• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara penerimaan diri dengan kebahagiaan anak jalanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara penerimaan diri dengan kebahagiaan anak jalanan"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN KEBAHAGIAAN ANAK JALANAN telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 03 Mei 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.

Jakarta, Mei 2010 Sidang Munaqasyah

Dekan/ Pembantu Dekan/

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap

Anggota,

Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP. 130 885 522 NIP. 19561223 198303 2001

Penguji I Penguji II

Neneng Tati Sumiati, M.Si, Psi Prof.Hamdan Yasun, M.Si NIP. 19730328 200003 2003 NIP. 130351146

Pembimbing I Pembimbing II

Prof.Hamdan Yasun, M.Si Desi Yustari Muchtar M.Psi NIP.130351146 NIP. 1982 1214 200801 2006

(2)

Ku persembahkan karya ini teruntuk…

Kedua Orang Tuaku yang kasihnya setelah Kasih

ALLAH,

Merupakan salah satu sumber kebahagiaanku…

Keluargaku, Orang yang selalu kukasihi, Kucintai

dan menjadi penyemangat hatiku…

Kakak-kakaku dan Adik-adikku – Iis Saptiyah, Ade

Hidayatullah, Nur Ani Novi Ana, Yeni Musyfiroh,

Agi Mukmin al-Khumairi –

Yang ku harap, semoga ALLAH menjadikan kalian

orang-orang yang berbahagia di Dunia dan Akhirat

karena Ridho-Nya… (Amin)

(nurlia_muslimah@yahoo.co.id)

(3)

Happiness is a Perfume, You

Cannot Pour on Others without

Getting a Few Drops on Your Self

(Delph S.)

ABSTRAKSI

(A) Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (B) Mei 2010

(C) Nurlia Muslimah

(D) Hubungan Penerimaan Diri dengan Kebahagiaan Anak jalanan (E) Halaman : 70 + Lampiran

(4)

(F) Merebaknya anak jalanan karena kapasitas sarana yang tidak memadai, juga buruknya pandangan masyarakat terhadap mereka. Membuat mereka sulit untuk diterima oleh masyarakat sekitar. Oleh karena itu sebelum mereka dapat diterima oleh masyarakat, mereka memerlukan penerimaan diri yang baik terhadap diri sendiri.

Penerimaan diri dianggap sebagai ciri-ciri penting kesehatan mental dan juga sebagai karakteristik aktualisasi diri, fungsi yang optimaldan kematangan. Mereka yang memiliki penerimaan diri dalam tingkat optimal atau tinggi akan bersikap positif terhadap dirinya sendiri, mau menerima kualitas baik dan buruk dirinya, serta memiliki sikap positif terhadap masa lalu. Anak-anak jalan juga memerlukan penerimaan diri yang baik agar mental, aktualisasi diri dan kematangan mereka juga baik. Penerimaan diri yang telah ada pada anak jalanan bisa menimbulkan kepuasan hidup dan emosi yang positif. Hal ini juga bisa disebut dengan kebahagiaan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara penerimaan diri dengan kebahagiaan anak jalanan.

Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif dan dilakukan pada anak-anak jalanan di daerah Manggarai–Jakarta Selatan, dengan subjek penelitian sebanyak 68 orang dengan rentang usia 10-21 tahun.

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data diperoleh koefisien korelasi sebesar 0.293. hasil ini menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan yang positif antara penerimaan diri dengan kebahagiaan anak jalanan. Artinya, semakin tinggi tingkat penerimaan diri, maka semakin tinggi juga kebahagiaan anak jalanan.

Dari hasil penelitian ini disarankan agar peneliti selanjutnya dapat menambahkan variabel yang lainnya, agar mendapatkan hasil penelitian yan lebih baik.

(G) Daftar Bacaan : 26 (1976-2010)

Buku: 16, Jurnal: 4, Skripsi: 2, Internet: 4

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya miliki Allah. Zat yang menggenggam alam semesta ini, yang Kasih-Nya sangat luar biasa. Shalawat beriringan salam peneliti sampaikan kepada kekasih Allah yang namanya selalu dihaturkan dengan sholawat yang indah yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassalam

(6)

beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya yang begitu setia menemani beliau dalam berdakwah.

Syukur yang tiada terhenti atas terwujudnya skripsi dengan judul “Hubungan antara Penerimaan Diri dengan Kebahagiaan Anak Jalanan”. skripsi ini diajukan untuk melengkapi syarat dalam mencapai gelar Sarjana Psikologi Jenjang Pendidikan Strata Satu Program Studi Psikologi pada Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidyatullah Jakarta.

Peneliti menyadari bahwa keberhasilan dalam penyusunan ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang bersedia membimbing, membantu dan mendoakan kelancaran skripsi ini. Oleh karena itu dalam kesempatan ini peneliti menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jahja Umar Ph,D.

2. Dosen Pembimbing Akademik, Dra. Diana Muti’ah, M.Si.

3. Prof.Hamdan Yasun, M.Si dosen pembimbing I dan Desi Yustari Muchtar, M.Psi dosen pembimbing II, yang dengan ilmunya menjadikan peneliti dapat menyesaikan skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu staff Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta atas kerjasamanya.

5. Kepada Orang Tua ku tercinta yang cintanya setelah cinta Allah. Yang telah mengajarkanku arti tentang kehidupan, kesabaran, dan kerja keras, juga keikhlasan dalam menjalani qadha dan qadar-Nya. 6. Kakak-kakakku yang mencurahkan perhatiaan, semangat, materi.

Saya haturkan banyak-banyak terima kasih kepada, Iis Saptiyah, Ade Hidayatullah. Dan untuk adik-adikku tersayang, teruslah berjuang dijalan-Nya, raihlah cita-citamu dan jangan sia-siakan waktumu. 7. Teknisi komputerku, Bang Riki Zulkarnain dan Ruly Hari Fitrianto

terimakasih atas waktu, tenaga, dan ilmunya yang diberikan kepada peneliti.

8. Teman-teman seperjuangan kelas A angkatan 2005, terima kasih atas perhatian serta dukungan yang telah diberikan selama ini.

9. Sahabat-sahabat setia yang keberadaanya sangat berarti Utma Uli, Nur Faujiyanti, Dewi Atikoh, Siti Amalia, Eti Marwati, Pian Hermawati, Hartati Novita Sari, Laeli Sobiroh, Ka Subhgeyah Hendrick dan Ka Fatiema Rhoda, atas motivasi, do’anya dan telah memberi warna bagi perjalanan hidupku di ciputat.

(7)

ix

10. Sahabat-sahabatku di PONPES Darul Ulum angkatan 2005, terimakasih atas do’a-do’anya.

11. Kepada Rumah Singgah Tjiliwoeng Jakarta Selatan. Bapak Yaya, Yudi dan seluruh staf yang telah membantu dalam penyebaran skala

penelitian.

12. Kepada Rumah Belajar Anak Langit Cikokol. Ka Jhon, Ka Baco, Ka Abdi dan ANDIK (Anak-anak didik) terimakasih banyak karena telah menyulutkan motivasi kepada peneliti.

Dengan ini saya selaku peneliti mempersembahkan sebuah karya ilmiah yang insya Allah bermanfaat yang berjudul. “Hubungan Antara Penerimaan Diri dengan Kebahagiaan Anak Jalanan”.

Jakarta, Mei 2010

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iii

DEDIKASI ... iv

MOTTO... v

ABSTRAKSI ... vi

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Batasan dan Rumusan Masalah... 10

1.2.1 Batasan Masalah ... 10

1.2.2 Rumusan masalah ... 10

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 11

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 11

1.4 Sistematika Penulisan... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebahagiaan... 13

2.1.1 Definisi Kebahagiaan ... 13

2.1.2 Komponen Kebahagiaan... 15

(9)

2.1.2.1 Emosi positif ... 15

2.1.2.2 Kekuatan dan Kebajikan... 20

2.1.3 Faktor-faktor Pembentuk Kebahagiaan ... 21

2.1.4 Aspek Kebahagiaan ... 25

2.2 Penerimaan Diri ... 25

2.2.1 Definisi Penerimaan Diri... 25

2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri.. 28

2.2.3 Karakteristik Penerimaan Diri... 33

2.2.4 Dampak Penerimaan Diri ... 35

2.3 Kerangka Berpikir ... 32

2.4 Hipotesis ... 40

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian... 41

3.1.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ... 41

3.2 Variabel... 42

3.2.1 Definisi Variabel ... 42

3.2.2 Definisi Konseptual ... 43

3.2.3 Definisi Operasional ... 43

3.3 Pengambilan Sampel... 44

3.3.1 Populasi ... 44

3.3.2 Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 44

3.4 Pengumpulan Data ... 45

3.4.1 Teknik Pengumpulan Data ... 45

3.4.2 Instrumen Pengumpulan Data ... 47

3.5 Metode Analisis Data ... 49

3.6 Prosedur Penelitian ... 51

(10)

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian... 53

4.2 Persentasi Data ... 54

4.2.1 Deskripsi Statistik... 54

4.2.2 Kategorisasi Skor ... 55

4.3 Hasil Pengukuran Skala... 58

4.3.1 Skala Penerimaan Diri Ryff ... 58

4.3.2 Skala Kebahagiaan Ed Diener ... 59

4.4 Uji Korelasi... 60

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 63

5.2 Diskusi ... 63

5.3 Saran ... 66

5.3.1 Saran Teoritis... 66

5.3.2 Saran Praktis... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Bobot Nilai Skala Penerimaan Diri Ryff (1989) ... 48

Tabel 3.2 Blue Print Item SkalaPenerimaan Diri Ryff (1989) ... 48

Tabel 3.3 Bobot Nilai Skala Kebahagiaan Ed Diener (1985) ... 49

Tabel 3.4 Blue Print Item Skala Kebahagiaan Ed Diener (1985) ... 49

Tabel 4.1 Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 53

Tabel 4.2 Responden Berdasarkan Usia Responden ... 54

Tabel 4.3 Deskripsi Statistik ... 55

Tabel 4.4 Distribusi Skor Responden ... 56

Tabel 4.5 Distribusi Skor Responden ... 57

Tabel 4.6 Uji Korelasi antara Penerimaan Diri dengan Kebahagiaan Anak Jalanan ... 61

[image:11.612.126.529.162.386.2]
(12)

DAFTAR GAMBAR

Diagram 4.1 Skala Penerimaan Diri ... 58 Diagram 4.2 Skala Kebahagiaan... 59

(13)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Surat Izin Penelitian di Rumah Singgah Manggarai Profil Anak Jalanan Rumah Singgah Manggarai Angket Kebahagiaan dan Penerimaan Diri Data Mentah Kebahagiaan dan Penerimaan Diri Output Lisrel 8.8 Kebahagiaan

Bagan Kebahagiaan

Output Lisrel 8.8 Penerimaan Diri Bagan Penerimaan Diri

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara. Kalimat ini tercantum dalam Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia

1945 Pasal 34 ayat 1. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab

terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak

jalanan. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya

sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya

tercantum dalam Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, dan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 36 Tahun 1990

tentang, pengesahan konvensi tentang hak-hak anak. Mereka perlu

mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu

hak sipil dan kemerdekaan, lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan,

kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, rekreasi dan budaya, dan

perlindungan khusus.

Anak jalanan adalah anak-anak yang berusia 6-21 tahun yang menghabiskan

(15)

pedagang, pengemis dan pengamen. Mereka adalah korban kemiskinan dan

eksploitasi orangtuanya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup diri dan

keluarga, anak-anak itu terpaksa berkeliaran di perempatan jalan, lampu

merah, pusat perbelanjaan, stasiun kereta, terminal, jembatan

penyeberangan orang (JPO), dan sebagainya untuk mencari rezeki.

Dinas Sosial DKI Jakarta mencatat sedikitnya ada 4.023 anak jalanan yang

berkeliaran di beberapa titik jalan. Dari hasil penelusuran, diketahui ribuan

anak jalanan itu tersebar di 52 wilayah di Jakarta. Kawasan tersebut adalah

Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Cilandak, Tomang dan Perempatan

Coca Cola, Jakarta Pusat. Kebanyakan anak jalanan ini berasal dari daerah

dan sulit terkontrol. Selain itu, seringkali para anak jalanan itu diakomodir

oknum tertentu (Budiharjo, 2010).

Kendala lain menurut Budiharjo (2010) adalah kapasitas sarana pembinaan

yang saat ini tidak sesuai dengan jumlah anak jalanan yang ada. Sehingga

pembinaan terhadap setiap anak jalanan hanya dilakukan selama 6 bulan

sebelum dilepas kembali. "Enam panti yang ada sudah penuh, sehingga kami

hanya memberlakukan masa pembinaan tiga bulan dan tiga bulan untuk

pelatihan” lanjut Budihardjo. Menurutnya, pelatihan yang sudah diberikan

kepada anak jalanan sering tidak ditindaklanjuti dengan tersediaan peluang

(16)

Karena itu, dalam pemberdayaan anak jalanan, pihaknya berencana akan

bekerjasama denga pihak swasta dengan memaksimalkan program

Coorporate Social Responsibility (CSR) yang dimiliki masing-masing

perusahaan. Langkah tersebut telah diterapkan beberapa badan usaha derah

seperti Taman Impian jaya Ancol (TIJA), Taman Margasatwa Ragunan

(TMR), serta pusat perbelanjaan seperti mall.

Menurut Nanik (2006), awal seseorang berada di jalanan karena tidak

terpenuhi kebutuhan dalam hidupnya, seperti kebutuhan terhadap ekonomi,

atau pun psikologis. Kebutuhan ekonomi yang tidak terpenuhi memaksa

seseorang untuk mulai mencari uang sendiri. Dan bila tidak tersedia tempat

yang memungkinkan untuk mencari uang yang layak, jalanan adalah tempat

yang paling bisa menjangkau. Padahal banyak orang jalanan ini adalah

anggota masyarakat yang dikategorikan sebagai pelajar atau usia sekolah.

Makmur Sanusi (2001) dalam Nini Fitriani (2003) menyatakan bahwa, Anak

jalanan juga memiliki kecenderung lepas dari pembinaan keluarga dan

sekolah sebagai institusi yang bertanggung jawab penuh terhadap

pertumbuhan dan perkembangan mereka. Di jalanan mereka berinteraksi

dengan nilai dan norma yang jauh berbeda dengan apa yang ada di

lingkungan keluarga dan sekolah. Perlu di waspadai bahwa ada

kecenderungan mereka berbuat kerusakan dan melanggar tatanan hukum

(17)

nafkah di jalan. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya pandangan

masyarakat yang menganggap bahwa mereka sebagai sampah masyarakat

dan kemudian mempersempit ruang gerakmereka terhadap fasilitas umum

yang menjadi kebutuhan mereka.

Selain itu hasil penelitian yang dilakukan oleh Nini Fitriani (2003), mengenai

Akulturasi Anak Jalanan, yang mengambil 9 anak sebagai sampel penelitian.

Diketahui bahwa model akulturasi yang ditemukan pada anak terdapat model

integritasi terjadi pada 2 anak, separasi terjadi pada 1 anak dan assimilasi

dialami oleh 6 anak jalanan. Sedangkan model marjinalisasi tidak ditemukan

pada mereka. Assimilasi mendominasi dalam anak jalanan karena kurangnya

perhatian dan kontrol keluarga sehingga anak kehilangan budaya rumah

yang telah dianutnya dan lebih banyak berbaur dengan budaya jalanan yang

terinternalisasi dalam dirinya.

Banyak sekali informasi atau fenomena yang terjadi pada anak jalanan, yang

membahas tentang keterpurukan mereka, hak-hak mereka yang tidak

terpenuhi, ekploitasi anak, gizi buruk, keterlantaran dan akulturasi anak

jalanan yang menjadikan mereka kehilangan budaya rumah. Dari hal-hal

tersebut tidak adanya energi positif yang di gambarkan oleh pemberitaan

media masa. Sedangkan mereka juga sama seperti kita yakni makhluk yang

memiliki emosi positif, emosi negatif, dan memiliki rasa bahagia yang tidak

(18)

ditimbulkan dari status mereka sebagai anak jalanan, tapi sebagai diri yang

menerima keadaan baik buruknya kehidupan tanpa sedikitpun

menghilangkan cita-cita mereka untuk dapat merubah status anak jalanan

menjadi anak-anak yang sukses. Dan berkeinginan untuk hidup lebih layak,

dan jika bisa memilih dari sebuah kehidupan, mereka akan memilih dilahirkan

oleh orang tua yang kaya raya, masa depan yang terjamin, dan mereka dapat

membeli kebahagiaan dengan uang yang mereka miliki. Tapi kenyataannya

mereka hanyalah seorang manusia yang harus menerima diri mereka demi

menghilangkan rasa kecewa atas takdir yang mereka terima.

Menerima adalah kata yang mudah diucapkan namun sangat sulit untuk

dilakukan. Menerima realitas memang butuh proses yang mendalam. Namun

jika seseorang telah mampu melampaui tahapan proses penerimaan diri,

maka penerimaan diri tersebut dapat menjadi energi yang sangat dahsyat

untuk menggapai impian. Sebaliknya jika seorang individu belum melalui

tahapan penerimaan diri terhadap kondisi dirinya, maka penyesalan terhadap

nasib dapat menjadi belenggu kehidupan dirinya (Fuad, 2006).

Menurut Hurlock (1976), penerimaan diri penting untuk mengintegrasikan

tubuh, pikiran, dan jiwa. Jika konsep diri seseorang tidak menyenangkan,

orang tersebut akan menolak dirinya sendiri atau hanya menerima separuh

bagian dirinya saja dan akan berpengaruh buruk pada keadaan

(19)

buruk pada masa depannya. Bukan disebabkan keadaan mereka sebagai

anak jalanan, tetapi karena kondisi psikologis mereka yang buruk.

Menurut Maslow dalam Hjelle dan Ziegler dalam Indryastuti (1998)

menyatakan bahwa, individu yang memiliki sikap positif terhadap diri sendiri

akan dapat menerima segala kelebihan dan kekurangan dirinya. Mereka

bebas dari rasa bersalah, rasa malu, dan rendah diri karena keterbatasan diri

serta bebas dari kecemasan akan adanya penilaian orang lain terhadap

mereka lebih lanjut, individu tersebut akan dapat mengatasi keadaan

emosionalnya (marah, depresi, takut, cemas dan sebagainya) tanpa

mengganggu orang lain. Allport dalam dalam Indryastuti (1998), menyatakan

bahwa penerimaan diri didefinisikan sebagai toleransi individu terhadap

peristiwa-peristiwa yang menimbulkan frustrasi.

Jika penerimaan diri ini telah ada pada anak jalanan maka mereka akan

menerima semua yang telah terjadi dalam kehidupannya tanpa menyesali

dan putus asa untuk dapat hidup lebih baik dari sebelumnya. Setelah

semuanya berproses untuk menerima diri sendiri maka rasa bahagia akan

timbul dari sebuah emosi yang positif dari diri sendiri dan bukan dari kejadian

yang berasal dari luar, demikian juga dengan perasaan-perasaan lainnya.

Emosi yang positif menolong mereka untuk mencari cara agar dapat menjauh

(20)

keadaan yang positif. Emosi yang positif memperkuat individu dan

menyediakan jalan menuju kehidupan yang gembira, bahagia, dan

memuaskan (Gary dan Don, 2005). Bukan berarti setelah mereka mencapai

kebahagiaan dalam kondisi sebagai anak jalanan, mereka tidak

menginginkan masa depan yang lebih cerah. Mereka juga memiliki kekuatan,

kebajikan, dan mempunyai masa lalu untuk dikenang, masa depan untuk

diraih, dan masa sekarang untuk dijalankan.

Menurut Snyder dan Lopez (2007), Kebahagiaan adalah emosi positif, yang

secara subjektif di definisikan oleh setiap orang. Yang oleh karena itu jarang

sekali orang-orang mendefinisikan kebahagiaan dengan satu definisi yang

sama. Kebahagiaan timbul dari diri sendiri dan bukan dari kejadian yang

berasal dari luar (Gary dan Don, 2005). Kebahagiaan tidak bisa dicapai

dengan hanya memikirkannya saja, tetapi kita juga harus melakukan sesuatu

yang membuat kita bahagia. Namun terkadang manusia hanya mencarinya

tanpa melakukan sesuatu yang menuju pada kebahagiaan. Sehingga mereka

sering kali berputus asa dengan hasil yang mereka dapatkan, padahal

pencapaian kebahagiaan bukanlah pada hasil yang kita peroleh (kuantitas)

tapi pada proses kita mencari kebahagiaan (kualitas).

Hal lain mengapa manusia tidak dapat merasakan kebahagiaan adalah

karena manusia cenderung untuk merenungi nasib buruk yang telah

(21)

terlalu terpaku pada hal yang telah berlalu dan tidak dapat melupakan masa

lalunya yang pahit. Menurut Dewi Sanjana (2006), banyak orang yang sukar

untuk mendapatkan kebahagiaan karena mereka berusaha untuk mencari

kebahagiaan external, yaitu kebahagiaan yang dirasakan apabila mereka

berhasil mendapatkan atau meraih sesuatu yang di luar dirinya. Sesuatu

tersebut bisa berupa harta benda duniawi, ketenaran, nama baik, harga diri,

kekuasaan, dan lain sebagianya. Apabila seseorang mendefinisikan

kebahagiaan seperti ini, maka kebahagiaan yang didapat adalah

kebahagiaan semu dan bersifat sementara. Biasanya kebahagiaan tersebut

berlangsung dalam tempo yang singkat. Banyak orang yang tidak menyadari

bahwa kebahagiaan dapat digali dari dalam diri tiap-tiap pribadi atau disebut

juga dengan kebahagiaan internal. Apabila seseorang telah berhasil

menemukan kebahagiaan internalnya, maka orang tersebut akan selalu

merasakan bahagia dalam hidupnya, apa pun yang terjadi dalam hidupnya.

Kebahagiaan internal ini tercapai apabila kita dapat selalu merasakan

ketenangan, kedamaian, dan suka cita dalam segala situasi. Orang yang

telah menemukan kebahagiaan internal biasanya dapat selalu menerima

kenyataan yang terjadi dalam hidupnya dengan besar hati.

Maka dari itu penerimaan diri sangat diperlukan bagi anak jalanan, karena

penerimaan diri dianggap sebagai ciri-ciri penting kesehatan mental dan juga

sebagai karakteristik aktualisasi diri (Ryff, 1989). Anak-anak yang mempunyai

(22)

Psikologis yang baik dapat menjadikan mereka bertahan hidup di lingkungan

apapun. Menurut Gary dan Don (2005) psikologis yang baik juga dapat

menimbulkan emosi yang positif (bahagia, gembira, dan rasa puas), emosi

yang positif menolong mereka untuk mencari cara agar dapat menjauh dari

hal yang negatif (frustasi, marah, stres, cemas, rasa malu, rasa bersalah, dan

rendah diri).

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti

berkeinginan untuk melakukan penelitian mengenai ”Hubungan antara Penerimaan Diri dengan Kebahagiaan Anak Jalanan.”

1.2. Batasan dan Rumusan Masalah

1.2.1. Batasan masalah

Dalam penelitian ini penulis membatasi pembahasan yang berkaitan dengan

ruang lingkup penelitian yang berhubungan dengan judul di atas :

1. Anak jalanan yang dimaksud adalah anak-anak jalanan yang berada

dirumah singgah atau yayasan anak jalanan, yang berusia antara 10

sampai 21 tahun.

2. Kebahagian yang dimaksud adalah evaluasi terhadap kehidupan yang

(23)

3. Penerimaan diri yang dimaksud adalah sikap positif terhadap diri,

mengakui dan menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan

buruk. Dan merasa positif dengan kehidupan yang telah dijalaninya

1.2.2. Rumusan masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

”Apakah ada hubungan antara penerimaan diri dengan kebahagiaan anak

jalanan?”

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan

antara penerimaan diri dengan kebahagian anak jalanan

1.3.2. Manfaat penelitian Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan pada

bidang psikologi, khususnya pada bidang psikologi sosial.

Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapakan dapat dimanfaatkan oleh aktivis LSM, dan lembaga

(24)

anak-anak jalanan. Dan sebagai salah satu rujukan bagi peneliti-peneliti

selanjutnya.

1.4. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN: Latar Belakang Masalah, Batasan dan

Rumusan Masalah: Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian: Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian Sistematika Penulisan

BAB II KAJIAN PUSTAKA : Kebahagiaan: Definisi Kebahagiaan, Komponen Kebahagiaan, Faktor-faktor Pembentuk Kebahagiaan,

Aspek Kebahagiaan, Penerimaan Diri: Definisi Penerimaan Diri, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri, Karakteristik

Penerimaan Diri,Dampak Penerimaan Diri, Kerangka Berpikir, Hipotesis

BAB III METODE PENELITIAN : Jenis Penelitian: Pendekatan dan Metode Penelitian, Variabel:Definisi Variabel,Definisi Konseptual, Definisi Operasional, Pengambilan Sampel:Populasi,Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel, Pengumpulan Data:Teknik

Pengumpulan Data,Instrumen Pengumpulan Data, Metode Analisis Data, Prosedur Penelitian

(25)

Deskripsi Data, Kategoi Skor, Hasil Pengukuran Skala: Skala Penerimaan Diri Ryff (1989), Skala Kebahagiaan Ed Diener

(1985), Uji Korelasi antara Penerimaan Diri dengan Kebahagiaan Anak Jalanan

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN : Kesimpulan, Diskusi, Saran: Saran Teoritis, Saran Praktis

(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kebahagiaan

2.1.1. Definisi kebahagiaan

Ed Diener (2007) menyamakan kebahagiaan dengan subjective well-being.

Definisi kebahagiaan menurut Ed Diener (2005) adalah ”subjective well-being is a person’s cognitive and evaluations of his or her life.” kebahagiaan

seseorang terdapat pada pikirannya dan evaluasi terhadap kehidupan yang

mereka alami.

Martin Seligman (2005) mendefinisikan kebahagiaan menurut asa-usul

kebahagiaan berasal. Menurutnya, kebahagiaan adalah kondisi yang datang

dari kemampuan kita untuk mengidentifikasi dan menggunakan kekuatan

(strengths) yang kita miliki dalam kehidupan sehari-hari untuk merasakan emosi positif di masa lalu dan masa mendatang, menikmati emosi positif

yang dihasilkan dari kenikmatan, serta merasakan gratifikasi yang besar di

masa kini. Inilah yang disebut kebahagiaan otentik.

Richard Carlson dalam Charles C.M ( 2003) menyatakan bahwa,

(27)

psikologis yang sehat. Ketika mereka tahu bahwa kebahagiaan tidak lebih

dari sebuah perasaan, maka mereka dapat mengembangkan dan

memelihara perasaan itu. Ketika mereka merasakannya, kebahagiaan tidak

memerlukan usaha apa-apa. Bahkan, kebahagiaan lebih mengarah pada

meniadakan ketidak bahagiaan dari pada berusaha bahagia. Sedangkan

Christine Webber (2004) menyatakan bahwa kebahagiaan bukanlah

merupakan pemberian, meskipun benar bahwa beberapa orang tampaknya

mempunyai keberuntungan bawaan lahir, untuk mendapatkan kebahagiaan

yang lebih dari orang lain.

Menurut Aidh al-Qarni (2004), Kebahagiaan adalah keringanan hati karena

kebenaran yang dihayatinya, kebahagiaan adalah kelapangan dada karena

prinsip yang menjadi pedoman hidup, dan kebahagiaan adalah ketenangan

hati karena kebaikan disekelilingnya.

Happiness is a positive emotional state that is subjectively defined by each person. Menurut Synder dan Lopez (2007) kebahagiaan adalah emosi yang positif, yang secara subjektif di definisikan oleh setiap orang.

Jika mengacu pada beberapa definisi diatas, kebahagiaan adalah suatu rasa

yang datang dari dalam diri dan tidak menutup kemungkinan kebahagiaan

juga bisa datang dari luar diri. Kebahagiaan juga bisa diartikan dengan

(28)

anggap tidak akan membuat kita bahagia, juga evaluasi terhadap kehidupan

yang kita alami.

2.1.2. Komponen Kebahagiaan

Seperti yang sudah disebutkan oleh definisi di atas. Kebahagiaan menurut

Seligman (2005) berasal dari dua komponen, yaitu emosi positif, serta

kekuatan dan kebajikan. Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut tentang

kedua komponen tersebut.

2.1.2.1. Emosi Positif

Seligman (2002) membagi emosi positif menjadi tiga kategori menurut waktu.

Emosi positif bisa terkait dengan masa lalu, masa kini dan masa depan

seseorang. Emosi positif yang berkaitan dengan masa lalu adalah kepuasan,

kesenangan karena kepuasan hati, kelegaan, kebanggaan dan ketentraman.

Sedangkan yang termasuk emosi positif masa kini mencakup kebahagiaan,

kegembiraan, ketenangan, semangat, gairah, kenyamanan dan yang

terpenting adalah (flow) aliran dari emosi-emosi tersebut. Yang terakhir adalah emosi positif yang terkait dengan masa depan yaitu optimisme,

harapan, keyakinan (faith), dan kepercayaan (trust).

Ketiga hal ini tidak harus dialami semuanya dalam rentang hidup seseorang.

Mungkin saja seseorang merasa bangga dan puas dengan masa lalunya, tapi

(29)

datang. Mungkin juga seseorang mengalami banyak kesenangan di masa

kini, tapi pernah mengalami masa lalu yang pahit dan tidak memiliki harapan

untuk masa yang akan datang (Hayati, 2006).

Dengan mempelajari ketiga jenis kebahagiaan itu, seseorang dapat

mengubah atau menggerakkan emosinya menuju arah yang positif dengan

mengubah perasaan yang dialaminya pada masa lalu, apa yang dipikirkan

untuk masa depan dan bagaimana yang dialaminya pada masa kini.

1). Emosi Positif Berkaitan dengan Masa Lalu (Kepuasan)

Menurut Seligman (2002), emosi yang berkaitan dengan masa lalu antara

lain kepuasan, kesenangan karena kepuasan hati, kelegaan, kesuksesan,

kebanggaan, hingga kegetiran dan kemarahan yang penuh dendam. Semua

emosi ini secara utuh ditentukan oleh pikiran seseorang tentang masa

lalunya. Banyak sekali bukti tentang pandangan ini. Ketika seseorang dilanda

depresi, jauh lebih mudah baginya untuk menyimpan kenangan yang

menyedihkan dari pada kenangan membahagiakan (Seligman, 2005).

2). Emosi Positif yang Berkaitan dengan Masa Kini (Kebahagiaan)

Kebahagiaan masa sekarang terdiri atas berbagai keadaan yang sangat

berbeda dengan kebahagiaan akan masa lalu dan masa depan.

Kebahagiaan pada fase ini mencakup dua hal yang sangat berbeda:

(30)

kesenangan yang memiliki komponen indrawi yang jelas dan komponen

emosi yang kuat, yang disebut sebagai “perasaan-perasaan dasar” (raw feels): ekstase, gairah, orgasme, rasa senang, riang, ceria dan nyaman (Seligman, 2005). Semua ini bersifat sementara dan hanya sedikit melibatkan

pikiran, atau malah tidak sama sekali. Seligman (2002) membagi kenikmatan

menjadi dua: kenikmatan ragawi (bodily pleasure) dan kenikmatan yang lebih tinggi (higher pleasures). Kenikmtan ragawi datang dengan segera, melalui indera, dan bersifat sementara. Kenikmatan jenis ini hanya membutuhkan

sedikit interpretasi. Contoh kenikmatan ragawi adalah segarnya es krim saat

siang panas, duduk di depan api unggun di malam hari dan sebagainya.

Sama halnya dengan kenikmatan ragawi, kenikmatan yang lebih tinggi juga

memiliki “perasaan-perasaan dasar” yang positif, bersifat sementara,

memudar dengan mudah dan dengan segera menjadi terasa biasa

(Seligman, 2005). Namun tak hanya itu, kenikmatan yang lebih tinggi juga

bersifat kognitif dan jauh lebih bervariasi dari pada kenikmatan ragawi,

misalnya rasa ceria saat ombak pantai menyentuh kaki, perasaan tenang

saat mendengar orang membaca al-Qur’an dan sebagainya.

Gratifikasi datang dari kegiatan-kegiatan yang sangat kita sukai, tetapi sama

sekali tidak mesti disertai oleh perasaan dasar (Seligman, 2005). Gratifikasi

membuat kita terlibat sepenuhnya, tenggelam dan terserap di dalamnya, dan

seakan lupa dengan lingkungan sekitar karena aktivitas menyenangkan yang

(31)

lama, membaca novel yang seru,, bermain game di komputer dan sebagainya. Gratifikasi bertahan lebih lama dari pada kenikmatan dan

melibatkan lebih banyak pemikiran serta interpretasi. Gratifikasi tidak begitu

saja menjadi terasa datar. Gratifikasi didukung oleh kekuatan dan kebajikan

seseorang.

3). Emosi Positif yang Berkaitan dengan Masa Depan (Optimis)

Menurut Seligman (2005) emosi positif mengenai masa depan mencakup

keyakinan (faith), kepercayaan (trust), kepastiaan (confidence), harapan dan optimisme. Optimisme dan harapan dapat memberikan daya tahan yang lebih

baik dalam menghadapi depresi ketika menghadapi musibah, meningkatkan

kinerja, dan kesehatan fisik yang lebih baik di masa depan.

Ada dua dimensi dalam konsep optimisme, yaitu permanen dan pervasif.

Dimensi pertama menjelaskan tentang seberapa lama individu terpengaruh

pada setiap kejadiaan yang mereka alami. Dimensi permanen dibagi lagi

menjadi dua tipe, yaitu tipe permanen dan tipe temporer. Orang-orang

dengan tipe permanen, terus berlangsung mempengaruhi hidup mereka.

Sebaliknya, orang dengan tipe temporer, percaya bahwa penyebab kejadian

buruk itu hanya bersifat sementara. Jika permanen masalah waktu, maka

dimensi kedua, pervasif adalah masalah ruang. Pervasif menjelaskan tentang

seberapa besar suatu kondisi mempengaruhi kehidupan individu, hanya satu

(32)

pervasif dibagi lagi menjadi dua tipe, universal dan spesifik. Individu dengan

tipe universal akan terpengaruh di segala aspek ketika satu kejadian

menimpa satu area kehidupannya, sedangkan individi yang spesifk, hanya

akan terpengaruh pada satu bagian kehidupan, dan tidak mempengaruhi

bagian lain kehidupannya.

Bila optimisme dibagi menjadi dua dimensi, maka Seligman (2005) membagi

harapan menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah orang-orang yang

membuat penjelasan permanen dan universal untuk kejadiaan baik, serta

penjelasan temporer dan spesifik untuk kejadiaan buruk, akan cepat pulih

kembali dan dengan mudah melangkah begitu mereka mendapatkan sebuah

keberhasilan. Sedangkan kategori kedua adalah orang-orang yang

memberikan penjelasan temporer dan spesifik untuk keberhasilan, serta

penjelasan permanen dan universal untuk kegagalan, akan terpuruk dalam

waktu yang lama dan menyebar ke berbagai situasi ketika menerima

tekanan.

2.1.2.2. Kekuatan dan Kebajikan

Menurut Seligman (2005), kebajikan (virtues) adalah karakteristik inti dari nilai-nilai hasil pemikiran para filsuf moral dan pemikir religi. Ada 6 buah

kebajikan, kearifan dan pengetahuan (wisdom and knowledge), kesatriaan (courage), kemanusiaan dan cinta (humanity), keadilan (justice),

(33)

kekuatan (strengths) merupakan materi psikologi yang menyusun, proses-proses atau mekanisme-mekanisme yang mendefinisikan kebajikan. Dengan

kekuatan dan kebajikan ini, seseorang bisa menghadapi masa-masa sulit

dalam kehidupannya sebaik ia menghadapi masa-masa bahagianya.

Kekuatan dan kebajikan ini merupakan sarana seseorang untuk mencapai

kebahagiaan otentik.

2.1.3. Faktor-faktor Pembentuk Kebahagiaan

Ada 10 faktor-faktor pembentuk kebahagiaan, faktor-faktor tersebut adalah:

1. Uang

Uang menjadi penting ketika seseorang tidak memilikinya. Namun pada

era konsumtif, sebagiaan besar manusia gemar menghabiskan seluruh

uang, tetapi tetap merasa kurang, betapa pun uang yang mereka miliki

(Khavari, 2006). Penilaian seseorang terhadap uang akan mempengaruhi

kebahagiaannya, lebih daripada uang itu sendiri. Orang yang

menempatkan uang diatas tujuan lainnya kurang puas dengan

penghasilan mereka dan dengan kehidupan mereka secara keseluruhan

(Seligman, 2005).

2. Perkawinan

Pusat riset Opini Nasional Amerika Serikat mensurvei 35.000 warga

Amerika selama 30 tahun terakhir, 40% dari orang yang menikah

(34)

yang tidak menikah, bercerai, berpisah, dan ditinggal mati pasangannya

yang mengatakan mereka bahagia (Seligman, 2005). Jadi persentasi

orang yang bahagia karena menikah lebih besar, dibandingkan dengan

orang yang bercerai.

3. Kehidupan Sosial

Orang-orang yang bahagia paling sedikit menghabiskan waktu sendirian

dan kebanyakan dari mereka bersosialisasi. Berdasarkan penilaian sendiri

atau orang lain, mereka dapat nilai tertinggi dalam berinteraksi (Seligman,

2005). Khavari (2006) mengatakan bahwa meskipun kebahagiaan

personal tumbuh dari dalam diri, berbagi kesenangan dengan orang lain

dapat membangun perasaan yang positif. Rasa kebersamaan juga dapat

tumbuh dari hubungan penuh kasih dengan Tuhan serta dengan

tokoh-tokoh agama.

4. Usia

Sebagian orang percaya bahwa semangat anak muda atau kearifan orang

tua memainkan peranan kunci dalam meraih kebahagiaan. Akan tetapi,

studi-studi tentang faktor usia meragukan kepercayaan itu. Sebagian

besar studi tidak menemukan hubungan yang signifikan antara usia dan

kebahagiaan, sedangkan beberapa laporan menyebutkan bahwa kaum

muda lebih bahagia ketimbang kaum tua (Myers dalam Khavari, 2006).

(35)

5. Kesehatan

Menurut Seligman (2005), kesehatan yang baik biasanya dinilai sebagai

segi terpenting dalam kehidupan manusia. Namun ternyata, kesehatan

objektif yang baik tidak begitu berkaitan dengan kebahagiaan, yang

penting adalah persepsi subjektif kita terhadap seberapa sehat diri kita.

Berkat kemampuan untuk beradaptasi terhadap penderitaan, kita bias

menilai kesehatan kita secara positif bahkan ketika sedang sakit.

6. Jenis Kelamin

Jenis kelamin memiliki hubungan yang mengherankan dengan suasana

hati. Tingkat emosi rata-rata laki-laki dan perempuan tidak banyak

berbeda, yang membedakan adalah perempuan cenderung lebih bahagia

dan sekaligus lebih sedih daripada laki-laki (Seligman, 2005).

7. Agama

Myers (1992) dalam Khavari (2006) menyatakan bahwa orang-orang yang

beragama lebih bahagia karena agama mengajarkan tujuan hidup,

mengajak mereka menerima dan menghadapi aneka masalah dengan

tenang, dan mempersatukan mereka dalam satu umat yang saling

(36)

8. Kesuksesan

Menurut Seligman (1974) dalam Khavari (2006), meskipun tak dengan

sendirinya membawa kebahagiaan, kesuksesan niscaya menghilangkan

kegagalan. Kegagalan jamaknya mengakibatkan ketidak bahagiaan. Baik

kesuksesan mengandung muatan subjektif yang signifikan. Manusia pasti

menilai sesuatu sebagai sukses atau gagal. Apa yang kelihatannya

sukses di mata sebagian orang bias jadi justru kemalangan bagi

sebagiaan lainnya. Apa yang dianggap sebagai kegagalan bagi

sementara orang mungkin justru benar-benar didambakan oleh lainya

(Khavari, 2006).

9. Penerimaan Diri

Menurut Hurlock (1976), Penerimaan diri juga menjadi salah satu faktor

(37)

2.1.4. Aspek Kebahagiaan

Ed Diener dalam Snyder dan Lopez (2005) membagi kebahagiaan menjadi 2

aspek, yaitu:

1. Evaluasi Kognitif Dimana seseorang membuat penilaian kepuasan

berdasarkan bobot tiap domain atau situasi dalam kehidupan

yang telah dipertimbangkan dengan matang. Evaluasi

kognitif menitik beratkan pada kepuasan hidup.

2. Evaluasi Afektif Dimana seseorang membuat penilaian kepuasan

berdasarkan penghayatan mereka terhadap suatu domain

atau situasi dalam kehidupan yang penting bagi mereka.

Evaluasi afektif menitik beratkan pada emosi-emosi yang

dihayati subjek, bisa positif atau negatif.

2.2. Penerimaan Diri

2.2.1. Definisi Penerimaan Diri

Beberapa ahli memberikan definisi tentang penerimaan diri, diantaranya

adalah Ryff (1989), menyatakan bahwa:

Penerimaan diri dianggap sebagai ciri-ciri penting kesehatan mental dan juga

sebagai karakteristik aktualisasi diri, fungsi yang optimal dan kematangan.

(38)

dimana seseorang memiliki sikap yang positif terhadap dirinya sendiri;

mengakui dan menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan

buruk; dan merasa positif dengan kehidupan yang telah dijalaninya.

Jersild (dalam Hurlock, 1976) memberikan batasan-batasan dalam

penerimaan diri, batasan-batasan yang di keluarkan oleh Jersild adalah

sebagai berikut:

The self accepting person has a realistic appraisal of his resources combined with appreciation of his own worth, assurance about standards and convictions of his own without being a slave to the opinions of others and realistic assessment of limitations without

irrational self reproach. Self accepting people recognize their assets and are free to draw upon them even if they are not all that could be desired. They also recognize their short comings without needlessly blaming themselves.

Jersild (dalam Hurlock, 1976) menjelaskan bahwa seseorang yang menerima

dirinya adalah seseorang yang memiliki penilaian yang realistis terhadap

kemampuannya yang berkesinambungan dengan penghargaan terhadap

potensi yang dimilikinya, memahami karakteristik dirinya dan mampu

menerima kondisi yang ada dengan sesungguhnya. Orang yang menerima

dirinya mengenali kemampuan dirinya dan dengan bebas mereka dapat

menggunakan kemampuan dirinya walaupun tidak semua dari

kemampuannya tersebut diinginkan. Hal tersebut sama dengan mereka

mengetahui apa yang menjadi kekurangan, serta tidak menjadi sesuatu

(39)

Lebih lanjut Handayani, dkk (1998) mengemukakan bahwa seseorang dapat

menerima dirinya jika, sejauhmana seseorang dapat menyadari dan

mengakui karakteristik pribadi dan menggunakannya dalam menjalani

kelangsungan hidupnya. Sikap penerimaan diri ditujukkan oleh pengakuan

seseorang terhadap kelebihan-kelebihannya sekaligus menerima

kelemahan-kelemahannya tanpa menyalahkan orang lain dan mempunyai keinginan

yang terus menerus untuk mengembangkan diri.

Sedangkan Matthews (1993) menjelaskan bahwa individu yang menerima

dirinya merasa aman akan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dianutnya tanpa

terpengaruh oleh kelompok, dapat mengekspresikan pendapat pribadinya

tanpa ada rasa bersalah dan dapat menerima perbedaan pendapat, tidak

merasa cemas akan hari kemarin ataupun esok. Kemudian individu tersebut

percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi semua

masalah dan dirinya setara dengan orang lain terlepas dari latar

belakangnya, sehingga ia tidak dapat didominasi oleh orang lain. Lebih lanjut

Matthews (1993) menjelaskan bahwa individu yang memiliki penerimaan diri

yang baik akan merasa dirinya berharga bagi orang lain sehingga dapat

menerima pujian, menikmati berbagai kegiatan dan peka terhadap orang lain,

juga nilai-nilai lingkungan.

(40)

Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa penerimaan

diri adalah kumpulan sikap positif kita terhadap diri sendiri seperti, memiliki

konsep diri yang positif, penghargaan terhadap diri dan mengetahui

kelebihan kekurangan diri sehingga individu yang bersangkutan dapat

mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya dan menerima kekurangan

sebagai suatu yang lazim untuk seorang manusia.

2.2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri

Hurlock (1976) menjelaskan beberapa kondisi yang menentukan seseorang

dapat menyukai dan menerima dirinya sendiri. Fakor-faktor ini sangat

berperan bagi terwujudnya penerimaan diri dalam diri individu. Faktor-faktor

tersebut adalah:

1. Pemahaman Diri (Self Understanding)

Pemahaman diri adalah persepsi tentang diri yang dibuat secara jujur,

tidak berpura-pura dan realistis. Pemahaman terhadap diri sendiri timbul

jika seseorang mengenali kemampuannya tersebut. Individu memahami

dirinya sendiri tidak hanya tergantung dari kemampuan intelektualnya,

tetapi juga pada kesempatannya untuk mencoba kemampuannya.

Individu tersebut harus memiliki kesempatan untuk mencoba

kemampuannya. Individu yang memahami dirinya akan mampu

menyebutkan siapa dirinya dan menerima keadaan dirinya sendiri.

(41)

berarti semakin orang dapat memahami dirinya, maka semakin ia dapat

menerima dirinya.

2. Harapan yang Realistis (Realistic expectations)

Harapan yang realistis timbul jika individu menentukan sendiri

harapannya yang disesuaikan dengan pemahaman mengenai

kemampuannya, bukan harapan yang diarahkan oleh orang lain dalam

mencapai tujuannya. Dikatakan realistis bila individu tersebut memahami

keterbatasan dan kekuatan dirinya dalam mencapai tujuannya. Maka

ketika individu memiliki harapan dan tujuan, seharusnya ia telah

mempertimbangkan kemampuan dirinya untuk mencapai harapan dan

tujuan tersebut. Semakin realistis seseorang terhadap harapan dan

tujuannya, maka akan semakin besar kesempatan tercapainya harapan

dan tujuannya. Kondisi ini dapat memberikan kepuasan diri yang

merupakan hal penting dalam penerimaan diri.

3. Tidak adanya Hambatan Lingkungan (Absence of environmental obstacles)

Ketidak mampuan untuk meraih tujuan dan harapan yang realistis

mungkin disebabkan oleh hambatan dari lingkungan. Bila lingkungan

sekitar tidak memberikan kesempatan atau bahkan malah menghambat

individu untuk mengekspresikan diri, maka penerimaan dirinya akan sulit

(42)

saudara-saudara, dan teman-teman memberikan dukungan, maka kondisi ini

dapat mempermudah penerimaan diri dan menerima apa yang

diharapkan oleh individu, maka kondisi ini akan lebih mendorong individu

untuk mencapai harapannya.

4. Tingkah Laku Sosial yang Sesuai (Favorable social attitudes)

Individu yang memiliki Favorablesocial attitudes diharapkan mampu menerima dirinya. Ketika seseorang menampilkan tingkah laku yang

diterima oleh masyarakat, kondisi tersebut akan membantu dirinya untuk

dapat menerima diri. Yang dimaksud Favorablesocial attitudes adalah tidak adanya perasangka terhadap lingkungan dalam diri individu, adanya

pengakuan individu terhadap kemampuan social orang lain, tidak

memandang buruk terhadap orang lain, dan kesediaan individu mengikuti

kebiasaan atau norma lingkungan.

5. Tidak Adanya Stres Emosional (Absence of Severe Emotional Stress) Stress menunjukan adanya kondisi yang tidak seimbang dalam diri

individu, menyebabkan individu bertingkah laku yang dipandang tidak

sesuai oleh lingkungannya, menimbulkan kritik dan penolakan dari

lingkungan. Kondisi ini dapat menyebabkan pandangan negatif terhadap

dirinya dan pandangannya pun berubah negatif, sehingga berpengaruh

(43)

dialami individu akan membuat individu dapat bekerja sebaik mungkin,

merasa bahagia, rileks, dan tidak bersikap negatif terhadap dirinya.

6. Kenangan akan Keberhasilan (Preponderance of successes)

Ketika individu berhasil ataupun gagal, ia akan memperoleh penilaian

sosial (social judgements) dari lingkungannya. Penilaian sosial yang diberikan oleh lingkungan, akan diingat individu karena dapat menjadi

suatu tambahan dalam penilaian diri. Kenangan terhadap keberhasilan ini

dapat dikenang dalam bentuk jumlah keberhasilan yang dicapai oleh

seseorang (kuantitatif). Maupun dikenang dalam kualitas keberhasilannya

(kualitatif). Ketika seseorang gagal, maka mengingat keberhasilan adalah

hal yang dapat membantu memunculkan penerimaan diri pada

seseorang. Sebaliknya, kegagalan yang dialami dapat mengakibatkan

penolakan pada dirinya.

7. Identifikasi dengan Orang yang Memiliki Penyesuaian Diri yang Baik

(Identification with well-adjusted people)

Ketika individu mengidentifikasi diri dengan orang yang memiliki

penyesuaian diri yang baik , maka hal ini dapat membantu individu untuk

membangun sikap-sikap yang positif terhadap diri sendiri, serta

bertingkah laku baik yang bisa menimbulkan penilaian diri yang baik.

(44)

kepribadiaan yang sehat terhadap seseorang. Dengan demikian, pada

akhirnya individu dapat memiliki penerimaan diri yang baik pula.

8. Perspektif diri (Self perspektif)

Individu yang mampu melihat dirinya, sama dengan orang lain melihat

dirinya, membuat individu tersebut menerima dirinya dengan baik.

Perspektif diri yang luas diperoleh melalui pengalaman dan belajar.

Dalam hal ini, usia dan tingkat pendidikan memegang peranan penting

bagi seseorang untuk dapat mengembangkan perspektif dirinya.

9. Pola Asuh Masa Kecil yang Baik (Good childhood training)

Konsep diri mulai terbentuk pada masa kanak-kanak dimana pola asuh

diterapkan, sehingga pengaruhnya terhadap penerimaan diri tetap ada

meskipun usia individu terus bertambah. Anak yang diasuh dengan pola

asuh demokratis cenderung berkembang menjadi orang yang dapat

menghargai dirinya sendiri, karena ia diajarkan bagaimana ia menerima

dirinya sendiri sebagai individu. Anak menganggap bahwa ia

bertanggung jawab untuk mengontrol tingkah lakunya yang dilandasi oleh

pelaturan dan regulasi.

10. Konsep Diri yang Stabil (Stable self concept)

Individu dikatakan memiliki konsep diri yang stabil, apabila setiap individu

(45)

tidak memiliki konsep diri yang stabil, bisa saja pada sewaktu-waktu ia

menyukai dirinya, pada waktu yang lain ia membenci dirinya sendiri.

Kondisi ini akan membuat dirinya kesulitan untuk menunjukan siapa

dirinya sebenarnya kepada orang lain karena ia sendiri memiliki konsep

diri yang saling bertentangan pada dirinya, suatu saat ia menerima

dirinya dan di saat yang lain tidak menerima dirinya.

2.2.3. Karakteristik Penerimaan Diri

Menurut Ryff (1989), penerimaan diri terdiri dari 2 karakteristik, yaitu:

- Penerimaan yang rendah akan merasa tidak puas dengan dirinya,

menyesali apa yang terjadi di masa lalunya, terisolasi dan frustasi dalam

hubungan dengan orang lain.

- Sedangkan individu yang memiliki penerimaan diri dalam tingkat optimal

atau tinggi akan bersikap positif terhadap dirinya sendiri, mau menerima

kualitas baik dan buruk dirinya, serta memiliki sikap positif terhadap masa

lalu.

Matthews (1993) juga menjelaskan beberapa karakteristik dan perilaku yang

nampak pada orang yang memiliki self acceptance(penerimaan diri) antara lain:

1. Percaya secara penuh akan nilai dan prinsip dan adanya keinginan

(46)

2. Mampu bertindak dalam keputusannya yang terbaik tanpa merasa

bersalah atau ragu bila ada ketidak setujuan.

3. Tidak menghabiskan waktu untuk mengkhawatirkan masa depan, masa

kini ataupun masa lalu.

4. Memiliki kepercayaan diri akan kemampuannya untuk mengatasi

permasalahan bahkan saat menghadapi kegagalan dan kemunduran.

5. Merasa sejajar dengan orang lain sebagai individu, tidak superior

maupun inferior, tidak memandang perbedaan dalam kemampuan khusus, latar belakang keluarga, ataupun sikap orang tersebut terhadap

dirinya.

6. Mempercayai bahwa diri adalah individu yang memiliki interest dan berharga bagi orang lain, sedikitnya bagi orang-orang yang dipilih untuk

berhubungan.

7. Dapat menerima pujian tanpa merasa adanya kepalsuan ataupun

dengan rasa bersalah.

8. Tidak melawan usaha orang lain untuk menguasai atau mendominasi

dirinya.

9. Mampu menerima ide dan mengaku kepada orang lain akan apa yang

menjadi dorongan dan keinginannya, dimulai dari kemarahan sampai

rasa cinta, kesedihan dan kebahagiaan, kemarahan yang mendalam

(47)

10. Secara alami menikmati dirinya dalam berbagai aktivitas termasuk

pekerjaan, permainan, ekspresi kreatif diri, persahabatan, atau

kemalasan.

11. Sensitif akan kebutuhan orang lain, menerima kebiasaan sosial, dan

secara khusus ia tidak bisa bersenang-senang di atas pengorbanan

orang lain.

2.2.4. Dampak Penerimaan diri

Seseorang yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan bahagia dan

sukses dan seseorang yang memiliki penyesuaian sosial yang baik akan

menjadi terkenal, akan menikmati hubungan kontak sosialnya, dan akan

memiliki kehidupan yang penuh dan kaya. Berikut dampak penerimaan diri

menurut Hurlock (1974), yaitu:

1. Dampak Penerimaan Diri Dalam Penyesuaian Diri

Seseorang yang memiliki penerimaan diri tidak akan memikirkan dirinya

sendiri sebagai teladan yang sempurna. Salah satu karakteristik dari

orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik adalah orang yang dapat

mengenali segala kelebihan yang ada pada dirinya daripada

kekurangannya. Seseorang yang mempunyai penerimaan diri akan

memiliki kepercayaan diri dan harga diri, sehingga timbul kemampuan

untuk menerima dan mengelola setiap kritikan yang tertuju padanya,

(48)

Penerimaan diri disertai oleh rasa aman yang berasal dari dalam diri. Ini

dapat mendukung seseorang untuk percaya bahwa dirinya dapat

mengatasi masalah dan menerima orang-orang yang berarti di dalam

hidupnya. Selain itu juga mendukung seseorang untuk mengembangkan

dirinya dan memungkinkan seseorang untuk menilai serta mengevaluasi

dirinya secara realistis, sehingga dapat menggunakan potensinya secara

efektif. Yang terpenting adalah seseorang yang mampu menerima dirinya

tidak akan mau menjadi orang lain. Ia akan merasa puas dengan menjadi

dirinya sendiri, dan tidak berpikir untuk berpura-pura menjadi orang lain.

2. Dampak Penerimaan Diri Dalam Penyesuaian Sosial

Penerimaan diri disertai dengan adanya penerimaan akan orang lain.

Seseorang yang dapat menerima dirinya akan merasa cukup aman untuk

menaruh minat pada orang lain dan menunjukkan empati. Sehingga

memiliki penyesuaian sosial yang baik daripada orang yang cenderung

berorientasi pada dirinya sendiri, karena mempunyai perasaan yang

kurang memadai dan lebih rendah.

2.3. Kerangka Berpikir

Anak jalanan adalah anak-anak yang kekurangan secara ekonomi, mencari

rezeki di jalanan dengan mengemis, mengamen, joki dan sebagainya.

(49)

mecari uang sendiri. Keberadaan mereka di jalanan, menjadikan mereka

berbeda dengan anak-anak rumahan yang telah memiliki fasilitas yang

memadai.

Menurut Ed Diener (2007) kebahagiaan seseorang terdapat pada pikirannya

dan evaluasi terhadap kehidupan yang mereka alami.

Menurut Ryff (1989) penerimaan diri mengandung pengertian suatu keadaan

dimana seseorang memiliki sikap yang positif terhadap dirinya sendiri;

mengakui dan menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan

buruk; dan merasa positif dengan kehidupan yang telah dijalaninya.

Penerimaan diri juga menjadi salah satu faktor yang berperan terhadap

kebahagiaan, agar seseorang memiliki penyesuain diri yang baik.

Anak-anak jalan juga memerlukan penerimaan diri yang baik, karena

penerimaan diri berkaitan dengan konsep diri yang positif. Anak jalanan

dengan konsep diri yang positif dapat memahami dan menerima fakta-fakta

yang begitu berbeda dengan dirinya, mereka dapat menyesuaikan diri

dengan seluruh pengalaman mentalnya sehingga evaluasi tentang dirinya

juga positif (Calhoun dan Acocella 1990 dalam Handayani, dkk 1998). Dan

jika konsep diri anak jalanan tidak menyenangkan, maka mereka akan

menolak dirinya sendiri atau hanya menerima separuh bagian dirinya saja

(50)

Jika hal itu berpengaruh buruk pada psikologisnya, anak-anak jalanan tidak

dapat bertahan untuk keberlangsungan hidupnya, juga masa depannya.

Keadaan psikologis yang baik pada anak jalanan akan menimbulkan emosi

yang positif yang akan memperkuat mereka menjalani hidup dan

menyediakan jalan menuju kehidupan yang gembira, bahagia dan

memuaskan (Gary dan Don, 2005). Estrada at all, (1957) dalam Synder dan

Lopez (2004) menyatakan bahwa emosi positif juga dapat menolong

seseorang dalam memecahkan masalah dan menemukan pilihan yang baik

dalam pengambilan keputusan.

Penerimaan diri pada anak jalanan berhubungan dengan konsep diri yang

baik dan akan melahirkan suatu rasa bahagia. Anak-anak jalanan yang

bahagia pasti merasa kebaikan tentang dirinya sendiri, memiliki harga diri

yang tinggi, pengendalian diri dengan sikap terbuka. Karakteristik yang

menonjol pada orang yang bahagia adalah memiliki rasa optimis dan

harapan. Mereka percaya bahwa rencana mereka akan berjalan lancar.

Orang yang bahagia selalu berfikir positif terhadap kehidupan mereka dan

kebiasaan ini cenderung memperbaiki kesehatan serta mental mereka.

Namun orang bahagia tidak selalu berbahagia setiap saat. Suatu pendekatan

yang gembira dan menyenangkan dalam kehidupan memerlukan kesadaran

bahwa setiap kehidupan memiliki unsur kesengsaraan. Menjadi orang

(51)

bahagia memiliki arti sederhana, yaitu pada dasarnya mereka merasa puas

dengan kehidupan dan hubungan yang mereka jalani. Orang yang

berbahagia dapat menikmati kehidupannya dan dapat menerima jika terjadi

penurunan maupun sebaliknya dalam kehidupannya (Gary dan Don, 2005).

Bagan kerangka berpikir.

Penerimaan Diri Anak

Jalanan Kebahagiaan Anak Jalanan

2.4. Hipotesis

H0 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara penerimaan diri dengan

kebahagiaan anak jalanan.

H1 : Ada hubungan yang signifikan antara penerimaan diri dengan

(52)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Dari judul penelitian “Hubungan antara penerimaan diri dengan kebahagiaan

anak jalanan”. Menunjukan bahwa jenis penelitian ini adalah penelitian

korelasi yaitu yang mencari hubungan di antara variabel-variabel yang diteliti

(Iqbal Hasan, 2002).

Penelitian korelasional adalah penelitian yang dirancang untuk menentukan

tingkat hubungan variabel-variabel yang berbeda dalam suatu populasi

(Sevilla, 1993). Tujuan penelitian korelasional adalah untuk meneliti sejauh

mana veriabel pada suatu faktor berkaitan dengan variasi pada faktor lainnya

(Iqbal Hasan 2002).

3.1.1. Pendekatan dan Metode Penelitian

Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Sedangkan

metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan

jenis penelitian korelasional. Menurut Gay dalam Sevilla (1993), metode

deskriptif adalah kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka

menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan

(53)

3.2. Variabel

3.2.1. Definisi variabel

Variabel adalah suatu karakteristik yang memiliki bermacam-macam nilai

atau sifat yang berdiri sendiri. Menurut Wijanto (2008) Variabel terbagi

menjadi 2 variabel:

1. Variabel Laten (Laten Variable, sering disingkat LV) atau Konstrak Laten. Variabel laten adalah konsep abstrak, varibel laten terbagi menjadi dua:

(1). Varibel Laten Eksogen selalu muncul sebagai varibel bebas pada

semua persamaan yang ada dalam model. Sedangkan (2) Variabel Laten

Endogen merupakan varibel terikat pada paling sedikit satu persamaan

dalam model.

2. Variabel Teramati (Observed Variable) atau variabel terikat (Measured Variable, di singkat MV)

Variabel teramati adalah variabel yang dapat diamati atau dapat diukur

secara empiris dan sering disebut sebagai indikator. Varibel teramati

merupakan efek atau ukuran variabel laten.

Dalam penelitian ini ditentukan yang menjadi varibel laten adalah

(54)

3.2.2. Definisi Konseptual

Definisi konseptual kedua variabel tersebut adalah sebagai berikut:

1. Penerimaan Diri adalah suatu keadaan dimana seseorang memiliki sikap

yang positif terhadap dirinya sendiri, mengakui dan menerima berbagai

aspek diri termasuk kualitas baik dan buruk dan merasa positif dengan

kehidupan yang telah dijalaninya (Ryff, 1989).

2. Kebahagiaan seseorang terdapat pada pikirannya dan evaluasi terhadap

kehidupan yang mereka alami (Ed Diener, 2005).

3.2.3. Defenisi Operasional

Adapaun definisi operasional pengukuran masing-masing variabel yang

terdapat dalam penelitian ini adalah:

- Penerimaan diri adalah skor yang diperoleh dari responden mengenai

tingkat penerimaan diri, berdasarkan skala penerimaan diri dari Ryff

(1989) yang meliputi: bersikap positif pada diri sendiri, bersikap positif

pada pengalaman masa lalu, bersikap positif dalam berhubungan

dengan orang lain.

- Kebahagiaan adalah skor yang diperoleh dari responden mengenai

tingkat kebahagiaan, berdasarkan skala kebahagiaan dari Ed Diener

(1985) yang meliputi aspek: Evaluasi kognitif ialah kepuasan individu

berdasarkan bobot tiap domain, evaluasi afektif ialah kepuasan

individu berdasarkan penghayatan tiap domain.

(55)

3.3. Pengambilan Sampel

3.3.1. Populasi

Menurut Iqbal Hasan (2002) populasi adalah totalitas dari semua objek atau

individu yang memiliki karakteristik tertentu, jelas, lengkap yang akan diteliti.

Sedangkan dalam Sugiyono (2002), populasi adalah wilayah generalisasi

yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakter

tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah anak jalanan yang

berada di Rumah Singgah Manggarai, yang berjumlah 150 orang.

3.3.2. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi atau wakil populasi yang diteliti

(Suharsimi, 2006). Sedangkan menurut Iqbal Hasan (2002) sampel adalah

bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu yang juga

memiliki karakteristik tertentu, jelas, dan lengkap yang dianggap mewakili

populasi. Gay dalam Sevilla (1993) mengatakan bahwa sampel minimum

dalam penelitian korelasional adalah 30 orang. Oleh karenanya sampel

dalam penelitian adalah sebanyak 68 orang dari populasi yang ada sebanyak

150 orang.

(56)

anggota populasi mempunyai peluang yang sama untuk diteliti (sevilla, dkk,

1993).

3.4. Pengumpulan Data

3.4.1. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode skala sebagai alat

pengumpul data, yaitu sejumlah pernyataan tertulis untuk memperoleh

jawaban dari responden. Skala yang digunakan bersifat langsung dan

tertutup, dengan menggunakan skala likert yaitu skala yang digunakan untuk

mengukur variabel penelitian (fenomena sosial spesifik), seperti sikap,

pendapat, dan persepsi sosial seseorang atau sekelompok orang (Iqbal

Hasan, 2002).

Untuk penerimaan diri Ryff terdapat 7 item pernyataan terdiri dari pernyataan

positif (favorable) dan negatif (unfavorable). Dalam merespon item tersebut subjek diminta untuk memilih jawaban yang paling mewakili dirinya, dengan

cara memilih sistem rating kategori yang merentang dari “sangat setuju”

sampai “sangat tidak setuju”. Penskoran untuk pernyataan positif dilakukan

dengan memberi skor tertinggi pada pilihan “sangat setuju” dan terendah

pada pilihan “sangat tidak setuju” dan sebaliknya untuk pernyataan negatif

pemberian skor tertinggi pada pilihan “sangat tidak setuju” dan terendah pada

(57)

Sedangkan untuk skala kebahagiaan Ed Diener terdiri dari 5 item berupa

pernyataan positif (favorable) saja. Dalam merespon item tesebut subjek diminta untuk memilih jawaban yang paling mewakili dirinya, dengan cara

memilih sistem rating kategori yang merentang dari “sangat setuju” sampai

“sangat tidak setuju”. Penskoran untuk pernyataan positif dilakukan dengan

memberi skor tertinggi pada pilihan “sangat setuju” dan terendah pada pilihan

“sangat tidak setuju”.

Dalam penelitian ini subjek akan diberikan skala yang terdiri dari tiga bagian,

yaitu :

a. Bagian pengantar, berisi tentang pengenalan peneliti, tujuan dari

penelitian, kerahasiaan jawaban yang diberikan oleh responden, dan

ucapan terima kasih peneliti.

b. Bagian inti, berisi dua alat ukur penelitian ini yaitu alat ukur penerimaan

diri atau self-acceptance dan alat ukur kebahagiaan yang keduanya telah diterjemahkan.

c. Bagian data kontrol, berisi tentang data-data subjek seperti nama, usia,

(58)

3.4.2. Instrumen Pengumpulan Data

Metode yang akan digunakan untuk melakukan pengumpulan data dalam

penelitian ini adalah dengan menggunakan skala. Skala yang akan

dipergunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini ada dua, yaitu

skala Penerimaan Diri dari Ryff (1989) skala kebahagiaan Ed Diener (1985)

a. Penerimaan Diri dari Coral D. Ryff (1989)

Dalam penelitian ini bentuk alat ukur yang digunakan peneliti diadaptasi dari

alat ukur yang dikembangkan oleh Ryff (1989) dalam penelitian Well-Being

(kesejahteraan) yang memiliki beberapa dimensi salah satunya adalah self-acceptance (penerimaan diri). Skala ini disajikan dalam bentuk kuesioner yang dapat di isi sendiri tanpa bantuan wawancara, skala ini terdiri dari 7 item

Tabel 3.1

Bobot Nilai

Skala Penerimaan Diri Ryff (1989)

Jenis Option Favorable Unfavorable Sangat Tidak Setuju 1 4 Tidak Setuju 2 3

Setuju 3 2

[image:58.612.111.530.528.617.2]
(59)
[image:59.612.112.524.132.309.2]

Tabel 3.2 Blue Print Item

SkalaPenerimaan Diri Ryff (1989) Item No. Indikator

Favorable Unfavorable JUMLAH 1. ƒ Bersikap positif pada diri

sendiri 6, 7 1 3 2. ƒ Bersikap positif pada

pengalaman masa lalu

4 1

3. ƒ Bersikap positif dalam berhubungan dengan orang lain

2, 5 3 3

JUMLAH 7

b. Skala Kebahagiaan atau SWLS Ed Diener (1985)

Alat ukur Kebahagiaan dalam penelitian ini diadaptasi dari skala

Kebahagiaan yang dikembangkan oleh Ed Diener (1985). Skala ini juga

dapat disebut dengan Satisfaction With Life Scale (SWLS) terdiri dari 5 item pernyataan.

Tabel 3.3 Bobot Nilai

Skala Kebahagiaan Ed Diener (1985) Jenis Option Favorable Sangat Tidak Setuju 1 Tidak Setuju 2

[image:59.612.137.478.484.638.2]
(60)
[image:60.612.111.584.132.291.2]

Tabel 3.4 Blue Print Item

Skala Kebahagiaan Ed Diener (1985)

Item No. Aspek Indikator

Favorable Unfavorable JUMLAH

1. Evaluasi kognitif

Kepuasan individu berdasarkan bobot tiap domain

1, 4, 5 3

2. Evaluasi Afektif

Kepuasan individu berdasarkan

penghayatan tiap domain

2, 3 2

JUMLAH 5

3.5. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis untuk mendapatkan suatu kesimpulan

dari penelitian ini, dengan metode statistik untuk mengetahui signifikansi

korelasi antara penerimaan diri dengan kebahagiaan anak jalanan dan

bagaimana arah hubungan antara variabel tersebut. Pengolahan data dalam

penelitian ini menggunakan analisa statistik, yaitu:

a) Statistik Deskriptif

Digunakan untuk mengolah gambaran umum responden. Analisis

deskriptif memberikan informasi mengenai sekumpulan data dan

mendapatkan gagasan untuk keperluan analisis.

b) Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengetahui kelayakan variabel teramati

dalam mendefinisikan suatu variabel laten. Hasil penelitian yang valid bila

(61)

sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti. Validitas variabel teramati

dilihat pada hasil output Lisrel 8.8 Menilai kevalidan variabel teramati

mengacu kepada nilai p-value > 0.05.

c) Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas (keandalan) merupakan ukuran suatu kestabilan dan

konsistensi responden dalam menjawab hal yang berkaitan dengan

konstruk-konstruk pernyataan yang merupakan variabel teramati dari

suatu variabel laten dan disusun dalam bentuk kuesioner. Selanjutnya

hasil penelitian yang reliabel, bila terdapat kesamaan data dalam waktu

yang berbeda. Reliabilitas suatu konstruk variabel laten dikatakan baik

jika memiliki nilai p-value > 0.05.

d) Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis untuk menjawab pertanyaan utama penelitian ini,

apakah terdapat hubungan yang signifikan antara penerimaan diri dengan

kebahagiaan anak jalanan, dengan rumus korelasi Product Moment Pearson. Dalam penghitungannya, peneliti menggunakan program SPSS versi 13.0.

3.6. Prosedur Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti mencoba merencanakan langkah-langkah yang

diharapkan dapat menunjang kelancaran penelitian, langkah-langkah

tersebut sebagai berikut :

(62)

- Dimulai dengan perumusan masalah dan pembatasan masalah - Menentukan variabel-variabel yang akan diteliti. Kedua variabel itu

yaitu penerimaan diri dengan kebahagiaan

- Melakukan studi kepustakaan untuk mendapatkan gambaran dan landasan teori yang t

Gambar

Tabel 3.1 Bobot Nilai Skala Penerimaan Diri Ryff (1989) .........................  48
Tabel 3.1 Bobot Nilai
Tabel 3.2 Blue Print Item
Tabel 3.4 Blue Print Item
+7

Referensi

Dokumen terkait

digunakan untuk menyalin file, bedanya dengan xcopy, perintah xcopy dapat menyalin seluruh direktori beserta isinya. Format perintah copy

%%%%% RW_step : suatu skalar yang merupakan variansi untuk distribusi proposal dalam proses Random Walk. %%%%%

Menurut Roestiyah(2001) dengan kegiatan melaksanakan tugas siswa akan aktif belajar, dan merasa terangsang untuk meningkatkan belajar yang lebih, memupuk inisiatif

Media yang dikembangkan bernilai valid dan layak untuk digunakan pada kegiatan pembelajaran dimana penilaian Media Pembelajaran Matematika oleh validator diperoleh

Tujuan penelitian ini adalah menentukan hubungan antara derajat obesitas dengan kadar gula darah puasa pada masyarakat di Kelurahan Batung Taba dan Kelurahan

Jenis"jenis shunt dapat dilakukan dengan anastomosis sisi"ke"sisi atau ujung" ke"sisi $6ambar 4&( Keunggulan anastomosis sisi"ke"sisi adalah

Sifat fisik karbon aktif yang dihasilkan tergantung pada kekuatan daya tarik molekul penjerap maka terjadi proses adsorpsi dari bahan yang digunakan, misalnya,

Brake unit dengan lengan penahan, seri AR Lengan dan batang disediakan untuk memungkinkan unit dipasang secara mudah meskipun pada tempat yang tidak ada frame. Cukup mengunci