri (self-control) dapat dijadikan sebagai kekuatan sesorang dalam mempengaruhi diri, pengaturan terhadap fisik, sikap, dan proses-proses yang bersifat psikologis dengan kata lain, pengaturan terhadap segala proses yang menentukan diri seseorang. Dengan begitu, individu dengan kontrol diri yang tinggi akan sangat memperhatikan

cara-cara yang tepat untuk bagaimana berperilaku dalam situasi yang bervariasi. Ia cenderung untuk mengubah perilakunya sesuai dengan permintaan situasi sosial yang kemudian dapat mengatur kesan yang dibuat.

Selain itu, perilakunya lebih responsif terhadap petunjuk situasional, lebih fleksibel, berusaha untuk memperlancar interaksi sosial, bersikap hangat dan terbuka dengan orang lain. Seseorang akan berusaha menampilkan perilaku yang dianggap paling tepat bagi dirinya yaitu perilaku yang dapat menyelamatkan intraksinya dari akibat negatif yang disebabkan karena respon yang dilakukannya.

Calhoun dan Acocella (1990) mengemukakan dua alasan yang mengharuskan individu untuk mengontrol diri secara kontinyu.

1. Pertama, individu hidup bersama kelompok sehingga dalam memuaskan keinginannya individu harus mengontrol perilakunya agar tidak mengganggu kenyamanan orang lain.

2. Kedua, masyarakat mendorong individu untuk secara konstan menyusun standar yang lebih baik bagi dirinya. Sehingga dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut dibutuhkan pengontrolan diri agar dalam proses pencapaian standar tersebut individu tidak melakukan hal-hal yang menyimpang.

Dokumen terkait