• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KEDUDUKAN HUKUM ATAS ANAK YANG LAHIR DARI

A. Pengertian Anak

“Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti. Anaka memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Anak sebagai penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan, dan anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia senja. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan dengan orang tuanya, termasuk ciri khas, baik maupun buruk”.68

Dalam bahasa Indonesia kata anak mengandung beberapa pengertian. Secara umum kata anak dalam Hukum Keluarga mengandung 2 (dua) pengertian dasar, yaitu: anak dalam pengertian orang yang belum dewasa dan anak dalam pengertian orang yang memiliki hubungan hukum dengan ibu atau kedua orang tuanya baik akrena dilahirkan olehnya atau karena memperoleh status sebagai anak.

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, mengenai pengertian anak juga belum terdapat keseragaman. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pengertian anak sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) adalah “Seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Batasan umur 18 (delapan belas) tahun pada UU No. 23 Tahun 2002 berbeda dengan batasan yang ditetapkan dalam Pasal 1 ayat (1)

adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa batas umur 21 (dua puluh satu) tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kemetangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut. Batas umur 21 (dua puluh satu) tahun tidak mengurangi ketentuan batas umur dalam peraturan perundang-undangan lainnya, dan tidak pula mengurangi kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh ini mempunyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku.

“Dalam hukum Islam seorang anak masih belum dewasa (minderjarig) apabila ia belum berumur 15 (lima belas) tahun, kecuali jika ia sebelumnya itu sudah memperlihatkan telah matang untuk bersetubuh(geslachtsrijp),tetapi tidak kurang dari usia 9 (sembilan) tahun. Orang yang belum dewasa ini dalam hukum Islam biasanya disebut saghir atau sabi, sedangkan orang yang sudah dewasa dinamakanbaligh”.69

“Hukum Adat tidak mengenal usia tertentu untuk mengatakan apakah seorang belum atau sudah dewasa. Hal ini tergantungkan pada keadaan dalam mana dilihat apakah seorang anak sudah matang untuk bersetubuh dengan seorang dari jenis kelamin lain (geslachtsrijp) atau apakah seorang anak itu sudah cukup “kuat gawe” (kerja) untuk mencari nafkah sendiri secara menggarap sawah atau sebagainya. Dan biasanya ini terjadi pada usia lebih

sebagai ukuran, apakah seorang anak itu masih berdiam dengan orang tuanya atau sudah mencar keluar.

Dalam Pasal 330 KUH Perdata menentukan bahwa yang dinamakan orang belum dewasa (minderjarig) itu adalah orangorang yang belum berusia 21 tahun dan belum kawin. Apabila ia sebelum berusia 21 (dua puluh satu) tahun melakukan perkawinan dan perkawinannya putus juga ia sebelum umur 21 (dua puluh satu) tahun maka ia tetap dianggap sudah dewasa(meerderjarig).

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak secara tegas memberikan pengertian tentang istilah “anak luar nikah” tetapi hanya menjelaskan pengertian anak sah dan kedudukan anak luar nikah. Hal ini sebagaimana bunyi Pasal 42 – 43 yang pada pokoknya menyatakan : “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat pernikahan yang sah. Anak yang dilahirkan di luar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.

Dilihat dari bunyi pasal tersebut di atas kiranya dapat ditarik pengertian bahwa anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan diluar pernikahan dan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya saja.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata anak luar nikah merupakan anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan diluar pernikahan yang sah. Predikat sebagai anak luar nikah tentunya akan melekat

70Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1960, hal. 63, lihat juga Martiman Prodjohamidjojo,Ibid

Hukum Perdata pengertian anak luar nikah dibagi menjadi dua macam yaitu sebagai berikut:

a. Anak luar nikah dalam arti luas adalah anak luar pernikahan karena perzinahan dan sumbang.

Anak zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah, antara laki-laki dan perempuan dimana salah satunya atau kedua-duanya terikat pernikahan dengan orang lain sementara Anak Sumbang adalah Anak yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling menikahi.

Sebagaimana diketahui, Pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan melarang Perkawinan antara dua orang yang:

1) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; 2) berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara

saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

3) berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri; 4) berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan

dan bibi/paman susuan;

5) berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;

berlaku, dilarang nikah.

b. Anak luar nikah dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan diluar pernikahan yang sah.

Anak zina dan anak sumbang tidak bisa memiliki hubungan dengan ayah dan ibunya. Bila anak itu terpaksa disahkan pun tidak ada akibat hukumnya (Pasal 288 KUHPerdata). Namun pada prakteknya dijumpai hal-hal yang meringankan, karena biasanya hakikat zina dan sumbang itu hanya diketahui oleh pelaku zina itu sendiri.

B. Hak-hak Anak

1. Hak Anak Dalam Pendidikan

Mengenai hak anak atas pendidikan ini dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa :

1. Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak;

2. Negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan;

3. Pendidikan diarahkan pada:

a. pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal.

b. Pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi. c. Pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional dimana anak bertempat tinggal. Darimana anak berasal, dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri.

d. Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab; dan e. Pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.

pendidikan luar biasa.

5. Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus.

6. Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil. 7. Pertanggungjawaban pemerintah termasuk pula mendorong masyarakat untuk

berperan aktif.

8. Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.71

Pendidikan anak bukan saja berupa pendidikan formal, tetapi juga pendidikan informal. Hendaknya anak juga diberikan pendidikan informal yang dapat mengembangkan bakat anak sehingga meningkatkan kreatifitas dan daya saingnya di masa yang akan datang.

Tanggung jawab pendidikan terletak pada 3 (tiga) pihak yaitu keluarga, masyarakat dan sekolah. Dalam pengajaran dan pendidikan di sekolah adalah penting untuk memberikan pendidikan sebagai berikut :

1. Pendidikan iman

Pendidikan iman ini dimaksudkan mengikat anak dengan dasar-dasar iman, rukun Islam dan dasar-dasar syariah sejak anak mulai mengerti dan dapat memahami sesuatu.

2. Pendidikan moral

Pendidikan moral dimaksudkan pendidikan tentang prinsip dasar moral dan keutamaan sikap serta watak yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak ia masih pemula hingga ia menjadi seorang mukallaf, yakni siap mengarungi lautan kehidupan.

3. Pendidikan rasio (akal)

Pendidikan rasio dimaksudkan membentuk pola pikir anak dengan segala sesuatu yang bermanfaat seperti ilmu-ilmu agama, kebudayaan dan peradaban,

4. Pendidikan kejiwaan

Pendidikan kejiwaan dimaksudkan mendidik anak agar bersikap berani terbuka, mandiri, suka menolong, dapat mengendalikan amarah dan senang kepada seluruh bentuk keutamaannya dan moral secara mutlak. Tujuan pendidikan kejiwaan adalah membentuk, membina dan menyeimbangkan kepribadian anak sehingga ketika ia dewasa ia dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dengan baik.

5. Pendidikan seksual

Pendidikan seksual ini dimaksudkan sebagai upaya pengajaran, penyadaran dan penerangan tentang masalah-maslah seksual kepada anak, sejak ia mengenal masalah-masalah yang berkenaan dengan naluri seks dan perkawinan. Hal ini dimaksudkan agar jika ia telah tumbuh menjadi seorang pemuda dan dapat memahami urusan-urusan kehidupan, ia telah mengetahui masalah-masalah yang diharamkan dan dihalalkan.72

2. Hak Dalam Kesehatan

Hak anak dalam bidang kesehatan diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak sebagai berikut :

1. Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan.

2. Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya kesehatan secara komprehensif didukung oleh peran serta masyarakat.

3. Upaya kesehatan yang komprehensif meliputi upaya promitif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan.

4. Upaya kesehatan yang komprehensif diselenggarakan secara cuma-cuma bagi keluarga yang tidak mampu.

5. Pelaksanaan ketentuan disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. Orang tua dan keluarga bertanggungjawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan.

7. Dalam hal orang tua dan keluarga yang tidak mampu melaksanakan tanggung jawab, maka pemerintah wajib memenuhinya.

8. Kewajiban pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

dan/atau menimbulkan kecacatan.

10. Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari upaya tranplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain.

11. Negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib melindungi anak dari perbuatan:

a. Pengambilan organ tubuh anak dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak;

b. Jual beli organ dan/atau jaringan tubuh anak; dan

c. Penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua dan tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak73

3. Hak Anak Atas Pengasuhan

Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan.74 Dalam proses pemeliharaan anak dari kecil sampai balig, ada 2 (dua) istilah yang berdekatan maksudnya yaitu istilah hadindan kata wali, danhadin atau hadinah. Istilah-istilah tersebut dipakai bagi seseorang yang melakukan tugas hadhanah, yaitu tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak ia lahir sampai bisa secara sederhana makan sendiri dan berpakaian sendiri dan bisa membedakan yang berbahaya bagi dirinya. Bila diukur dengan umur, sampai umur 7 (tujuh) atau 8 (delapan) tahun.

Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksana urusannya dan orang yang mendidiknya, dan ibunyalah yang berkewajiban melakukan hadhanah. Apabila

73Pasal 44 – Pasal 47 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

tidak ada orang lain yang dapat melakukannya, maka ibunyalah yang harus melakukannya. Hal ini dimaksudkan agar jangan sampai hak anak tersebut atas pemeliharaan dan pendidikannya tersia-siakan.75

Setiaphadhinah (ibu pengasuh) danmahdhun(anak yang diasuh) mempunyai hak hadhanah. Tetapi hak mahdhun lebih besar daripada hadhinah. Dan sekalipun hak hadhanah dilepaskan akan tetapi hak hadhanah anak yang masih kecil tidak dapat gugur. Hal tersebut termaktub dalam putusan Pengadilan tanggal 17 Oktober 1928 yang menyatakan bahwa :

Jika ada orang lain selain ibu yang dengan sukarela menafkahi mahdhun yang masih menyusui, akan tetapi tetap tidak dapat mengugurkan kewajiban ibu untuk mengasuh anak yang menyusui ini. Bahkan tetap ada di tangannya dan tidak dapat terlepas dari tangannya selama ini masih menyusu. Hal ini berjalan terus sampai anak kecil ini tidak menjadi rusak sekiranya dilepaskan dari asuhan ibunya yang merupakan orang yang paling belas kasihan kepadanya dan sangat besar kesabarannya di dalam melayaninya.76

Dalam hal orang tua anak tersebut bercerai maka anak tersebut diberikan kesempatan untuk memilih dengan siapa ia akan ikut, bersama ayahnya atau ibunya. Namun ada juga yang mengatakan bahwa seharusnya hakim jangan begitu saja menyerahkan pemilihan kepada anak tersebut, kecuali setelah mengadakan penelitian mengenai kemaslahatan anak tersebut. Jika dari hasil penelitian menunjukkan ibunyalah yang lebih dapat dipercaya dalam memelihara anak daripada ayahnya dan lebih menginginkan keberhasilan anak itu di masa depan, maka sepatutnya ibunya

75Ibid,hal. 41

yang lebih prihatin dan dapat mendidik dan mengarahkan anaknya lebih baik dari si ibu, maka ayahpun boleh mendapat hak pengasuhan atas anak tersebut.

Akan tetapi apabila anak tersebut masih dalam masa menyusui maka ibunyalah yang diutamakan karena ibulah yang berhak untuk melakukan hadhanah dan menyusui. Selain itu ibulah yang lebih mengetahui dan lebih mampu mendidiknya. Juga karena ibu mempunyai kesabaran dan waktu untuk melakukan tugas ini yang tidak dimiliki oleh seorang ayah. Oleh karena itulah dalam mengatur kemaslahatan anak, ibulah yang diutamakan.77

Memelihara anak mempunyai pengertian yang luas. Undang-undang sendiri tidak memberikan suatu defenisi tentang arti pemeliharaan. “Hal ini dimungkinkan karena tampaknya undang-undang menyerahkan pengertian pemeliharaan pada kondisi perkembangan sosial suatu masyarakat”.78

Menurut M. Yahya Harahap, arti pemeliharaan yang berkembang secara umum dalam masyarakat mencakup :

a. Tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup yang semestinya dari seorang anak oleh orang tuanya.

b. Tanggung jawab pemeliharaan yang berupa pengawsan dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut bersifat kontinu (terus-menerus) sampai anak tersebut mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah bisa berdiri sendiri.79

Tidak dapat dipungkiri oleh siapapun, bahwa anak adalah generasi penerus, baik bagi orang tua, bangsa maupun agama. Baik buruknya anak, akan menjadi apa mereka, tergantung bagaimana orang tua, bangsa maupun agama mendidik mereka.

77

Iman Jauhari, I,Op cit, hal. 233

78Ibid, hal. 237

anak terlantar diperlihara oleh negara”. Namun pada kenyataannya, banyak anak-anak yang hidup di jalanan tanpa ada perhatian atas nasib mereka dari Pemerintah. Hal ini sungguh menyedihkan mengingat mereka tidak dapat merasakan keindahan dan kebahagian di masa kecil mereka sebagaimana yang dirasakan anak-anak lain yang seusia dengan mereka.

Pada prinsipnya anak berhak diasuh oleh orang tuanya karena orang tualah yang paling bertanggungjawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Orang tua pula yang memiliki ikatan batin yang khas dan tidak tergantikan oleh apapun dan/atau siapapun. Ikatan yang khas inilah yang kemudian akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga menjadi dewasa. Jika ikatan yang khas tersebut menorehkan warna positif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, maka anak akan mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal. Sebaliknya, jika kekhasan hubungan dengan orang tua ini menorehkan warna yang negatif, maka hal itu akan sangat berpengaruh terhadap masa depan anak secara potensial.80

Mengingat pentingnya perlindungan anak dalam rangka menjamin kondisi terbaik yang dapat diterima oleh setiap anak dalam masa pertumbuhan dan perkembangnnya, maka Pemerintah Indonesia pada tanggal 22 Oktober 2002 Pemerintah telah mengesahkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini dimaksudkan untuk menghindarkan hal-hal yang negatif terhadap

karena itu, jika anak tersebut tidak memiliki orang tua lagi dan tidak ada sanak saudaranya lagi atau saudaranya tidak mampu memberikan perlindungan kepadanya, maka undang-undang memberikan kemungkinan dalam menjamin perlindungan terhadap anak tersebut dengan menyediakan lembaga pengasuhan anak. Hal pengasuhan anak tersebut diatur dalam Bab VIII Bagian Kesatu Pasal 37 Undang-Undang Perlindungan Anak.

Pengasuhan anak ditujukan agar anak mendapat jaminan untuk tumbuh kembang anaknya secara wajar, baik fisik, spiritual maupun sosialnya. Pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu, yaitu lembaga yang sah yang bergerak dalam pengasuhan anak.81

Untuk menjamin bahwa lembaga pengasuhan anak melaksanakan perlindungan terhadap tumbuh kembang anak maka Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Perlindungan Anak menentukan bahwa “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

a. diskriminasi;

b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran;

d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan

Penyelenggaraan asuhan bagi anak bertujuan agar terpenuhinya kebutuhan pokok anak sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara wajar sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilki baik secara rohani, jasmani maupun sosial.

4. Hak Untuk Mengetahui Asal-Usul

Pasal 7 dan Pasal 7 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwasannya anak berhak untuk mengetahui identitas dirinya, dan orangtuanya. Dalam Hukum Islam asal usul seorang anak (nasab) dapat diketahui berdasarkan cara-cara berikut:

1. Al Firasy, yaitu berdasarkan kelahiran karena adanya perkawinan yang sah. 2. Iqrar, yaitu pengakuan yang dilakukan oleh seseorang terhadap anak dengan

menyatakan bahwa anak tersebut adalah anaknya.

3. Bayyinah, yaitu dengan cara pembuktian bahwa berdasarkan bukti-bukti yang sah, seorang anak itu betul adalah anak dari yang melakukan pembuktian tersebut.82

Dalam Kompilasi Hukum Islam asal-usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya. Bila alat bukti atau alat bukti lainnya tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah. Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut, maka instansi Pencatat

akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.83

Berdasarkan Pasal 55 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, asal-usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.

Akte kelahiran autentik di sini dimaksudkan adalah akte kelahiran yang dibuat oleh pejabat atau instansi pencatat kelahiran. Bila akte kelahiran tidak ada, Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. Pembuktian ini bisa berdasarkan surat kelahiran yang dibuat oleh sebuah rumah sakit atau poliklinik bersalin atau oleh seorang bidan bersalin atau keterangan pelaporan yang diberikan orang tua kepada kepala kampung/kelurahan. Pembuktian ini juga dapat dikuatkan dengan saksi-saksi karena berdasarkan ketentuan di atas menekankan pada pembuktian yang didasarkan atas bukti-bukti yang memenuhi syarat. Jika telah ada ketetapan Pengadilan tentang asal-usul anak, maka penetapan tersebut disampaikan kepada instansi pencatat kelahiran untuk kemudian dikeluarkan akte kelahiran anak yang merupakan bukti autentik tentang asal-usul anak.84

Dalam Hukum Perdata penetapan asal-usul anak dapat dilakukan dengan pengakuan secara sukarela dan pengakuan yang dipaksakan. Pengakuan anak secara sukarela merupakan pernyataan yang ditentukan dalam hukum perdata bahwa seorang ayah dan ibu atau ibunya mengakui seorang anak yang lahir dari seorang ibu itu benar adalah anak dari hasil dari hubungan biologis mereka dan hubungan itu tidak dalam ikatan perkawinan yang sah, serta bukan karena hubungan zina dan sumbang. Sedangkan pengakuan yang dilaksanakan adalah pengakuan yang terjadi karena adanya putusan hakim dalam suatu gugatan asal-usul seorang anak. Hal ini berkaitan dengan Pasal 287 ayat (2) KUH Perdata yang menentukan bahawa apabila terjadi

83Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam

KUH Pidana maka atas kejahatan itu dapat diajukan ke pengadilan. Berdasarkan bukti-bukti yang kuat, hakim dapat menetapkan bahwa laki-laki yang berbuat jahat itu sebagai bapak yang sah dari seorang anak yang lahir dari perbuatan jahatnya.

Dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, identitas anak harus diberikan sejak kelahirannya yang dituangkan dalam akte kelahiran.”Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahirann. Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akte kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya”.85

“Pembuatan akte kelahiran ini menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan oleh serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/ desa”.86

C. Hubungan Orang Tua dan Anak

Berdasarkan ketentuan hukum Indonesia, Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya".

Dokumen terkait