• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan pengendalian diri (self-control) dengan agresivitas anak jalanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan pengendalian diri (self-control) dengan agresivitas anak jalanan"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Nurfaujiyanti

NIM : 105070002249

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Hubungan Pengendalian Diri (Self-Control) dengan Agresivitas Anak Jalanan” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan

skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini

telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.

Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan

Undang-Undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan

dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.

Jakarta, 14 Oktober 2010

Nurfaujiyanti

NIM: 105070002249

(2)

ABSTRAK

(A) Fakultas Psikologi (B) Desember 2010 (C) Nurfaujiyanti

(D) Hubungan pengendalian diri (self-control) dengan agresivitas anak jalanan

(E) 78 halaman (belum termasuk lampiran)

(F) Pengendalian diri merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan dan digunakan individu selama proses-proses dalam kehidupan, termasuk dalam menghadapi kondisi yang terjadi di lingkungan tempat tinggalnya. Lingkungan anak jalanan dapat dikatakan sangat rentan dengan hal-hal yang berkaitan dengan agresivitas. Agresivitas dapat terjadi pada semua kelompok individu, tak terkecuali anak jalanan.

Bentuk-bentuk dari agresivitas yaitu agresi fisik, agresi verbal, kemarahan dan sikap permusuhan (Buss & Perry, 1992). Agresi fisik dan agresi verbal dapat dikendalikan dengan kemampuan mengontrol perilaku, sehingga individu dapat mengendalikant dirinya dengan baik dan diharapkan mampu mengatur perilaku dengan kemampuan dirinya.

Averil (1973) mengemukakan bahwa terdapat 3 aspek yang tercakup dalam kemampuan mengendalikan diri, yaitu: mengontrol perilaku, mengontrol kognisi, dan mengontrol keputusan.

(3)

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data diperoleh koefisien korelasi sebesar -0,529. Hasil ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang negatif antara pengendalian diri dengan agresivitas anak jalanan. Artinya, semakin tinggi tingkat pengendalian diri anak jalanan, maka semakin rendah agresivitasnya.

Dari hasil penelitian ini disarankan agar pemerintah dapat lebih memperhatikan keberadaan anak jalanan dan memberikan hak-hak yang sepatutnya mereka dapatkan. Untuk peneliti selanjutnya agar dapat menambahkan variabel terkait lainnya.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT berkat lindungan dan rahmat-Nya, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam bagi Nabi Muhammad SAW yang telah membawa lentera penerang bagi seluruh manusia di muka bumi, juga kepada keluarga dan para sahabat serta orang-orang yang mengikuti jejaknya hingga akhir zaman.

Penulis bersyukur telah dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

“HUBUNGAN PENGENDALIAN DIRI (SELF-CONTROL) DENGAN

AGRESIVITAS ANAK JALANAN” sebagai syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kelancaran dalam pembuatan skripsi ini tidak luput dari bantuan, arahan dari banyak pihak dan juga petunjuk dan nikmat dari Allah SWT kepada penulis. Oleh karena itu, penulis panjatkan syukur dan haturkan terimakasih kepada :

1. Teristimewa mamaku Hj. Aminah dan papaku H. Agus Salim yang senantiasa kuhormati dalam setiap detik kehidupanku, yang selalu siap membantu dan memberikan doa, kasih sayang, dan dukungan baik moril maupun materil yang tak terhingga kepada penulis. Semoga Allah memberikan kalian kebahagiaan di dunia dan akhirat.

2. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Jahja Umar Ph.D, berkat bimbingan, arahan, nasehat dan cerita-cerita beliau mengenai hal-hal yang baru bagi penulis.

3. Bapak Bambang Suryadi, Ph.D sebagai dosen pembimbing I, atas arahan, bimbingan dan masukan yang sangat membangun, tangis, takut dan haru selama bimbingan berlangsung. Ibu Layyinah, M.Si sebagai dosen pembimbing II, yang dengan sabar dan kebesaran hati dalam membimbing saya untuk mewujudkan skripsi ini.

4. Bapak Ikhwan Lutfi, M.Psi penguji 1 atas arahan dan bimbingan yang sangat berharga dalam menyelesaikan perbaikan skripsi ini.

(5)

 

6. Ibu Dra. Hj. Fadhilah Suralaga, M.Si, pembantu dekan bagian akademik yang telah memberikan semangat dan masukan guna menyelesaikan skripsi ini.

7. Seluruh dosen Fakultas Psikologi yang telah memberikan pengalaman dan ilmunya kepada penulis. Semoga Allah membalas kebaikan kalian.

8. Kakakku Lia Yuliah, Yayah Sorayah, S.Pd, Mundopar, S.Si. Terimakasih atas semua kebaikan yang selama ini diberikan. Adikku yang selalu menambah keceriaan di rumah: Kiki Rizki Amalia dan Fachrur Rokhman, serta dua keponakanku yang menambah kebahagiaan: Arva Zulhilmi dan M. Yusuf Akhtiari Razin.

9. Bapak dan Ibu staf Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta atas kebaikan dan kerjasamanya.

10.Sahabat-sahabat setia yang keberadaanya sangat berarti bagi penulis: Uli, Novi, Nurlia, Pian, Nadiyya, Arizka, Dina, Dona, Fika, Anita (atas kebersamaan selama perkuliahan). Dewi Budiarti, Magfiroh, Miftahul Khaer, Tyas, Kholis (atas motivasi, dukungan dan do`anya). Dan teman-teman seperjuangan dalam mengerjakan skripsi yang namanya tidak bisa disebutkan satu persatu.

11.Kepada kakak-kakak dan adik-adik Sahabat Anak Depok, Sahabat Anak Gambir, Abang dan Adik Yayasan Bina Insan Mandiri (YABIM) Depok. Terimakasih atas bantuannya dalam penyebaran skala penelitian ini.

12.Juga kepada seluruh angkatan 2005 khususnya kelas A (atas diskusi, debat dan kebersamaannya) dan seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Jakarta, Desember 2010

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERNYATAAN (KEASLIAN KARYA) ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iii

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ………..viii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

MOTTO ... iv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah………. ... 9

1.2.1. Batasan Masalah ………... 9

1.2.2. Perumusan Masalah ... 9

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian………. ... 10

1.3.1. Tujuan Penelitian ……….. ... 10

1.3.2. Manfaat Penelitian ... 10

1.4. Sistematika Penulisan ... 10

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA ... 12

2.1. Agresivitas ... 12

2.1.1. Pengertian Agresivitas ... 12

2.1.2. Jenis Agresivitas ... 15

2.1.3 Faktor Pencetus Agresivitas ... 19

2.2. Pengendalian Diri (Self-Control) ... 25

2.2.1. Pengertian Pengendalian Diri (Self-Control) ... 25

(7)

2.2.3. Aspek-Aspek Pengendalian Diri (Self-Control) ... 29

2.2.4. Pengaruh Pengendalian Diri (Self-Control) ... 31

2.3. Kerangka Berpikir ... 33

2.4. Hipotesis Penelitian ... 34

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 35

3.1. Jenis Penelitian ... 35

3.1.1. Pendekatan Penelitian ... 35

3.1.2. Metode Penelitian ... 35

3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 36

3.2.1. Variabel Penelitian ... 36

3.2.2. Definisi Operasional ... 36

3.3. Populasi dan Sampel ... 37

3.3.1. Populasi ... 37

3.3.2. Sampel ... 37

3.3.3. Teknik Pengambilan Sampel... 38

3.4. Pengumpulan Data ...39

3.4.1. Teknik Pengumpulan Data ... 39

3.4.2. Instrumen Pengumpulan Data ... 40

3.4.3. Validitas dan Reliabilitas ... 43

3.5. Hasil Uji Instrumen Penelitian ... 44

3.5.1. Hasil Uji Validitas Pengendalian Diri (Self-Control) ... 44

3.5.2. Hasil Uji Validitas Agresivitas ... 45

3.6. Hasil Uji Reliabilitas Skala Pengendalian Diri Dan Agresivitas...47

3.7. Teknik Analisa Data ... 47

3.8. Prosedur Penelitian ... 49

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 51

4.1 Gambaran Umum Responden ... 51

4.1.1 Berdasarkan Usia ... 51

(8)

4.1.3 Berdasarkan Kelas ... 53

4.1.4 Berdasarkan Agama ... 53

4.1.5 Berdasarkan Perkelahian... 54

4.1.6 Berdasarkan Pelaksanaan Agama... 55

4.1.7 Berdasarkan Minum Alkohol... 55

4.1.8 Berdasarkan Pengalaman Kekerasan ... 56

4.2. Deskripsi Hasil Penelitian ... ... 58

4.2.1 Kategorisasi Skor Pengendalian diri... 58

4.2.2 Kategorisasi Skor Agresivitas ... 59

4.3. Hasil Utama Penelitian ... 60

4.3.1 Uji Hipotesis ... 61

4.4. Hasil Tambahan ... 62

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN ... 71

5.1. Kesimpulan ... 71

5.2. Diskusi ... 71

5.3. Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Skoring Instrumen ... 48

Tabel 3.2 Blue Print Skala Teman Sebaya ... 49

Tabel 3.3 Blue Print Skala Perilaku Agresif ... 50

Tabel 3.4 Blue Print Skala Teman Sebaya yang Valid ... 51

Tabel 3.5 Blue Print Revisi Skala Teman Sebaya ... 52

Tabel 3.6 Blue Print Skala Perilaku Agresif yang Valid ... 54

Tabel 3.7 Blue Print Revisi Skala Perilaku Agresif ... 55

Tabel 4.1 Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Usia ... 59

Tabel 4.2 Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 60

Table 4.3 Klasifikasi Skor Teman Sebaya ... 62

Table 4.4 Klasifikasi Skor Perilaku Agresif ... 63

(10)
[image:10.595.126.516.164.566.2]

DAFTAR GAMBAR

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Skoring Instrumen ...39

Tabel 3.2 Blue PrintTry out Skala Pengendalian Diri ...41

Tabel 3.3 Blue PrintTry out Agresivitas. ...42

Tabel 3.4.. Blue Print revisi Skala Pengendalian Diri ...44

Tabel 3.5.. Blue Print revisi Skala Agresivitas ...45

Tabel 4.1 Gambaran Umum Responden ...49

Tabel 4.1. Gambaran umum berdasarkan jenis kelamin...50

Tabel 4.2. Gambaran umum responden berdasarkan usia...50

Tabel 4.3 Gambaran umum responden berdasarkan kelas ...51

Tabel 4.4. Gambaran umum responden berdasarkan agama ...51

Tabel 4.5. Gambaran umum berdasarkan perkelahian...52

Tabel 4.6. Gambaran umum minum alkohol...53

Tabel 4.7 Gambaran umum pelaksanaan Agama ...54

Tabel 4.8. Gambaran umum pengalaman kekerasan...55

Tabel 4.9 Deskripsi umum hasil penelitian ... 56

Tabel 4.10 Kategorisasi pengendalian diri ...57

Tabel 4.11 Kategorisasi intensi Agresivitas ...58

Tabel 4.12 Korelasi Skala Pengendalian Diri dan Skala Agresivitas ...59

Tabel 4.13 Independent Sampel T-Test Skala Pengendalian Diri ...61

(12)
[image:12.595.115.509.112.566.2]

Tabel 4.15 Independent Sampel F-Test Skala Pengendalian Diri ...63

Tabel 4.16 Independent Sampel F-Test Skala Pengendalian Diri ...64

Tabel 4.17 Independent Sampel T-Test Skala Agresivitas ...65

Tabel 4.18 Independent Sampel F-Test Skala Agresivitas ...66

Tabel 4.19 Independent Sampel F-Test Skala Agresivitas ...67

(13)

Motto

Sebaik-baik manusia adalah yang

memberi manfaat bagi orang lain.

(HR. Muslim).

Setiap orang memiliki harga diri.

Harga diri yang kita tawarkan bagi

diri kita diberikan kepada kita oleh

orang lain. Seseorang menjadi besar

atau kecil dikarenakan

keinginannya sendiri.

(Schiller)

Karya ini Kupersembahkan untuk :

(14)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Mereka yang sukses adalah mereka yang selalu memberi,

membentuk, dan mengontrol egonya sendiri, tidak

menyisakan tempat untuk mengharapkan adanya

keberuntungan atas tiap pekerjaan atau kesempatan,

atau atas segala perubahan nasib. (Napoleon Hill)

 

 

 

 

 

 

 

Skripsi ini Kupersembahkan untuk :

(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di era globalisasi seperti saat ini, sangat beragam masalah sosial yang

belum teratasi atau ditemukan solusi. Diantaranya adalah masalah kemiskinan,

keterbelakangan, putus sekolah, dan maraknya anak jalanan yang semakin

meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Ini merupakan hal yang menarik untuk

ditelusuri sebab akibatnya sehingga dapat dipikirkan bersama solusi/penanganan

yang tepat dalam setiap permasalahan yang ada.

Salah satu masalah sosial yang ada saat ini adalah fenomena anak jalanan

yang jumlahnya semakin bertambah. Mereka bertebaran di jalan raya,

tempat-tempat keramaian, kolong jembatan dan tempat-tempat-tempat-tempat kumuh lainnya. Mereka

juga menjalani kehidupan keras yang penuh resiko, hidup dalam kemiskinan yang

seolah tidak teratasi, keterbelakangan, minimnya pengetahuan karena pendidikan

yang rendah atau tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali.

Pada data BPS (Badan Pusat Statistik) dan Departemen Sosial dalam

Jurnal Masyarakat dan Budaya (2005) yang dikutip dari Harian Suara Karya

(2003) menyatakan bahwa jumlah anak jalanan semakin meningkat, yaitu pada

tahun 1998 disebutkan bahwa terdapat 2,5 juta lebih anak terlantar usia 6-18

(16)

pembangunan masyarakat Universitas Atmajaya Jakarta disebutkan bahwa tahun

1999 jumlah anak jalanan di 12 kota besar di Indonesia mencapai 39.861 orang.

Dan menurut Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Depsos, dr. Pudji Hastuti

Msc. PH, mengungkapkan bahwa pada tahun 2003 jumlah anak jalanan telah

meningkat menjadi tiga kali lipat, yakni mencapai 150.000 anak jalanan (Nyanyu

Fatimah, 2005).

Jalanan seolah menjadi konotasi yang tidak menyenangkan, para

pelakunya tidak memiliki aturan, bebas, seolah tidak merasakan beban hidup yang

melilit dalam keluarganya. Seperti yang diungkapkan oleh Irawan (1996) bahwa

anak jalanan biasanya ingin hidup bebas di tengah masyarakat dengan aturan yang

mereka ciptakan sendiri. Sebagian besar waktu hidupnya digunakan untuk

berkumpul dan bersenang-senang dengan teman-teman di tempat umum seperti

pasar, terminal, halte, pertokoan, pinggir jalan, stasiun kereta api dan gang-gang

sempit.

Interaksi yang terjadi di jalanan, baik antara anak dengan anak, anak

dengan orang dewasa, maupun anak dengan lingkungan memunculkan tuntutan

tersendiri untuk bertahan hidup. Masa anak-anak yang mestinya dihiasi dengan

keceriaan dan kemanjaan, digantikan dengan perjuangan mempertahankan hidup

di jalanan.

Pada umumnya yang mereka lakukan adalah pekerjaan kasar seperti

mengamen, semir sepatu, ojek payung, pengasong dan lain-lain. Hal ini seperti

yang disebutkan dari hasil penelitian individu yang diolah dari data arsip Yayasan

(17)

pelayan/kuli, dagang, semir sepatu, ojeg payung, tukang pulung, dan lain-lain.

Dengan semakin meningkatnya jumlah anak jalanan, memberikan indikasi

bahwa pekerjaan anak jalanan ini cukup atau bahkan lebih untuk memenuhi

kebutuhan hidup mereka. Disamping bekerja di tempat yang relatif dekat dengan

tempat tinggal, mereka juga memilih tempat-tempat yang strategis misalnya

terminal, stasiun, alun-alun, lampu merah, pusat-pusat perbelanjaan maupun

fasilitas-fasilitas umum yang ramai.

Selain kondisi ekonomi yang cukup memprihatinkan, anak jalanan

memiliki masalah dalam aspek sosial. Dari hasil penelitian Ali Khomsan (2010),

diketahui terdapat beragam perilaku antisosial yang sering ditemukan di kalangan

anak jalanan, misalnya agresivitas (perkelahian 87%, menggertak/mengancam

47%, merusak milik orang lain 45%) dan penyalahgunaan zat adiktif (66%).

Dalam penelitian tersebut juga ditemukan adanya tiga faktor psikososial yang

secara bermakna berpengaruh terhadap munculnya perilaku antisosial pada anak

jalanan, yaitu lamanya anak telah menjalani kehidupan jalanan, lingkungan tempat

tinggal, dan relasi anak dengan orangtuanya.

Latar belakang anak jalanan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya

faktor lingkungan (fisik, ekonomi, dan sosial budaya), faktor keluarga (struktur

sosial ekonomi keluarga yang tidak produktif, hubungan keluarga yang tidak

harmonis), faktor biologis yang bersumber dari keturunan, terutama yang

berkaitan dengan kemampuan intelektual (Irawan, 1996).

Hal ini diperlihatkan dengan tingkah laku mereka yang suka merusak,

(18)

memukul, menendang, tidak dapat mengendalikan marah, dan lain sebagainya.

Tidak heran jika perilaku agresif sangat dekat dengan mereka, dengan melihat

salah satu faktor yang menyebabkan perilaku agresif adalah lingkungan keluarga,

yaitu keluarga yang kurang memberi kasih sayang dan perhatian, sehingga mereka

mencarinya dalam kelompok teman sebaya. Kebiasaan hidup yang mereka jalani

yang di luar kebiasaan layaknya anak-anak maupun remaja lainnya, menjadikan

mereka seperti terjebak dalam perilaku agresif.

Menurut Kartono dalam Wisnubroto (2009) kelompok teman sebaya

menyediakan suatu tempat yaitu dunia tempat remaja melakukan sosialisasi

dengan norma yang berlaku, bukan lagi nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa,

melainkan oleh teman seusianya dan tempat dalam rangka remaja menemukan jati

dirinya. Namun apabila nilai yang dikembangkan dalam kelompok sebaya adalah

nilai yang negatif, maka akan menimbulkan bahaya bagi perkembangan jiwa

remaja.

Hal tersebut sesuai dengan pernyataan UNICEF (1997), anak-anak jalanan

cenderung terlibat dalam pekerjaan illegal dan marginal, seperti mengemis dan mencuri kecil-kecilan. Banyak diantara mereka masuk dalam dunia sindikat

kejahatan yang gelap, mengerikan dan berbahaya, yang menyebabkan serangkaian

pencopetan, perampokan, mengedarkan obat bius dan pelacuran. Budaya yang

menyelimuti kehidupan anak-anak ini ditandai dengan agresi dan penyalahgunaan,

menyebabkan mereka terkena bahaya yang ekstrim.

Pada umumnya remaja memiliki sifat agresif, dimana suka baku hantam dengan

(19)

kelompok. Sebenarnya remaja yang melakukan agresivitas itu adalah anak-anak normal,

mereka hanya berupaya mencari kompensasi dari kekurangan yang didapatkannya dalam

keluarga atau lingkungan, tapi justru ditemukannya dalam kelompok remaja seperti

status, posisi sosial, pribadi idola, aksi bersama, persahabatan, simpati, kasih sayang,

prestise, harga diri, rasa aman terlindungi dan sebagainya.

Masa remaja merupakan bagian dari perkembangan sosial. Masa remaja adalah

masa peralihan dari masa kanak-kanak kemasa dewasa. Mereka tidak ingin diperlakukan

seperti anak-anak, tetapi juga tidak ingin diberi hak seperti orang dewasa. Hal inilah yang

membuat remaja selalu memberontak dan serba salah. Remaja juga mengalami kesulitan

dengan diri sendiri, orang tua, guru, dan juga orang-orang dewasa lainnya yang tugasnya

melatih, mendidik, membimbing, dan mengarahkan (Kartini Kartono, 2002).

Secara umum, Brehm & Kassin dalam Susetyo (1999) mendefinisikan

agresivitas sebagai perilaku yang dimaksudkan untuk melukai orang lain.

Agresivitas dapat muncul dari segala macam kelompok: mulai dari kelompok

informal dan tanpa struktur, seperti kelompok anak sekolah yang terlibat tawuran,

kelompok masa yang berkelahi dikarenakan kepentingan tertentu, termasuk

sekelompok anak jalanan.

Moyer dalam Susetyo (1999) mengemukakan bahwa agresivitas berkaitan

dengan kurangnya kontrol terhadap emosi dalam diri individu. Emosi yang

meledak-ledak biasanya diwujudkan dalam bentuk amarah. Weiner dalam Sears,

Freedman & Peplau (1991) menyatakan bahwa amarah akan muncul bila serangan

atau frustasi yang dialami dianggap sebagai akibat pengendalian internal dan

(20)

faktor kemampuan mengontrol diri. Dimana orientasi religius merupakan salah

satu yang mempengaruhi kondisi internal masing-masing individu. Bergin (1980)

berpendapat bahwa orientasi religius dapat memiliki beberapa konsekuensi positif,

termasuk terhadap variabel kepribadian seperti kecemasan, kontrol diri, keyakinan

irasional, depresi, affect dan sifat kepribadian yang lain.

Perilaku agresif individu salah satunya disebabkan oleh kepentingan

kelompok yang harus di penuhi tanpa mempedulikan tindakan yang dilakukan

sesuai atau tidak dengan norma yang berlaku. Pengendalian diri atau kontrol diri

yang kurang merupakan salah satu hal yang memunculkan tindakan yang tidak

sesuai dengan norma tersebut yang berwujud kekerasan atau agresi.

Kontrol diri sebagai cara individu untuk untuk mengendalikan emosi serta

dorongan-dorongan dari dalam dirinya. Kontrol diri merupakan salah satu potensi

yang dapat dikembangkan dan digunakan individu selama proses-proses dalam

kehidupan, termasuk dalam menghadapi kondisi yang terjadi di lingkungan

tempat tinggalnya. Para ahli berpendapat bahwa selain dapat mereduksi efek-efek

yang negatif dari stresor-stresor lingkungan, kontrol diri juga dapat digunakan

sebagai suatu intervensi intervensi yang bersifat pencegahan (Zulkarnain, 1997).

Bentuk-bentuk dari agresivitas yaitu agresi fisik, agresi verbal, kemarahan

(Anger) dan kecurigaan (Hostility). Agresi fisik dan agresi verbal dapat dikontrol dengan kemampuan mengontrol perilaku, sehingga individu dapat mengontrol

dirinya dengan baik dan diharapkan mampu mengatur perilaku dengan

(21)

tidak akan membalasnya. Selain itu agresi fisik dan agresi verbal juga dapat

dikontrol dengan kemampuan mengontrol stimulus sehingga dapat menghadapi

stimulus agresivitas yang tidak diinginkan. Contohnya: ketika individu

dihadapkan suatu perselisahan maka individu tersebut akan mengontrol dirinya

dengan menyelesaikan perselisihan tanpa pertengkaran.

Kemarahan (Anger) dapat dikontrol dengan kemampuan mengantisipasi peristiwa, sehingga kemarahan dapat dikendalikan dengan cara mengantisipasi

keadaan melalui berbagai pertimbangan secara relatif objektif. Contohnya:

individu tetap diam walaupun diejek oleh teman sehingga tidak menambah keruh

suasana.

Sedangkan kecurigaan (Hostility) dapat dikontrol dengan kemampuan menafsirkan peristiwa, hal ini karena adanya kemampuan menilai dan penafsiran

suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara

subjektif. Contohnya: individu merasa ada sebagian orang menatapnya dengan

sinis, kecurigaan itu tidak akan terjadi jika individu selalu berpikir positif terhadap

orang lain. Selain itu kecurigaan juga dapat dikontrol dengan kemampuan

mengambil keputusan, karena hal ini didukung dengan adanya kemampuan untuk

memilih suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujui.

Contohnya: individu merasa temannya tidak bersahabat, kecurigaan itu tidak akan

terjadi jika individu yakin pada dirinya bahwa menjalin hubungan dengan teman

(22)

Faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas yaitu kebiasaan belajar,

kondisi internal, faktor penghambat, faktor situasional. Salah satu faktor dari

agresivitas yaitu kondisi internal, meliputi adanya insting agresivitas abnormalitas

secara fisiologis, reaksi emosi penolakan (frustasi, marah, takut dan sakit), efek

minuman keras dan faktor bawaan sejak lahir. Keadaan tersebut bisa saja terjadi

karena manusia tidak mampu menahan suatu penderitaan yang menimpa dirinya.

Ketidakmampuan dalam menahan suatu penderitaan yang menimpa dirinya

tersebut dapat dinyatakan sebagai ketidakmampuan dalam mengontrol diri,

sehingga kemampuan mengontrol diri merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi agresivitas.

Menurut Sarlito (2005) salah satu faktor yang bisa dikendalikan untuk

mengurangi kemungkinan kekerasan adalah secara teknis, yaitu peningkatan

pengandalian. Aldi (2008) mengatakan bahwa pengendalian diri dapat dilakukan

dengan prinsip kemoralan. Prinsip kemoralan mengacu pada perilaku baik dan

buruk. Pengendalian diri dapat dilakukan juga dengan menggunakan kesadaran,

perenungan, mengendalikan diri dengan menyibukkan diri dengan pikiran atau

aktivitas yang positif.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti berasumsi bahwa salah satu

variable yang diduga dapat mengurangi agresivitas anak jalanan adalah

pengendalian diri (self-control). Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, peneliti memilih judul “Hubungan Antara Pengendalian Diri (Self-Control)

(23)

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.2.1 Pembatasan Masalah

Pada penelitian ini, permasalahan yang akan dikaji terbatas pada hal-hal berikut :

1. Pengendalian diri (self-control) yang dimaksud adalah kemampuan seseorang dalam mengelola emosi untuk membuat keputusan dalam mengekspresikan

perasaan-perasaan atau tindakan di dalam lingkungan sosial.

2. Agresivitas dalam penelitian ini adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan

sadar oleh seorang anak kepada teman atau orang lain dengan tindakan yang

tidak menyenangkan dan dapat merugikan orang tersebut.

1.2.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka permasalahan yang akan dikaji

dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: "apakah terdapat

hubungan antara pengendalian diri (self-control) dengan agresivitas anak jalanan?".

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Hasil penelitian ini berujuan untuk mengetahui hubungan antara pengendalian diri

(24)

1.3.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teorotis dan praktis, yaitu:

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat berguna untuk pengembangan wacana dan

kajian psikologi sosial mengenai pengendalian diri (self-control) dan agresivitas.

2. Secara praktis, penelitian ini berguna bagi remaja untuk dijadikan bahan

pertimbangan dalam menurunkan agresiviatas dan memiliki pengendalian

diri.

1.4 Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini, sitematika penulisan yang akan digunakan adalah :

BAB 1 : Pendahuluan berupa latar belakang masalah, Pembatasan dan

Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Sistematika

Penulisan.

BAB 2 : Kajian Teori berisi uraian pendapat para ahli mengenai pengendalian

diri (self-control) dan agresivitas. Kerangka Berpikir dan Hipotesis.

BAB 3 : Pendekatan Penelitian, Populasi dan Sampel, Variabel Penelitaian,

Instrumen Penelitian, Teknik Pengumpulan Data, Teknik Analisa Data,

Teknik Analisis Statistik, Prosedur Penelitian.

BAB 4 : Hasil penelitian, meliputi gambaran umum responden, pengkategorian

skor masing-masing skala, hipotesis dan data tambahan.

(25)

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

Bab ini akan menjelaskan empat subbab. Subbab pertama menjelaskan

teori mengenai agresivitas yang terdiri dari definisi agresivitas, jenis-jenis

agresivitas, faktor-faktor penyebab agresivitas. Subbab kedua menjelaskan teori

mengenai pengendalian diri (self-control) yang terdiri dari definisi pengendalian diri (self-control), manfaat pengendalian diri (self-control), aspek pengendalian diri (self-control), pengaruh pengendalian diri (self-control) terhadap perilaku.

Subbab ketiga merupakan uraian mengenai kerangka berpikir dan subbab keempat

merupakan uraian mengenai hipotesis.

2.1 Agresivitas

2.1.1 Pengertian Agresivitas

Menurut Sears dkk (1994) agresi adalah tindakan yang dilakukan untuk

melukai diri sendiri atau orang lain. Atkinson dan Hilgard (1993) mendefinisikan

agresivitas sebagai perilaku untuk melukai orang lain secara fisik atau verbal dan

merusak harta benda.

Arti agresi menurut Chaplin (2002) adalah kecenderungan habitual (yang

dibiasakan) untuk memamerkan permusuhan. Agresif menggambarkan

(26)

emosi tersebut terhadap orang lain bahkan sampai menyakiti orang lain secara

sadar. Sikap agresif ialah perilaku yang menyakiti orang lain yang bersifat fisik

mupun non fisik. Sementara itu, Baron (2005) memberikan pengertian bahwa

agresi merupakan tingkah laku yang diarahkan kepada tujuan menyakiti mahluk

hidup lain yang ingin menghindari perlakuan semacam itu.

Elliot Aronson dalam Koeswara (1988) mengajukan definisi agresi sebagai

tingkah laku yang dijalankan oleh individu dengan maksud melukai atau

mencelakakan individu lain dengan ataupun tanpa tujuan tertentu. Sementara itu,

Moore dan Fine (1968) mendefinisikan agresi sebagai tingkah laku kekerasan

secara fisik atau pun secara verbal terhadap individu lain atau terhadap

objek-objek.

Agresi menurut Berkowitz (1995) adalah segala bentuk perilaku yang

dimaksudkan untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun mental. Agresi

dapat berarti pelanggaran hak asasi orang lain dan tindakan atau cara yang

menyakitkan, juga perilaku yang memaksakan kehendak.

Menurut Sarason dalam Dayakisni (2009) agresi dapat diartikan sebagai

suatu serangan yang dilakukan oleh suatu organisme terhadap organisme lain,

objek lain atau pada dirinya sendiri. Definisi ini berlaku bagi semua mahluk

vertebrata, sementara pada tingkat manusia masalah agresi sangat kompleks

karena adanya peranan perasaan dan proses-proses simbolik.

David O. Sears dkk (1985) mengemukakan bahwa terdapat tiga perbedaan

definisi agresi. Definisi yang paling sederhana yang menggunakan pendekatan

(27)

perilaku yang melukai orang lain. Perbedaan yang kedua adalah antara agresi

antisosial dengan agresi prososial. Agresi ini merupakan tindakan yang disetujui,

meliputi tindakan agresif yang tidak diterima oleh norma sosial tetapi masih

berada dalam batas yang wajar. Tindakan tersebut tidak melanggar standar norma

yang telah diterima. Perbedaan yang ketiga adalah antara perilaku agresif dengan

perasaan agresif, seperti misalnya rasa marah, mungkin saja seseorang yang

sangat marah, tetapi tidak menampakkan usaha untuk melukai orang lain.

Krahe (1997) mendefinisikan agresi berdasarkan fokusnya terhadap tiga

aspek, yaitu akibat merugikan atau menyakitkan, niat dan harapan untuk

merugikan, dan keinginan orang yang menjadi sasaran agresi untuk menghindari

stimuli yang merugikan itu.

Agresi lebih difokuskan pada pengertian perilaku agresif itu sendiri, yang

menurut pendapat para ahli adalah sebagai berikut: menurut Myers (2005)

perilaku agresif adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud

untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Sedangkan menurut Setiadi (2001)

perilaku agresif adalah perilaku yang ditujukan untuk menyakiti orang lain baik

secara fisik maupun mental. Dalam pengertian ini pengrusakan benda-benda baru

dianggap merupakan perilaku agresif bila tujuan akhirnya menyakiti orang.

Di dalam kajian psikologi, perilaku agresif mengacu kepada beberapa jenis

perilaku baik secara fisik maupun mental, yang dilakukan dengan tujuan

menyakiti seseorang (Berkowitz, 2003). Jenis perilaku yang tergolong perilaku

(28)

as

intimidasi lainnya (Wilson, 2003). Sebagian tidak jelas hubungannya antara

perilaku yang satu dengan perilaku yang lain, sehingga istilah perilaku agresif

sulit untuk didefinisikan secara ringkas (Hidayat Ma’ruf, 2010).

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa agresivitas adalah

perilaku yang ditujukan kepada seseorang secara sadar dengan tujuan tertentu

sehingga dapat menyakiti orang lain. Dalam penelitian ini, agresivitas pada anak

jalanan yang dilakukan kepada temannya. Sehingga dengan perlakuannya itu,

mereka yang agresif dapat memuaskan keinginannya untuk menyakiti

teman-temannya.

2.1.2

Jenis-Jenis Agresivit

Buss dalam Dayakisni (2009) mengelompokkan agresi manusia dalam delapan

jenis, yaitu:

1. Agresi fisik aktif langsung: tindakan agresi fisik yang dilakukan

individu/kelompok dengan cara berhadapan langsung dengan

individu/kelompok lain yang menjadi targetnya dan terjadi kontak fisik secara

langsung, seperti memukul, mendorong, menembak, dll.

2. Agresi fisik pasif langsung: tindakan agresi fisik yang dilakukan

individu/kelompok dengan cara berhadapan dengan individu/kelompok lain

yang menjadi targetnya, namun tidak terjadi kontak fisik secara langsung,

seperti demonstrasi, aksi mogok, aksi diam.

3. Agresi fisik aktif tidak langsung: tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh

(29)

individu/kelompok lain yang menjadi targetnya, seperti merusak harta korban,

membakar rumah, menyewa tukang pukul, dll.

4. Agresi fisik pasif tidak langsung: tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh

individu/kelompok dengan cara tidak berhadapan dengan individu/kelompok

lain yang menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak fisik secara langsung,

seperti tidak peduli, apatis, masa bodoh.

5. Agresi verbal aktif langsung: tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh

individu/kelompok dengan cara berhadapan langsung dengan

individu/kelompok lain, seperti menghina, memaki, marah, mengumpat.

6. Agresi verbal pasif langsung yaitu tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh

individu/kelompok dengan cara berhadapan dengan individu/kelompok lain

namun tidak terjadi kontak verbal secara langsung, seperti menolak bicara,

bungkam.

7. Agresi verbal aktif tidak langsung yaitu tindakan agresi fisik yang dilakukan

oleh individu/kelompok dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan

individu/kelompok lain yang menjadi targetnya, seperti menyebar fitnah,

mengadu domba.

8. Agresi verbal pasif tidak langsung yaitu tindakan agresi fisik yang dilakukan

oleh individu/kelompok dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan

individu/kelompok lain yang menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak verbal

secara langsung, seperti tidak memberi dukungan, tidak menggunakan hak

(30)

Myers (2005) membagi agresi dalam dua jenis, yaitu:

1. Agresi rasa benci atau agresi emosi (hostile aggression)

Jenis agresi ini merupakan ungkapan kemarahan dan ditandai dengan emosi

yang tinggi. Perilaku agresif dalam jenis ini adalah tujuan dari agresi itu

sendiri, jadi agresi sebagai agresi itu sendiri. Contonhnya: remaja yang

berkelahi massal karena ada temannya yang (katanya) dikeroyok.

2. Agresi sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain (instrumental aggression) Jenis agresi instrumental pada umumnya tidak disertai emosi. Bahkan antara

pelaku dan koban kadang-kadang tidak ada hubungan pribadi. Agresi jenis ini

hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan lain.

Sementara itu, Medinus dan Johnson dalam Dayakisni (2009) mengelompokkan

agresi menjadi empat kategori, yaitu:

1. Menyerang fisik, yang termasuk di dalamnya adalah memukul, mendorong,

meludahi, menendang, menggigit, meninju, memarahi dan merampas.

2. Menyerang suatu objek, menyerang benda mati atau binatang.

3. Secara verbal atau simbolis, yang termasuk di dalamnya adalah mengancam

secara verbal, memburuk-burukkan orang lain, sikap mengancam dan

menuntut.

(31)

Buss dan Perry (1992) mengelompokkan agresivitas ke dalam empat bentuk

agresi, yaitu: agresi fisik, agresi verbal, agresi dalam bentuk kemarahan (anger)

dan agresi dalam bentuk kebencian (hostility). Keempat bentuk agresivitas ini mewakili komponen perilaku manusia, yaitu komponen motorik, afektif dan

kognitif.

1. Agresi fisik

Merupakan komponen perilaku motorik, seperti melukai dan menyakiti

orang lain secara fisik. Misalnya menyerang atau memukul.

2. Agresi verbal

Merupakan komponen motorik, seperti melukai dan menyakiti orang lain

melalui verbalis. Misalnya berdebat, menunjukkan ketidaksukaan atau

ketidaksetujuan, menyebarkan gosip dan kadang bersikap sarkastis.

3. Agresi marah

Merupakan emosi atau afektif, seperti munculnya kesiapan psikologis untuk

bersikap agresif. Misalnya kesal, hilang kesabaran dan tidak mampu

mengontrol rasa marah.

4. Sikap permusuhan

Yang juga meliputi komponen kognitif, seperti benci dan curiga pada orang

lain, iri hati dan merasa tidak adil dalam kehidupan.

Dari berbagai pendapat mengenai jenis agresivitas tersebut di atas, dapat

(32)

maupun tidak langsung, secara fisik (seperti; menendang, memukul, menginjak)

maupun non fisik (contohnya; mencibir, memeletkan lidah), verbal aktif (seperti;

berbicara kasar dan kotor, mengata-ngatai) maupun verbal pasif (mengumpat,

berbisik-bisik dengan teman membicarakan temannya yang lain), yang memiliki

caranya sendiri. Sehingga dari berbagai macam jenis perilaku agresif tersebut,

peneliti akan menggunakan jenis perilaku agresif menurut Buss dan Perry (1992)

sebagai alat ukur dalam penyusunan skala sikap agresif anak jalanan.

2.1.3 Faktor-Faktor Pencetus Agresivitas

Menurut Berkowitz (1995) ada dua faktor yang mempengaruhi agresivitas, yaitu :

1. Faktor langsung terhadap agresivitas

- Faktor langsung terhadap agresivitas, hadiah langsung untuk agresi artinya

sebagian orang yang berkecendurungan kekerasan terus menjadi agresif

selama bertahun-tahun karena mendapat imbalan dari perilaku seperti itu.

Mereka menyerang orang lain cukup sering dan mendapati bahwa

kebanyakan perilaku agresif mereka ada hasilnya. Seperti; 1. Dukungan orang tua, 2. Hadiah dari teman-teman, 3. Pengaruh kelompok dan geng. - Kondisi tak menyenangkan yang diciptakan orang tua, jika perasaan tak

enak menyebabkan dorongan ke arah agresi, mungkin orang yang sering

mengalami kejadian tak menyenangkan pada masa kecil kemudian

mempunyai dorongan untuk sangat agresif setelah remaja dan dewasa.

Misalnya; 1. Perilaku buruk dari orangtua, 2. Penolakan orang tua, 3.

(33)

2. Faktor tak langsung terhadap agresivitas

- Konflik keluarga

Banyak ilmuan sosial dan orang awam beranggapan bahwa banyak anak

nakal merupakan korban penyimpangan sosial dari kondisi keluarga

abnormal. Karena mereka tidak hanya tumbuh dalam kemiskinan tetapi

juga hanya mempunyai satu orang tua, mereka belajar untuk tidak

menerima norma dan nilai-nilai tradisional masyarakat, misalnya; 1.

Konflik antara ibu dan ayah, 2. Konflik dan perceraian.

Menurut Willis dalam Ikawati dan Akhmad Purnama (1998) faktor-faktor

penyebab timbulnya agresivitas pada remaja adalah:

1. Kondisi pribadi, yaitu kelainan yang dibawa sejak lahir baik fisik maupun

psikis, lemahnya kontrol diri terhadap pengaruh lingkungan, kurang mampu

menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kurangnya dasar keagamaan.

2. Lingkungan keluarga, yaitu keluarga yang kurang memberi kasih sayang dan

perhatian, sehingga mereka mencarinya dalam kelompok teman sebaya,

keadaan ekonomi keluarga yang rendah, dan keluarga yang kurang harmonis.

3. Lingkungan masyarakat, yaitu lingkungan masyarakat kurang sehat,

keterbelakangan pendidikan, kurangnya pengawasan terhadap remaja, dan

pengaruh norma-norma baru yang ada di luar.

4. Lingkungan sekolah, yaitu kurangnya perhatian guru, kurangnya fasilitas

pendidikan sebagai tempat penyaluran bakat dan minat, dan norma-nnorma

(34)

Koeswara dalam Ikawati dan Akhmad Purnama (1998) menyebutkan faktor-faktor

pencetus agresivitas adalah sebagai berikut:

a. Frustasi

b. Stres

c. Penghilangan identitas diri

d. Pengaruh alkohol dan obat-obatan

e. Suhu udara

f. Serangan dari luar

g. Kromosom yang tidak normal

h. Kelainan pada otaknya

Menurut Sears, dkk (1985), sumber-sumber perilaku agresif adalah sebagai

berikut :

1. Perasaan agresif

Keadaan internal yang tidak dapat diamati secara langsung. Kita

semua pernah marah, dan sebenarnya setiap orang pada suatu saat pernah

ingin melukai orang lain. Memang, banyak orang mengatakan bahwa mereka

sedikit marah atau cukup marah beberapa kali dalam sehari atau beberapa kali

dalam seminggu. Salah satu sumber amarah yang paling umum adalah

serangan atau gangguan yang dilakukan oleh orang lain

2. Frustrasi

Sumber utama kedua adalah frustrasi. Frustrasi adalah gangguan atau

(35)

adalah bahwa frustrasi cenderung membangkitkan perasaan agresif. Misalnya,

depresi ekonomi menyebabkan frustrasi, yang hampir mempengaruhi semua

orang. Orang tidak memperoleh pekerjaan atau tidak dapat membeli sesuatu

yang diinginkan, dan lebih dibatasi dalam semua segi kehidupan. Akibatnya,

berbagai bentuk agresi menjadi lebih umum.

3. Peran Atribusi

Suatu kejadian akan menimbulkan amarah dan perilaku agresif bila

sang korban mengamati serangan atau frustrasi itu dimaksudkan sebagai

tindakan yang menimbulkan bahaya. Hal ini mudah dipahami dalam teori

atribusi. Bila korban menghubungkan frustrasi dengan keadaan yang tidak

dapat dihindarkan, tidak akan timbul amarah yang lebih besar. Tetapi, bila

tidak ada pembenaran faktor eksternal semacam itu dan bila dibuat pertalian

internal, amarah yang timbul akan lebih besar. Misalnya, kemarahan akan

lebih banyak muncul pada seorang mahasiswa yang mendapatkan nilai tidak

sesuai dengan harapan karena adanya anggapan bahwa dosen tidak menyukai

mahasiswa tersebut sehingga akan mengakibatkan perilaku agresif yang lebih

besar dibandingkan jika mahasiswa menyadari bahwa nilai yang didapatkan

akibat kurangnya usaha ketika ujian berlangsung.

Menurut Koeswara (1988) agresivitas dipengaruhi oleh faktor internal dan

eksternal pada individu. Gambaran faktor internal agresivitas ada pada setiap

individu sebagai ciri bawaan. Manusia menurut kodratnya bersifat kejam dan

(36)

itu dapat dijinakkan dalam bentuk tingkah laku budaya. Sedangkan faktor

eksternal, manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan sesamanya.

Maka munculah adanya pengaruh satu sama lain. Pengaruh tersebut menjadi

penyebab timbulnya agresivitas pada individu. Beberapa faktor agresivitas

menurut Koeswara yang berkaitan dengan penelitian ini, akan dijelaskan sebagai

berikut:

1. Frustrasi

Situasi dimana individu terhambat atau gagal dalam usaha mencapai

tujuan tertentu yang diinginkannya, atau mengalami hambatan untuk bebas

bertindak untuk mencapai tujuan

2. Stres

Stres adalah suatu keadaan tertekan, baik fisik maupun psikologis.

Berasal dari stimulus internal dan eksternal, yaitu :

a). Stress internal (intrapsikis)

Perasaan tertekan yang muncul dalam diri individu karena adanya

permasalahan yang tidak bisa dipecahkan sehingga menyebabkan

timbulnya agresi.

b). Stress Eksternal (sosiologis dan situasional)

Muncul karena adanya perubahan sosial dan memburuknya

perekonomian menyebabkan meningkatnya kriminalitas termasuk di

(37)

Menurut Supratiknya (1995) penyebab agresif seringkali adalah

pengalaman dalam keluarga yang bersifat destruktif, berupa penolakan, disiplin

yang keras namun tidak konsisten, frustrasi akibat orang tua tidak rukun, orang

tua kurang memberikan bimbingan dan sebagainya. Menurutnya, gangguan

agresif disebut juga sebagai gangguan perilaku asosial dan mirip dengan kasus

kepribadian psikopatik pada orang dewasa. Ciri-cirinya sulit diatur, suka

berkelahi, menunjukkan sikap bermusuhan, tidak patuh, agresif baik secara verbal

maupun behavioral, senang membalas dendam, senang merusak, suka berdusta, mencuri dan sering mengalami temper-tantrum atau mengamuk, cenderung agresif

dalam bidang seks, cenderung terlibat dalam berbagai bentuk vandalisme atau

perilaku merusak, bahkan mungkin sampai ke pembunuhan.

Baron (2005) mengemukakan bahwa manusia diprogram sedemikian rupa

untuk melakukan kekerasan oleh sifat alamiah mereka. Teori seperti ini

menyatakan bahwa kekerasan manusia berasal dari kecenderungan bawaan (yang

diturunkan) untuk bersikap agresif satu sama lain. Pendukung lain adalah

Sigmund Freud, yang berpendapat bahwa agresi terutama timbul dari keinginan

untuk mati (death wish/thanatos) yang kuat yang dimiliki oleh semua orang. Sementara itu, Konrad Lorenz (1988) berpendapat bahwa agresi muncul terutama

dari insting berkelahi (fighting instinct) bawaan yang dimiliki oleh manusia dan spesies lainnya. Diasumsikan, insting ini berkembang selama terjadinya evolusi

karena hal tersebut menolong untuk memastikan bahwa hanya individu yang

terkuat dan terhebatlah yang akan menurunkan gen mereka pada generasi

(38)

Dari beberapa pendapat tersebut di atas, faktor yang dapat mempengaruhi

agresivitas dapat disimpulkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal.

Faktor internal berarti bahwa agresivitas muncul dari dalam diri individu,

penurunan gen atau kecenderungan bawaan. Sedangkan faktor eksternal, faktor

dari luar dirinya. Berupa pengaruh lingkungan, baik keluarga maupun di luar dari

lingkungan keluarga, teman sebaya dan lain sebagainya.

2.2 Pengendalian Diri (Self-Control)

2.2.1 Definisi Pengendalian Diri (Self-Control)

Pengedalian diri menurtut Goleman (2004) ialah mengelola emosi, yaitu

menangani perasaan agar terungkap dengan pas. Mahoney dan Thoresen dalam

Robert (1975) menjelaskan bahwa pengendalian diri merupakan jalinan yang utuh

yang dilakukan individu terhadap lingkungannya. Individu dengan pengendalian

diri tinggi sangat memperhatikan cara-cara yang tepat untuk berperilaku dalam

situasi yang bervariasi. Individu cenderung akan mengubah perilakunya sesuai

dengan permintaan situasi sosial, dengan cara mengatur kesan yang dibuat lebih

responsif terhadap petunjuk situasional, lebih fleksibel, berusaha untuk

memperlancar interaksi sosial, bersifat hangat dan terbuka.

Pengendalian diri menurut Blackburn (1993) adalah kemampuan untuk

menunda atau menghalangi suatu respon kekhawatiran dalam semua analisis

perkembangan dan belajar, dan telah diperiksa secara mendalam yang meliputi

pengendalian dorongan, pengendalian diri, toleransi terhadap frustasi, penundaan

(39)

Menurut Chaplin (2002) self-control adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri; kemampuan untuk menekan atau merintangi

impuls-impuls atau tingkah laku impulsif. Sedangkan Henry (1994)

mendefinisikan kontrol diri sebagai pengendalian yang yang dilakukan oleh

individu terhadap perasaan-perasaan, impuls-impuls, dan tindakannya sendiri.

Snyder dan Gangestad (1986) mengatakan bahwa pengendalian diri sangat

relevan untuk melihat hubungan pribadi dengan ligkungan masyarakat yang sesuai

dengan isyarat situasional dalam bersikap dan berpendirian yang efektif.

Goldfried dan Merbaum dalam Lazarus (1976) juga mengartikan

pengendalian diri sebagai suatu kesempatan untuk menyusun, membimbing,

mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke

arah konsekuensi positif.

Plato dalam Howard Rachlin (2000) mendefinisikan kontrol diri ( self-control) sebagai sesuatu yang bisa diciptakan, jika kita mempunyai kemampuan atau motivasi yang kuat untuk melakukannya. Tidak ada perbedaan antara kognisi

(knowledge) dan motivasi (self-control) dimana seseorang dikatakan bijaksana, apabila dia memiliki perilaku baik dan memiliki pengetahuan yang benar. Dan

seseorang tidak sepenuhnya mengerti apa yang terbaik terhadap dirinya, sebelum

dia melakukan kesalahan. Seseorang yang mempunyai pengetahuan akan mudah

baginya untuk mengontrol segala perilakunya.

Hurlock (1980) mengatakan bahwa kontrol diri bisa muncul karena adanya

(40)

motivasi, dan kemampuan mengelola segala potensi dan pengembangan

kompetensinya. Kontrol diri itu sendiri berkaitan dengan bagaimana individu

mampu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dalam dirinya.

Menurut Ubaydillah (2008), self-control adalah kemampuan seseorang dalam mengelola emosi agar tetap di bawah kontrol (under-control) dan kemampuannya dalam menahan diri dari tindakan brutal ketika ada pemicu atau

berada dalam kondisi yang menegangkan (stressful condition).

Seseorang yang memiliki kemampuan mengontrol diri akan mampu

menggunakan akal sehat, tetap bisa memunculkan pandangan positif dan tenang

(stabil). Sebagaimana yang dikemukakan Goldfried dan Merbau dalam Lazarus

(1976), pengontrolan diri merupakan suatu proses yang menjadikan individu

sebagai agen utama dalam membimbing, mengatur dan mengarahkan perilaku

yang dapat membawanya ke arah konsekuensi positif.

Zerotothree (2004) mengatakan self-control adalah kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan tentang bagaimana dan kapan mengekspresikan

perasaan-perasaan dan tindakan impuls-impuls.

Pengendalian diri menggambarkan keputusan individu yang melalui

pertimbangan kognitif untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk

meningkatkan hasil dan tujuan tertentu seperti yang diinginkan (Lazarus, 1976).

Menurut Berk dalam Singgih (2006) pengendalian diri adalah kemampuan

(41)

dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma sosial.

Messina dan Messina dalam Singgih (2006) menyatakan bahwa

pengendalian diri adalah seperangkat tingkah laku yang berfokus pada

keberhasilan menangkal pengrusakan diri (self-destructive), perasaan mampu pada diri sendiri, perasaan mandiri (autonomy) atau bebas dari pengaruh orang lain, kebebasan menentukan tujuan, kemampuan untuk memisahkan perasan dan

pemikiran rasional, serta seperangkat tingkah laku yang berfokus pada tanggung

jawab atas diri pribadi.

Pengendalian diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan

emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya (Hurlock, 1984). Hurlock

(1973) menyebutkan terdapat tiga kriteria emosi dalam pengendalian diri, yaitu:

a. Dapat melakukan pengendalian diri yang bisa diterima secara sosial.

b. Dapat memahami seberapa banyak kontrol yang dibutuhkan untuk

memuaskan kebutuhannya dan sesuai dengan harapan masyarakat.

c. Dapat menilai situasi secara kritis sebelum meresponnya dan memutuskan

cara bereaksi terhadap situasi tersebut.

2.2.2 Manfaat Pengendalian Diri (Self-Control)

Christoper dan Albert dalam Atwater (1999) mengembangkan manfaat teori

(42)

1. Pengendalian setiap individu berbeda, dimana mereka yakin dapat

menjalani kehidupannya.

2. Pengendalian diri seseorang tergantung pada interaksi antara individu

tersebut dan lingkungannya. Dan juga tergantung faktor disposisi dalam

diri dan karakteristik lingkungan.

3. Faktor penting dalam pengendalian diri adalah keyakinan bahwa kita dapat

mempengaruhi hasil/aktual, memilih alternatif yang ada, membuat

konsekuensi dan mematuhinya.

4. Dalam beberapa situasi, kemapuan pengendalian diri yang kuat sangat

diperlukan supaya kita dapat bertahan, beradaptasi dan mampu dalam

menghadapi perubahan dan kekurangberuntugan.

5. Pengendalian diri menjadi faktor pendukung mencapai kesusksesan dan

menghambat kegagalan. Oleh karena itu, individu memerlukan tingkat

pengendalian diri yang berbeda untuk menghadapi persoalan di dalam

kehidupannya.

2.2.3 Aspek-Aspek Pengendalian Diri (Self-Control)

Berdasarkan konsep Averil (1973), terdapat 3 aspek yang tercakup dalam

kemampuan mengontrol diri, yaitu:

(43)

Mengontrol perilaku merupakan kesiapan atau tersedianya suatu respon

yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan

yang tidak menyenangkan. Aspek ini terdiri dari dua komponen, yaitu:

mengatur pelaksanaan (regulated administration), dan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability). Kemampuan mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi

atau keadaan dirinya sendiri atau seseuatu di luar dirinya. Individu yang

mempunayi kemampuan mengontrol diri yang baik akan mampu mengatur

perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan jika tidak mampu

individu akan menggunakan sumber eksternal. Kemampuan mengatur stimulus

merupakan kemampuan untuk mngetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus

yang tidak dikehendaki dihadapi.

b. Mengontrol kognisi (cognitive control)

Merupakan kemampuan individu untuk mengolah informasi yang tidak

diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menggabungkan suatu

kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologi atau untuk

mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri dari dua komponen, yaitu: memperoleh

informasi (information gain) dan melakukan penilaian (apparsial). Dengan informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak

menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan

berbagai pertimbangan. Melakukan penilaian berarti individu berusaha menilai

dan menafsirkan auatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan

(44)

c. Mengontrol keputusan (decisional control)

Merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu

tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kontrol diri

dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu

kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memillih

berbagai kemungkinan tindakan. Aspek ini terdiri dari dua komponen, yaitu:

mengantisisipasi peristiwa dan menafsirkan peristiwa, yaitu kemampuan

menahan diri.

Aspek ini merujuk pada kemampuan individu dalam membuat

pertimbangan dan menilai situasi terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan.

Kemampuan mengontrol diri terletak pada kekuatan dari ketiga aspek tersebut.

Kemampuan mengontrol diri ditentukan oleh seberapa jauh salah satu aspek

mendominasi, atau kombinansi tertentu dari berbagai aspek dalam mengontrol

diri.

2.2.4 Pengaruh Pengendalian Diri (Self-Control) Terhadap Perilaku

Calhoun dan Acocella (1990) menyatakan bahwa kontrol diri (self-control) dapat dijadikan sebagai kekuatan sesorang dalam mempengaruhi diri, pengaturan

terhadap fisik, sikap, dan proses-proses yang bersifat psikologis dengan kata lain,

pengaturan terhadap segala proses yang menentukan diri seseorang. Dengan

(45)

cara-cara yang tepat untuk bagaimana berperilaku dalam situasi yang bervariasi. Ia

cenderung untuk mengubah perilakunya sesuai dengan permintaan situasi sosial

yang kemudian dapat mengatur kesan yang dibuat.

Selain itu, perilakunya lebih responsif terhadap petunjuk situasional, lebih

fleksibel, berusaha untuk memperlancar interaksi sosial, bersikap hangat dan

terbuka dengan orang lain. Seseorang akan berusaha menampilkan perilaku yang

dianggap paling tepat bagi dirinya yaitu perilaku yang dapat menyelamatkan

intraksinya dari akibat negatif yang disebabkan karena respon yang dilakukannya.

Calhoun dan Acocella (1990) mengemukakan dua alasan yang

mengharuskan individu untuk mengontrol diri secara kontinyu.

1. Pertama, individu hidup bersama kelompok sehingga dalam memuaskan

keinginannya individu harus mengontrol perilakunya agar tidak mengganggu

kenyamanan orang lain.

2. Kedua, masyarakat mendorong individu untuk secara konstan menyusun

standar yang lebih baik bagi dirinya. Sehingga dalam rangka memenuhi

tuntutan tersebut dibutuhkan pengontrolan diri agar dalam proses pencapaian

(46)

2.3 Kerangka Berpikir

Keberadaan peran dari sebuah kontrol dalam kaitannya untuk mengurangi

tingkat kriminalitas telah menjadi fokus utama dalam kajian psikologi sosial.

Kontrol tersebut berkembang saat seseorang masih berada dalam masa

kanak-kanak, baik secara langsung maupun tidak lagnsung yang berkaitan erat dengan

norma sosial di masyarakat. Oleh karena itu, kontrol dalam diri seorang individu

dapat diklasifikasikan atas dua macam, kontrol internal (self-control/ kontrol diri) yang terkait dengan individu itu sendiri dan kontrol eksternal (social control/ kontrol sosial) yang melihat adanya batasan-batasan norma masyarakat

(Bustanova, 2009).

Averil (1973) menjelaskan bahwa terdapat tiga aspek dalam kontrol diri

(self-control) yaitu: mengontrol tingkah laku, mengontrol kognisi, dan mengontrol keputusan. Seseorang melakukan kontrol diri agar sikap dan perilakunya sesuai

dengan tuntutan lingkungan di sekelilingnya. Baron & byrne (dalam Walgito,

2002) mengatakan bahwa sikap terdiri dari tiga komponen, yaitu: komponen

kognitif, komponenn afektif, dan komponen konantif.

Seseorang yang kontrol dirinya rendah tidak mampu mengarahkan dan

mengatur perilakunya, Dengan kontrol diri yang rendah, meraka tidak mampu

memandu, mengarahkan dan mengatur perilaku. Mereka tidak mempu

menginterpretasikan stimulus yang dihadapi, tidak mampu mempertimbangkan

konsekuensi yang mungkin dihadapi sehingga tidak mampu memilih tindakan

yang tepat (Abdul Muhid, 2009). Sehingga dapat diasumsikan bahwa kemampuan

(47)

mengontrol kognitif rendah mempunyai agresivitas tinggi, dan kemampuan

mengambil keputusan rendah mempunyai agresivitas tinggi. Hal ini didukung

dengan penelitian Slaby dan Guerra (Anwar, 1998) menunjukkan bahwa individu

dengan tingkat agresivitas yang tinggi berhubungan dengan kemampuan mereka

dalam mengatasi permasalahan yang rendah.

Sedangkan orang yang mempunyai kontrol diri yang tinggi akan mampu

mengatur perilakunya (Abdul Muhid, 2009). Yaitu apabila kemampuan

mengontrol perilaku tinggi mempunyai agresivitas rendah, kemampuan

mengontrol kognitif tinggi mempunyai agresivitas rendah, dan kemampuan

mengontrol keputusan tinggi mempunyai agresivitas rendah.

Agresivitas rendah

Self-control Rendah

Self-control Tinggi

Anak Jalanan

Agresivitas tinggi

2.4 Hipotesis

Dari uraian di atas dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:

H0 = Tidak ada hubungan yang signifikan antara pengendalian diri (self-control) dengan agresivitas pada anak jalanan.

(48)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini akan membahas mengenai metode penelitian, dan dalam hal

ini akan dibatasi secara sistematis sebagai berikut: jenis penelitian, variabel

penelitian, subjek penelitian, metode dan instrumen pengumpulan data, prosedur

penelitian, validitas dan reliabilitas alat ukur dan teknik analisis data.

3.1 Jenis Penelitian

3.1.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif.

Menurut Azwar (2004) penelitian dengan pendekatan kuantitatif menekankan

analisisnya pada data-data numerikal atau angka yang diolah dengan metoda

statistik. sedangkan Dengan pendekatan kuantitatif akan diperoleh aignifikansi

perbedaan kelompok atau signifikansi hubungan antar variabel yang diteliti.

Dalam penelitian ini, peneliti berusaha mencari hubungan antara pengendalian diri

(self-control) dengan agresivitas pada anak jalanan.

3.1.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

korelasional, yaitu penelitian yang dirancang untuk menentukan

(49)

Pengukuran korelasi digunakan untuk menentukan besarnya arah hubungan

(Sevilla, dkk. 1993).

Adapun alasan peneliti menggunakan penelitian korelasional karena sesuai

dengan tujuan penelitian ini, yaitu untuk melihat hubungan antara dua variabel,

yaitu hubungan antara pengendalian diri (self-control) dengan agresivitas pada anak jalanan.

3.2 Variabel Penelitian dan Devinisi Operasional 3.2.1 Variabel Penelitian

Kerlinger dalam Arikunto (2006) menyebut variabel sebagai sebuah

konsep seperti halnya laki-laki dalam konsep jenis kelamin, insaf dalam konsep

kesadaran. Sedangkan Sutrisno Hadi mendefinisikan variabel sebagai gejala yang

bervariasi. Dalam penelitian ini, variabel dibatasi oleh:

 

1. Independen variabel (Variabel Bebas) adalah variabel yang mempengaruhi.

Independen variabel dalam penelitian ini adalah pengendalian diri (self-control).

2. Dependen variabel (Variabel Terikat) dalam penelitian ini adalah agresivitas.

3.2.2 Devinisi Operasional

Definisi operasional dari variabel-variabel penelitian ini adalah :

(50)

sendiri dan menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsif

yang tertuang dalam perilaku, kognitif dan pengambilan keputusan.

b. Agresivitas adalah perilaku yang ditujukan kepada seseorang secara sadar

dengan tujuan tertentu sehingga dapat menyakiti orang lain.

3.3 Populasi Dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi adalah totalitas dari semua objek atau individu yang memiliki

karakteristik tertentu, jelas dan lengkap yang akan diteliti (Iqbal Hasan, 2002).

Sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti, yaitu melihat adakah hubungan

antara pengendalian diri (self-control) dengan agresivitas pada anak jalanan, maka populasi dari penelitian ini adalah anak jalanan dari Yayasan Bina Insan Mandiri

Depok.

3.3.2 Sampel

Sampel menurut Iqbal Hasan (2002) adalah bagian dari populasi yang

diambil melalui cara-cara tertentu yang juga memiliki karakteristik tertentu, jelas

dan lengkap yang dianggap mewakili populasi. Dalam penelitian ini, sampel yang

digunakan adalah sebanyak 50 orang anak jalanan Yayasan Bina Insan Mandiri

Depok, yaitu 33 anak laki-laki dan 17 anak perempuan. Adapun pengambilan

sampel sebanyak 50 orang dilandasi oleh ketersediaan sampel yang sesuai dengan

(51)

dari usia 15 tahun sampai 18 tahun, disamping itu juga dikarenakan keterbatasan

waktu dan dana dari peneliti sendiri.

3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

non-probabilitas atau disebut juga dengan rancangan pengambilan sampel yang

tidak menggunakan random dan tidak didasarkan pada hukum probabilitas.

Menurut Kountur (2003) teknik non probability sampling adalah proses pemilihan sampel dimana tidak semua anggota dari populasi memiliki kesempatan untuk

dipilih. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

purposive sampling yaitu sampel yang ditetapkan secara sengaja oleh peneliti.

Sedangkan karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah:

a. Subjek adalah anak-anak jalanan laki-laki dan perempuan yang berusia antara

15-18 tahun.

b. Subjek merupakan anak-anak yang tinggal di jalanan, kolong jembatan,

stasiun kereta api, ataupun di rumah bersama orang tuanya, yang tercatat

sebagai anak didik Yayasan Bina Insan Mandiri Depok.

c. Bersedia menjadi responden dalam penelitian ini, karena dengan adanya

kesediaan responden akan memberikan dampak yang baik bagi peneliti,

dimana responden akan bersedia untuk mengisi angket yang telah diberikan

dengan tenang tanpa adanya paksaan, jujur dan lengkap tanpa ada satu pun

(52)

3.4 Pengumpulan Data

3.4.1 Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menggunakan

skala Likert. Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan

persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang kejadian atau gejala sosial

(Riduwan, 2005). Skala yang digunakan berisi pernyataan mengenai pengendalian

diri (self-control) dan agresivitas, responden akan diminta untuk mengisi setiap pernyataan dengan memberikan tanda ceklis (√) pada kolom yang sesuai. Respon

subjek tidak diklasifikasikan benar-salah, semua jawaban dapat diterima sesuai

jawaban jujur dan sungguh-sungguh.

Untuk pemberian skor dari skala ini jawaban antara pernyataan yang

bersifat favorabel dengan yang bersifat unfavorabel berbeda, untuk lebih jelasnya

[image:52.595.114.507.267.709.2]

dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3.1

Skoring Instrumen

Pilihan Jawaban Favorabel Unfavorabel

Sangat Setuju (SS) 4 1

Setuju (S) 3 2

Tidak Setuju (TS) 2 3

(53)

Adapun alasan penulisan menggunakan empat alternatif jawaban, yakni

untuk melihat kecenderungan ke arah setuju atau tidak setuju serta untuk

menghindari adanya kecendrungan responden menjawab netral.

3.4.2 Instrumen Pengumpulan Data

Metode yang akan digunakan untuk melakukan pengumpulan data dalam

penelitian ini adalah dengan menggunakan skala. Skala yang dipergunakan untuk

pengumpulan data dalam penelitian ini ada dua, yaitu skala pengendalian diri

(self-control) dan skala agresivitas.

1. Pengendalian diri (self-control) digunakan untuk mengetaui sejauh mana individu mempunyai kemampuan menggunakan kehendak atau keinginannya

dalam membimbing tingkah laku sendiri dan menekan atau merintangi

impuls-impuls atau tingkah laku impulsif yang tertuang dalam perilaku,

kognitif dan pengambilan keputusan, yang mengacu pada aspek-aspek

(54)
[image:54.595.122.564.173.572.2]

Tabel 3.2

Blue Print Try Out

Skala Pengendalian Diri (

Self-Control)

Aspek Indikator

No. Item Jumlah

Item Favorabel Unfavorabel

Mengontrol

perilaku

- mengatur pelaksanaan

- memodivikasi stimulus

2, 6, 10, 12,

42, 52

4, 8, 46, 50

11, 19, 29, 57

17,31,33,37,55

10

9

Mengontrol

kognitif

- memperoleh informasi

- melakukan penilaian

38,54,58

22, 26, 28,

30, 32, 34, 60

9,39, 53

1, 3, 5, 7, 41,

43, 45, 47, 49,

6

16

Mengontrol

keputusan

- mengantisipasi peristiwa

- menafsirkan peristiwa

14, 18, 20,

24,

16, 36, 40,

42, 44, 48

15,23,27, 51

13, 21, 25, 35,

59

8

11

Jumlah Pernyataan 30 30 60

2. Dan skala yang kedua dalam pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini

adalah skala agresivitas pada anak jalanan. Skala agresivitas disusun

berdasarkan teori Buss & Perry (1992) yang menyatakan bahwa ada 4 bentuk

agresi yaitu: agresi fisik, dengan indikator: menyerang dan memukul. Agresi

(55)

Agresi marah, dengan indikator : kesal dan mudah marah. Dan sikap

[image:55.595.110.562.187.652.2]

permusuhan, dengan indikator : benci, curiga dan iri hati. Adapun tabel blue print penyebaran skala agresivitas adalah sebagai berikut :

Tabel 3.3

Blue Print Try Out

Skala Agresivitas

Aspek Indikator

No. Item Jumlah

Item Favorabel Unfavorabel

Agresi Fisik - Menyerang

- Memukul

8

2, 3, 19

1, 13, 27

23 4 4 Agresi Ferbal - Berdebat

- Menyebarkan gosip

- Bersikap sarkastis

14, 33, 36

21, 34

22

4, 31

20

26, 32, 40

5 3 4 Agresi Marah - Kesal

- Mudah marah

37

15, 28, 38

24 29, 35 2 5 Sikap Permusuhan - Benci - Curiga

- Iri hati

9, 25, 30

6, 7

11

5, 12, 39

10, 17

16, 18

6

4

3

(56)

3.4.3

Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas digunakan untuk mengetahui kelayakan butir-butir dalam

suatu daftar pernyataan dalam mendefinisikan suatu variabel. Hasil penelitian

yang valid adalah apabila terdapat kesamaan antara data yang terkumpul dengan

data yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti. Suatu instrumen

penelitian dikatakan valid apabila instrumen tersebut dapat mengukur apa yang

hendak diukur (Kountur, 2003). Validitas suatu butir pernyataan dalam penelitian

ini dilihat dari hasil output SPSS 13.0. Menilai kevalidan masing-masing butir

pernyataan dapat dilihat dari nilai Corrected Item-Total Correlation masing-masing butir pernyataan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan 50 responden

dengan kriteria nilai r tabel 2,79. Sehingga item yang memperoleh nilai lebih kecil dari r tabel dianggap gugur/tidak valid.

Sedangkan uji reliabilitas (keandalan) merupakan ukuran suatu kestabilan

dan konsistensi responden dalam menjawab hal yang berkaitan dengan

konstruk-konstruk pernyataan yang merupakan dimensi suatu variabel dan disusun dalam

bentuk skala. Suatu instrumen penelitian disebut reliabel apabila instrumen

tersebut konsisten dalam memberikan penilaian atas apa yang diukur (Kountur,

2003). Reliabilitas suatu konstruk variabel dikatakan baik jika memiliki nilai

(57)

Gambar

Gambar 2.2
Tabel  4.15      Independent Sampel F-Test Skala Pengendalian Diri ...................63
Tabel 3.1  Skoring Instrumen
Tabel 3.2
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mereka yang memiliki penerimaan diri dalam tingkat optimal atau tinggi akan bersikap positif terhadap dirinya sendiri, mau menerima kualitas baik dan buruk dirinya, serta

b. Menganalisis sendiri kejadian- kejadian yang dialaminya.. Menduga bahwa menoniolkan diri dalam pesta, dikira ikut-ikutan Ketika teman saya memiliki buku baru ... Saya

3. Keluarga sering memberikan uang pada saya untuk mencukupi kebutuhan anak saya Perpustakaan Unika.. Teman-teman memberikan saya buku tentang hal-hal yang berkaitan dengan

Ketika sedang kesulitan memahami bahasa Jawa, saya mudah tersinggung terhadap teman yang mengejek saya.. SS S TS

Saya malas mengikuti perlombaan Saya suka mempelajari hal-hal baru Saat teman menceritakan masalahnya, saya dapat merasakannya juga Saya aktif memberi usul ketika diskusi dengan

Orang tua tidak ingin tahu akan apa yang saya perbuat jika saya sedang berada di luar rumah bersama teman-teman saya.. Orang tua menggunakan kata-kata yang ketus jika saya

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan karunia-Nya skripsi saya yang berjudul: Hubungan Percaya Diri dengan Pengendalian Diri

11 Saya tetap mengikuti pendapat kelompok, meskipun pendapat saya berbeda dengan keputusan kelompok 12 Saya tidak akan ikut-ikutan dengan apa yang