• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian dan Konsep Kontrak Bisnis

BAB II TINJAUAN UMUM

2.4. Pengertian dan Konsep Kontrak Bisnis

Kontrak sebagai wadah mempertemukan kepentingan satu pihak dengan pihak lain menuntut bentuk pertukaran kepentingan yang adil. Dalam melakukan hubungan sosial antara subyek hukum satu dengan subyek hukum lain yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan maka kontrak atau perjanjian adalah salah satu sarana yang digunakan sebagai wadah pemenuhan tersebut.

Istilah kontrak sering disebut dengan istilah “perjanjian”, sebagai terjemahan dari agreement dalam bahasa Inggris, atau overeenkomst dalam bahasa Belanda. Di samping itu, ada juga istilah yang sepadan dengan istilah kontrak, yaitu istilah “transaksi” yang merupakan terjemahan dari istilah Inggris transaction. Namun demikian, istilah kontrak sebagai terjemahan dari istilah Inggris contract adalah paling modern, paling luas dan paling lazim digunakan, termasuk pemakaiannya dalam dunia bisnis.

Pengertian tentang kontrak pada umumnya sama, kontrak dalam Hukum Perdata Indonesia yaitu KUHPerdata disebut overeenkomst yang bila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti perjanjian. Pengertian perjanjian atau kontrak diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang

berbunyi “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Definisi ini tidak begitu jelas karena dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja. Hal ini berarti bukan perbuatan hukum saja yang termasuk ke dalam perjanjian, tetapi diluar perbuatan hukum pun termasuk perjanjian. Terdapat perbedaan antara perbuatan hukum dengan diluar perbuatan hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang menghasilkan akibat hukum dikarenakan adanya niat dari perbuatan satu orang atau lebih. Sehingga dapat dikatakan bahwa beberapa perbuatan hukum adalah kontrak.21

Jadi, menurut doktrin yang disebut perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Jadi kontrak pada dasarnya adalah perjanjian itu sendiri akan tetapi lebih bersifat sempit karena pengertian kontrak ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.

Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian, adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiban untuk menaati dan melaksanakannya sehingga perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hukum yang disebut perikatan (verbintenis).22 Dengan demikian kontrak dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat kontrak tersebut, karena itu kontrak yang mereka buat adalah sumber hukum formal, asalkan kontrak tersebut adalah kontrak yang sah.

Menurut Peter Mahmud Marzuki mengatakan ”bahwa suatu perjanjian mempunyai arti yang lebih luas daripada kontrak. Kontrak merujuk kepada suatu pemikiran akan adanya keuntungan komersil yang diperoleh kedua belah pihak, sedangkan perjanjian dapat saja berarti

21

Arthur S. Hartkamp and Marianne M.M. Tillema, 1995, Contract Law in Netherlands, Kluwer Law International, The Hague, London, Boston, hlm 33.

22

social agreement (kesepakatan umum) yang belum tentu menguntungkan kedua belah pihak secara komersil.”23

Di dalam Black’s Law Dictinionary, yang diartikan dengan contract is an agreement between two or more person which creates an obligation to do or not to do particular thing. Artinya, kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, dimana menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan segala sesuatu secara sebagian. Inti definisi ini adalah persetujuan dari para pihak untuk melaksanakan kewajiban, baik melakukan atau tidak melakukan secara sebagian.

Pada prinsipnya kontrak terdiri dari satu atau serangkaian janji yang dibuat para pihak dalam kontrak. Esensi dari kontrak itu sendiri adalah perjanjian. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Atas dasar ini Subekti mendefinisikan kontrak sebagai peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.24 Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan kontrak.

Kontrak adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Dengan kata lain hubungan hukum yang terjadi karena adanya perjanjian tertulis dikatakan kontrak karena kontrak tersebut mengikat para pihak yang terlibat didalamnya yaitu hak dan kewajiban yang timbul didalamnya. Pada kontrak, masing-masing pihak mempunyai hak hukum untuk menuntut pelaksanaan prestasi dari pihak lainnya yang sudah sepakat untuk terikat.

23

Peter Mahmud Marzuki, 2003, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak,Yuridika, Volume 8, No. 3, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, h.5.

24

Dengan demikian hubungan antara perjanjian dengan kontrak adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan kontrak. Perjanjian adalah sumber kontrak, disamping sumber-sumber lainnya yang mencakup undang-undang. Ada kontrak yang lahir dari perjanjian dan ada kontrak yang lahir dari undang-undang.25 Jadi perikatan yang dilakukan dengan suatu kontrak tidak lagi hanya berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji tetapi sudah merupakan perjanjian yang sengaja dibuat secara tertulis sebagai alat bukti bagi para pihak.

Dengan terikatnya para pihak dalam suatu perjanjian, para pihak harus melaksanakannya karena setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian dapat dipaksakan secara hukum. Jadi suatu perjanjian yang tidak mengikat atau tidak menimbulkan akibat hukum adalah bukan perikatan. Bagaimana perjanjian yang dapat menimbulkan akibat hukum? Yaitu perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian atau kontrak. Suatu perjanjian yang sah harus memenuhi empat syarat, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian 3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab (oorzaak) yang halal, artinya tidak terlarang.26

Harus dibedakan antara syarat obyektif dan syarat subyektif. Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subyeknya atau pihak-pihak dalam melakukan perjanjian sehingga disebut sebagai syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif karena mengenai obyeknya.

25

Ibid, h.1.

26

Zaeni Asyhadie, 2008, Hukum Bisnis (Prinsip Pelaksanaannya di Indonesia), Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.24-25.

Dalam hal syarat subyektif tidak terpenuhi maka pembatalan untuk kedua syarat tersebut adalah dapat dibatalkan (voidable). Salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan tetap mengikat, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi.27

Sedangkan dalam hal syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak untuk melahirkan perikatan adalah gagal. Dengan demikian maka tidak ada dasar untuk saling menuntut. Perjanjian yang demikian ini disebut perjanjian yang null atau void.28

Dengan sekian banyak pengertian perjanjian yang telah dipaparkan di atas, ada tiga unsur yang dapat ditarik kesimpulan, yaitu:

1. Ada orang yang menuntut, atau dalam istilah bisnis biasa di sebut kreditor. 2. Ada orang yang dituntut, atau yang dalam istilah bisnis biasa disebut debitur.

3. Ada sesuatu yang dituntut, yaitu prestasi. Prestasi umumnya terdiri dari tiga jenis, yaitu: (a) berbuat sesuatu; (b) tidak berbuat sesuatu; (c) menyerahkan sesuatu.

Pihak yang tidak melakukan prestasi disebut bahwa pihak tersebut telah melakukan wanprestasi. Wanprestasi ini dapat terjadi dalam hal :

1. Tidak berbuat sesuatu yang diperjanjikan.

2. Tidak menyerahkan sesuatu yang telah diperjanjikan.

27

Ibid

28

Hasanudin Rahman, 2003, Seri Ketrampilan Merancang Kontrak Bisnis, Citra Adiyta Bakti, Bandung, h.8.

3. Berbuat sesuatu atau menyerahkan sesuatu tetapi terlambat atau tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian seharusnya tidak dilakukan.

Dokumen terkait