• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Pengertian Anak Jalanan

Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Sosial pasal 1 ayat (2) menyebutkan anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Sementara menurut Undang-Undang RI No. 23 tahu 2002 tentang Perlindungan Anak dalam pasal 1 ayat (2) menyebutkan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih didalam kandungan.

Dalam bab II pasal 2 Undang-Undang No. 4 tahun 1979 yang mengatur mengenai hak-hak anak disebutkan bahwa anak memilik hak sebagai berikut:

Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan

berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. Yang dimaksud dengan asuhan adalah berbagai upaya yang dilakukan kepada orang yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar, dan anak yang mengalami masalah kelainan, yang bersifat sementara sebagai pengganti orang tua atau keluarga agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupu sosial (pasal 1 angka 32 PP No. 2 tahu 1988).

b. Hak atas pelayanan.

Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan

kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk warga yang baik dan berguna.

c. Hak atas pemeliharaan dan perlindungan.

Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

d. Hak atas perlindungan lingkungan hidup.

Anak berhak atas perlindungan lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.

e. Hak mendapat pertolongan pertama.

Dalam keadaan yang membahayakan, anaklah yang pertama –tama berhak mendapat pertolongan, bantuan dan perlindungan.

f. Hak memperoleh asuhan.

Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh bantuan oleh negara, orang atau badan lain. Dengan demikian anak yang tidak mempunyai

orang tua itu dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik jasmani, rohani, maupu n sosial.

g. Hak memperoleh bantuan.

Anak yang tidak mampu, berhak memperoleh bantuan agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar.

h. Hak diberi pelayanan dan asuhan.

Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan mendorong guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya.

i. Hak memperoleh pelayanan khusus.

Anak cacat berhak memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan sejauh kemampuan dan kesanggupannya. j. Hak mendapat bantuan dan pelayanan.

Anak berhak mendapat bantuan dan pelayanan yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak tanpa membedakan jenis kelamin, pendidikan, dan kedudukan sosial (Prinst, 1997: 80-82).

Anak jalanan merupakan konstituen dari komunitas yang berada di jalanan. Dalam hidup keseharian, anak-anak di jalanan melakukan interaksi dengan berbagai elemen sosial yang ada di jalanan, baik sesama anak maupun orang dewasa dengan berbagai latar belakang dan profesi. Departemen Sosial RI mendefenisikan anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya. UNICEF memberi batasan tentang anak jalanan, dimana anak jalanan merupakan anak-anak yang berumur 16 tahun yang sudah melepaskan diri

dari keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat terdekatnya, larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah di jalan raya (Soedijar, dalam http: blogdrive.com/20 Maret 2009).

Anak jalanan adalah anak-anak yang mencari nafkah di jalanan. Umumnya sebagai pedagang asongan, pengamen, gelandangan dan pengemis, penjual koran, tukang semir, pemulung, tukang parkir, tukang sapu angkot, penjaja alas kaki, tukang cari nasi busuk, tukang angkat barang, maupun pekerja seks anak.

Karakteristik atau sifat-sifat yang menonjol dari anak jalanan diantaranya adalah:

a. Kelihatan kumuh atau kotor, baik kotor tubuh maupun kotor pakaian.

b. Memandang orang lain yang tidak hidup di jalanan sebagai orang yang dapat dimintai uang.

c. Mandiri, dalam arti anak-anak tidak terlalu menggantungkan hidup terutama dalam hal tempat tidur atau uang.

d. Mimik wajah yang selalu memelas, terutama ketika berhubungan dengan orang yang bukan dari jalanan. Anak-anak tidak memiliki rasa takut untuk berinteraksi baik berbicara dengan siapapun selama di jalanan.

e. Malas untuk melakukan kegiatan anak “rumah” misalnya mandi, gosok gigi, menyisir rambut, mencuci pakaian atau menyimpan pakaian.

Anak jalanan dilihat dari sebab dan intensitas berada di jalanan tidak dapat disamaratakan. Dilihat dari sebab sangat dimungkinkan tidak semua anak jalanan berada di jalan karena tekanan ekonomi, tetapi bisa juga karena pergaulan, pelarian, tekanan orang tua, dan atas dasar pilihan sendiri. Himpunan Mahasiswa

Pemerhati Marjinal Kota (HIMMATA) mengelompokkan anak jalanan menjadi dua kelompok yaitu anak semi jalanan dan anak jalanan murni.

Menurut Asmawati anak semi jalanan diistilahkan untuk anak-anak yang hidup dan mencari penghidupan di jalanan, tetapi tetap mempunyai hubungan dengan keluarganya. Anak jalanan murni diistilahkan untuk anak-anak yang hidup dan menjalani kehidupannya di jalanan tanpa punya hubungan dengan keluarganya. Menurut Tata Sudrajat anak jalanan dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok berdasarkan hubungan dengan orang tuanya yaitu:

a. Anak yang putus hubungan dengan orang tuanya, tidak sekolah, dan tinggal di jalanan (anak yang hidup di jalanan/children the street).

b. Anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya, tidak sekolah, kembali ke orang tuanya seminggu sekali, dua minggu sekali, dua bulan atau tiga bulan sekali disebut dengan anak yang bekerja di jalanan (children on the

street).

Anak yang masih sekolah atau sudah putus sekolah, kelompok ini masuk kategori rentan menjadi anak jalanan (vulnerable to be street children).

Menurut Kesejahteraan Anak Indonesia (1999: 22-24) anak jalanan dibedakan menjadi 4 kelompok yaitu:

a. Anak-anak yang tidak berhubungan lagi dengan orang tuanya (children on the street). Mereka tinggal 24 jam di jalanan dan menggunakan semua fasilitas jalanan sebagai ruang hidupnya. Hubungan dengan keluarga sudah terputus. Kelompok anak ini disebabkan oleh faktor sosial psikologis keluarga. Anak mengalami kekerasan, penolakan, penyiksaan, dan perceraian orang tua.

Umunya mereka tidak mau kembali ke rumah, kehidupan dan solidaritas sesama temannya telah menjadi suatu ikatan.

b. Anak-anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tua. Mereka adalah anak yang bekerja di jalanan (children on the street). Mereka sering diidentikkan sebagai pekerja migran kota yang pulang tidak teratur kepada orang tuanya di kampung. Pada umumnya mereka bekerja dari pagi hingga sore hari seperti menyemir sepatu, pengasong, pengamen, tukang ojek payung, dan kuli panggul. Tempat tinggal mereka di lingkungan kumuh bersama dengan saudara atau teman-teman senasibnya.

c. Anak-anak yang berhubungan teratur dengan orang tuanya. Mereka tinggal dengan orang tuanya, beberapa jam di jalanan sebelum atau sesudah sekolah. Motivasi mereka ke jalan karena terbawa teman, belajar mandiri, membantu orang tua, dan disuruh orang tua. Aktivitas mereka yang paling menyolok adalah berjualan koran.

d. Anak-anak jalanan yang berusia diatas 16 tahun. Mereka berada di jalanan untuk mencari kerja. Umunya mereka sudah lulus SD, bahkan ada yang lulus SLTP. Mereka biasanya kaum urban yang mengikuti orang dewasa (orang tua ataupun saudaranya ke kota). Pekerjaan mereka biasanya mencuci bus,

menyemir sepatu, membawa barang belanjaan (kuli panggul), pengasong, pengamen, pengemis dan pemulung (http: blogdrive.com/20 Maret 2009).

Sebagai penyebab tumbuhnya anak jalanan, Parsudi Suparlan berpendapat adanya orang gelandangan di kota bukanlah semata-mata karena berkembangnya sebuah kota, tetapi justru karena tekanan-tekanan ekonomi dan rasa tidak aman

sebagai warga desa yang kemudian terpaksa harus mencari tempat yang diduga dapat memberikan kesempatan bagi suatu kehidupan yang lebih baik di kota.

Hal yang sama juga diungkapkan Saparinah Sadli bahwa berbagai faktor yang saling berkaitan dan berpengaruh terhadap timbulnya masalah anak terlantar ataupun anak jalanan antara lain: faktor kemiskinan, keterbatasan bekerja, faktor yang berhubungan dengan urbanisasi dan faktor dari dalam diri individu seperti tidak biasa disiplin, biasa hidup sesuai dengan keinginannya sendiri, dan berbagai faktor lainya. Akan tetapi faktor yang paling dominan sebagai penyebab munculnya anak jalanan dan anak terlantar adalah faktor kondisi sosial ekonomi dan broken home atau disfungsi keluarga (http: blogdrive.com/20 Maret 2009).

Penyebab lain anak dari anak “rumahan” menjadi anak jalanan adalah khusus untuk anak perempuan minggat dari rumah, karena dipaksa menikah dengan orang yang tidak disukai, tidak tahan dengan orang tua yang gemar memukul, ada juga yang tidak betah di rumah karena orang tua sibuk dengan urusan masing-masing. Yang lebih parahnya lagi adalah diusir orang tua karena dianggap nakal (Tim Yayasan Kakak, 2002: 51).

Dokumen terkait