• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengendalian secara hayati yang pernah dicoba adalah:

1) Pelepasan masal Anagyrus sp (famili Encyrtidae, ordo Hymenoptera), yang merupakan parasitoid telur X. festiva. Di daerah Ngancar, secara alami telur X. festiva sering diparasit oleh Anagyrus sp dengan tingkat parasitisasi rata-rata 19 %. Setelah dilepaskan sekitar 5.000 ekor parasitoid yang sebelumnya dibiakkan di laboratorium lapangan, tingkat parasitisasi telur tersebut meningkat menjadi 45 % (Husaeni dan Kasno 1997).

2) Penyemprotan dengan jamur patogen serangga, Beauveria bassiana. Sebanyak

200 gram jamur B. bassiana disuspensikan dalam enam atau delapan liter air

kemudian disemprotkan ke permukaan kulit dari bagian batang pohon sengon yang terserang, pada saat larvanya masih muda dan masih berada di bawah kulit pohon. Penyemprotan ini dapat membunuh 95 % larva-larva muda. Bila larvanya sudah berukuran dewasa (berukuran besar), penyemprotan dengan jamur patogen ini tidak efektif karena larvanya sudah lebih tahan terhadap jamur tersebut (Suharti et al. 1998).

2.2 Bahan Makanan Serangga Fitofag

Pohon merupakan salah satu sumber makanan yang penting bagi serangga fitofag. Sumber makanan ini dapat bervariasi dari tahun ke tahun dalam hal kehadiran (yaitu daun) atau kelimpahannya (yaitu bunga), dan kualitas kandungan nutrisinya berubah secara musiman (Speight dan Wainhouse 1989). Selain itu, banyak jaringan pohon yang mengandung senyawa beracun (toksik) atau senyawa sekunder yang mempengaruhi kualitas nutrisinya. Dengan demikian, serangga-serangga yang memakan pohon dihadapkan pada suatu masalah dalam memperoleh jumlah dan kualitas makanan yang cukup. Karena ketersediaan makanan akan mempengaruhi kelangsungan hidup (survival) serangga, maka makanan merupakan suatu faktor yang penting dalam mempengaruhi dinamika populasi serangga.

2.2.1 Kebutuhan nutrisi serangga fitofag

Secara kualitatif, kebutuhan nutrisi serangga tidak berbeda dengan binatang lain, yang pada dasarnya memerlukan protein, karbohidrat, asam lemak,

15

sterol, vitamin dan mineral untuk pertumbuhan normal serangga itu. Akan tetapi, tidak seperti vertebrata, serangga tidak mampu untuk mensintesa sterol dari makanan normalnya atau dari organisme mikro simbiotik (Speight dan Wainhouse 1989).

Bila serangga tidak menggunakan pohon sebagai sumber makanannya maka tidak akan ada topik tentang manajemen (pengendalian) hama hutan. Sebaliknya, bila pohon tidak mengembangkan mekanisme dalam upaya untuk mencegah supaya pohon itu tidak dimakan, maka serangga akan menjadi sangat berlimpah dan tidak dapat dihentikan (Speight et al. 1999, dalam Speight dan Wylie 2001). Kuantitas dan kualitas makanan yang dikandung pohon untuk serangga sangat beragam, tergantung pada banyak faktor, yaitu umur pohon, tempat tumbuh pohon, sifat genetik pohon dan lain-lain. Evolusi melalui seleksi alami telah menghasilkan hubungan antara pohon dengan serangga yang memakannya di setiap tempat pada komunitas alami, dan tidak ada pihak (pohon dan serangga) yang menderita kerusakan yang melampaui batas. Oleh karena itu sangat penting untuk memahami bagaimana pohon yang sedang tumbuh yang jauh dari situasi alaminya, wilayah atau ekologi, dapat merubah makanan atau pertahanan yang dihasilkan pohon dan kemampuan serangga untuk menggunakan pohon itu. Dengan pengetahuan itu manipulasi praktek silvikultur dapat dilakukan sehingga pohon tidak lebih lama untuk memberikan makanan yang berkualitas tinggi bagi serangga, yang menjadi dasar bagi penciptaan kesehatan (vigour) dan resistensi pohon (Speight dan Wylie 2001).

Pada dasarnya binatang dapat dianggap sebagai bentuk kehidupan berbasis nitrogen (N). Jaringan-jaringan tubuh binatang tersusun oleh protein, dan polipeptida dan asam amino beredar pada darah dengan konsentrasi yang relatif tinggi. Selain itu, produk-produk ekskresi utama, apakah itu urea, asam urat (uric acid) atau amoniak, semuanya berbasis nitrogen (N). Jadi pada dasarnya binatang adalah konsumen N organik yang boros. Sebaliknya tumbuhan termasuk pohon, yang tersusun terutama dari selulosa dan kerabatnya, adalah bentuk kehidupan berbasis karbon (C) (Speight dan Wylie 2001). Serangga dan juga binatang lain harus memakan binatang lain untuk memperoleh jumlah nutrisisi (zat hara) esensial yang tepat dengan limbah yang paling sedikit dan dengan pengeluaran

energi yang juga paling hemat. Setiap binatang yang memakan tumbuhan harus menerima diet yang sub-optimal ini dan mengembangkan strategi untuk menggunakan sumber makanan yang paling miskin ini, terutama bahan organik tumbuhan.

2.2.2 Kandungan nutrisi pohon

Tumbuhan dapat mengandung bermacam-macam senyawa nitrogen, mulai dari protein sampai asam amino, dan ada atau tidak adanya, atau keseimbangan senyawa esensial mungkin lebih penting bagi serangga tertentu dari pada jumlah total senyawa itu (Barnays dan Chapman 1994, dalam Speight dan Wylie 2001). Berbagai jaringan yang menyusun pohon hidup seperti akar dan pucuk, kayu dan kulit, kuncup, daun, bunga dan biji mempunyai kadar nutrisi tertentu yang kebanyakan berkaitan dengan peranannya dalam struktur dan fungsi pohon itu yang juga bervariasi dari musim ke musim. Pada musim tumbuh cadangan makanan dimobilisasi dari tempat penyimpanannya pada jaringan parenchyma akar, batang, dan pada konifer juga dari daun, dan diangkut dalam xylem dan floem ke bagian tumbuhan yang sedang aktif tumbuh, terutama daun dan pucuk baru. Akhirnya daun-daun baru menjadi pengekspor neto dari fotosintat, yang mula-mula digunakan untuk melangsungkan pertumbuhan baru dan kemudian untuk menyimpan cadangan makanan utama sebelum berakhirnya musim tumbuh. Lebih dari 90 % dari biomas hutan di atas tanah adalah berupa kayu (Rodin dan Basilevic 1967, dalam Speight dan Wainhouse 1989), yang sebagian besar tersusun dari selulosa dan lignin dan mengandung N dengan kadar yang sangat rendah. Oleh karena itu banyak dari biomas hutan yang tidak dapat dimakan serangga kecuali untuk spesies serangga tertentu yang telah mengembangkan asosiasi simbiotik untuk memungkinkan serangga itu dapat memakannya. Kandungan N pada berbagai bagian pohon dapat dilihat pada Tabel 3. Pada tabel tersebut dapat dilihat kisaran kandungan nitrogen pada bagian tumbuhan dalam persen berat kering.

17

Tabel 3 Perkiraan kandungan nitrogen dari berbagai jaringan tumbuhan dan perbandingannya dengan binatang (Mattson 1980, dalam Speight dan Wylie 2001)

Bagian tumbuhan Kisaran kandungan nitrogen (% berat kering)

Cairan xylem (kayu) 0,0003 – 0,1

Cairan floem (kulit) 0,006 – 0,93

Kayu 0,05 – 0,13 Daun Gymnosperma 0,91 – 5,83 Kambium 1 - 8 Daun Angiosperma 1,6 – 8,4 Biji 1 - 9 Binatang 8 - 33

Kandungan N pada kayu adalah sekitar 0,2 % berdasarkan berat kering. Protoplasma pada sel kambium kaya akan enzim, peptida dan asam amino tetapi karena sebagai dinding sel sekunder berkembang dan terjadi lignifikasi, kebanyakan sel ini mati dan N dan nutrisi lain yan bermanfaat diedarkan kembali ke bagian lain dari pohon.

Kandungan N yang relatif tinggi ada pada daun. Pada jenis pohon daun lebar yang gugur daun kadar N sekitar 2 – 4 % biasanya lebih tinggi dari pada kandungan N pada daun konifer yang hanya sekitar 1 – 2 %.

Bunga sering dimakan serangga dan tepungsari (polen) yang dikandungnya merupakan sumber yang kaya akan N. Biji juga dapat mengandung N dengan kadar yang tinggi.

2.2.3 Kehidupan serangga dalam kaitannya dengan makanan

Pada umumnya, serangga yang memakan jaringan pohon yang mempunyai kualitas nutrisi yang rendah, misalnya kayu, cenderung mempunyai siklus hidup yang panjang dan merupakan konsumen yang rakus. Karbohidrat yang merupakan sumber energi utama bagi serangga herbivora cukup berlimpah pada tumbuhan. Tetapi kebanyakan karbohidrat itu berada dalam bentuk kompleks selulosa polisakarida yang tidak mampu diuraikan oleh serangga karena serangga itu tidak mempunyai enzim selulase. Banyak serangga yang tergantung pada organisme simbiotik yang mampu mencerna selulosa. Serangga pemakan kayu biasanya mengandung organisme mikro tertentu di dalam ususnya walaupun beberapa

serangga membawa cendawan simbiotik yang menginfeksi dan melapukkan kayu

di sekitar liang gerek serangga (Speight dan Wainhouse 1989). Neotermes

tectonae (famili Kalotermitidae, ordo Isoptera), yang disebut inger-inger, merupakan hama penting pada hutan jati di P. Jawa. Seperti umumnya rayap N. tectonae ini memakan selulosa pada batang pohon jati. Untuk mencerna selulosa yang dimakannya, rayap N. tectonae mengadakan simbiose dengan beberapa jenis protozoa yang dapat mencerna selulsoa tersebut.

Adanya variasi jumlah dan kualitas makanan yang tersedia menurut waktu merupakan penyebab penting terjadinya fluktuasi populasi serangga (Speight dan Wainhouse 1989). Serangga pemakan biji menghadapi masalah yang akut karena biji, yang biasanya tersedia pada pohon dewasa, dapat tidak ada sama sekali pada musim/tahun tertentu. Oleh karena itu serangga pemakan biji sering mengalami diapase yang lama untuk bertahan hidup pada saat kekurangan biji. Serangga yang memakan daun muda dari pohon gugur daun juga memanfaatkan sumber makanan yang tidak bisa diramalkan, bukan karena masalah kelimpahan daun muda dari tahun ke tahun, tetapi pada waktu yang tepat daun muda itu ada penurunan kualitas nutrisi yang cepat dengan semakin menuanya daun. Ulat daun jati, Hyblaea puera (famili Hyblaeidae, ordo Lepidopetara) sering meledak populasinya pada awal musim hujan, pada saat hutan jati menghasilkan sejumlah daun muda setalah gugur daun pada musim kemarau yang panjang.

Kualitas makanan mempengaruhi reproduksi dan dispersal serangga. Laju reproduksi aphid Drepanosiphum platanoidis (famili Aphididae, ordo Homoptera) mempunyai dua puncak musiman yang berbeda dalam kaitannya dengan

kandungan N-amino pada cairan floem pohon sycamore (Dixon 1970, dalam

Speight dan Wainhouse 1989). Pada musim semi kandungan N larut adalah tinggi pada saat nutrisi itu ditranslokasikan dalam floem ke daun yang sedang tumbuh. Aphid itu menyelesaikan perkembangannya pada awal tahun dan mulai berbiak selama periode ketersediaan N yang tinggi. Reproduksi mencapai suatu puncak dan kemudian menurun pada saat daun menjadi tua. Pada musim gugur, pada saat nutrisi dari daun yang akan gugur berkurang, reproduksi meningkat kembali sampai suatu puncak, kemudian menurun pada saat daun gugur.

BAB III

METODE PENELITIAN

Dokumen terkait