• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian dan Analisa Akta Pengikatan Jual Beli

BAB II KEKUATAN HUKUM AKTA PENGIKATAN JUAL

A. Pengertian dan Analisa Akta Pengikatan Jual Beli

Akta pengikatan jual beli merupakan perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan dan bentuknya bebas.Hal ini dapat diartikan bahwa pengikatan jual beli merupakan permulaan atau perjanjian obligatoir atau pelengkap.Namun perjanjian obligatoir lebih dahulu lahir sebelum perjanjian pokoknya ada, hal ini tidak sebagaimana perjanjian pembebanan hak tanggungan, gadai atau fidusia yang lahir setelah didahului dengan perjanjian utang piutang terlebih dahulu. Oleh karena perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian pendahuluan, maka biasanya dalam perjanjian tersebut memuat janji-janji dari para pihak yang mengandung ketentuan-ketentuan manakala syarat-syarat untuk jual beli yang sebenarnya terpenuhi. Tentu saja para pihak setelah syarat untuk jual beli telah terpenuhi dapat bertemu kembali (untuk kewajiban jual beli dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk melaksanakan jual beli).

Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanah dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak saling mengikatkan diri untuk melakukan jual beli, apabila hal-hal yang belum dapat dipenuhi pada saat perjanjian pengikatan jual beli tersebut dilakukan, biasanya menyangkut harga yang belum lunas atau surat- surat tanah yang belum ada.

Pengikatan jual beli tanah menurut peneliti dapat digolongkan kedalam perikatan bersyarat.Karena pada pengikatan jual beli ini tidak lantas menyebabkan beralihnya hak milik dari tangan penjual ke tangan pembeli sebelum dilakukan penyerahan (levering). Hal ini dapat dilihat berdasarkan ketentuan pasal 1253 KUHPerdata yang menyebutkan : “perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.

Hal ini memiliki perbedaan dengan jual beli sebagaimana dimaksud dalam KUH Perdata yang diatur dalam Buku III Bab ke-5 (Pasal 1457-1540).Jual beli yang dalam bahasa Belanda disebut “koop en verkoop” ialah suatu persetujuan/ perjanjian (overeenkomst) dengan mana pihak yang satu penjual mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda (zaak), sedangkan pihak lainnya pembeli untuk membayar harga yang telah dijanjikan (Pasal 1457). Ketentuan umum (sifat) dan harta serta kewajiban para pihak: penjual dan pihak pembeli, segera setelah mereka sepakat tentang benda dan harga yang bersangkutan walaupun baik benda maupun harganya belum diserahkan dan dibayar.

Beralihnya hak milik atas benda yang dijual hanya terjadi jika telah dilakukan penyerahan (levering).Penyerahan dalam jual beli itu ialah suatu pemindahan barang yang telah dijual ke dalam kekuasaan (macht) dan kepunyaan (bezit) pembeli.Jika benda yang dijual itu berupa suatu barang tertentu, apabila para pihak tidak menentukan lain, maka barang ini sejak saat pembelian itu terjadi merupakan

tanggungan pembeli, walaupun penyerahannya belum dilakukan, dan penjual dapat berhak untuk menuntut harganya.Demikian bunyi Pasal 1460 KUH Perdata.

Tentang kewajiban (utama) dari penjual terhadap pembeli, yaitu : 1. Menyerahkan barang / benda yang bersangkutan

2. Menanggung / menjamin (vrijwaren)

3. Penguasaan benda yang dijual itu secara aman dan tenteram (rustig en vreedzaam)

4. Cacad-cacad yang tersembunyi (verborgen gebreken) dari benda yang bersangkutan atau yang sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan pembatalan jual beli itu.

Pembeli mempunyai kewajiban utama untuk membayar harga dari apa yang dibelinya itu, pada waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut persetujuan/ perjanjian yang bersangkutan dengan aturan tambahan bahwa jika para pihak tidak menentukannya, pembayaran itu harus dilakukan di tempat pada waktu penyerahan benda itu.

Jika pembeli tidak membayar harga benda yang dibelinya itu, maka penjual dapat menuntut dibatalkannya jual beli yang bersangkutan, mengenai jual beli barang-barang dagangan dan barang-barang perabot rumah tangga (waren en meubelen) terdapat kekecualian, yaitu bahwa demi kepentingan penjual jual beli itu batal dengan sendirinya jika barang itu tidak diambil pada waktu yang telah ditentukan oleh para pihak.

Pengikatan jual beli dapat digolongkan ke dalam perikatan bersyarat. Hal ini dapat dilihat berdasarkan ketentuan Pasal 1253 KUH Perdata yang menyebutkan :

Perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadi peristiwa semacam itu menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut. Perikatan bersyarat kebalikannya adalah perikatan murni yaitu perikatan yang tidak mengandung suatu syarat.

Syarat syarat harus tegas dicantumkan dalam perikatan. Undang-undang menentukan syarat-syarat yang tidak boleh dicantumkan dalam suatu perikatan, yaitu:

1. Bertujuan melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan 2. Bertentangan dengan kesusilaan

3. Dilarang undang-undang

4. Pelaksanaan tergantung dari kemauan orang terikat

Salah satu syarat yang penting di dalam perjanjian timbal-balik adalah dicantumkannya Pasal 1266 yaitu yang berbunyi

“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka Hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dan satu bulan”.

Pengikatan jual beli terikat pula perikatan dengan ketepatan waktu.Karena perikatan dengan ketetapan waktu adalah suatu perikatan yang tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaanya.Ketetapan waktu yang dapat menangguhkan atau mengakhiri perikatan.46

Secara harfiah perbedaan perjanjian pengikatan jual beli dengan perjanjian jual beli pada umumnya terletak pada kata “pengikatan”, sehingga pemahaman secara harfiah tersebut dapat memberikan pengertian perjanjian pengikatan jual beli sebagai suatu perjanjian yang menjamin para pihak akan terjadinya perjanjian jual beli diantara pihak-pihak yang membuat perjanjian pengikatan tersebut. Perjanjian pengikatan jual beli merupakan persetujuan yang lazim diadakan dalam masyarakat, dan juga tetap harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian.Dengan demikian, perjanjian ini merupakan suatu perjanjian yang mendahului perjanjian jual beli tanahnya, yang harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Pada umumnya, suatu perjanjian pengikatan jual beli tanah mengandung janji- janji yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh salah satu pihak atau para pihak sebelum dapat dilakukannya perjanjian pokok yang merupakan tujuan akhir dari para pihak.47Di samping itu, perjanjian pengikatan jual beli tanah adalah suatu perikatan yang lahir dari suatu perjanjian dimana perjanjian tersebut menggunakan syarat- syarat tangguh yang harus dipenuhi oleh satu atau kedua belah pihak.Janji-janji atau syarat-syarat tangguh inilah yang menjadikan latar belakang pembuatan akta

46

Mariam Darus Badrulzaman,Aneka Hukum Bisnis, PT Alumni Bandung, 2005, hal. 13 47 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdana di Bidang Kenotariatan,Bandung, PT. citra Aditya Bakti, 2009, hal. 270

pengikatan jual beli tanah oleh notaris. Perjanjian pengikatan jual beli tanah biasanya dibuat karena beberapa macam alasan, antara lain :48

1. Surat-surat yang berhubungan dengan tanah yang akan dijual belikan tersebut belum selesai diurus

2. Harga tanah tersebut belum dibayar lunas

3. Adanya upaya dari para pihak untuk menunda pembayaran pajak penghasilan (PPh) maupun Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) masing- masing sejumlah 5% kepada pemerintah sebelum transaksi jual beli atas tanah tersebut terlaksana secara nyata.

Mungkin pula ada keadaan dimana jual beli sudah dibayar lunas, akan tetapi dikarenakan pajak-pajak dalam jual beli tersebut nilainya terlalu besar, atau obyek yang akan diperjual belikan masih dalam cicilan penjual (selaku debitur) dari suatu bank (selaku kreditur) akan tetapi sebelum melakukan transaksi perlu dimintakan izin terlebih dahulu dari para kreditur tersebut, atau obyek yang diperjualbelikan ternyata masih menjadi agunan atau jaminan utang dari pihak penjual dan baru akan melunasi utang tersebut apabila sudah menerima pelunasan dari pihak pembeli akan tetapi hal ini pun diperlukan izin terlebih dahulu dari pihak bank (kreditur atau penerima jaminan). Guna mengatasi hal tersebut, maka dibuatlah suatu perjanjian pengikatan jual beli tanah sebagai suatu perjanjian pendahuluan untuk sementara menantikan dipenuhinya syarat untuk perjanjian pokoknya, yaitu jual beli dihadapan PPAT yang berwenang untuk membuatnya.

Perjanjian jual beli dengan perjanjian pengikatan jual beli tanah merupakan akta yang berbeda, dimana perbedaanya adalah sebagai berikut :

1. Transaksi jual beli telah dibayar lunas 2. Pengecekan sertipikat (syarat formil)

3. Karena point 1 terpenuhi, maka wajib dibayarkan Pajak Penghasilan (PPh) oleh penjual dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas nama pembeli.

Para Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) hanya berwenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah.Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak berwenang membuat akta pengikatan jual beli.Pengikatan jual beli bukan merupakan hukum pemindahan hak atas tanah.Kalau diperlukan akta otentik, yang berwenang membuatnya adalah notaris.Tiap-tiap akta yang dibuat oleh notaris harus disaksikan oleh dua orang saksi.Hadirnya dua orang saksi merupakan syarat mutlak yang tidak dapat dihindari agar supaya akta itu mempunyai sifat otentik, karena itu dapat dikatakan bahwa saksi-saksi itu merupakan alat yang tidak dapat dipisahkan dari akta notaris.49 Dengan bantuan notaris, para pihak yang membuat perjanjian pengikatan jual beli tanah akan mendapatkan bantuan dalam merumuskan hal-hal yang akan diperjanjikan.

Oleh karena perjanjian pengikatan jual beli tanah merupakan perjanjian pendahuluan, maka biasanya di dalam perjanjian tersebut membuat janji-janji dari

49R. Soegondo Notodisoerjo,Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1993, hal. 139

para pihak yang mengandung ketentuan-ketentuan manakala syarat untuk jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) telah dipenuhi.Setelah syarat untuk jual beli telah dipenuhi, para pihak dapat datang kembali untuk melaksanakan jual belinya dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).Akan tetapi, ada kemungkinan bahwa calon penjualnya berhalangan untuk datang kembali untuk pelaksanaan penandatanganan akta jual belinya.Guna mengatasi hal tersebut, maka pembeli diberi kuasa untuk dapat melakukan jual belinya sendiri, baik mewakili calon penjual maupun dirinya sendiri selaku calon pembeli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang.Selain kuasa tersebut, biasanya calon penjual memberikan pula kewenangan kepada calon pembeli untuk dapat mewakili secara umum hak-hak kepengurusan atas tanah hak tersebut selama belum dilakukan jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang.

Notaris seyogianya telah mengantisipasi keadaan tersebut seperti di atas dengan memberikan kuasa yang dimaksud agar calon pembeli tidak dirugikan hak- haknya mengingat telah dipenuhi semua persyaratan untuk jual belinya di hadapan PPAT yang berwenang.Kuasa demikian diberikan dengan ketentuan bahwa kuasa mana tidak dapat dicabut kembali, kuasa mana baru berlaku apabila syarat tangguh atas jual belinya telah dipenuhi.

Pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali adalah sah apabila kuasa tersebut diperjanjikan dengan tegas serta kuasa tersebut diberikan untuk kepentingan penerima kuasa dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu perjanjian.Kuasa yang tidak dapat ditarik kembali tersebut penting, mengingat pada

kematian dari pemberi kuasa menjadi pembeli dari pemberi kuasa (Pasal 1470 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).Karena penyimpangan terhadap ketentuan ini bukan merupakan pelanggaran terhadap kepentingan umum, para pihak dapat memperjanjikan adanya kuasa semacam itu.Pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali sering disalahartikan dan dianggap identik dengan kuasa mutlak.

Larangan kuasa mutlak dicantumkan di dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 Tentang Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.Larangan tersebut sekarang telah diatur di dalam Pasal 39 butir d Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Di dalam dictum kedua dari instruksi tersebut disebutkan unsur dari kuasa mutlak yaitu :

1. Kuasa mutlak adalah kuasa yang didalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa.

2. Kuasa mutlak yang pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah adalah kuasa mutlak yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya.

Kuasa yang terdapat dalam perjanjian pengikatan jual beli tanah tidak termasuk dalam pengertian kuasa mutlak, karena :50

50Pieter E. Latumenten, “Kuasa Menjual Dalam Akta Pengikatan Jual Beli (Lunas) Tidak Termasuk Kuasa Mutlak”, Jurnal Renvoi 4 (September 2003, 37), hal. 64

1. Kuasa tersebut dibuat dalam rangka atau mengabdikan pada suatu perjanjian causa yang sah atau halal dan tidak melanggar hukum.

2. Tindakan-tindakan hukum yang disebut dalam kuasa menjual tersebut, bukan untuk kepentingan pemberi kuasa tetapi untuk kepentingan penerima kuasa dan merupakan pelaksanaan kewajiban hukum yang harus dilakukan oleh pemberi kuasa selaku penjual kepada penerima kuasa selaku pembeli, satu dan lain karena harganya telah dibayar lunas.

Sehubungan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tersebut, sebaiknya di dalam pembuatan akta pengikatan jual beli tanah dicantumkan:

1. Alasan yang jelas di dalam premise mengenai dibuatnya akta pengikatan jual beli tersebut.

2. Obyek perjanjian dan harga dari obyek yang akan diperjual belikan tersebut serta cara pembayarannya.

3. Jaminan dari calon penjual terhadap kepemilikan atas persil dan tidak adanya cacat yang tampak dan tidak tampak, tidak dijaminkan dan tidak dalam sengketa atau sitaan.

4. Janji atas penyerahan persil dalam keadaan baik sesuai yang diperjanjikan pada hari dilakukannya jual beli setelah penandatanganan Akta Jual Beli dihadapan PPAT

5. Janji calon penjual belum pernah memberikan kuasa kepada orang lain mengenai persil yang akan dijual selain kepada calon pembeli.

6. Janji calon penjual (pemberi kuasa) tidak akan sendiri melakukan tindakan hukum yang telah dikuasakan kepada calon pembeli (penerima kuasa).

7. Janji lain yang khusus, misalnya kewajiban pembayaran rekening, listrik, air, telepon, Pajak Bumi Bangunan, hingga tanggal pengosongan, tata cara pengosongan dan sebagainya.

8. Pemberian kuasa secara umum yang tidak dapat ditarik kembali oleh calon penjual kepada calon pembeli untuk pengurusan persil selama belum dilaksanakan jual beli.

9. Pemberian kuasa dari calon penjual kepada calon pembeli yang tidak dapat ditarik kembali untuk melakukan pelaksanaan jual belinya di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) (apabila syarat untuk jual beli telah dipenuhi), dengan ketentuan bahwa yang diberi kuasa dibebaskan dari pertanggung jawaban sebagai kuasa. Pemberian kuasa dari calon penjual kepada calon pembeli dapat diberikan sepanjang tidak dalam melaksanakan pengalihan hak atas tanah tersebut dari calon penjual kepada calon pembeli. Apabila pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali tersebut digunakan untuk melakukan pengalihan kepemilikan hak atas tanah dari calon penjual kepada calon pembeli maka hal tersebut bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku dan dilarang dilakukan.

Dapat dikatakan bahwa adanya pemberian kuasa menjualyang tidak dapat ditarik kembali, yang diberikan oleh calon penjual kepada calon pembeli dalam rangka perjanjian pengikatan jual beli tanah bukan merupakan kuasa mutlak yang

dilarang berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 yang sekarang telah diatur di dalam Pasal 39 butir d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997. Sehingga tidak serta merta menjadikan kuasa tersebut digolongkan pada kuasa mutlak sepanjang didalamnya tidak mengandung unsur dari butir kedua instruksi tersebut.

Dengan demikian, pengikatan jual beli pun harus diikuti dengan akta kuasa.Pengikatan dan kuasa tersebut juga merupakan pasangan yang tidak terpisahkan. Kuasa dalam perjanjian pengikatan jual beli tanah tujuannya memberikan jaminan kepada penerima kuasa (pembeli), setelah syarat-syarat yang diharuskan dalam jual beli tanah dipenuhi, untuk dapat melaksanakan sendiri hak-hak yang timbul dalam pengikatan jual beli atau menandatangani sendiri akta jual beli tanpa perlu kehadiran pemberi kuasa (penjual) dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

B. Tinjauan Yuridis Kuasa Mutlak Pada Praktek Pelaksanaan Pengikatan Jual