• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1Efektivitas

2.1.1 Pengertian Efektivitas

Menurut Sondang P. Siagian pengertian efektivitas adalah:

Pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektivitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya.

Sementara menurut Abdurahmat “efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan tepat pada waktunya”. Chester I.Barnard memberi defenisi efektivitas sebagai berikut: “Efektivitas adalah pencapaian sasaran yang telah disepakati atas usaha bersama. Tingkat pencapaian sasaran menunjukkan tingkat efektivitas”. Pada dasarnya efektivitas menyangkut pencapaian sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pihak yang terlibat didalam suatu organisasi atau lembaga (http://othenk planet.blogspot.com/1 April 2009).

Terdapat 3 pandangan mengenai efektivitas. Pada tingkat yang paling dasar terletak efektivitas individu. Pandangan dari segi individu menekankan hasil karya karyawan atau anggota tertentu dari organisasi. Tugas yang harus dilaksanakan biasanya ditetapkan sebagai bagian dari pekerjaan atau posisi dalam organisasi. Prestasi kerja individu menilai secara rutin lewat proses evaluasi hasil karya yang merupakan dasar bagi kenaikan gaji, promosi dan imbalan lain yang tersedia dalam organisasi. Jarang sekali individu bekerja sendirian atau terpisah dari orang-orang lain

dalam suatu organisasi. Dalam kenyataannya individu biasanya bekerja bersama-sama dalam kelompok kerja.

Pandangan lain mengenai efektivitas yaitu pandangan dari segi efektivitas kelompok. Dalam beberapa hal, efektivitas kelompok adalah jumlah kontribusi dari semua anggotanya. Misalnya bagi kelompok ilmuwan yang mengerjakan proyek-proyek individual, yang tidak saling berhubungan, maka besarnya efektivitas sama dengan jumlah efektivitas dari tiap-tiap individu. Dalam beberapa hal lain efektivitas kelompok adalah lebih besar dari jumlah kontribusi dari tiap-tiap individu. Pandangan yang ketiga adalah efektivitas organisasi. Organisasi terdiri dari individu dan kelompok, sehingga efektivitas organisasi terdiri dari efektivitas individu dan kelompok. Namun demikian, efektivitas organisasi adalah lebih banyak dari jumlah efektivitas individu dan kelompok, lewat pengaruh kerjasama, organisasi mampu mendapatkan hasil karya yang lebih tinggi tingkatnya daripada jumlah hasil karya tiap-tiap bagiannya (Gibson, 1994: 25).

Efektivitas individu tidaklah harus merupakan sebab dari efektivitas kelompok. Begitu pula tidak dapat dikatakan bahwa efektivitas kelompok adalah jumlah dari efektivitas individu. Hubungan antara pandangan-pandangan tersebut berubah-ubah tergantung dari faktor-faktor seperti: jenis organisasi, pekerjaan yang dilaksanakan dan teknologi yang digunakan dalam melaksanakan pekerjaan tersebut. Tiap-tiap tingkat efektivitas dapat dipandang sebagai suatu variabel yang tergantung dari variabel lain yakni sebab-sebab dari efektivitas. Misalnya beberapa sebab dari efektivitas individu adalah ciri fisik, sifat psikologis dan motivasi. Efektivitas kelompok seperti: kepemimpinan kelompok, komunikasi dan sosialisasi. Efektivitas organisasi seperti: hasil dari sejumlah besar variabel termasuk teknologi, hambatan

lingkungan dan kesempatan baik, kecakapan persorangan dan motivasi (Child, dalam Gibson, 1994: 26).

Untuk memahami konsep efektivitas terdapat dua pendekatan, yaitu pendekatan dari segi tujuan dan pendekatan dari segi teori sistem. Pendekatan tujuan

(the goal approach) untuk menentukan dan mengevaluasi efektivitas didasarkan pada

gagasan bahwa organisasi diciptakan sebagai alat untuk mencapai tujuan (Gibson, 1994: 27). Pendekatan tujuan menunjukkan bahwa organisasi dibentuk dengan tujuan tertentu, bekerja secara rasional dan berusaha mencapai tujuan tertentu. Walaupun pendekatan tujuan itu kelihatan sederhana, tetapi mengandung juga beberapa persoalan. Beberapa kesulitan yang dikenal secara luas meliputi:

1. Pencapaian tujuan tidak segera dapat diukur pada organisasi yang tidak menghasilkan barang-barang yang berwujud (tangibel outputs).

2. Organisasi berusaha mencapai lebih dari satu tujuan dan tercapainya satu tujuan seringkali menghalangi atau mengurangi kemampuannya untuk mencapai tujuan yang lain.

3. Adanya beberapa tujuan “resmi” yang harus dicapai dan disepakati oleh semua anggota adalah diragukan.

Pendekatan yang kedua adalah pendekatan dari segi teori sistem. Melalui teori sistem dapat ditentukan efektivitas dari segi yang bermanfaat bagi organisasi baik berupa perusahaan bisnis, rumah sakit, badan pemerintah ataupun lembaga yang lainnya. Dalam hubungannya dengan teori sistem, organisasi atau lembaga dipandang sebagai satu unsur dari sejumlah unsur yang saling berhubungan dan tergantung satu dengan yang lain. Organisasi mengambil sumber (input) dari lingkungan sebagai sistem yang lebih luas, memproses sumber dan mengembalikannya dalam bentuk

yang sudah diubah yaitu output. Dari teori sistem diketahui suatu kriteria efektivitas yaitu menggambarkan siklus input-proses-output dan hubungan timbal balik antara organisasi dan lingkungan yang lebih luas tempat hidupnya organisasi.

Selain teori sistem, terdapat dimensi waktu sebagai satu elemen dari sistem yang lebih besar yaitu lingkungan yang melalui waktu mengambil sumber-sumber, memprosesnya dan mengembalikannya kepada lingkungan. Selain proses, mengenai efektivitas organisasi atau lembaga adalah apakah organisasi itu mampu bertahan dan hidup terus dalam lingkungan itu. Maka kelangsungan hidup organisasi merupakan ukuran terakhir atau ukuran jangka panjang dari efektivitas organisasi. Namun terdapat indikator jangka pendek dan menengah. Jangka pendek berupa produksi

(poductive), efisiensi (efficiency) dan kepuasan (satisfaction). Jangka menengah dapat

berupa penyesuaian diri dan perkembangan (Gibson, 1994: 31-32).

2.2 Pemberdayaan

Konsep yang sering dimunculkan dalam proses pemberdayaan adalah konsep kemandirian dimana program-program pembangunan dirancang secara sistematis agar individu dan masyarakat menjadi subjek dari pembangunan. Walaupun kemandirian, sebagai filosofi pembangunan, juga dianut oleh negara-negara yang telah maju secara ekonomi, tetapi konsep ini lebih banyak dihubungkan dengan pembangunan yang dilaksanakan oleh negara-negara sedang berkembang.

Konsep pemberdayaan dapat dikatakan sebagai jawaban atas realitas ketidakberdayaan (disempowerment). Membicarakan konsep pemberdayaan tidak dapat dilepas-pisahkan dengan konsep sentral, yaitu konsep daya (power).

Pengertian pemberdayaan yang terkait dengan konsep power dapat ditelusuri dari 4 perspektif/sudut pandang, yaitu perspektif pluralis, elitis, strukturalis, dan post-strukturalis (Suriadi, 2005: 53&54).

Konsep pemberdayaan pada intinya ditujukan guna membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan terkait dengan diri sendiri, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki, antara lain melalui transfer dari lingkungannya.

Berbagai pengertian yang ada mengenai pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka (Shardlow, dalam Adi, 2003: 54).

Rumah singgah merupakan tempat alternatif pemberdayaan anak jalanan dan anak terlantar. Salah satu bentuk penanganan anak jalanan adalah melalui pembentukan rumah singgah. Konferensi Nasional II masalah pekerja anak di Indonesia pada bulan juli 1996 mendefenisikan rumah singgah sebagai tempat pemusatan yang bersifat non formal, dimana anak–anak bertemu untuk memperoleh informasi dan pembinaan awal sebelum dirujuk kedalam proses pembinaan lebih lanjut.

Sedangkan menurut Departemen Sosial RI rumah singgah didefenisikan sebagai perantara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka. Rumah singgah merupakan proses informal yang memberikan suasana pusat

realisasi anak jalanan dan anak terlantar terhadap sistem nilai dan norma di masyarakat.

Secara umum tujuan dibentuknya rumah singgah adalah membantu anak jalanan maupun anak terlantar mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Secara khusus tujuan rumah singgah adalah:

a. Membentuk kembali sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.

b. Mengupayakan anak-anak kembali ke rumah jika memungkinkan atau ke panti dan lembaga pengganti lainnya jika diperlukan.

c. Memberikan berbagai alternatif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak dan menyiapkan masa depannya sehingga menjadi masyarakat yang produktif.

Peran dan fungsi rumah singgah bagi program pemberdayaan anak jalanan dan anak terlantar sangat penting. Fungsi rumah singgah antara lain: a. Sebagai tempat pertemuan (meeting point) pekerja sosial dan anak jalanan

maupun anak terlantar. Dalam hal ini sebagai tempat untuk terciptanya persahabatan dan keterbukaan antara anak dan pekerja sosial dalam

menentukan dan melakukan berbagai aktivitas pembinaan.

b. Pusat diagnosa dan rujukan. Dalam hal ini rumah singgah berfungsi sebagai tempat melakukan diagnosa kebutuhan dan masalah anak serta melakukan rujukan pelayanan sosial bagi anak.

c. Fasilitator atau perantara anak dengan keluarga, keluarga pengganti dan lembaga lainnya.

d. Perlindungan. Rumah singgah dipandang sebagai tempat berlindung dari berbagai bentuk kekerasan yang kerap menimpa anak dan perilaku menyimpang seksual atau berbagai bentuk kekerasan lainnya. e. Pusat informasi tentang anak jalanan dan anak terlantar.

f. Kuratif dan rehabilitatif, yaitu fungsi pengembalian dan menanamkan fungsi sosial anak.

g. Akses terhadap pelayanan, yaitu sebagai persinggahan sementara dan akses kepada berbagai pelayanan sosial.

h. Resosiliasi. Lokasi rumah singgah yang berada di tengah-tengah masyarakat merupakan salah satu upaya mengenalkan kembali norma, situasi, dan kehidupan bermasyarakat bagi anak. Pada sisi lain mengarah pada pengakuan, tanggung jawab dan upaya warga masyarakat terhadap penanganan masalah anak jalanan dan anak terlantar.

Bentuk lain upaya pemberdayaan anak jalanan dan anak terlantar dapat dilakukan melalui program-program:

a. Center based program, yaitu membuat penampungan tempat tinggal yang

bersifat tidak permanen.

b. Street based interventions, yaitu mengadakan pendekatan langsung di tempat

anak jalanan berada atau langsung ke jalanan.

c. Community based strategy, yaitu dengan memperhatikan sumber gejala

munculnya anak jalanan dan anak terlantar baik keluarga maupun lingkungannya dapat berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara

2.3 Keluarga

2.3.1 Pengertian Keluarga

Keluarga adalah kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan organisasi terbatas, dan mempunyai ukuran yang minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan. Dengan kata lain keluarga merupakan bagian dari masyarakat secara keseluruhan yang lahir dan berada di dalamnya. Secara berangsur-angsur akan melepaskan ciri-ciri karena tumbuhnya kearah pendewasaan.

Menurut Khairuddin (1997: 7) pengertian keluarga adalah:

Suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, ikatan darah, atau adopsi, merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain, dan menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami istri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan dan merupakan pemelihara kebudayaan bersama.

Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah, hubungan sosial dan pengertian psikologis. Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan yang lainnya. Berdasarkan dimensi hubungan darah ini, keluarga dapat dibedakan menjadi keluarga besar dan keluarga inti. Dalam dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan satu kesatuan sosial yang diikat oleh adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya, walaupun diantara mereka tidak terdapat hubungan darah (Shochib, 1998: 17).

Dalam pengertian psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga

terjadi saling memperhatikan dan saling menyerahkan diri (Soelaeman, dalam Shochib,1998: 17). Dalam hal Yayasan Simpang Tiga Medan sebagai keluarga bagi anak binaan, maka keluarga yang dimaksud adalah ditinjau dari dimensi sosial dan psikologis.

2.3.2 Ciri-Ciri Keluarga

Keluarga pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari suatu hubungan seks yang tetap, untuk menyelenggarakan hal-hal yang berkenaan dengan keorangtuaan dan pemeliharaan anak. Ciri-ciri keluarga terbagi kedalam 2 jenis yaitu:

Ciri-ciri umum

Menurut Mac Iver dan Page ciri-ciri umum keluarga adalah: 1. Keluarga merupakan hubungan perkawinan.

2. Berbentuk perkawinan atau susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara.

3. Suatu sistem tata nama, termasuk perhitungan garis keturunan.

4. Ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggota kelompok, mempunyai ketentuan khusus terhadap kebutuhan-kebutuhan ekonomi

berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan membesarkan anak.

5. Merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga yang walau bagaimanapun tidak mungkin menjadi terpisah kelompok keluarga.

Bugers dan Locke mengemukakan terdapat 4 karakteristik keluarga yang ada pada semua keluarga dan yang membedakan keluarga dari kelompok – kelompok sosial lainnya yaitu:

1. Keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, ikatan darah, atau adopsi.

2. Anggota-anggota keluarga ditandai dengan hidup bersama dibawah satu atap dan merupakan satu susunan rumah tangga, atau jika mereka bertempat tinggal, rumah tangga tersebut menjadi rumah mereka.

3. Keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan peranan-peranan sosial bagi suami dan istri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan.

4. Keluarga adalah pemelihara suatu kebudayaan bersama dan pada hakekatnya diperoleh dari kebudayaan umum, tetapi dalam suatu masyarakat yang kompleks masing-masing keluarga mempunyai ciri-ciri yang berlainan dengan keluarga lainnya (Khairuddin, 1997: 6-7).

Ciri-ciri khusus

Keluarga mempunyai ciri-ciri khusus yaitu sebagai berikut:

1. Kebersamaan. Keluarga merupakan bentuk yang hampir paling universal diantara bentuk-bentuk organisasi lain dan setiap keadaan manusia mempunyai keanggotaan dari beberapa keluarga.

2. Dasar-dasar emosional. Hal ini didasarkan pada suatu kompleks dorongan- dorongan yang sangat mendalam dari sifat organisasi seperti perkawinan, menjadi ayah, kesetiaan akan material, dan perhatian orang tua.

3. Pengaruh perkembangan. Hal ini merupakan lingkungan kemasyarakatan yang paling awal dari semua bentuk kehidupan yang lebih tinggi, pada khususnya hal ini membentuk karakter individu lewat pengaruh kebiasaan-kebiasaan organis maupun mental.

4. Ukuran yang terbatas. Keluarga merupakan skala yang paling kecil dari semua organisasi sosial formal yang merupakan struktur sosial dalam masyarakat yang sudah beradab.

5. Posisi inti dalam struktur sosial. Keluarga merupakan inti dari organisasi sosial lainnya, dalam masyarakat yang sederhana maupun yang sudah maju, mempunyai tipe masyarakat patriarkal, struktur sosial secara keseluruhan dibentuk dari satuan-satuan keluarga.

6. Tanggung jawab para anggota. Keluarga mempunyai tuntutan yang lebih besar dan kontiniu daripada yang bisa dilakukan oleh asosiasi-asosiasi.

7. Aturan kemasyarakatan. Hal ini khusus terjaga dengan adanya hal-hal yang tabu dalam masyarakat dan aturan-aturan yang sah, dengan kaku menentukan kondisi-kondisinya.

8. Sifat kekekalan dan kesementaraan. Sebagai institusi keluarga merupakan sesuatu yang demikian permanen dan universal. Sebagai asosiasi merupakan organisasi yang paling bersifat sementara dan mudah berubah dari antara seluruh organisasi-organisasi penting lainnya di masyarakat (Khairuddin, 1997: 7-10).

2.3.3 Fungsi keluarga

Selain memiliki ciri-ciri, keluarga juga memiliki fungsi yaitu: 1. Fungsi biologik.

Keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak, fungsi ini juga dasar kelangsungan hidup masyarakat.

2. Fungsi afeksi.

Tumbuh sebagai akibat hubungan cinta kasih yang menjadi dasar perkawinan, dari hubungan cinta kasih lahir hubungan persaudaraan, persahabatan, kebisaan, identifikasi dan persamaan pandangan mengenai nilai-nilai. 3. Fungsi sosialisasi.

Menunjukkan peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak, melalui interaksi sosial. Dalam keluarga anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dalam masyarakat dalam rangka perkembangan kepribadiannya (Khairuddin, 1997: 48-49).

Menurut Hartomo (1997: 86-87) fungsi-fungsi pokok dari keluarga adalah pemenuhan kebutuhan biologis dan emosional/perasaan, pendidikan sosialisasi, ekonomi, dan pengawasan. Secara khusus fungsi keluarga adalah:

a. Fungsi seksual, dalam melaksanakan fungsi seksual di keluarga tiap-tiap masyarakat menyusun tata tertib berdasarkan sistem niilai-nilai sosial budaya dan faktor kebutuhan biologis.

b. Fungsi ekonomi, di dalam masyarakat yang sederhana pembagian kerja dalam rangka kerjasama ekonomi dilakukan antara anggota-anggota keluarga. Khususnya para wanita pada umumnya lebih banyak ditentukan oleh faktor- faktor kebudayaan daripada kondisi fisik maupun sosial.

c. Fungsi reproduksi, keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak merupakan pranata sosial yang paling memadai untuk melahirkan dan memelihara anak-anak di dalam keluarga itu.

d. Fungsi edukasi, dari lingkungan keluarga anak belajar berbahasa, mengumpulkan pengertian-pengertian dan menggunakan nilai-nilai kebudayaan yang berlaku. Didikan yang diberikan di dalam keluarga pada masa kanak-kanak disesuaikan dengan daya tangkap dan sifat-sifat emosionalnya.

Demikian halnya dengan William J.Goode, 1983 dalam Soelaeman (2001: 115-119) mengungkapkan secara umum fungsi keluarga yaitu:

a. Pengaturan seksual. b. Reproduksi.

c. Sosialisasi.

d. Pemeliharaan, Penempatan anak di dalam masyarakat. e. Pemuas kebutuhan perseorangan, dan

f. Kontrol sosial.

Kekacauan keluarga merupakan bahan perguncingan umum karena menyangkut pilihan moral dan penyesuaian-penyesuaian pribadi yang dilematis. Terdapat beberapa macam kekacauan keluarga sebagai berikut:

a. Ketidaksahan. Merupakan unit keluarga yang tak lengkap, setidak-tidaknya ada satu sumber ketidaksahan dalam kegagalan anggota keluarga baik ibu maupun ayah untuk menjalankan kewajiban peranannya.

b. Pembatalan, perpisahan, perceraian, dan meninggalkan. Disebabkan oleh salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan dan dengan demikian berhenti melaksanakan kewajiban peranannya.

c. “Keluarga selaput kosong”. Anggota-anggota keluarga tetap tinggal bersama, tetapi tidak saling menyapa atau bekerja sama, dan gagal dalam saling memberikan dukungan emosional.

d. Ketiadaan seorang dari pasangan karena hal yang tak diinginkan, beberapa keluarga terpecah karena sang suami atau istri meninggal, dipenjarakan, atau terpisah dari keluarga karena peperangan, depresi, atau malapetaka yang lain. e. Kegagalan peran penting yang tak diinginkan. Malapetaka dalam keluarga

mencakup: penyakit mental, emosional, atau badaniah yang parah sehingga gagal dalam menjalankan peran utama.

2.4Pengertian Anak Jalanan

Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Sosial pasal 1 ayat (2) menyebutkan anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Sementara menurut Undang-Undang RI No. 23 tahu 2002 tentang Perlindungan Anak dalam pasal 1 ayat (2) menyebutkan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih didalam kandungan.

Dalam bab II pasal 2 Undang-Undang No. 4 tahun 1979 yang mengatur mengenai hak-hak anak disebutkan bahwa anak memilik hak sebagai berikut:

Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan

berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. Yang dimaksud dengan asuhan adalah berbagai upaya yang dilakukan kepada orang yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar, dan anak yang mengalami masalah kelainan, yang bersifat sementara sebagai pengganti orang tua atau keluarga agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupu sosial (pasal 1 angka 32 PP No. 2 tahu 1988).

b. Hak atas pelayanan.

Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan

kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk warga yang baik dan berguna.

c. Hak atas pemeliharaan dan perlindungan.

Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

d. Hak atas perlindungan lingkungan hidup.

Anak berhak atas perlindungan lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.

e. Hak mendapat pertolongan pertama.

Dalam keadaan yang membahayakan, anaklah yang pertama –tama berhak mendapat pertolongan, bantuan dan perlindungan.

f. Hak memperoleh asuhan.

Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh bantuan oleh negara, orang atau badan lain. Dengan demikian anak yang tidak mempunyai

orang tua itu dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik jasmani, rohani, maupu n sosial.

g. Hak memperoleh bantuan.

Anak yang tidak mampu, berhak memperoleh bantuan agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar.

h. Hak diberi pelayanan dan asuhan.

Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan mendorong guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya.

i. Hak memperoleh pelayanan khusus.

Anak cacat berhak memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan sejauh kemampuan dan kesanggupannya. j. Hak mendapat bantuan dan pelayanan.

Anak berhak mendapat bantuan dan pelayanan yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak tanpa membedakan jenis kelamin, pendidikan, dan kedudukan sosial (Prinst, 1997: 80-82).

Anak jalanan merupakan konstituen dari komunitas yang berada di jalanan. Dalam hidup keseharian, anak-anak di jalanan melakukan interaksi dengan berbagai elemen sosial yang ada di jalanan, baik sesama anak maupun orang dewasa dengan berbagai latar belakang dan profesi. Departemen Sosial RI mendefenisikan anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya. UNICEF memberi batasan tentang anak jalanan, dimana anak jalanan merupakan anak-anak yang berumur 16 tahun yang sudah melepaskan diri

dari keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat terdekatnya, larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah di jalan raya (Soedijar, dalam http: blogdrive.com/20 Maret 2009).

Anak jalanan adalah anak-anak yang mencari nafkah di jalanan. Umumnya sebagai pedagang asongan, pengamen, gelandangan dan pengemis, penjual koran, tukang semir, pemulung, tukang parkir, tukang sapu angkot, penjaja alas kaki,

Dokumen terkait