TESIS
Oleh
M I R A N T Y
087011081/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
M I R A N T Y
087011081/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nomor Pokok : 087011081
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Sanwani Nasution, SH)
Pembimbing Pembimbing
(Notaris Syafnil Gani, SH, MHum) (Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Sanwani Nasution, SH
Anggota : 1.Notaris Syafnil Gani, SH, MHum
2.Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
Nama : M I R A N T Y
Nim : 087011081
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK
HASIL PERKAWINAN YANG TIDAK DICATATKAN
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
terdapat pada pasal 2 Undang-Undang Perkawinan. Perkawinan yang telah melalui pencatatan mengandung kemaslahatan bagi umum, artinya perkawinan tersebut melindungi hak asasi kaum wanita, sebab menurut hukum positif Indonesia, perkawinan yang tidak dicatatkan atau nikah di bawah tangan tidak diakui sama sekali oleh negara. Perkawinan yang tidak dicatatkan mengakibatkan banyak anak yang tidak tercatat di catatan sipil. Imbasnya anak tidak memiliki indentitas karena UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mensyaratkan pengajuan akta kelahiran harus disertai dokumen perkawinan dari negara. Padahal tanpa akta kelahiran, anak akan kesulitan mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), paspor, mendaftar sekolah dan mendapat harta warisan.
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Dalam penelitian ini, metode penulisan dilakukan dengan pendekatan yuridis sosiologis. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer yang dimaksud di sini adalah data yang dikumpulkan melalui wawancara yang informannya yaitu pasangan suami-istri yang melakukan perkawinan yang tidak dicatatkan. Sedangkan data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Selanjutnya dilakukan analsisis data.
Dari hasil penelitian diketahui latar belakang dilakukannya perkawinan yang tidak dicatatkan, ada berbagai macam yaitu: 1) tidak terpenuhinya syarat-syarat untuk berpoligami terutama tidak adanya persetujuan dari isteri sebelumnya, 2) adanya PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990, dalam Pasal 4 ayat (1) diantaranya menyebutkan, bahwa pria yang berstatus Pegawai Negeri Sipil tidak boleh beristri lebih dari seorang, apabila itu terjadi wajib melapor dan memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat atau pimpinannya; 3) dikarenakan mereka masih awam, jadi adanya perasaan takut untuk berhadapan dengan pejabat nikah dan menganggap mereka lebih baik perkawinannya dilaksanakan di depan pemuka agama; 4) Agama sering dijadikan dalil untuk melegitimasi keinginan – keinginan tertentu yang subjektif; dan anggapan orang Indonesia pada umumnya wanita yang tidak menikah ataupun belum menikah itu “kurang dihargai”. Kedudukan hukum atas anak yang lahir dari hasil perkawinan yang tidak dicatatkan yaitu sebagai anak di luar nikah yang sah. Oleh karena perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap bukanlah pernikahan yang sah oleh negara tetapi sah menurut agama, maka anak yang dilahirkan dalam pernikahan tersebut dikategorikan sebagai anak luar perkawinan yang sah. Dalam arti bagi anak tersebut dikeluarkan akta kenal lahir yang isinya adalah anak tersebut lahir dari seroang wanita yang tanpa kawin. Perlindungan hukum yang dapat di berikan kepada anak yang lahir dari hasil perkawinan yang tidak dicatatkan adalah dengan cara pengakuan anak baik oleh ayahnya ataupun oleh kedua orang tuanya sebagaimana diatur dalam Pasal 280 – Pasal 281 KUHPerdata. Undang-undang Perkawinan tidak memberikan perincian mengenai pengakuan anak di luarkawin.
Marriage Implementation. The regulation on the legal marriage and marriage registration is found in Article 2 of Law on Marriage. The marriage that has been registered brings a benefit for people in general, meaning that the marriage protects women’s rights, because according to positive law of Indonesia, the unregistered or underhanded marriage is not recognized at all by the state. The unregistered marriage has resulted in many children who are not registered in the Civil Registration Office. The impact is that the children do not have identity card because Law No. 23/2006 on Population Administration says that if community members want to apply for birth certificate, their state-issued marriage certificate must be attached to their application letter. In fact, without birth certificate, the children will find difficulty to obtain Identification Card and Passport, to register them to school, and to get their legacy.
This is a normative legal study wiyh sociological juridical approach. The data for this study were primary and secondary data. The primary data were obtained through interviews with the informants comprising the husband and wife whose marriage is unregistered. The secondary data were obtained through documentation study. The data obtained were then analyzed.
The result of this study showed that the unregistered marriage was done because of several factors such as 1) financial (cost), 2) certain consideration such as negative stigma saying that doing the underhanded marriage is taboo, 3) cannot meet the requirement to do a polygamy especially because there is no letter of consent from the present qife, 4) being afraid of violating Article 4 (1) of No. 45/1990 (for the one with PNS/Civil Servant status), 5) feeling afraid to see the marriage officer, and 6) the belief in the community members that a women who is not or has not married is less respected is less. The legal position for the child born from the unregistered married couple is regarded as a child outside of legal marriage. Therefore, the unregistered marriage is regarded as illegal marriage by the state but legal according to religion, thus the child born from the unregistered marriage is categorized as the one outside of legal marriage. A birth certificate is also issued for this child with a statement saying that this child was born from an unmarried woman. Legal protection that can be given to the child born from an unregistered marriage is that the child must be recognized by his/her father or both father and mother as regulated in Articles 280-281 of the Indonesia Civil Codes. The law on Marriage does not provide the detail on the recognition of the child born from the parents with unregistered marriage.
dan anugerahNya, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK HASIL PERKAWINAN
YANG TIDAK DICATATKAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974. Penulis menyadari bahwa bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung sangat membantu
penulis dalam menyelesaikan tesis ini, Selanjutnya ucapan terima kasih penulis
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp. A(K) selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Program Studi Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada
Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah
memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan
tesis ini.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum selaku Sekretaris Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang
telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan
penulisan tesis ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
tengah kesibukan beliau, namun telah memberikan perhatian yang terbaik dalam
melakukan bimbingan baik yang diterima melalui materi perkuliahan maupun
bahan-bahan lainnya dan melakukan bimbingan dengan penuh disiplin kepada
penulis dalam rangka menyelesaikan penelitian ini pada Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan.
7. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan Dr. T. Keizerina Devi Azwar,
SH, CN, M.Hum sebagai Tim Penguji walaupun ditengah tengah kesibukan
beliau, namun tetap memberikan perhatian dan bantuan, dan memberikan saran
dan masukan kepada penulis dalam rangka menyelesaikan tesis ini.
8. Seluruh Staf Akademik, Staf Sub Bagian Akademik dan Sub Bagian
Administrasi Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
9. Kedua orangtua Saya tercinta, H. Jufri Ragani, SE, MBA dan Hj. Barbara Shelly.
Rasa terimakasih yang sungguh luar biasa atas doa dan dorongan yang tak
henti-hentinya baik secara moral dan materiil, dukungan yang tak pernah putus dan
kepercayaan yang penuh dari beliau berdua adalah motivasi yang menguatkan
bagi penulis sehingga dapat menyelesikan Program Studi ini dengan baik.
10. Suami tercinta dr. H. Rizky Pratama Yudha Lubis, dan anakku tersayang Raisha
Qania Rizanty Lubis yang telah memberikan dukungan, doa dan kesabarannya.
11. Kedua saudaraku tersayang buat Mbakku Suci Mulani, SH dan Keluarga,
Abangda drg. Dicky Fachriza dan Keluarga, yang selalu mau mendoakan,
mendengarkan, menghibur, dan mengingatkan penulis.
12. Management PT. Bank CIMB Niaga Tbk Medan, baik di cabang Bukit Barisan,
banyak membantu dalam menyelesaikan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini masih banyak
kekurangan dan kekeliruan yang disebabkan keterbatasan pengetahuan penulis. Oleh
karena itu apabila ada kritik dan saran yang membangun guna menyempurnakan
penulisan ini maka akan penulis terima dengan senang hati.
Medan, September 2010 Penulis,
Nama : Miranty, SH, MKn
Tempat Tanggal Lahir : Tanjung Gading, 14 April 1986
Alamat : Jalan Sunggal No. 258 Medan
II. ORANG TUA
Nama Ayah : H. Jufri Ragani, SE, MBA
Nama Ibu : Hj. Barbara Shelly
III. PENDIDIKAN
SD Negeri 2 Air Putih Kabupaten Asahan Tamat Tahun 1998
SMP Negeri 1, Medan Tamat Tahun 2001
SMA Negeri 1, Medan Tamat Tahun 2004
S-1, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan Tamat Tahun 2009
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP... vi
DAFTAR ISI... vii
DAFTAR ISTILAH ... ix
DAFTAR SINGKATAN... x
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Keaslian Penelitian... 10
F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 12
G. Metode Penelitian... 29
BAB II LATAR BELAKANG DILAKUKANNYA PERKAWINAN YANG TIDAK DICATATKAN... 33
A. Tinjauan Atas Perkawinan yang tidak dicatatkan ... 33
1. Syarat-syarat Perkawinan... 33
2. Sahnya Perkawinan ... 40
3. Status Perkawinan yang tidak dicatatkan... 51
B. Latar Belakang Dilakukannya Perkawinan yang tidak dicatatkan ... 64
BAB III KEDUDUKAN HUKUM ATAS ANAK YANG LAHIR DARI HASIL PERKAWINAN YANG TIDAK DICATATKAN... 73
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM YANG DAPAT DI BERIKAN KEPADA ANAK YANG LAHIR
DARI HASIL PERKAWINAN YANG TIDAK DICATATKAN.. 103
A. Hukum Perlindungan Anak ... 103
B. Perlindungan Hukum Anak yang Lahir Dari Perkawinan yang Tidak Dicatatkan ... 111
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 128
A. KESIMPULAN ... 128
B. SARAN ... 130
perkawinan yang sah
Baligh : Sudah dewasa
Bayyinah : Alat Bukti
Bayyinah : Pembuktian bahwa berdasarkan bukti-bukti
yang sah, seorang anak itu betuk adalah anak dari yang melakukan pembuktian tersebut
Bayyinah sya’iyyah : Dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara
Dubius : Mendua
Equality before the law : Perlakuan yang sama di hadapan
Field research : Penelitian lapangan
Geslachtsrijp : Telah matang untuk bersetubuh
Hadhanah : Menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi
atau anak kecil
Hadhinah : Ibu pengasuh
Interview guide : Pedoman wawancara
Iqrar : Pengakuan
Iqrar : Pengakuan yang dilakukan oleh seseorang
terhadap anak dengan menyatakan bahwa anak tersebut adalah anaknya
Library research : Penelitian kepustakaan
Mahdhun : Anak yang diasuh
Minderjarig : Belum Dewasa
Mukallah : Dewasa
Nasab : Asal-usul seseorang
Natuurlijke kinderen : Anak-anak alam
Onwittege kinderen : Anak tidak sah
Sabi : Belum dewasa
Saghir : Belum dewasa
Sighat : Akad
Tawsiqy : Peraturan tambahan
The best interest of child : Kepentingan terbaik bagi anak
KCS : Kantor Catatan Sipil
KHA : Konvensi Hak Anak
KUA : Kantor Urusan Agama
KUH Perdata : Kitab Undang-undang Hukum Perdata
UDHR : Universal Declaration of Human Right
terdapat pada pasal 2 Undang-Undang Perkawinan. Perkawinan yang telah melalui pencatatan mengandung kemaslahatan bagi umum, artinya perkawinan tersebut melindungi hak asasi kaum wanita, sebab menurut hukum positif Indonesia, perkawinan yang tidak dicatatkan atau nikah di bawah tangan tidak diakui sama sekali oleh negara. Perkawinan yang tidak dicatatkan mengakibatkan banyak anak yang tidak tercatat di catatan sipil. Imbasnya anak tidak memiliki indentitas karena UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mensyaratkan pengajuan akta kelahiran harus disertai dokumen perkawinan dari negara. Padahal tanpa akta kelahiran, anak akan kesulitan mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), paspor, mendaftar sekolah dan mendapat harta warisan.
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Dalam penelitian ini, metode penulisan dilakukan dengan pendekatan yuridis sosiologis. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer yang dimaksud di sini adalah data yang dikumpulkan melalui wawancara yang informannya yaitu pasangan suami-istri yang melakukan perkawinan yang tidak dicatatkan. Sedangkan data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Selanjutnya dilakukan analsisis data.
Dari hasil penelitian diketahui latar belakang dilakukannya perkawinan yang tidak dicatatkan, ada berbagai macam yaitu: 1) tidak terpenuhinya syarat-syarat untuk berpoligami terutama tidak adanya persetujuan dari isteri sebelumnya, 2) adanya PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990, dalam Pasal 4 ayat (1) diantaranya menyebutkan, bahwa pria yang berstatus Pegawai Negeri Sipil tidak boleh beristri lebih dari seorang, apabila itu terjadi wajib melapor dan memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat atau pimpinannya; 3) dikarenakan mereka masih awam, jadi adanya perasaan takut untuk berhadapan dengan pejabat nikah dan menganggap mereka lebih baik perkawinannya dilaksanakan di depan pemuka agama; 4) Agama sering dijadikan dalil untuk melegitimasi keinginan – keinginan tertentu yang subjektif; dan anggapan orang Indonesia pada umumnya wanita yang tidak menikah ataupun belum menikah itu “kurang dihargai”. Kedudukan hukum atas anak yang lahir dari hasil perkawinan yang tidak dicatatkan yaitu sebagai anak di luar nikah yang sah. Oleh karena perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap bukanlah pernikahan yang sah oleh negara tetapi sah menurut agama, maka anak yang dilahirkan dalam pernikahan tersebut dikategorikan sebagai anak luar perkawinan yang sah. Dalam arti bagi anak tersebut dikeluarkan akta kenal lahir yang isinya adalah anak tersebut lahir dari seroang wanita yang tanpa kawin. Perlindungan hukum yang dapat di berikan kepada anak yang lahir dari hasil perkawinan yang tidak dicatatkan adalah dengan cara pengakuan anak baik oleh ayahnya ataupun oleh kedua orang tuanya sebagaimana diatur dalam Pasal 280 – Pasal 281 KUHPerdata. Undang-undang Perkawinan tidak memberikan perincian mengenai pengakuan anak di luarkawin.
Marriage Implementation. The regulation on the legal marriage and marriage registration is found in Article 2 of Law on Marriage. The marriage that has been registered brings a benefit for people in general, meaning that the marriage protects women’s rights, because according to positive law of Indonesia, the unregistered or underhanded marriage is not recognized at all by the state. The unregistered marriage has resulted in many children who are not registered in the Civil Registration Office. The impact is that the children do not have identity card because Law No. 23/2006 on Population Administration says that if community members want to apply for birth certificate, their state-issued marriage certificate must be attached to their application letter. In fact, without birth certificate, the children will find difficulty to obtain Identification Card and Passport, to register them to school, and to get their legacy.
This is a normative legal study wiyh sociological juridical approach. The data for this study were primary and secondary data. The primary data were obtained through interviews with the informants comprising the husband and wife whose marriage is unregistered. The secondary data were obtained through documentation study. The data obtained were then analyzed.
The result of this study showed that the unregistered marriage was done because of several factors such as 1) financial (cost), 2) certain consideration such as negative stigma saying that doing the underhanded marriage is taboo, 3) cannot meet the requirement to do a polygamy especially because there is no letter of consent from the present qife, 4) being afraid of violating Article 4 (1) of No. 45/1990 (for the one with PNS/Civil Servant status), 5) feeling afraid to see the marriage officer, and 6) the belief in the community members that a women who is not or has not married is less respected is less. The legal position for the child born from the unregistered married couple is regarded as a child outside of legal marriage. Therefore, the unregistered marriage is regarded as illegal marriage by the state but legal according to religion, thus the child born from the unregistered marriage is categorized as the one outside of legal marriage. A birth certificate is also issued for this child with a statement saying that this child was born from an unmarried woman. Legal protection that can be given to the child born from an unregistered marriage is that the child must be recognized by his/her father or both father and mother as regulated in Articles 280-281 of the Indonesia Civil Codes. The law on Marriage does not provide the detail on the recognition of the child born from the parents with unregistered marriage.
A. Latar Belakang
Perkawinan adalah sebuah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa,
agar kehidupan manusia dapat berkembang. Sistem perkawinan dan aturannya yang
berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu Bangsa, tidak terlepas dari pengaruh
budaya dan lingkungan, dimana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakat
yang dipengaruhi oleh pengetahuan, pegalaman, kepercayaan dan keragaman yang
dianut oleh masyarakat.
UU No. 1 Tahun 1974 menganut prinsip-prinsip perkawinan yang telah
disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Adapun prinsip-prinsip
yang tercantum dalam Undang-undang ini adalah sebagai berikut:
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu, suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masingmasing dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan material dan spiritual.
b. Dalam Undang-undang Perkawinan tersebut dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan sama halnya dengan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran dan kematian. c. Undang-undang Perkawinan ini menganut asas monogami relatif terbuka,
artinya seorang suami dapat beristri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan dan istri mengijinkannya, meskipun dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan diijinkan oleh istri akan tetapi tetap harus dipenuhi berbagai persyaratan serta diputuskan oleh pengadilan.
agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapat keturanan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur.
e. Undang-undang Perkawinan ini seirama dengan ajaran agama yaitu mempersulit terjadinya perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal akibat perbuatan manusia. f. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang, berarti tidak berat sebelah.1
Perkawinan adalah suatu hak asasi yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (1)
Perubahan II UUD 1945 dan kemudian dalam tataran praktisnya diatur dalam UU No
1 Tahun 1974.
Dalam Pasal 1 Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang selanjutnya di sebut UU No. 1 Tahun 1974, dikatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi menurut UU Perkawinan, suatu perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dan wanita, yang berarti perkawinan bukan hanya suatu perikatan akan tetapi merupakan perikatan keagamaan.2
UU No. 1 Tahun 1974 diundangkan dan diberlakukan bersamaan dengan
dikeluarkannya peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 tentang pelaksanaan perkawinan. Menurut Undang-undang perkawinan
dikatakan: "perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
1Hilman Hadikusuma,Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat
dan Hukum Agama,CV Mandar Maju : Bandung, 2007, hal. hal. 7-8
Berdasarkan pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan itu dilangsungkan
untuk selama-lamanya serta harus didasarkan atas rasa cinta dan kasih sayang dan
menerima apa adanya untuk terciptanya rumah tangga yang bahagia dan kekal.
Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal
2 Undang-Undang Perkawinan, yang berbunyi: "(1) Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, kemudian
dalam ayat (2) disebutkan bahwa "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku".
Dari uraian diatas berarti untuk sahnya suatu perkawinan selain didasarkan
atas agama dan kepercayaan juga harus didaftarkan kepada pegawai pencatat
perkawinan yang berwenang. Pencatatan perkawinan dimaksudkan untuk
menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas dan diakui oleh negara. Hal itu
penting untuk menentukan kedudukan hukum seseorang, dimana kedudukan hukum
tersebut, membawa serta hak dan kewenangan tertentu untuk bertindak dalam
hukum.
Sahnya perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974
yang menyebutkan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”
Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau
melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut adalah sah
terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini
di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang
dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan, tentang
pencatatan perkawinan.
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9
tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang melakukan perkawinan
menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatkan
perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam, cukup
menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9 tahun 1975.
“Perkawinan yang telah melalui pencatatan mengandung kemaslahatan bagi
umum, artinya perkawinan tersebut melindungi hak asasi kaum wanita, sebab
menurut hukum positif Indonesia, perkawinan yang tidak dicatatkan atau nikah di
bawah tangan tidak diakui sama sekali oleh negara”.3
Akibat hukum dari perkawinan yang tidak dicatatkan, walaupun secara agama
atau kepercayaan dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar
pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan
hukum yang tetap dan dianggap tidak sah di mata hukum Negara. Akibat hukum
3
perkawinan tersebut berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan
umumnya, baik secara hukum maupun sosial, serta bagi anak yang dilahirkan.
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak
sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari
hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa
dan bernegara anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa,
sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang,
berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi
serta hak sipil dan kebebasan.
Dalam perspektif hukum, hak anak memiliki aspek yang universal terhadap
kepentingan anak. Dalam pandangan hukum, hak anak memberikan gambaran bahwa
tujuan dasar kehidupan manusia adalah membangun manusia yang memegang teguh
ajaran agama. Dengan demikian, hak anak dalam pandangan hukum meliputi aspek
hukum dalam lingkungan hidup seseorang.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam
Bab III Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 mengatur hak-hak anak sebagai berikut :
1) Hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4);
3) Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan
tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua (Pasal 6);
4) Hak unuk mengetahui orangtuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orangtuanya
sendiri (Pasal 7);
5) Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan
kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8);
6) Hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (Pasal 9
ayat (1));
7) Hak untuk memperoleh pendidikan luar biasa bagi anak yang cacat, dan hak
untuk mendapatkan pendidikan khusus bagi anak yang memiliki keunggulan
(Pasal 9 ayat (2));
8) Hak untuk menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan
memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya (Pasal 10);
9) Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang
sebaya, bermain, berkreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat
kecerdasannya demi pengembangan diri (Pasal 11);
10) Hak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf
11) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun
yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak untuk mendapat perlindungan
dari perlakuan :
a. Diskriminasi;
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. Penelantaran;
d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan;
e. Ketidakadilan; dan
f. Perlakuan salah lainnya (Pasal 13)
12) Hak untuk diasuh oleh orangtuanya, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan
hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan
terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir (Pasal 14);
13) Hak untuk memperoleh perlindungan dari:
a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
e. Pelibatan dalam peperangan (Pasal 15);
14) Hak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi (Pasal 16 ayat (1));
15) Hak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum (Pasal 16 ayat (2));
a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya yang
dipisahkan dari orang dewasa;
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap
tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang
objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
17) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17 ayat (2));
18) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan
bantuan hukum dan bantuan lainnya (Pasal 18).
Hak-hak anak tersebut merupakan hak-hak dasar anak yang harus dipenuhi
oleh setiap orang tua yang merupakan tanggung jawabnya.
Perkawinan yang tidak dicatatkan menyebabkan banyak anak yang menjadi korban karena tidak mempunyai identitas. Berdasarkan pengaduan di Komnas Perlindungan Anak pada 2009 terdapat 122 kasus penelantaran anak yang terkait dengan imbas negatif dari perkawinan yang tidak tercatat. Menurut pantauan Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada 2009 sedikitnya ada 2,5 juta perkawinan, dari jumlah itu sekitar 34,5%-nya atau sekitar 600 ribu pasangan merupakan pasangan yang menikah di usia dini. Sebagian besar yang menikah di usia dini biasanya kawin yang tidak dicatatkan.4
Oleh karena kelahirannya tidak tercatat, maka anak-anak dari perkawinan
yang tidak dicatatkan tidak mempunyai identitas resmi di hadapan hukum di negara
mereka dilahirkan atau negara asal orangtua mereka.
4 Cornelius Eko Susanto, “Perkawinan yang tidak dicatatkan Korbankann Anak”, Harian
Perkawinan yang tidak dicatatkan mengakibatkan banyak anak yang tidak tercatat di catatan sipil. Imbasnya anak tidak memiliki indentitas karena UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mensyaratkan pengajuan akta kelahiran harus disertai dokumen perkawinan dari negara. Padahal tanpa akta kelahiran, anak akan kesulitan mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), paspor, mendaftar sekolah dan mendapat harta warisan.5
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan yang perlu dibahas adalah sebagai berikut :
1. Apakah yang menjadi latar belakang dilakukannya perkawinan yang tidak
dicatatkan ?
2. Bagaimanakah kedudukan hukum atas anak yang lahir dari hasil perkawinan
yang tidak dicatatkan?
3. Bagaimanakah perlindungan hukum yang dapat di berikan kepada anak yang
lahir dari hasil perkawinan yang tidak dicatatkan?
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat
dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa yang menjadi latar belakang dilakukannya perkawinan
yang tidak dicatatkan.
2. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan hukum atas anak yang lahir dari hasil
perkawinan yang tidak dicatatkan.
3. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum yang dapat di berikan
kepada anak yang lahir dari hasil perkawinan yang tidak dicatatkan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Secara teoritis hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi perkembangan
ilmu pengetahuan hukum bidang keperdataan serta menambah khasanah
perpustakaan.
2. Secara praktis bahwa penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi
ilmu pengetahuan hukum mengenai perlindungan hukum terhadap anak hasil
perkawinan yang tidak dicatatkan berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 terutama
bagi para praktisi hukum, Notaris dan juga para akademisi.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik
terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan
khususnya pada Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara belum ada
penelitian yang menyangkut masalah Perlindungan hukum terhadap anak hasil
perkawinan yang tidak dicatatkan berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun
Akan tetapi ada beberapa penelitian tesis yang telah dilakukan sebelumnya
yang berkaitan dengan perkawinan, yaitu sebagai berikut :
1. Lisdawarta Purba, mahasiswi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana
USU dengan judul penelitian “Perceraian Atas perkawinan Yang Tidak
Didaftarkan di kantor Catatan Sipil dan Akibat Hukumnya Terhadap Hak
Anak (Kajian pada Masyarakat Karo di Kecamatan Tigapanah), dengan
permasalahan sebagai berikut :
1). Bagaimana keabsahan suatu perkawinan yang tidak didaftarkan di Kantor
Catatan Sipil pada masyarakat Karo di Kecamatan Tigapanah ?
2). Bagaimana tanggung jawab orang tua setelah perceraian terhadap
pemeliharaan serta nafkah hidup anak pada masyarakat Karo di Kecamatan
Tigapanah ?
3). Bagaimana hubungan hukum antara anak dengan kedua orang tuanya dan
kerabat kedua orang tuanya setelah perceraian di Kecamatan Tigapanah ?
2. Rehbana, mahasiswi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana USU dengan
judul penelitian “ Kedudukan Anak Terhadap Harta Warisan Dari Orangtuanya
yang Perkawinannya Tidak Dicatatkan di Kantor Catatan Sipil : Pada
Masyarakat Tionghoa Kota Medan, dengan permasalahan sebagai berikut :
1). Mengapa warganegara Indonesia keturunan Tionghoa di Kota Medan tidak
mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil ?
2). Bagaimana tanggung jawab orang tuanya terhadap nafkah anak yang lahir
3). Bagaimana hak anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan di
Kantor Catatan Sipil terhadap harta peninggalan dari orang tua
biologisnya?
Dilihat dari titik permasalahan kedua penelitian tersebut di atas, terdapat
perbedaan-perbedaan dengan topik permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini. Dengan demikian, penelitian ini benar-benar asli baik dari segi
substansi maupun dari segi permasalahan, sehingga dengan demikian, penelitian ini
dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas
penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.6 Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi7 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat
menunjukkan ketidak-benaran.
”Kerangka teori yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kerangka
pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, dari para penulis ilmu hukum di
bidang hukum perjanjian dan hukum perkawinan, yang menjadi bahan perbandingan,
6
Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press : Jakarta, 1986, hal. 6
7 J.J.J. M.Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting : M. Hisyam,
pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan
masukan eksternal bagi penulisan tesis ini.”8
“Teori ilmu hukum juga bertujuan untuk menjelaskan kejadian-kejadian
dalam bidang hukum dan mencoba untuk memberikan penilaian. Menurut Radburch
tugas dari teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum
sampai kepada dasar-dasar filsafat yang paling dalam”.9
Dalam penelitian ini, teori hukum yang dipakai adalah teori keadilan.
Aristoteles membedakan antara keadilan “distributif” dan keadilan “korektif” atau “remedial”. Keadilan distributif mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya di dalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan di hadapan hukum (equality before the law). Keadilan jenis ini menitikberatkan kepada kenyataan fundamental dan selalu benar, walaupun selalu dikesampingkan oleh hasrat para filsuf hukum untuk membuktikan kebenaran pendirian politiknya, sehingga cita keadilan secara teoritis tidak dapat memiliki isi yang tertentu sekaligus sah. Keadilan yang kedua pada dasarnya merupakan ukuran teknik dari prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum. Dalam mengatur hubungan hukum harus ditemukan suatu standar yang umum untuk memperbaiki setiap akibat dari setiap tindakan, tanpa memperhatikan pelakunya dan tujuan dari perilaku-perilaku dan obyek-obyek tersebut harus diukur melalui suatu ukuran yang obyektif.10
Dalam praktiknya keadilan secara operasional didefenisikan sebagai tindakan
yang sesuai dengan hukum yang pada gilirannya mengandung keadilan substatif dan
prosedural. Keadilan substantif mengandung berbagai elemen keadilan yang terdapat
8Ibid, hal. 80
9http://tubiwityu.typepad.com/blog/2010/02/teori-hukum.html,Teori Hukum, diakses tanggal
23 Juli 2010
dalam materi hukum, sedangkan keadilan prosedural mengadung aturan prosedur
yang memastikan ketercapaian keadilan yang terdapat dalam materi hukum.11
Apabila dikaitkan dengan permasalah yang menjadi pokok permasalahan
dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
adalah sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Jadi perkawinan yang sah menurut hukum
perkawinan nasional adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan
hukum yang berlaku dalam agama Islam, Kristen/Katolik, Hindu/Budha. Kata
“hukum masing agamanya” berarti hukum dari salah satu agama itu
masing-maisng, bukan berarti “hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang
dianut oleh kedua mempelai atau keluarganya.
“Perkawinan yang sah apabila terjadi perkawinan antar agama, adalah
perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama
calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap
agama yang dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya.”12
Undang-undang secara lengkap mengatur syarat-syarat perkawinan baik yang
menyangkut orangnya, kelengkapan administrasi, prosedur pelaksanaannya dan
11Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor,Pengantar Keuangan Islam Teori dan Praktik, Kencana
Prenada Media Group : Jakarta , 2008,hal. 14
mekanismenya. Adapun syarat-syarat yang lebih dititikberatkan kepada orangnya
diatur dalam undang-undang sebagai berikut :
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua
puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya.
3. dalam hal salah satu dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud cukup
diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
Dalam hukum Islam syarat sahnya suatu pernikahan adalah dengan adanya
wali dan dua orang saksi, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, yang “Artinya, tidak sah nikah seseorang kecuali dengan dihadiri wali dan
dua orang saksi yang adil”.
Untuk melaksanakan suatu pernikahan maka harus dipenuhi rukun nikah yang
terdiri dari :
1. sighat (akad) ijab-qabul
3. dua orang saksi13
Pernikahan atau perkawinan diawali dengan adanya ijab qabul. Ijab adalah
pernyataan dari calon pengantin perempuan yang diwakili oleh wali yaitu suatu
pernyataan dari perempuan sebagai kehendak untuk mengikatkan diri dengan seorang
laki-laki sebagai suami sah. Sedangkan qabul adalah penyataan penerimaan dari calon
pengantin laki-laki.
Pihak yang menjadi orang yang memberikan ijin berlangsungnya akad nikah
disebut wali. Wali nikah hanya ditetapkan bagi pihak perempuan. Adapun syarat
menjadi wali adalah sebagai berikut :
1. Islam
7. Tidak sedangihram/umrah14
Ketentuan saksi dalam pernikahan harus ada dua orang dengan beberapa syarat
yang harus dipenuhi secara kumulatif, yaitu :
1. baligh 8. mengerti maksud ijab qabul 9. kuat ingatannya
13
Sudarsono,Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta : Jakarta, 2005, hal. 49
10. berakhlak baik
11. tidak sedang menjadi wali
Menurut Syekh Jaad Al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq, membagi ketentuan yang
mengatur pernikahan pada 2 (dua) kategori yaitu :
1. Peraturan Syara’, yaitu peraturan yang menentukan sah atau tidak sahnya sebuah pernikahan. Peraturan ini adalah peraturan yang ditetapkan oleh syari’at Islam yaitu adanya ijab kabul dari masing-masing dua orang yang berakad (wali dan calon suami) yang diucapkan pada majelis yang sama, dengan menggunakan lafal yang yang menunjukkan telah terjadinya ijab dan kabul yang diucapkan oleh masing-masing dari dua orang yang mempunyai kecapakan untuk melakukan akad menurut hukum syara’, serta dihadiri oleh dua orang saksi yang telah baliq.
2. Peraturan yang bersifat tawsiqy, yaitu peraturan tambahan yang bermaksud agar pernikahan di kalangan umat Islam tidak liar, tetapi tercatat dengan memakai surat akad nikah secara resmi yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang. Secara administratif ada peraturan yang mengharuskan agar suatu pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kegunaannya agar sebuah lembaga perkawinan yang mempunyai tempat yang sangat penting dan strategis dalam masyarakat Islam, dapat dilindungi dari adanya upaya-upaya negatif dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.15
Perkawinan yang telah melalui pencatatan adanya kemaslahatan bagi umum,
artinya kaum wanita terlindungi hak asasinya, tidak dilecehkan. Sebab menurut
hukum positif Indonesia, perkawinan dibawah tangan itu tidak diakui sama sekali.
Ikatan perkawinan diakui secara hukum hanya jika dicatat oleh petugas
yang-ditunjuk oleh kantor urusan agama (KUA).
Dari penjelasan-penjelasan tersebut jelaslah bahwa sistem hukum Indonesia
tidak mengenal istilah "perkawinan yang tidak dicatatkan atau kawin di bawah
15 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer : Analisis
tangan" dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah
peraturan. Namun, secara sosiologis istilah ini diberikan bagi perkawinan yang
tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan
Undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam
Undang-undang perkawinan Pasal 2 ayat 2 yang berbunyi: "Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Istilah perkawinan yang tidak dicatatkan atau nikah yang dirahasiakan memang sudah dikenal di kalangan para ulama. Hanya saja perkawinan yang tidak dicatatkan yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan perkawinan yang tidak dicatatkan pada saat ini. Dahulu yang dimaksud dengan perkawinan yang tidak dicatatkan yaitu pernikahan sesuai dengan rukun-rukun perkawinan dan syaratnya menurut syari’at, hanya saja saksi diminta tidak memberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada walimatul-’ursy. Adapun perkawinan yang tidak dicatatkan yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam.16
Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil
adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa
dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah satu
bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah
dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara.
Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya
seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia jadikan sebagai alat
16Devita, “Akibat Perkawinan yang tidak dicatatkan”,
bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan
dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak
asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang
dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat buktisyar’iy.
Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan
pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy.
Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan
keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah
menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi,
sumpah, pengakuan(iqrar), dan lain sebagainya.
Berdasarkan penjelasan maka orang yang meperkawinan yang tidak dicatatkan
tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang
lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri
pernikahan yang tidak dicatatkan tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti
syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan
tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui
hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan
yang tidak dicatatkan tersebut.
Akibat hukum dari perkawinan yang tidak dicatatkan, meski secara agama atau kepercayaan dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan
dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukurn yang tetap
berdampak sangat merugikan bagi isteri dan perempuan pada umumnya, baik secara
hukum maupun sosial, serta bagi anak yang dilahirkan.
Perkawinan yang tidak dicatatkan dari segi hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang diperoleh oleh suami atau istri sangat berbeda cenderung banyak merugikan pihak si istri, terutama jika terjadi perceraian. Apabila dibandingkan dengan perkawinan yang tercatat, maka jika terjadi perceraian kedua belah pihak memperoleh hak dan kewajiban yang sama. Perbedaan utama dalam kedua macam perkawinan ini adalah soal pencatatan. Pada perkawinan yang tidak dicatatkan karena perkawinan itu tidak tercatat, maka kalau terjadi perceraian pun hanya dilakukan menurut tata cara agama, yaitu pengucapan talak yang disaksikan oleh dua saksi. Jadi tidak perlu melalui proses pengadilan sebagaimana perkawinan yang tercatat.17
Namun tidak demikian halnya dengan perkawinan yang tidak dicatatkan. Jika
terjadi perceraian maka akan sangat merugikan pihak isteri.
Oleh karena perkawinan yang tidak dicatatkan, maka dari perceraian itu si istri tidak akan mendapatkan hak apapun. Menurut pasal 6 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan yang tidak tercatat atau yang tidak dapat dibuktikan dengan surat nikah, tidak mempunyai akibat hukum apapun. Artinya jika suami atau istri tidak memenuhi kewajibanya, maka salah satu pihak tidak dapat menuntut apapun ke pengadilan, baik mengenai nafkah termasuk anak yang lahir atau harta bersama yang mereka peroleh selama perkawinan berlangsung. Bahkan jika salah satu pihak meninggal dunia (suami/istri) maka ia tidak dapat mewaris dari si istri atau suaminya itu. Perkawinan yang tidak dicatatkan ini risiko hukumnya sangat tinggi dan sangat merugikan kaum perempuan terutama pada anak-anak yang telah dilahirkan. Undang-undang perkawinan mengatur hak dan kewajiban antara orang tua dan anak yang menyangkut beberapa hal. Anak dalam bahasa Arab disebut “walad” yang merupakan satu kata yang mengandung penghormatan, sebagai makhluk Allah SWT yang sedang menempuh perkembangan ke arah abdi Allah yang saleh.18
Anak dalam hukum islam penggolongan sebagai anak dapat dijelaskan
sebagai berikut.
17http://www.asiamaya.com/konsultasi_hukum/perkawinan/perk_ dibawahtangan.htm,
“Perkawinan di Bawah Tangan”, dikutip tanggal 21 Fenruari 2010
18 Iman Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Pustaka
Dalam hukum Islam seorang anak masih belum dewasa (minderjarig)apabila ia belum berumur 15 (lima belas) tahun, kecuali jika ia sebelumnya itu sudah memperlihatkan telah matang untuk bersetubuh (geslachtsrijp), tetapi tidak kurang dari usia 9 (sembilan) tahun. Orang yang belum dewasa ini dalam hukum Islam biasanya disebut saghiratau sabi,sedangkan orang yang sudah dewasa dinamakan baligh.19
Sedangkan dalam hukum adat terdapat perbedaan penggolongan anak.
Hukum Adat tidak mengenal usia tertentu untuk mengatakan apakah seorang belum atau sudah dewasa. Hal ini tergantungkan pada keadaan yang dilihat apakah seorang anak sudah matang untuk bersetubuh dengan seorang dari jenis kelamin lain (geslachtsrijp) atau apakah seorang anak itu sudah cukup “kuat gawe” (kerja) untuk mencari nafkah sendiri secara menggarap sawah atau sebagainya. Dan biasanya ini terjadi pada usia lebih kurang 16 (enam belas) tahun.20
Di beberapa tempat di pulau Jawa juga diambil sebagai ukuran, apakah
seorang anak itu masih berdiam dengan orang tuanya atau sudah tidak
bergantung kepada orang tuanya lagi."
Dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
disebutkan “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan “Anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan”.
Dalam Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa:
Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu
19 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center
Publishing : Jakarta, 2002, hal. 56
20Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur : Bandung, 1960, hal. 63,
tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan
sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi
dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di
bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara
sebagaimana diatur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam bab ini.
Dari ketentuan Pasal 330 KUH Perdata di atas, maka yang dimaksud dengan
anak adalah mereka yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun.
“Di dalam lingkungan Hukum Adat, Hukum Islam maupun dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (BW), anak dari si peninggal warisan merupakan
golongan yang terpenting dan yang utama. Pada hakekatnya anak merupakan
satu-satunya golongan ahli waris, artinya sanak keluarga tidak menjadi ahli waris apabila
si peninggal warisan meninggalkan anak-anak.”21
Hubungan anak dengan orang tuanya menurut hukum adat sangat dipengaruhi oleh struktur genealogis atau menurut asas keturunan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan yaitu patrilineal, matrilineal atau parental.22 Dalam struktur patrilineal anak laki-laki maupun perempuan masuk ke dalam kekerabatan ayahnya, seluruh anggota kerabat ayah sangat penting artinya bagi anak-anak yang dilahirkan. Dengan demikian anak-anak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya dan anggota kerabat dari pihak ayah. Anak laki-laki dalam kerabat ini sesudah beristeri tetap tinggal menjadi anggota dan padanya dan membawa masuk isteri mereka selaku anggota baru, sedangkan bagi anak perempuannya meninggalkan kerabat asal mereka, untuk mengikuti suami mereka masing-masing ke dalam kerabat suami. Anak laki-laki mempunyai status yang utama di dalam kerabatnya.23
21Soedaharyo Soimin,Hukum Orang dan Keluarga : Perspektif Hukum Perdata Barat/BW,
Hukum Islam, dan Hukum Adat, Sinar Grafika : Jakarta, 2004, hal. 32
22Bushar Muhammad,Pokok-Pokok Hukum Adat, PT. Pradnya Paramita : Bandung, 1995,
hal. 3
Dalam struktur matrilineal anak laki-laki maupun perempuan masuk ke
dalam kekerabatan ibunya, seluruh anggota kerabat ibu sangat penting artinya bagi
anak-anak yang dilahirkan. Dalam struktur matrilineal ini terdiri dari beberapa
orang laki-laki dan perempuan bersaudara seibu beserta keturunan perempuan dari
saudara-saudara perempuan itu. Dalam struktur ini mempunyai anggota laki-laki
dan perempuan, tetapi anak-anak seorang anggota laki-laki tidaklah menjadi
anggota, karena mereka masuk ke dalam kerabat ibu mereka dalam suku lain.24 Struktur ini dianut seperti di Minangkabau (Sumatera Barat) dan Lampung
Paminggir.
Dalam struktur anak laki-laki maupun perempuan menjadi anggota dan
mempunyai hubungan hukum baik terhadap ayahnya maupun ibunya, seluruh
anggota keluarga dari ayah maupun dari ibu sama pentingnya bagi anak-anak yang
dilahirkan. Dalam struktur parental terdapat solidaritas antara suami isteri, bapak
dan anak-anaknya, ibu dan anak-anaknya, dan sesama anak.25 Struktur ini dianut antara lain di Jawa, Madura, Sulawesi dan Kalimantan serta Aceh.
Dalam Hukum Islam, kedudukan anak-anak di dalam pewarisan dapat dilihat
dalam surah An-Nissa ayat 7 yang artinya : “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian
yang telah ditetapkan.”
24Ibid, hal. 132-133
25M.G. Endang Sumiarni dan Chandera Halim,Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam
Dari bunyi surah An-Nisa’ ayat 7 tersebut terlihat bahwa anak-anak baik
perempuan maupun laki-laki memiliki hak yang sama dan merupakan yang utama di
dalam mewaris. Mengenai berapa bagian banyaknya warisan tersebut diatur dalam
Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 11 yang berbunyi ; Allah mensyaria’atkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang laki-laki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta.
Dalam ketentuan Bab IX UU Perkawinan, maka hanya dikenal 2 (dua)
golongan anak, yaitu:
1) Anak yang sah dari kedua orang tuanya;26
2) Anak yang hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga si ibu
yang melahirkannya.27
Sedangkan menurut Tan Thong Kie “Undang-undang mengenal anak-anak
sah dan anak-anak tidak sah (wittege en onwittege kinderen). Anak-anak tidak sah ini
juga diberi nama anak di luar nikah (natuurlijke kinderenatau anak-anak alam)”.28 Mengenai anak-anak di luar nikah (anak haram),Tan Thong Kie berpendapat :
Pada umumnya adalah anak-anak yang dibenihkan di luar pernikahan, undang-undang tidak memberi akibat hukum karena hubungan darah antara anak alam dan orang tuanya (hubungan haram). Hubungan alam tersebut berubah menjadi hubungan hukum pada saat orang tuanya atau salah satunya mengakui anak itu.
26Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 27Pasal 43 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
28 Tan Thong Kie, 1985, Diktat Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Buku Kesatu),
Menurut undang-undang anak alam adalah keturunan orang tuanya, apabila orang tuanya itu mengakuinya.
Yang dapat diakui adalah anak-anak haram dalam arti sempit, sehingga anak-anak zinah dan anak-anak sumbang tidak dapat diakui. Namun terhadap anak-anak sumbang ini ada perkecualian, yaitu mereka dapat diakui jika orang-orang tuanya dengan dispensasi Menteri Kehakiman diperbolehkan melangsungkan pernikahan. Perlu diketahui dalam hal ini, bahwa dispensasi Menteri Kehakiman diberi untuk pernikahan dan tidak untuk pengakuan. Karena untuk mencapai pengesahan atau wettigingitu anak haram harus diakui sebelum atau selambat-lambatnya pada saat pernikahan, maka pengakuan anak haram itu hanya dapat dilakukan pada waktu pernikahan dilangsungkan. Dengan demikian dengan dilangsungkannya pernikahan kedua orang tua anak itu, anak tersebut menjadi anak sah lewat pengesahan.29
Lembaga pengakuan anak dalam hukum perdata diatur dalam KUH Perdata dimana dikemukakan bahwa anak di luar kawin (natuurlijk kind), kecuali yang dilahirkan dari perzinahan atau penodaan darah, tiap-tiap anak yang lahir di luar perkawinan apabila bapak dan ibunya melaksanakan perkawinan maka anak tersebut menjadi anak sah jika bapak dan ibunya sebelum melaksanakan perkawinan mengakuinya menurut ketentuan undang-undang, atau pengakuan itu dilakukan dalam akta tersendiri. Kemudian dengan adanya pengakuan anak di luar kawin tersebut maka timbullah hubungan darah antara anak luar kawin itu dengan bapak dan ibunya sebagaimana anak yang sah lainnya”.30
Untuk memperoleh status hubungan antara ayah, ibu dan anak yang lahir di luar nikah, maka anak tersebut harus diakui oleh ayah atau ibunya. Pengakuan itu harus dilakukan dengan akta otentik, secara tegas dan tidak boleh dengan cara disimpulkan saja. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyelidiki soal siapa bapak dari seorang anak dilarang sebaliknya dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyelidiki siapa ibu seorang anak di luar kawin diperbolehkan dan dalam hal ini di anak luar kawin harus dapat dibuktikan bahwa ia anak yang dilahirkan oleh seorang ibu yang disebutkannya. Apabila ia dapat membuktikannya maka ia dapat meminta ibunya untuk mengakuinya sebagai anak yang dilahirkannya, pengakuan ini tidak dapat berlaku surut sehingga saat pengakuan terjadi anak tidak sah tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya, tentu saja hubungan hukum dengan ibunya terjadi sejak saat kelahirannya. Pengakuan terhadap anak yang ada dalam kandungan ibunya
dimungkinkan karena anak tersebut dianggap sebagai sudah lahir bila kepentingan menghendaki (Pasal 287 dan Pasal 288 KUH Perdata).
Menurut Bushar Muhammad bahwa :
Anak kandung memiliki kedudukan yang terpenting dalam tiap somah (gezin) dalam suatu masyarakat ada. Oleh orang tua, anak dilihat sebagai penerus generasinya, juga sebagai wadah dimana semua harapan orang tuanya kelak di kemudian hari wajib ditumpahkan, demikian pula dipandang sebagai pelindung orang tuanya kelak bila orang tua sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah sendiri.31
Undang-undang Perkawinan tidak menentukan secara rinci tentang pengakuan
anak di luar kawin. Hanya saja dijelaskan bahwa anak luar kawin adalah anak yang
dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah dan ia hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibu yang melahirkanya atau keluarga ibunya.
Dalam Hukum Adat di Indonesia, pada dasarnya dikenal 2 (dua) kategori
mengenai anak yang sah, yaitu:
1) Anak yang lahir selama perkawinan
Dalam hal ini Hukum Adat tidak mempunyai tanggung waktu sebagai
kelahiran seorang anak yang berarti Hukum Adat memegang prinsip, setiap anak
yang lahir selama dalam perkawinan antara suami isteri, anak dengan sendirinya
menurut hukum dianggap anak sah dari mereka. Hal ini membawa akibat hukum,
setiap anak yang lahir dalam perkawinan adalah langsung mempunyai hubungan
hukum yang sah dengan bapak dan ibu yang melahirkannya.
2) Anak yang lahir sesudah putusnya perkawinan
Anak yang lahir sesudah putus perkawinan, baik oleh karena kematian atau
perceraian hukum pada umumnya mengenal tenggang masa kehamilan. Kalau
kehamilan ibu yang melahirkan seorang anak masih dalam tenggang waktu
maksimal 9 (sembilan) bulan, maka anak yang lahir tersebut oleh hukum
dianggap anak yang sah dari bekas suaminya itu. Jika anak yang lahir sesudah
lewat tenggang waktu 9 (sembilan) bulan sesudah perkawinan putus, anak yang
lahir tidak mempunyai hubungan hukum dengan bekas suami. Anak tersebut
hanya mempunyai hubungan hukum dengan keluarga pihak ibunya.
Tidak sahnya perkawinan menurut hukum negara, memiliki dampak negatif
bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum. Status anak yang dilahirkan
dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibu dan keluarga ibu.
Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya
nama si ayah, akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si
anak dan ibunya. Bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut
bukan anak kandungnya. Yang jelas-jelas sangat merugikan seperti, anak tidak
berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya.
Perkawinan di bawah tangan berdampak mengkhawatirkan atau merugikan, kecuali
2. Konsepsional
“Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain,
seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep
merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep
adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang
berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.”32
“Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian
yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.”33
“Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Dalam suatu
penelitian konsepsi dapat diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak
menjadi suatu yang konkret, yang disebut definisi operational (operational
definition).”34
Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan
pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut :
1. Perkawinan yang tidak dicatatkan adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali
atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan
Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau tidak dicatatkan di
32Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti : Bandung, 1996, hal. 397
33Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Seuatu Tinjauan Singkat,
PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta, 1995, hal. 7
34 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi
Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil
bagi yang tidak beragama Islam.35.
2. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.36
3. Perlindungan Hukum adalah jaminan perlindungan pemerintah dan atau
masyarakat kepada warganegara dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban
dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.37
4. Anak hasil perkawinan yang tidak dicatatkan adalah anak yang lahir dalam suatu
perkawinan yang tidak dicatatkan
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Rancangan penelitian tesis ini merupakan penelitian yang menggunakan
penelitian deskriptif analitis yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis
tentang perlindungan hukum terhadap terhadap anak hasil perkawinan yang tidak
dicatatkan.
Dalam penelitian ini, metode penulisan dilakukan dengan pendekatan yuridis
sosiologis. “Penelitian dilakukan berdasarkan yuridis sosiologis karena penelitian ini
merupakan penelitian hukum doktriner yang disebut juga penelitian kepustakaan atau
35Devita,Loc cit
36Pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
37 http://www.d-forin.com/dict.php?jenis_kamus=kamus_pemerintahan, Kamus
studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan pada peraturan-peraturan yang tertulis
atau bahan hukum lain”.38Penelitian yuridis sosiologis ini merupakan penelitian yang mengkaji antara kaidah hukum dengan lingkungan tempat kaidah hukum itu berlaku.
Selain itu, dalam penelitian ini juga dilakukan pendekatan yuridis sosiologis,
dengan meneliti keberlakukan hukum itu dalam aspek kenyataan yaitu mengenai
penerapan ketentuan perundang undangan dalam sebuah perkara yang dijadikan
objek penelitian. Hal ini diperlukan dengan pertimbangan bahwa efektif tidaknya
berlaku suatu atuan hukum sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
perubahan pola berfikir masyarakat.
2. Sumber Data
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulan data primer dan
data sekunder. Data primer yang dimaksud di sini adalah data yang dikumpulkan
melalui wawancara yang informannya yaitu pasangan suami-istri yang melakukan
perkawinan yang tidak dicatatkan.
Sedangkan data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui studi
dokumen terhadap bahan kepustakaan yang terdiri dari :
a. Bahan hukum primer, adalah hukum yang mengikat dari sudut norma dasar,
peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini bahan
hukum primernya yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
b. Bahan hukum sekunder, bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah dari
kalangan hukum tentang perlindungan hukum terhadap anak hasil perkawinan
yang tidak dicatatkan.
c. Bahan hukum tertier, adalah bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan
terhadap bahan hukum primer.
3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara
penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research).
Sedangkan alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
pedoman wawancara (interview guide).
4. Analisis Data
Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakekatnya
berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum
tertulis. Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum
tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi”.39
Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan
evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan (primer, sekunder maupun