• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

5. Pengendalian Hama di Perkebunan

Hama-hama penting yang sering menjadi masalah di perkebunan Gunung Mas ini antara lain: Helopeltis spp., Empoasca sp., dan Hyposidra

talaca. Selain hama ada pula penyakit yang umum menyerang tanaman teh

yaitu cacar daun teh (blister blight) yang disebabkan oleh patogen

Exobasidium vexans.

a. Pengendalian hama penghisap daun Helopeltis spp.

Kepik pengisap daun atau Helopeltis spp. umumnya menyerang pucuk daun muda, akan tetapi juga dapat menyerang daun tua. Kepik ini menusuk dan mengisap daun teh sehingga membentuk bercak-bercak hitam. Serangan hama ini dipengaruhi oleh kondisi iklim mikro seperti suhu, kelembaban, dan intensitas sinar matahari.

Pengendalian hama Helopeltis spp yang dilakukan di Gunung Mas antara lain dengan cara mekanik yaitu dengan memasang perangkap berperekat di beberapa titik pada setiap blok kebun. Dengan cara kimiawi yaitu dengan penyemprotan insektisida berbahan aktif propoksur dengan dosis 0.75 – 1 lt/ha, bahan aktif metomil dengan dosis 0.5 – 1 lt/ha, bahan aktif sipermetrin dengan dosis 0.5 – 1 lt/ha, dan menggunakan insektisida nabati umbi gadung dan EM4 yang dicampur dengan insektisida sintetik dengan dosis rendah.

b. Pengendalian hama wereng hijau Empoasca sp.

Serangga ini menyerang pucuk teh, dengan menusuk dan menghisap cairannya. Jika pucuk sudah habis, serangan dapat berlanjut ke daun muda dan tua. Gejala serangan berupa perubahan warna tulang daun teh menjadi merah coklat. Pada daun, timbul noda-noda berwarna kemerahan seperti terbakar (leaf burn), kemudian menguning. Pertumbuhan daun menjadi terhambat, dan pucuk daun teh tumbuh tidak normal (Simanjuntak 2002).

Pengendalian hama Empoasca sp. yang dilakukan di Gunung Mas adalah dengan memasang perangkap berperekat serta penyemprotan insektisida berbahan aktif imidakloprid dengan dosis 0.25 – 0.5 lt/ha, bahan aktif Bifentrin dengan dosis 0.75 – 1 lt/ha, serta menggunakan insektisida nabati umbi gadung dan EM4 yang dicampur dengan insektisida sintetik dengan dosis rendah.

c. Pengendalian hama ulat jengkal Hyposidra talaca

Ulat jengkal menjadi hama yang sangat penting di perkebunan Gunung Mas, serangan berat dari hama ini dapat menurunkan hasil produksi hingga 40%. Hama ini menyerang daun, pupus daun, dan tunas daun teh. Serangan berat dapat menyebabkan daun menjadi berlubang dan pucuk tanaman menjadi gundul, sehingga hanya meninggalkan tulang daun saja. Hyposidra talaca juga bersifat polifag pada beberapa jenis

D

19

tanaman. Hama ulat jengkal Hyposidra talaca biasa ditemukan di dataran tinggi (Simanjuntak 2002).

Menurut Hidayat (2001) Larva yang baru menetas dari telur akan memencar dari pohon pelindung menuju perdu teh dengan bantuan angin atau merayap. Larva yang baru keluar dari telur berukuran antara 1.5 – 2 mm, sedangkan larva instar akhir dapat mencapai panjang 70 – 80 mm. Larva Hyposidra talaca berwarna coklat kehitaman dengan titik-titik putih pada bagian dorsal. Pada stadium larva hama ini dapat menyerang dan mengakibatkan kerusakan pada pucuk teh (Kartasapoetra 1993)

Serangan tertinggi hama ulat jengkal di perkebunan teh Gunung Mas biasa terjadi pada musim kemarau atau pada musim peralihan antara musim hujan ke musim kemarau, atau berkisar antara bulan Juni hingga November. Pada saat musim penghujan serangan hama ulat jengkal menurun hingga musim peralihan selanjutnya. Parangin-angin (1992) menjelaskan bahwa perkembangan hama ini akan terhambat pada habitat dengan curah hujan tinggi, karena larva akan jatuh dan terbawa air hujan.

Perkebunan Gunung Mas menggunakan berbagai macam cara pengendalian untuk mengatasi hama ini, antara lain: dengan cara fisik mekanik yaitu dengan mengumpulkan secara manual pupa-pupa dari hama ini dari dalam tanah, menangkap imago dari Hyposidra talaca dengan jaring dan perangkap lampu pada malam hari, membungkus pohon-pohon pelindung dengan plastik berperekat untuk memerangkap imago dan memasang perangkap berperekat di setiap blok kebun.

Selain dengan cara fisik mekanik, pengendalian secara kimiawi juga dilakukan dengan menggunakan insektisida berbahan aktif metomil dengan dosis 0.5 – 1 lt/ha, bahan aktif sipermetrin dengan dosis 0.5 – 1 lt/ha, serta menggunakan insektisida nabati umbi gadung dan EM4 yang dicampur dengan insektisida sintetik dengan dosis rendah.

Tetapi pengendalian secara kimiawi yang dilakukan di kebun Gunung Mas dengan penyemprotan juga menimbulkan masalah baru

Gambar 11 Luas serangan Hyposidra talaca tahun 2011 0.00 100.00 200.00 300.00 400.00 500.00 600.00 700.00 800.00 GM1 GM2 CS Total

D

20

seperti resistensi hama, dan keberadaan populasi hama yang tumpang tindih (overlapping) sehingga untuk dapat mengendalikan hama ini membutuhkan dosis yang lebih tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan aplikasi yang tidak tepat.

Kegiatan penyemprotan dilakukan secara terjadwal, sedangkan pada kondisi populasi hama tinggi dan jumlah insektisida yang kurang mencukupi, mengakibatkan dosis yang diaplikasikan di bawah anjuran, hal ini dapat menyebabkan ada hama yang dapat bertahan dan menghasilkan generasi yang lebih tahan.

Aplikasi yang terjadwal dan pengulangan yang tidak tepat mengakibatkan populasi hama Hyposidra talaca menjadi tumpang tindih. Penyemprotan yang tidak serempak mengakibatkan ulat berkembang cepat di beberapa blok kebun yang belum diaplikasi, sedangkan di blok lain yang telah diaplikasi belum tentu terkendali 100%, hal inilah yang menyebabkan hama senantiasa ada dengan kondisi instar yang beragam dari larva instar pertama hingga instar akhir.

Apikasi Lapangan Hyposidra talaca Nucleopolyhedrovirus (HtNPV) Keadaan Umum

Nucleopolyhedrovirus (NPV) termasuk famili Baculoviridae dari genus

Baculovirus. Sebagai parasit obligat, NPV hanya dapat berkembang pada sel-sel hidup. NPV memiliki beberapa keunggulan antara lain: inangnya spesifik, efektif, persisten di alam (tanah, air, tanaman), persisten dalam populasi inang rendah, dan kompatibel dengan cara pengendalian yang lain termasuk insektisida botani dan kimia (Tanada dan Kaya 1993).

Efektivitas NPV sebagai agens pengendalian hama terbukti dari hasil penelitian di laboratorium dan lapangan. Pada dosis 20 Polyhedral Inclusion

Bodies (PIB) /mm2 luas pakan, mortalitas ulat H. armigera instar 3 mencapai 95%

pada hari ke-8 setelah perlakuan, hampir sama dengan mortalitas ulat pada dosis 160 PIB/mm2 (97,5%) pada hari ke-6 (Gothama et al. 1989).

Aplikasi lapangan Hyposidra talaca Nucleopolyhedrovirus (HtNPV) dilakukan di Kebun Teh Gunung Mas, dengan luas areal yang diaplikasi seluas dua patok atau kurang lebih 800 m2 pada blok kebun 9 yang telah disterilkan (tidak disemprot insektisida sintetik). Aplikasi yang dilakukan, menggunakan 40 ekor larva Hyposidra talaca yang telah terinfeksi Nucleopolyhedrovirus (NPV) dengan ukuran larva 3 – 4 cm. Aplikasi HtNPV dilakukan pada waktu sore hari antara pukul 16:00 – 17:00, hal ini dilakukan karena NPV sangat rentan terhadap sinar matahari khususnya sinar ultra violet (Ignoffo dan Montoya 1976). Alat semprot yang digunakan adalah power sprayer bertenaga baterei dengan kapasitas tangki 15 liter.

Areal yang digunakan untuk aplikasi dibagi menjadi 12 petakan kecil untuk 4 macam perlakuan dan 3 kali ulangan. Faktor frekuensi penyemprotan menjadi bentuk perlakuan dalam percoabaan ini, terdiri dari tiga taraf 1 kali 1 minggu (P1), 2 kali 1 minggu (P2), dan 3 kali 1 minggu (P3) serta kontrol (tidak disemprot) dan kontrol positif yang disemprot hanya satu kali selama pengamatan (P4). Setiap ulangan diambil lima tanaman sebagai sampel yang diamati.

D

21

Pengamatan dilakukan setiap hari hingga jumlah penurunan populasi hama mencapai 100%. Larva yang mati karena terinfeksi virus ini di lapangan, ditemukan pada bagian pucuk tanaman dalam posisi menggantung, membentuk huruf V terbalik (Granados dan Frederici 1986).

Menurut Sanjaya (2004), infeksi NPV akan mengakibatkan kerusakan sel-sel kolumnar yang terdapat di dalam saluran pencernaan bagian tengah, yang mengakibatkan kerusakan sistem pencernaan dan menurunkan konsumsi makan. Infeksi NPV biasanya dimulai dari saluran pencernaan, kemudian menyerang organ-organ internal serangga lainnya. Waktu dari NPV mulai tertelan sampai menunjukkan gejala serangan relatif lama, yaitu 2 sampai 3 hari dan kematian ulat baru terjadi pada hari ke-4 hingga ke-7 setelah infeksi (Indrayani dkk 2009).

Laju Penurunan Populasi Larva Hyposidra talaca

Perlakuan Hyposidra talaca Nucleopolyhedrovirus (HtNPV) dengan empat taraf berdasarkan frekuensi aplikasinya, mengakibatkan tingkat penurunan populsi larva Hyposidra talaca yang beragam. Penurunan populasi larva H. talaca

terbesar disebabkan kematian akibat aplikasi NPV. Larva yang mati karena terinfeksi virus ini di lapangan, banyak ditemukan dalam posisi menggantung pada bagian pucuk tanaman tetapi ada pula yang menempel dan hancur di permukaan daun teh (Gambar 12).

Dari hasil pengamatan yang dilakukan selama 11 hari, terlihat bahwa perlakuan P2 dan P3 menunjukkan penurunan jumlah larva tertinggi pada hari ke-6 setelah aplikasi, dengan jumlah larva yang mati pada hari ke-ke-6 untuk perlakuan P3 sebanyak 6 ekor dan perlakuan P2 sebanyak 5 ekor, sedangkan pada perlakuan P1 dan P4 penurunan larva tertinggi pada hari ke-7 setelah aplikasi yaitu untuk P1 sebanyak 5 ekor dan P4 sebanyak 4 ekor.

D

22

Jumlah rata-rata larva yang tersisa pada 11 hari setelah aplikasi HtNPV di lapangan dengan frekuensi penyemprotan 1 kali 1 minggu (P1), 2 kali 1 minggu (P2), dan 3 kali 1 minggu (P3) serta kontrol (tidak disemprot) dan kontrol positif yang disemprot hanya satu kali selama pengamatan (P4) secara berturut turut 0 ekor; 0 ekor; 0 ekor; 20 ekor; dan 3 ekor per tanaman sampel (±1 m2).

Populasi awal dari masing-masing perlakuan rata-rata 25 ekor per tanaman. Masing-masing perlakuan menunjukkan jumlah populasi larva yang berkurang setiap harinya, namun secara keseluruhan penurunan populasi lebih dari 50% terjadi pada hari ke-7 setelah aplikasi. Jumlah larva yang berkurang pada 7 hari setelah aplikasi untuk P1: 17 ekor, P2: 20 ekor, P3: 22 ekor, dan P4: 12.

Gambar 13 Jumlah larva H. talaca yang berkurang setiap harinya pada berbagai frekuensi waktu aplikasi

Gambar 14 Laju penurunan populasi larva H. talaca pada berbagai frekuensi waktu aplikasi

0 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Jum lah kem at ia n (ekor)

Hari Setelah Aplikasi (HSA)

perlakuan1 (P1) perlakuan2 (P2) Perlakuan3 (P3) kontrol+ (P4) kontrol 0 5 10 15 20 25 30 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Akum ul asi penurunan popul asi per hari (ekor)

Hari Setelah Aplikasi (HSA)

Perlakuan1 (P1) Perlakuan2 (P2) Perlakuan3 (P3) Kontrol+ (P4) Kontrol (K)

D

23

Hasil tersebut menunjukkan bahwa efektifitas NPV semakin tinggi seiring dengan semakin seringnya aplikasi yang dilakukan, terlihat pada perlakuan P3 (aplikasi 3 kali 1 minggu) jumlah penurunan populasi larva yang sangat tinggi pada 7 hari setelah aplikasi.

Penularan dan infeksi NPV yang terjadi di lapangan tidak hanya terjadi karena penyemprotan inokulum NPV pada daun, tetapi juga karena adanya kontak dengan larva lain yang sudah terlebih dahulu mati atau terinfeksi NPV scara alami di lapangan. Hal ini terjadi karena penularan NPV dapat terjadi melalui kontak langsung antara serangga yang terinfeksi dengan yang sehat (Granados dan Federici 1986).

Interaksi Antara Frekuensi Penyemprotan HtNPVdengan Penuruanan Populasi Larva Hyposidra talaca

Tabel 1 Tabel sidik ragam berdasarkan waktu aplikasi

HSA Sumber Db JK KTG F hitung Pa

1 Perlakuan 4 11.4425 2.8606 0.42 0.7865 Ulangan 2 28.6005 14.3003 2.12 0.2151 Galat 5 33.6861 6.7372 Total 11 78.7067 2 Perlakuan 4 7.5385 1.8846 0.28 0.8778 Ulangan 2 26.8138 13.4069 2.01 0.2289 Galat 5 33.3661 6.6732 Total 11 69.7167 3 Perlakuan 4 18.3385 4.5846 0.59 0.6870 Ulangan 2 33.4605 16.7302 2.14 0.2128 Galat 5 39.0461 7.8092 Total 11 88.4367 4 Perlakuan 4 51.4259 12.8565 1.83 0.2614 Ulangan 2 29.8139 14.9069 2.12 0.2156 Galat 5 35.1927 7.0385 Total 11 112.0667 a

p-value > alpha 5% maka tidak significant , maka tidak dapat dilakukan uji lanjut

Berdasarkan data yang diperoleh dari perhitungan sidik ragam terlihat bahwa dari hari pertama hingga hari ke-4 setelah aplikasi HtNPV, antara perlakuan dan ulangan tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati yaitu penurunan populasi Hyposidra talaca atau dengan kata lain antar perlakuan yang satu dengan yang lain tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.

D

24

Tabel 2 Rata-rata jumlah larva H. talca di lapangan setelah perlakuan HtNPV

Perlakuan Rata-rata larva H. talaca yang ditemukan (ekor) pada n-HSA a 5 6 7 8 9 10 11 P1 16.87ab 18.47b 7.53c 3.73c 1.20c 0.33b 0.00b P2 12.89b 7.80c 4.60c 2.07c 0.73c 0.07b 0.00b P3 12.47b 6.53c 3.26c 1.27c 0.33c 0.00b 0.00b P4 19.60a 16.20b 12.60b 9.20b 6.60b 4.60b 3.40b Kontrol 21.80a 21.60a 21.30a 21.20a 21.10a 20.90a 20.80a

a

Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbe1aan yang nyata dengan uji Duncan pada taraf nyata 5%.

Berdasarkan tabel di atas, perlakuan kontrol (tidak disemprot NPV) menunjukkan adanya penurunan populasi setiap harinya meski jumlahnya tidak signifikan, hal ini dapat terjadi karena adanya kemungkinan penyebaran virus melalui udara dari petakan yang di aplikasi HtNPV atau dapat disebabkan sudah ada sumber inokulum NPV di petakan tersebut. Serta dapat disebabkan pula oleh perpindahan larva dari tanaman sampel ke tanaman yang lain.

Perlakuan dengan penyemprotan hanya satu kali selama pengamatan (kontrol positif P4) menyebabkan penuruan jumlah larva yang cukup besar. Pada hari ke-11 setelah aplikasi, jumlah larva yang ditemukan pada perlakuan P4 rata-rata hanya 3 ekor, dari rata-rata-rata-rata populasi awal 25 ekor. Hal ini menunjukkan bahwa virus tersebut tetap dapat menyebabkan kematian yang tinggi meski tidak dilakukan pengulangan penyemprotan. Tingkat kematian larva pada perlakuan kontrol positif yang cukup tinggi dapat terjadi karena virus dapat menyebar dan diperbanyak pada larva yang telah terinfeksi dan sentuhan dengan larva sehat (Granados dan Federici 1986).

Jumlah larva H. talaca yang ditemukan pada hari ke-5 dan ke-6 setelah aplikasi HtNPV antara perlakuan penyemprotan 1 kali 1 minggu (dengan pengulangan penyemprotan minggu selanjutnya: P1), dengan perlakuan yang disemprot hanya satu kali selama pengamatan (kontrol positif P4) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, tetapi mulai menunjukkan perbedaan yang nyata dari hari ke-7 setelah aplikasi.

Pada semua perlakuan, kecuali kontrol, penurunan populasi larva H. talaca

mulai mengalami peningkatan di atas 50% adalah pada 7 hari setelah aplikasi dan populasi ulat jengkal terus menurun hingga 11 hari setelah aplikasi. Pada hari ke-7 setelah aplikasi terlihat ada perbedaan nyata antara P1 dengan P4, P2 dengan P4, dan P3 dengan P4. Penurunan populasi ulat jengkal hingga mencapai jumlah 0 ekor adalah pada hari ke-11 setelah aplikasi, tetapi perlakuan yang disemprot hanya satu kali selama pengamatan (kontrol positif P4) pada 11 hari setelah aplikasi tidak mencapai 0 ekor karena tidak dilakukan penyemprotan ulangan. Hal ini menunjukkan bahwa pengulangan penyemprotan berpengaruh pada tingkat mortalitas dan penurunan populasi larva H. talaca.

Antara perlakuan 2 kali 1 minggu (P2) dan 3 kali 1 minggu (P3) dari hari pertama hingga hari ke-11 setelah aplikasi tidak menunjukkan perbadaan yang nyata. Hal ini dapat dijadikan dasar untuk melakukan aplikasi, bahwa penyemprotan sebanyak 3 kali kurang efisien, karena hasilnya tidak jauh berbeda

D

25

dengan aplikasi sebanyak 2 kali. Bahkan jika dilihat pada 11 hari setelah aplikasi antara P1, P2, P3, dan P4 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.

Aplikasi menggunakan musuh alami memerlukan waktu yang relatif lebih lama dalam membunuh hama dibandingkan dengan menggunakan insektisida sintetik yang hasilnya dapat langsung terlihat. Parasian (2007) mengatakan bahwa kematian H. talaca yang terinfeksi NPV umumnya dapat terlihat dari hari ke-4 sampai hari ke-7 dengan tingkat kematian yang dipengaruhi oleh konsentrasi NPV. Semakin tinggi konsentrasi NPV maka akan semakin tinggi tingkat kematian H. talaca.

Hasil aplikasi lapangan HtNPV dengan menggunakan konsentrasi sederhana 40 ekor larva terinfeksi untuk 15 liter, dapat menurunkan populasi lebih dari setengah populasi awal (50%) dalam waktu 7 hari dan dapat menurunkan populasi hingga habis (0 ekor) dalam waktu 11 hari.

D

26

Dokumen terkait