• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN UMUM MENGENAI GANTI RUGI KASUS-KASUS KORUPSI DI INDONESIA

A. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Ganti Rug

Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Pada prinsipnya ada tiga hal mendasar yang menyebabkan seseorang secara hukum mesti bertanggungjawab membayar nilai ganti rugi. Pertama karena kesalahan orang tersebut (Pasal 1365 KUH Perdata). Kedua, karena kelalaian orang tersebut (Pasal 1366 KUH Perdata). Dan ketiga, karena pertanggungjawaban tersebut telah diatur dengan undang-undang (misalnya: Pasal 43 ayat (1) UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan).

Unsur kesengajaan bahkan sama sekali tidak berarti untuk pertanggungjawaban atas dasar undang-undang yang lazimnya mengenal apa yang dikenal sebagai pertanggungjawaban kualitatif (strict liability). Pertanggungjawaban seperti ini, pada dasarnya mewajibkan si ‘pelaku’ untuk mengganti kerugian yang timbul seperti yang tercantum dalam aturan undang-undang, baik dengan, atau tanpa kesalahan dari si pelaku. Bila memang kerugian tersebut timbul bukan akibat dari kesalahan pelaku, maka dari pihak pelakulah yang mesti membuktikan hal sebaliknya tersebut23

23

Imam Nasima, Ganti Rugi terhadap Korban, diakses dari situs :

.

Ketatnya aturan pertanggungjawaban ini biasanya berkaitan dengan kualitas yang disandang oleh pelaku, keuntungan yang mungkin dia dapat, atau adanya risiko yang dianggap menjadi tanggungjawab pelaku. Karenanya, penulis mempertanyakan maksud aturan pasal 43 ayat (1) UU No. 15/1992 berkaitan dengan bukti ‘kesalahan’ pengangkut. ‘Kesalahan’ di sini semestinya diartikan sebagai segala kejadian selain daya paksa (overmacht) dan atau selain akibat kesalahan pihak ketiga atau penggugat sendiri. Karena sudah selayaknya maskapai penerbangan melindungi kepentingan pengguna jasa layanan penerbangan. Bukankah mereka dalam kualitasnya sebagai penyedia jasa harus memastikan aman dan nyamannya jasa yang dia berikan.

Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Tuntutan pertanggungjawaban tersebut tentu saja membutuhkan penjelasan yang berbeda dari nilai ganti rugi tertentu yang ditetapkan dengan undang-undang. Bukankah kita tidak bisa mengatakan bahwa jika A adalah lima, maka 5 X B dengan sendirinya adalah dua puluh lima. Berikut beberapa bentuk ganti rugi dapat kita lihat, yaitu24

Di Amerika sendiri dikenal sistem diagnosa yang bersumber pada Diagnostic

and Statistical Manual of Mental Disorders yang dikembangkan oleh American Psychiatric Association dan International Classificitasion of Diseases versi WHO,

untuk menetapkan adanya gangguan psikis serius. Ini sehubungan dengan ketentuan di negara bagian Kansas, misalnya, bahwa yang bisa menjadi dasar tuntutan ganti rugi psikis adalah gangguan psikis serius, yaitu gangguan psikis yang terbatas pada:

:

1. Ganti rugi psikis

Kalau kita lihat dalam sistem hukum Amerika, barangkali pendapat Lord

Wensleydale di tahun 1861 dapat dijadikan penjelas. Beliau berpendapat: “Mental pain and anxiety, the law cannot value, and does not pretend to redress, when the unlawful act complained of causes that allone.” (ganti rugi atas cedera psikis pada mulanya hanya diakui dalam kaitannya dengan kerugian yang timbul akibat luka,

cacat, atau cemarnya nama baik). Kerugian semacam ini disebut juga ‘parasitic

damages’. Barulah di tahun 1948 ditetapkan dalam § 46 Restatement of Torts bahwa: “One who, without a privilege to do so, intentionally causes severe emotional distress to another is liable for such emotional distress and for bodily harm resulting from it.

(ganti rugi psikis diberikan terhadap kerugian yang timbul akibat luka, cacat, atau cemarnya nama baik).” Ketentuan tersebutlah yang pada akhirnya menjadi pegangan hakim-hakim di Amerika untuk mengakui adanya ganti rugi psikis.

24

Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

“…only highly unpleasant mental reactions such as fright, horror, grief, shame, embarrasment, anger, chagrin, disappointment, and worry.” (ganti rugi psikis

diberikan terhadap gangguan psikis serius, seperti ketakutan, rasa malu, kekecewaan, kekhawatiran dan sebagainya).

2. Ganti rugi atas korban meninggal

Tuntutan ganti rugi atas korban meninggal bukanlah tuntutan yang datang dari korban yang meninggal. Dengan kata lain, gugatan datang dari pihak yang mengalami gangguan psikis serius akibat meninggalnya korban dan berhubungan langsung dengan insiden yang terjadi--di Amerika disebut juga bystander.

Ganti rugi psikis atas korban meninggal bagi ahli waris, keluarga, atau kerabat korban bukannya tidak kontroversial. Di sini setidaknya penulis mencoba mengutarakan satu hal mendasar sehubungan dengan keberlakuan moral dari ganti rugi seperti ini. Manusia pada dasarnya tidak ingin kehilangan orang yang dikasihinya. Bahkan kalaupun ganti rugi itu sebesar kekayaan Bill Gates, misalnya, secara hati nurani tidak akan cukup untuk mengganti hilangnya orang tersayang. Berapa, coba, nilai nominal orang yang anda kasihi? Dengan demikian, ganti rugi atas korban meninggal semestinya tidak dilihat sebagai nilai kompensasi, sebagaimana ganti rugi pada umumnya.

Penjelas dari ganti rugi tersebut bisa ditemukan pada nilai kompensasi atas cedera psikis yang diderita pihak penggugat, atau setidaknya pengakuan salah dari pihak yang telah berbuat salah atau lalai (appeasement) sehingga mengakibatkan meninggalnya korban, dan bukan pada nilai kompensasi atas meninggalnya korban.

Meski begitu, gangguan psikis serius yang timbul akibat meninggalnya orang yang dikasihi, juga merupakan kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Di samping itu,

Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

sebagaimana sudah penulis bahas dalam paragraf di atas, perkembangan ilmu dan teknologi diyakini telah dapat mengenali, sekaligus menjadi landasan akan adanya ‘cedera’ yang tak nampak ini. Oleh karena itu, hukum pertanggungjawaban mau tak mau harus dapat mengikuti perubahan cara pandang masyarakat tersebut.

Namun demikian, sebagai fasilitator sekaligus mediator, hukum di samping harus dapat mengakomodir kepentingan korban tersebut, juga harus dapat melindungi kepentingan pihak tergugat. Dalam arti, seseorang wajib membayar ganti rugi pada orang lain, jika dan hanya jika dia mengakibatkan timbulnya kerugian pada orang tersebut (lihat juga konsep ‘harm principle’ John Stuart Mill dalam On Liberty). Karenanya, tuntutan dari pihak ke tiga (tak langsung mengalami insiden) biasanya mesti memenuhi beberapa syarat tertentu.

Di dalam sistem hukum Amerika persyaratan tersebut beragam. Keberagaman tersebut, selain dipengaruhi keunikan setiap kasus, juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: di negara bagian mana tuntutan ganti rugi diajukan, ideologi hakim bersangkutan, maupun komposisi juri terpilih. Namun, sebagai gambaran abstrak dari perdebatan yuridis yang akan lahir, sekaligus penutup tulisan ini, penulis akan menyebutkan beberapa hal yang mungkin menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan tuntutan ganti rugi psikis dari pihak ketiga.

Dasar-dasar pertimbangan tersebut, atau yang dikenal sebagai basic principles

of bystander recovery meliputi beberapa hal. Pertama, pihak ketiga harus berada di

dekat atau pada tempat terjadinya insiden. Kedua, gangguan psikis yang timbul merupakan akibat dari menyaksikan sendiri insiden tersebut. Ketiga, pihak ketiga merupakan pasangan hidup atau masih saudara sampai derajat ke tiga dari korban meninggal. Keempat, setiap manusia pada umumnya mungkin dan dapat

Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

membayangkan betapa parah dan mematikannya cedera yang didera korban. Kelima, gangguan psikis haruslah merupakan gangguan psikis serius.