• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian dan Teori Otonomi Daerah Serta

Sejak tahun 2001, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menerapkan sistem desentralisasi yang kemudian lebih identik dengan istilah otonomi daerah. Penerapan ini dengan didasarkan atau mengacu pada UU No. 22 Tahun 1999 (sekarang diganti dengan UU No. 32 tahun 2004) tentang ”Pemerintah Daerah”, dan UU No. 25 Tahun 1999 (sekarang menjadi UU No. 33 Tahun 2004) tentang ”Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah”. Untuk beberapa daerah dalam perkembangan lebih lanjut, dengan memperhatikan berbagai macam aspek ataupun faktor, ada daerah yang kemudian diterapkan status otonomi khusus seperti untuk daerah Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua.

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, dalam ketentuan umumnya menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan yang dimasud dengan daerah otonom dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut Suparmoko (2002 : 18) “Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat”.

Dengan berlakunya otonomi, maka Pemerintah Daerah Tingkat Kabupaten/kota diberi kewenangan yang luas dalam menyelenggarakan semua urusan pemerintahan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Sebagai konsekuensi dari kewenangan otonomi yang luas, pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan secara demokratis, adil, merata, dan berkesinambungan, karena pada hakikatnya otonomi daerah diterapkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kewajiban itu bisa dipenuhi apabila pemerintah daerah mampu mengelola potensi daerahnya yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, dan potensi sumber daya keuangan secara optimal. Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi, daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian (sharing) dari Pemerintah Pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat. Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan

keleluasaan kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut yaitu: menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan.

Moh. Hatta dalam Indra Bastian (2006:3) menyatakan bahwa:

Otonomisasi tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi juga mendorong berkembangnya prakarsa sendiri untuk mengambil keputusan berkaitan dengan kepentingan masyarakat setempat. Dengan berkembangnya prakarsa sendiri, rakyat dimungkinkan tidak saja untuk menentukan nasibnya sendiri, tetapi yang terutama, rakyat dapat memperbaiki nasibnya sendiri.

Selanjutnya menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jika dikaitkan dengan sistem hubungan keuangan pusat dan daerah, maka pengertian otonomi dan desentralisasi saling berkaitan. Oleh sebab itu, didalam setiap pendistribusian fungsi atau kewenangan dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih rendah harus disertai atau diikuti dengan distribusi pembiayaan atau keuangan yang memadai.

Indra Bastian (2006:3) mengatakan bahwa otonomi daerah di Indonesia setidaknya mempunyai empat ciri yaitu:

1. Pemekaran dearah administratif pemerintahan. 2. Tuntutan kemandirian fiskal di pemerintah daerah.

3. Peningkatan pelayanan publik dan kesejahreraan masyarakat.

4. Pengalihan kewenangan beberapa sektor dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Menurut Halim (2002:25) ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi daerah adalah

1. Kamampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola, dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan

2. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Secara konseptual, pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintah. Oleh karena itu, untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan.

Selanjutnya, mengenai otonomi khusus pada hakikatnya atau pada dasarnya tidak begitu berbeda dengan otonomi daerah. Otonomi khusus adalah pengembangan dari otonomi daerah yang diberikan oleh Pemerintah Pusat hanya kepada daerah-daerah tertentu karena pada daerah tersebut memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lainnya di Indonesia. Sampai dengan saat ini daerah yang diberikan status otonomi

khusus di Indonesia hanya ada tiga daerah yakni Nanggroe Aceh Darussalam, Papua, dan Maluku (Reksohadiprodjo, 2001). Daerah-daerah ini memperoleh status otonomi tersebut karena situasi dan kondisi yang terjadi di daerah tersebut, yang kemudian menjadikan Pemerintah Pusat pada akhirnya memberikan status otonomi khusus tersebut bagi ketiga daerah ini. Pada skripsi ini yang menjadi fokus adalah otonomi khusus yang diterapkan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Perjalanan pemberian status otonomi khusus bagi Propinsi NAD diawali dengan lahirnya UU No. 44 Tahun 1999. Dalam undang-undang ini diatur mengenai keistimewaan daerah Aceh. Keistimewaan tersebut merupakan kewenangan khusus untuk menyelengggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Undang-undang ini belum mengatur hal-hal yang lain seperti tentang keuangan, politik, dan sebagainya. Kemudian, pada tahun 2001 lahirlah UU No. 18 Tahun 2001. UU No. 18 Tahun 2001 dalam penjelasannya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi khusus adalah pemberian kesempatan yang lebih luas kepada daerah yang dimaksud untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk dalam menggali sumber-sumber ekonomi daerah, menggali dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia, menumbuhkembangkan prakarsa, kreatifatas, dan demokrasi, meningkatkan peran serta masyarakat, menggali dan mengimplementasikan tata bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kehidpan masyarakat Aceh, memfungsikan secara optimal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi

NAD dalam memajukan penyelenggaraan pemerintahan di Propinsi NAD dan mengaplikasikan syariat islam dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, kewenangan yang didapat pemerintah daerah (yaitu pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota) cakupannya juga lebih luas dari yang tercantum dalam UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999. Selain itu, yang terpenting dalam UU No. 18 Tahun 2001 ini adalah pengenalan istilah Qanun sebagai pengganti istilah Peraturan Daerah. Yang menarik, qanun di Propinsi NAD ini dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis derogaat lex generalis dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materiil terhadap qanun. Secara sederhana ini dapat berarti bahwa segala macam perundang-undangan dan segala macam peraturan yang berlaku di Negara Republik Indonesia akan dapat disesuaikan pelaksanaannya di Propinsi NAD melalui qanun ini. Dan terakhir pada tahun 2006 yang lalu lahirlah UU No. 11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh. Undang-undang ini adalah penyempurnaan dari UU No. 18 Tahun 2001. Dalam UU ini diatur secara komprehensif mengenai penyelenggaraan pemerintahan di Aceh. Dalam UU ini juga terdapat istilah yang hanya berlaku di Propinsi NAD yaitu: untuk APBD penyebutannya menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) bagi propinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota bagi kabupaten atau kota. Serta penyebutan DPRD menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) bagi propinsi serta Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota bagi kabupaten/kota.

2. Peraturan dan Perundang-undangan Yang Berkaitan Dengan

Dokumen terkait