• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

5.5 Keragaan Usahatani Jamur Tiram Putih di Perusahaan

5.5.3 Pengendalian Hama dan Penyakit

Hama yang sering merusak substrat tanaman jamur dan merugukan diantaranya adalah kutu, ulat, nyamuk, kumbang, dan rayap. Hama ini bersarang di dalam substrat. Penyakit yang banyak mengganggu substrat tanaman jamur tiram putih umumnya disebabkan oleh bakteri dan jamur lain. Berbagai jenis jamur dan bakteri cepat tumbuh di dalam substrat tanam, sehingga menjadi busuk dan akibatnya jamur tidak tumbuh. Penyebab timbulnya penyakit pada jamur tiram putih karena proses sterilisasi yang tidak sempurna, bibit yang tidak murni, alat yang kurang bersih dan kandungan air media terlalu tinggi.

Penyakit yang muncul pada jamur tiram putih yaitu berupa tumbuhnya jamur lain seperti Mucor, Rhiozopus, Penicillium, dan Aspergillus pada baglog. Serangan jamur-jamur tersebut dicirikan dengan timbulnya miselium yang berwarna hitam, kuning atau putih, dan timbulnya lendir. Pertumbuhan jamur tiram putih menjadi terhambat atau tidak tumbuh sama sekali. Serangan dapat terjadi pada baglog yang belum atau sudah dibuka.

41

Cara mencegah timbulnya hama yaitu dengan menjaga kebersihan kumbung, lingkungan sekitar kumbung, dan kebersihan alat-alat yang digunakan selama proses produksi. Pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan oleh pemilik Perusahaan TIMMUSH, yaitu dengan menggunakan obat pembasmi hama dan penyakit seperti Decis. Penyemprotan Decis dilakukan hanya sesekali saja, tergantung dari tingkat penyerangan hama dan penyakitnya.

Apabila pemeliharaan jamur dilaksanakan dengan baik, teratur, dan teliti, maka pertumbuhan sarang-sarang serangga ataupun binatang lain akan dapat dihindari atau dihambat. Secara umum, pencegahan hama dan penyakit dapat dilakukan dengan meningkatkan sanitasi lingkungan, mengintensifikasikan pemeliharaan dan alat-alat produksi, memilih bahan organik yang bersih, mengomposkan bahan di tempat tersendiri dan membuang media sisa produksi di tempat khusus.

5.5.4 Panen dan Pasca Panen

Panen dilakukan dua sampai tiga hari setelah tumbuh bakal buah jamur. Pada saat itu tubuh buah mencapai ukuran diameter rata-rata 5-15 cm. Jamur yang siap dipanen ditandai dengan tepi buah yang tipis. Tubuh buah yang terlambat dipanen dapat mencapai ukuran diameter 20 cm dan ditandai dengan timbulnya warna coklat dibagian sisi tubuh buah. Pengambilan jamur tiram putih segar pada Perusahaan TIMMUSH dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 07.00. Panen dilakukan sesuai dengan seberapa banyak jumlah jamur tiram putih yang dapat dipanen pada hari itu.

Pemanenan dilakukan dengan cara mencabut seluruh rumpun yang ada. Pemanenan juga harus dilakukan secara hati-hati agar tidak terbentuk luka yang

42

besar dan tidak merusak miselium yang masih ada di permukaan media. Jamur yang telah dipanen kemudian dibersihkan dari sisa media yang masih menempel. Hal ini bertujuan untuk menghindari timbulnya hama akibat sisa batang jamur yang membusuk.

Setelah dilakukan proses penanganan pasca panen, jamur tiram putih tersebut kemudian dikemas dalam plastik berukuran 10 kilogram. Cara pengemasannya yaitu tudung jamur dihadapkan kearah luar plastik dan disusun melingkar pada sisi plastik, setelah itu jamur ditimbang dan diikat dengan menggunakan tali rafia.

Seluruh proses produksi jamur tiram putih pada Perusahaan TIMMUSH memerlukan waktu 120 hari atau empat bulan lamanya, mulai dari persiapan bahan baku sampai kegiatan pemanenan. Selama musim tanam, panen dapat dilakukan antara enam sampai tujuh kali panen, tergantung pada kandungan substrat tanaman, bibit jamur, serta lingkungan selama pemeliharaan. Hal ini berarti dalam satu tahun usaha jamur tiram putih terdiri dari tiga musim tanam. Kemampuan produksi per baglog jamur tiram putih di Perusahaan TIMMUSH per musim tanam adalah 0,5 kilogram (baik pada saat masih menggunakan kompor semawar maupun setelah menggunakan kayu bakar).

5.5.5 Pemasaran

Jamur tiram putih yang telah dikemas kemudian diberikan kepada pedagang pengumpul yang datang langsung ke Perusahaan TIMMUSH pada pukul 10.00. Setelah itu, mereka langsung memasarkannya ke pedagang- pedagang sayuran yang berada di Pasar Induk Kemang dan Pasar Bogor. Jamur tiram putih tersebut akan sampai ke tangan pedagang-pedagang sayuran di

43

Pasar Induk Kemang dan Pasar Bogor sekitar pukul 13.00-14.00, kemudian akan dijual kembali kepada pedagang sayur keliling dan konsumen rumah tangga sekitar pukul 03.00 keesokan harinya. Saluran pemasaran jamur tiram putih yang berasal dari Perusahaan TIMMUSH hingga ke tangan konsumen rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Jalur Pemasaran pada Perusahaan TIMMUSH.

Sumber : Wawancara dengan pemilik Perusahaan TIMMUSH, 2008

Gambar 3 menunjukkan bahwa dari Perusahaan TIMMUSH jamur tiram putih langsung dibawa oleh tiga orang pedagang pengumpul untuk dijual kembali ke Pasar Induk Kemang dan Pasar Bogor. Selanjutnya, para pedagang sayuran di kedua pasar tersebut akan menjualnya kembali kepada konsumen rumah tangga langsung ataupun ke pedagang sayur keliling terlebih dahulu yang selanjutnya akan dijual kembali kepada konsumen rumah tangga.

Perusahaan TIMMUSH

Pasar Induk Kemang (satu orang)

Pedagang Pengumpul

Pasar Bogor (dua orang)

Pedagang Sayur Keliling

44

Jamur tiram putih yang diproduksi oleh Perusahaan TIMMUSH dijual dengan harga yang berbeda sesuai dengan jenis konsumen, yaitu Rp 7.200 per kilogram untuk penjualan kepada pedagang pengumpul, Rp 8.000-Rp 10.000 per kilogram kepada pedagang sayuran di Pasar Induk Kemang dan Pasar Bogor, Rp 12.000-Rp 15.000 per kilogram untuk penjualan kepada pedagang sayur keliling atau ke konsumen rumah tangga langsung. Harga jamur tiram putih yang dibeli oleh konsumen rumah tangga dari pedagang sayur keliling mencapai Rp 16.000-Rp 18.000 per kilogramnya.

45

BAB VI

HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Analisis Pendapatan Usahatani

Analisis pendapatan usahatani menunjukkan struktur biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh dari usahatani tersebut. Analisis pendapatan usahatani jamur tiram putih di Perusahaan TIMMUSH ini dibedakan berdasarkan alat sterilisasi yang digunakan, yaitu kompor semawar dan kayu bakar.

Perhitungan usahatani dalam penelitian ini didasarkan pada musim tanam jamur tiram putih, yaitu empat bulan. Hasil analisis dari setiap jenis alat sterilisasi tersebut akan dibandingkan, mana yang dapat memberikan keuntungan maksimal bagi Perusahaan TIMMUSH.

6.1.1 Penerimaan Usahatani

Penerimaan usahatani jamur tiram putih di Perusahaan TIMMUSH diperoleh dari total produksi jamur tiram putih yang dihasilkan selama satu musim tanam dikalikan dengan harga jamur tiram putih per kilogramnya. Harga jamur tiram putih pada saat penelitian adalah Rp 7.200 per kilogram.

Pada penelitian ini, jumlah baglog jamur tiram putih yang diproduksi oleh Perusahaan TIMMUSH adalah 4000 baglog. Tingkat kegagalan pada saat proses sterilisasi diasumsikan sebesar 0,5 persen atau sekitar 20 baglog, sedangkan selama masa inkubasi diasumsikan sebesar 10 persen. Konversi bobot hasil per baglog adalah 0,5 kilogram per musim tanam. Jadi jumlah jamur tiram putih yang dihasilkan oleh Perusahaan TIMMUSH selama satu musim tanam

46

adalah 1.791 kilogram. Total penerimaan yang diperoleh Perusahaan TIMMUSH selama satu musim tanam, baik pada saat masih menggunakan kompor semawar maupun setelah menggunakan kayu bakar adalah Rp 12.895.200 (Tabel 6).

Tabel 6. Rincian Penerimaan Usahatani Jamur Tiram Putih di Perusahaan TIMMUSH Selama Satu Musim Tanam

No. Keterangan Satuan Jumlah

1 Kapasitas produksi log 4.000

2 Tingkat kegagalan saat sterilisasi 0,5% log 20

3 Jumlah baglog log 3.980

4 Tingkat kegagalan selama masa inkubasi 10% log 398

5 Jumlah baglog produktif log 3.582

6 Konversi bobot hasil per baglog 0,5 kg kg 1.791

7 Harga jual per kilogram Rp 7.200

Total Penerimaan Rp 12.895.200

6.1.2 Pengeluaran Usahatani

Biaya dalam usahatani dibedakan menjadi biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Komponen biaya tunai dalam usahatani jamur tiram putih di Perusahaan TIMMUSH, baik pada saat masih menggunakan kompor semawar maupun setelah menggunakan kayu bakar terdiri dari biaya sarana produksi (bahan baku dan penunjang), biaya tenaga kerja pria, dan biaya listrik.

Biaya diperhitungkan meliputi biaya penyusutan (Lampiran 5) dan sewa lahan milik sendiri (untuk membuang sisa baglog). Nilai penyusutan dihitung berdasarkan metode garis lurus, yaitu nilai pembelian dikurangi taksiran nilai sisa dibagi jumlah umur pemakaian. Nilai sisa kumbung (ruang produksi), mesin, dan peralatan dianggap nol karena diasumsikan tidak laku dijual lagi setelah digunakan. Rincian pengeluaran usahatani jamur tiram putih di Perusahaan TIMMUSH dapat dilihat pada Lampiran 6 dan 7.

47

Total biaya tunai yang dikeluarkan Perusahaaan TIMMUSH selama satu musim tanam pada saat masih menggunakan kompor semawar adalah Rp 8.093.000, sedangkan setelah menggunakan kayu bakar menurun sebesar 1,24 persen menjadi Rp 7.993.000. Penurunan total biaya tunai ini dikarenakan biaya untuk membeli kayu bakar selama satu musim tanam lebih rendah dibandingkan biaya untuk membeli minyak tanah. Biaya yang digunakan untuk membeli minyak tanah selama satu musim tanam sebesar Rp 180.000 atau hanya sebesar 1,59 persen dari total biaya dan Rp 80.000 atau hanya sebesar 0,73 persen dari total biaya untuk pembelian kayu bakar selama satu musim tanam. Meskipun presentase pembelian kedua bahan bakar tersebut sangat kecil terhadap total biaya yang dikeluarkan selama satu musim tanam, namun keduanya merupakan faktor terpenting dalam melakukan proses sterilisasi.

Total biaya diperhitungkan yang dikeluarkan pemilik Perusahaan TIMMUSH selama satu musim tanam pada saat masih menggunakan kompor semawar adalah Rp 3.158.776, sedangkan setelah menggunakan kayu bakar menurun sebesar 7,39 persen menjadi Rp 2.925.444. Perbedaan total biaya diperhitungkan ini terletak pada besarnya biaya penyusutan antara sebelum dan setelah terjadi perubahan penggunaan alat sterilisasi. Jumlah biaya penyusutan setelah Perusahaan TIMMUSH mengganti alat sterilisasinya dengan kayu bakar lebih rendah dibandingkan pada saat masih menggunakan kompor semawar (setelah menggunakan kayu bakar komponen kompor, selang semawar, dan drum minyak tanah tidak dimasukkan kedalam biaya diperhitungkan).

48

6.1.3 Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani

Analisis perbandingan dilakukan untuk membandingkan hasil analisis pendapatan usahatani jamur tiram putih di Perusahaan TIMMUSH. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, usahatani jamur tiram putih di Perusahaan TIMMUSH baik pada saat masih menggunakan kompor semawar maupun setelah menggunakan kayu bakar sama-sama menguntungkan untuk diusahakan.

Pada Tabel 7 terlihat bahwa pendapatan tertinggi terjadi setelah Perusahaan TIMMUSH mengganti alat sterilisasinya dari kompor semawar ke kayu bakar. Besarnya pendapatan atas biaya tunai dan biaya total antara sebelum dan setelah terjadi perubahan alat sterilisasi ternyata tidak jauh berbeda. Perbedaan tersebut hanya sebesar Rp 100.000 atau 2,10 persen untuk pendapatan atas biaya tunai dan Rp 333.332 atau 20,72 persen untuk pendapatan atas biaya total.

Tabel 7. Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Jamur Tiram Putih di Perusahaan TIMMUSH Selama Satu Musim Tanam

No. Keterangan Kompor

Semawar

Kayu Bakar Perbedaan

1 Total penerimaan (Rp) 12.895.200 12.895.200 0 2 Biaya tunai (Rp) 8.093.000 7.993.000 -100.000 3 Biaya diperhitungkan (Rp) 3.158.776 2.925.444 -233.332 4 Total biaya (Rp) 11.251.776 10.918.444 -333.332 5 Pendapatan atas biaya tunai (Rp) 4.802.200 4.902.200 100.000 6 Pendapatan atas biaya total (Rp) 1.643.424 1.976.756 333.332

7 R/C atas biaya tunai 1,59 1,61 0,02

8 R/C atas biaya total 1,15 1,18 0,03

Hasil nilai R/C rasio menunjukkan bahwa usahatani jamur tiram putih di Perusahaan TIMMUSH yang paling efisien adalah ketika pemilik perusahaan sudah mengganti alat sterilisasinya dari kompor semawar ke kayu bakar. Nilai

49

R/C rasio atas biaya tunai dan biaya total setelah menggunakan kayu bakar meningkat menjadi 1,61 dan 1,18. Artinya, setiap Rp 1.000 biaya yang dikeluarkan selama proses budidaya akan memberikan penerimaan berturut- turut sebesar Rp 1.610 dan Rp 1.180. Seperti halnya dengan jumlah pendapatan, nilai R/C rasio antara sebelum dan setelah terjadi perubahan penggunaan alat sterilisasi juga tidak jauh berbeda. Perbedaan tersebut hanya sebesar 0,02 atau 1,26 persen untuk R/C rasio atas biaya tunai dan 0,03 atau 2,61 persen untuk R/C rasio atas biaya total.

6.2 Analisis Titik Impas

Analisis titik impas merupakan informasi yang digunakan oleh manajemen untuk mendapatkan gambaran tentang tingkat volume penjualan minimum yang harus dicapai agar perusahaan tidak mengalami kerugian ataupun laba. Apabila terdapat pilihan alternatif pada analisis ini, maka pilihan yang diambil adalah kegiatan yang memiliki titik impas terkecil. Dalam analisis ini, titik impas produksi dinyatakan dalam satuan kilogram.

6.2.1 Biaya

Biaya adalah pengorbanan yang dikeluarkan untuk barang atau jasa agar menghasilkan suatu produk. Pada analisis titik impas ini, biaya-biaya yang digunakan dikelompokkan ke dalam biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap di Perusahaan TIMMUSH meliputi biaya tenaga kerja (kepala kebun dan wakil), biaya listrik, sewa lahan milik sendiri, dan biaya penyusutan. Total biaya tetap yang dikeluarkan Perusahaan TIMMUSH pada saat masih menggunakan kompor semawar adalah Rp 6.438.776 dan setelah menggunakan kayu bakar menurun sebesar Rp 6.205.444. Perbedaan total biaya tetap ini terletak pada

50

jumlah biaya penyusutan selama satu musim tanam antara sebelum dan setelah terjadi perubahan penggunaan alat sterilisasi (Lampiran 5).

Biaya variabel usahatani jamur tiram putih yang dikeluarkan oleh Perusahaan TIMMUSH selama satu musim tanam pada saat masih menggunakan kompor semawar adalah Rp 4.813.000, sedangkan setelah menggunakan kayu bakar menurun sebesar 2,08 persen menjadi Rp 4.713.000. Biaya tersebut digunakan untuk membeli sarana produksi, seperti bahan baku dan penunjang selama satu musim tanam. Penurunan total biaya variabel ini dikarenakan biaya untuk membeli kayu bakar selama satu musim tanam lebih rendah dibandingkan biaya untuk membeli minyak tanah. Rincian biaya tetap dan biaya variabel usahatani jamur tiram putih di Perusahaan TIMMUSH dapat dilihat pada Lampiran 8 dan 9.

6.2.2 Analisis Perbandingan Titik Impas

Analisis perbandingan titik impas usahatani jamur tiram putih di Perusahaan TIMMUSH selama satu musim tanam dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Analisis Perbandingan Titik Impas Usahatani Jamur Tiram Putih di

Perusahaan TIMMUSH Selama Satu Musim Tanam

No. Keterangan Kompor Semawar Kayu Bakar Perbedaan

1 TFC (Rp) 6.438.776 6.205.444 -233.332

2 TVC (Rp) 4.813.000 4.713.000 -100.000

3 AVC (Rp/kg) 2.687,33 2.631,49 -55,84

4 P – AVC (Rp/kg) 4.512,67 4.568,51 55,84

5 Titik Impas (kg) 1.426,82 1.358,31 -68,51

Pada Tabel 8 terlihat bahwa volume penjualan minimum jamur tiram putih yang harus dipenuhi pemilik perusahaan setelah menggunakan kayu bakar lebih rendah bila dibandingkan ketika pemilik perusahaan masih menggunakan kompor semawar, yaitu dari 1.426,82 kilogram menjadi 1.358,31

51

kilogram. Namun, besarnya titik impas tersebut tidaklah jauh berbeda antara sebelum dan setelah terjadi perubahan penggunaan alat sterilisasi, yaitu hanya sebesar 68,51 kilogram atau 4,80 persen.

6.3 Analisis Perbandingan Pendapatan dan Titik Impas Usahatani Berdasarkan Data pada Bulan Agustus 2008

Komponen biaya tunai dan diperhitungkan di Perusahaan TIMMUSH berdasarkan data setelah penelitian (Agustus 2008) sama dengan pada saat penelitian (Mei-Juni 2008). Namun, jumlah pengeluaran usahatani jamur tiram putih selama satu musim tanam pada bulan Agustus 2008 berbeda dengan jumlah pengeluaran usahatani pada saat penelitian berlangsung (Mei-Juni 2008). Hal tersebut dikarenakan harga bahan baku dan penunjang jamur tiram putih pada bulan Agustus relatif meningkat dibandingkan pada saat penelitian. Adapaun rincian pengeluaran usahatani jamur tiram putih di Perusahaan TIMMUSH berdasarkan data pada bulan Agustus 2008 dapat dilihat pada Lampiran 10 dan 11.

Hasil analisis perbandingan pendapatan usahatani di Perusahaan TIMMUSH berdasarkan data setelah penelitian (Agustus 2008) menunjukkan bahwa pendapatan tertinggi tetap terjadi setelah Perusahaan TIMMUSH mengganti alat sterilisasinya dengan kayu bakar (Tabel 9). Jumlah pendapatan atas biaya tunai dan biaya total antara sebelum dan setelah terjadi perubahan penggunaan alat sterilisasi ternyata tetap tidak jauh berbeda, yaitu hanya sebesar Rp 390.000 atau 9,59 persen dan Rp 623.332 atau 68,50 persen.

52

Tabel 9. Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Jamur Tiram Putih di Perusahaan TIMMUSH Selama Satu Musim Tanam Berdasarkan Data pada Bulan Agustus 2008

No. Keterangan Kompor

Semawar

Kayu Bakar Perbedaan

1 Total penerimaan (Rp) 12.895.200 12.895.200 0 2 Biaya tunai (Rp) 8.826.500 8.436.500 -390.000 3 Biaya diperhitungkan (Rp) 3.158.776 2.925.444 -233.332 4 Total biaya (Rp) 11.985.276 11.361.944 -623.332 5 Pendapatan atas biaya tunai (Rp) 4.068.700 4.458.700 390.000 6 Pendapatan atas biaya total (Rp) 909.924 1.533.256 623.332

7 R/C atas biaya tunai 1,46 1,53 0,07

8 R/C atas biaya total 1,08 1,13 0,05

Pada Tabel 9 terlihat bahwa nilai R/C rasio usahatani jamur tiram putih di Perusahaan TIMMUSH yang paling efisien tetap terjadi ketika pemilik perusahaan telah mengganti alat sterilisasinya dari kompor semawar ke kayu bakar. Besarnya nilai R/C rasio antara sebelum dan setelah terjadi perubahan penggunaan alat sterilisasi tenyata tetap tidak jauh berbeda. Perbedaan tersebut hanya sebesar 0,07 atau 4,79 persen untuk R/C rasio atas biaya tunai dan 0,05 atau 4,63 persen untuk R/C rasio atas biaya total.

Seperti halnya dengan hasil analisis pendapatan, volume minimum penjualan jamur tiram putih di Perusahaan TIMMUSH berdasarkan data setelah penelitian tetap lebih rendah setelah menggunakan kayu bakar dibandingkan pada saat menggunakan kompor semawar. Nilai titik impas antara sebelum dan setelah terjadi perubahan penggunaan alat sterilisasi ternyata juga tidak jauh berbeda, yaitu sebesar 133,09 kilogram atau 8,48 persen. Analisis perbandingan titik impas usahatani jamur tiram putih di Perusahaan TIMMUSH selama satu musim tanam dapat dilihat pada Tabel 10.

53

Tabel 10. Analisis Perbandingan Titik Impas Usahatani Jamur Tiram Putih di Perusahaan TIMMUSH Selama Satu Musim Tanam Berdasarkan Data pada Bulan Agustus 2008

No. Keterangan Kompor Semawar Kayu Bakar Perbedaan

1 TFC (Rp) 6.438.776 6.205.444 -233.332

2 TVC (Rp) 5.546.500 5.156.500 -390.000

3 AVC (Rp/kg) 3.096,87 2.879,12 -217,75

4 P – AVC (Rp/kg) 4.103,13 4.320,88 217,75

5 Titik Impas (kg) 1.569,24 1.436,15 -133,09

Dari hasil analisis pendapatan usahatani jamur tiram putih di Perusahaan TIMMUSH baik pada saat penelitian (Mei-Juni 2008) maupun setelah penelitian dilakukan (Agustus 2008), maka dapat diketahui bahwa secara umum total biaya usahatani dan jumlah pendapatan dan antara sebelum dan setelah terjadi perubahan penggunaan alat sterilisasi tidak berbeda secara signifikan. Selain itu, konversi bobot jamur tiram putih per baglog, jumlah dan lamanya tenaga kerja bekerja (dalam satuan harian kerja) di Perusahaan TIMMUSH baik sebelum maupun setelah terjadi perubahan penggunaan alat sterilisasi ternyata juga tidak berubah. Kemampuan produksi per baglog jamur tiram putih di Perusahaan TIMMUSH per musim tanam tetap 0,5 kilogram, jumlah tenaga kerja di Perusahaan TIMMUSH tetap 16 orang, dan lamanya mereka bekerja tetap selama delapan jam per hari dengan hari kerja selama tujuh hari dalam satu minggu. Hasil tersebut tidak sesuai dengan hipotesa awal yang memprediksi adanya perbedaan yang signifikan dari perubahan penggunaan alat sterilisasi tersebut.

6.4 Memilih Alat Sterilisasi Terbaik

Berdasarkan hasil analisis pendapatan usahatani yang telah dilakukan pada kedua alternatif bahan bakar tersebut dapat dilihat bahwa penggunaan kayu bakar merupakan alat sterilisasi terbaik bagi Perusahaan TIMMUSH. Hal

54

tersebut dikarenakan tingkat hasil penerimaan dan nilai R/C rasio yang diperoleh Perusahaan TIMMUSH setelah mengganti alat sterilisasinya dengan kayu bakar lebih tinggi dibandingkan pada saat masih menggunakan kompor semawar. Meskipun jumlah pendapatan antara sebelum dan setelah terjadi perubahan penggunaan alat sterilisasi tidak berbeda secara signifikan, namun perolehan kayu bakar lebih mudah didapatkan dibandingkan dengan minyak tanah yang semakin langka dan mahal harganya. Dengan demikian, sistem produksi yang lebih efisien digunakan Perusahaan TIMMUSH adalah menggunakan kayu bakar dibandingkan dengan kompor semawar.

55

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil analisis pendapatan baik pada saat penelitian (Mei-Juni 2008) maupun setelah penelitian (Agustus 2008), tingkat keuntungan dan nilai R/C rasio yang diperoleh Perusahaan TIMMUSH setelah mengganti alat sterilisasinya dengan kayu bakar lebih besar dibandingkan ketika pemilik perusahaan masih menggunakan kompor semawar. Namun, besarnya pendapatan dan nilai R/C rasio tersebut tidaklah jauh berbeda antara sebelum dan setelah terjadi perubahan penggunaan alat sterilisasi. Hasil analisis pendapatan berdasarkan data pada saat penelitian menunjukkan bahwa perbedaan tersebut hanya sebesar Rp 100.000 atau 2,10 persen untuk pendapatan atas biaya tunai dan 0,02 atau 1,26 persen untuk nilai R/C atas biaya tunai, sedangkan berdasarkan data setelah penelitian menunjukkan bahwa perbedaan jumlah pendapatan dan nilai R/C tersebut hanya sebesar Rp 390.000 atau 9,59 persen untuk pendapatan atas biaya tunai dan 0,07 atau 4,79 persen untuk nilai R/C atas biaya tunai.

2. Hasil analisis titik impas baik pada saat penelitian maupun setelah penelitian dilakukan menunjukkan bahwa pergantian alat sterilisasi dari kompor semawar ke kayu bakar membuat volume minimum penjualan jamur tiram putih di Perusahaan TIMMUH menjadi lebih rendah dibandingkan pada saat pemilik perusahaan masih menggunakan kompor semawar. Namun, besarnya titik impas dari kedua kondisi tersebut tidaklah jauh berbeda antara

56

satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut yaitu hanya sebesar 68,51 kilogram atau sebesar 4,80 persen berdasarkan data pada saat penelitian dan 133,09 kilogram atau 8,48 persen berdasarkan data setelah penelitian dilakukan. 3. Alat sterilisasi terbaik bagi Perusahaan TIMMUSH adalah kayu bakar karena

memberikan pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp 4.902.200 per musim tanam dan nilai R/C atas biaya tunai sebesar 1,61 (Mei-Juni 2008) serta memberikan pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp 4.458.700 per musim tanam dan nilai R/C atas biaya tunai sebesar 1,53 (Agustus 2008). Selain itu, penggunaan kayu bakar juga dapat mengatasi terjadinya kelangkaan dan kenaikan harga minyak tanah.

4. Secara umum total biaya usahatani dan jumlah pendapatan dan antara sebelum dan setelah terjadi perubahan penggunaan alat sterilisasi tidak berbeda secara signifikan. Selain itu, konversi bobot jamur tiram putih per baglog, jumlah dan lamanya tenaga kerja bekerja (dalam satuan harian kerja) di Perusahaan TIMMUSH baik sebelum maupun setelah terjadi perubahan penggunaan alat sterilisasi ternyata juga tidak berubah. Hasil tersebut tidak sesuai dengan hipotesa awal yang memprediksi adanya perbedaan yang signifikan dari perubahan penggunaan alat sterilisasi tersebut.

7.2 Saran

Saran yang dapat diberikan kepada pemilik Perusahaan TIMMUSH antara lain :

1. Meskipun jumlah pendapatan dan nilai titik impas antara sebelum dan setelah terjadi perubahan penggunaan alat sterilisasi baik pada saat penelitian maupun setelah penelitian tidak berbeda secara signifikan, pemilik

57

Perusahaan TIMMUSH sebaiknya tetap menggunakan kayu bakar pada alat sterilisasinya.

2. Untuk mengantisipasi semakin langka dan meningkatnya harga minyak tanah terutama di sekitar lokasi perusahaan, pemilik Perusahaan TIMMUSH dapat menggunakan bahan bakar alternatif lainnya seperti gas ataupun briket batubara pada alat sterilisasinya.

58

DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih, Sri dan YB. Kadarusman. 2003. Teori Ekonomi Mikro. Edisi Kedua.

Dokumen terkait