UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI
MEDAN
SKRIPSI
STUDI KOMPERATIF PENGUKURAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH SEBELUM DAN SESUDAH
OTONOMI KHUSUS
(STUDI KASUS PADA PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TIMUR)
OLEH:
NAMA : MOUNA FACHRIZAL R N I M : 040503101
DEPARTEMEN : AKUNTANSI
PERNYATAAN
Dengan ini, Saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi Khusus (Studi Kasus pada Pemerintah Kabupaten Aceh Timur).
Adalah benar hasil karya sendiri dan judul dimaksud belum pernah dimuat,
dipublikasikan, atau diteliti oleh mahasiswa lain dalam konteks penulisan skripsi
level Program S-1 Reguler Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas
Sumatera Utara.
Semua sumber data dan informasi yang diperoleh, telah dinyatakan dengan jelas,
benar apa adanya. Dan apabila dikemudian hari pernyataan ini tidak benar, Saya
bersedia menerima sanksi yang ditetapkan oleh Universitas.
Medan, 06 Maret 2008
Yang membuat pernyataan,
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamiin, segala puja dan puji penulis panjatkan
kepada Sang Pencipta Alam beserta isinya, Allah SWT yang telah memberikan
hidayah dan petunjuk yang tiada terhingga, sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik. Shalawat berangkaikan Salam tak lupa pula penulis
hadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Nabi akhir zaman yang telah
membawa cahaya Islam ke dunia ini dan juga ilmu pengetahuan kepada
ummatnya. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas
Sumatera Utara.
Adapun judul skripsi ini yaitu: Studi Komperatif Pengukuran Kinerja
Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi Khusus (Studi Kasus Pada Pemerintah Kabupaten Aceh Timur). Dalam menyelesaikan
penyusunan skripsi ini, penulis dibantu oleh berbagai pihak yang telah bersedia
meluangkan waktu dan tenaga, pikiran serta dukungannya baik secara moril
maupun materil. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih
yang tiada terhingga kepada yang terhormat:
1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Arifin Akhmad, M.Si, Ak dan Bapak Fahmi Natigor Nasution,
SE, M.Acc, Ak, selaku Ketua Departemen dan Sekretaris Departemen
3. Ibu DR. Erlina, SE, M.Si, Ak selaku Dosen Pembimbing yang dengan
tulus ikhlas meluangkan waktu, memberi saran dan arahan kepada penulis
dalam proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.
4. Bapak Drs. Rasdianto, M.Si, Ak dan Bapak Drs. Idhar Yahya, MBA, Ak
selaku Dosen Penguji I dan Dosen Penguji II yang telah membantu penulis
melalui saran dan kritik yang diberikan demi kesempurnaan skripsi ini.
5. Bapak DR. Syafruddin Ginting, MAFIS, Ak selaku dosen wali penulis
selama menjalani perkuliahan, terima kasih atas nasihat dan motivasi yang
selalu Bapak berikan.
6. Segenap dosen dan staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera
Utara yang telah memberikan bekal dan ilmu pengetahuan kepada penulis
selama penulis menimba ilmu di Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera
Utara
7. Para pegawai Departemen Akuntansi, Bang Hairil, Bang Oyong, dan Kak
Dame yang telah banyak membantu penulis mengenai administrasi di
Departemen Akuntansi selama penulis menuntut ilmu. Serta Bang Kartun
dan Kak Fida di PPAk yang juga selama ini telah banyak membantu
penulis.
8. My beloved family di Langsa. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda
Ridwan Hasan, BE, SKM beserta Ibunda Hawilah, yang selama hidup
penulis telah merawat dan mengajar kebaikan kepada penulis dengan
kesabaran dan kasih sayang yang tulus serta selalu mendoakan penulis
cita-cita mulia ini. Kedua orang adikku tersayang, Nurul Syafrina Ridwan,
semoga tahun depan engkau juga dapat meraih gelar sarjanamu di IAIN
Ar-Raniry Banda Aceh, dan Muhammad Ichsan Ridwan, semoga tahun
depan engkau juga dapat menyelesaikan pendidikan sekolah dasarmu dan
dapat masuk ke smp favorit.
9. Keluarga besar Alm. Ayahanda Syamsuddin Sulaiman di Jakarta: Alm.
Ayahanda, Ibu, Bang Auli, Kak Venny, Bang Dedek, Kak Imel, Bang Ayi,
Bang Epit, beserta keponakanku Khaira, yang selama ini juga telah banyak
membantu penulis baik dari segi materi maupun non materi beserta doa
sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan penulis dengan baik.
10.Bang Bar dan Kak Nana, Bang Arif dan Kak Sani beserta para
keponakanku Dek Ija, Dek Aji, Dek Odan, Dek Amar, dan Dek Rara di
Medan, terima kasih atas doa dan bantuannya selama penulis menuntut di
Medan.
11.Bapak Zakaria di Bappeda Aceh Timur yang telah meluangkan waktunya
dalam memberikan keterangan dan data yang diperlukan selama penulis
riset guna penyusunan skripsi ini.
12.Sahabat-sahabatku di akuntansi 04: Ajir, Riski, Mizan, Vira, Narwin, Juve,
Melda, Lia, Indah, Edhu, Khairul, Hendra, Bembeng, Jarot, Fai, Ari,
Tinus, Heru, Fendi, Zulfauzi, dan yang lain yang selama ini telah banyak
membantu penulis selama kita kuliah bersama.
13.Abang-abang lating di akuntansi 03: Bang Bahtiar, Bang Nanda, Bang
06: Halim, Dedi, Dodi, Ramly, Hendrik, Ilham beserta yang lainnya yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang selalu memberikan inspirasi
bagi penulis.
14.Rekan-rekan penulis sesama Tentor di Bimbel Adzkia dan STAN Adzkia :
Bang Surya, Kak Emi, Bang Kiki, Hari, Bang Wadiono, Pak Firdaus,
beserta yang lainnya, terima kasih atas segalanya.
15.Teman-teman kos penulis selama ini : Bang Amril, Bang Kiki, Bang
Benny, Bang Febry, Adri, dan Anggi, terima kasih untuk kebersamaan
yang kita jalin selama ini.
16.Seluruh alumni maupun kepengurusan sekarang dari IPTR Komisariat
USU dan BP2M FE USU, semoga senantiasa diridhai dan dirahmati oleh
Allah SWT.
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam
penyusunan skripsi ini. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran
yang membangun bagi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi
bermanfaat bagi ilmu pengetahuan di bidang akuntansi.
Medan, 06 Maret 2008 Penulis,
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana pengaruh penerapan status otonomi khusus bagi Kabupaten Aceh Timur terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah sebelum dan sesudah otonomi khusus tersebut diberlakukan. Apakah dengan adanya status otonomi khusus ini, kinerja keuangan pemerintah daerah akan lebih baik ataupun sebaliknya. Kinerja keuangan dalam penelitian ini tertuang dalam beberapa rasio berdasarkan standar yang diberikan para ahli.
Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah laporan realisasi APBD dari tahun 1995 sampai tahun 2006. Tahun anggaran 2001 merupakan tahun dimulainya otonomi khusus di Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif dalam bentuk studi kasus. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif dan komparatif.
Temuan penelitian ini menyimpulkan bahwa dengan berlakunya otonomi khusus ternyata tidak secara keseluruhan memperbaiki kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten Aceh Timur. Secara umum derajat desentralisasi fiskal mengalami penurunan pada PAD/TPD, dan mengalami peningkatan pada BHPBP/TPD. Untuk tingkat kemandirian pembiayaan mengalami peningkatan pada PAD/BRNP, dan pada TPjD/PAD mengalami penurunan. Pada efisiensi penggunaan anggaran, TSA/TBD dan TPL/TPD mengalami peningkatan nilai. Untuk rasio tingkat kemandirian keuangan daerah setelah otonomi khusus terjadi penurunan nilai. Kemudian pada rasio aktifitas (rasio keserasian), untuk TBR/TAPBD terjadi peningkatan nilai, sedang pada TBP/TAPBD terjadi penurunan. Terakhir untuk rasio pertumbuhan, secara rata-rata pendapatan asli daerah dan total belanja pembangunan terjadi peningkatan nilai, sedang untuk total pendapatan daerah dan total belanja rutin terjadi penurunan nilai setelah otonomi khusus berlaku di Kabupaten Aceh Timur. Oleh karena itu, ada baiknya Pemerintah Kabupaten Aceh Timur segera merumuskan strategi dan kebijakan dalam meningkatkan kinerja keuangan agar tercapai pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan partisipasi aktif dan sesuai dengan kabutuhan dari masyarakat setempat.
ABSTRACT
The purpose of this research is to see how the application of the status of the special autonomy in the regency of Aceh Timur (East Aceh) affects the local government’s financial performance. Is it true that after the application of the special autonomy, the financial performance of the local government improves? The financial performance in this research is revealed in some ratios based on the standardization given by experts.
In this research, the data employed is the report of the realization of APBD ( The estimation of local income and expenditure) from 1995 to 2006. The estimation year of 2001 is the year in which the special autonomy began to apply in East Aceh. The research employs the design of descriptive research in the form of case study. The available data are analyzed by using the descriptive and comparative methods.
The research summarizes that following the special autonomy the financial performance does not thoroughly improve in East Aceh. In general, the degree of fiscal decentralization has a decrease in PAD/TPD, and an increase in BHPBP/TPD. For the degree of financial independence, it has an increase in PAD/BRNP, and TPjD/ PAD has a decrease. In the efficiency of the estimation expenditure, TSA/TBD and TPL/TPD has an increase of value. The ratio of the financial independence degree of the local finance following the special autonomy has a decrease of value. Then the ratio of activity (the parallelism ratio) has an increase of value in TBR/ TAPBD, while in TBP/TAPBD it experiences a decrease. For the ratio of growth, averagely the genuine total income of the local government and the total expenditure of development has an increase of value, while the total regular income and expenditure experience a decrease of value following the special autonomy. Therefore, the local government of East Aceh is to formulate the strategy and policy to improve the financial performance in order to attain the sustainable development based on the active participation and adjusted with the needs of the local society.
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ……… i
KATA PENGANTAR ……… ii
ABSTRAK ……… vi
ABSTRACT ……… vii
DAFTAR ISI ………... viii
DAFTAR TABEL ……… xi
DAFTAR GAMBAR ………... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ……… xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……… 1
B. Perumusan Masalah ……….. 7
C. Batasan Masalah ………... 8
D. Tujuan Penelitian ……….. 8
E. Manfaat Penelitian ……… 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis ……….. 10
1. Pengertian dan Teori Otonomi Daerah Serta Otonomi Khusus……… 10
2. Peraturan dan Perundang-undangan Yang Berkaitan Dengan Keuangan Daerah……… 16
a. Pengertian Keuangan Daerah ……… 24
b. Gambaran Keuangan Daerah Pra Otonomi dan Pasca Otonomi……….……… 25
4. Kinerja Keuangan Daerah………. 33
a. Definisi dan Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah……….………. 33
b. Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah……….………. 35
c. Parameter Rasio Keuangan Pemerintah Daerah…….. 35
B. Tinjauan Penelitian Terdahulu ……….. 42
C. Kerangka Konseptual... 43
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian………..……… 46
B. Jenis Data……….……….. 46
C. Teknik Pengumpulan Data………. 47
D. Metode Analisis Data…….……… 47
E. Jadwal dan Lokasi Penelitian………….……… 48
BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN A. Sejarah Singkat Kabupaten Aceh Timur…..………….…….. 49
B. Analisis Hasil Penelitian……….…… 50
1. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal……….. 50
2. Rasio Tingkat Kemandirian Pembiayaan……….. 53
4. Rasio Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah…….…… 57
5. Rasio Aktifitas (Rasio Keserasian)... 59
6. Rasio Pertumbuhan... 61
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ……….. 64
B. Saran ………. 67
DAFTAR PUSTAKA ..……… 69
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Hal
2.1 Perkembangan Hukum di Bidang Keuangan Daerah 17
2.2 Perubahan Setelah PP No. 105 Tahun 2000 19
2.3 Perubahan Setelah Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 20
2.4 Perbandingan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 dengan
PP No. 24 Tahun 2005 21
2.5 Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal 38
4.1 Derajat Desentralisasi Fiskal Sebelum Otonomi Khusus
Pada Kabupaten Aceh Timur 52
4.2 Derajat Desentralisasi Fiskal Sesudah Otonomi Khusus
Pada Kabupaten Aceh Timur 53
4.3 Tingkat Kemandirian Pembiayaan Sebelum Otonomi Khusus
Pada Kabupaten Aceh Timur 54
4.4 Tingkat Kemandirian Pembiayaan Sesudah Otonomi Khusus
Pada Kabupaten Aceh Timur 55
4.5 Efisiensi Penggunaan Anggaran Sebelum Otonomi Khusus
Pada Kabupaten Aceh Timur 57
4.6 Efisiensi Penggunaan Anggaran Sesudah Otonomi Khusus
Pada Kabupaten Aceh Timur 57
4.7 Rasio Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Sebelum
Tabel Judul Hal 4.8 Rasio Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Sesudah
Otonomi Khusus Pada Kabupaten Aceh Timur 59
4.9 Rasio Aktifitas (Rasio Keserasian) Sebelum Otonomi Khusus
Pada Kabupaten Aceh Timur 60
4.10 Rasio Aktifitas (Rasio Keserasian) Sesudah Otonomi Khusus
Pada Kabupaten Aceh 61
4.11 Rasio Pertumbuhan Sebelum Otonomi Khusus
Pada Kabupaten Aceh Timur 62
4.12 Rasio Pertumbuhan Sesudah Otonomi Khusus
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul Hal
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Judul
1 Laporan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 1995
1 Laporan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 1996
1 Laporan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 1997
1 Laporan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 1998
1 Laporan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 1999
1 Laporan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 2000
1 Laporan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 2001
1 Laporan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 2002
1 Laporan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 2003
1 Laporan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah
1 Laporan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 2005
1 Laporan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 2006
2 Diagram Garis Derajat Desentralisasi Fiskal Sebelum
Otonomi khusus
2 Diagram Garis Derajat Desentralisasi Fiskal Sesudah
Otonomi khusus
2 Diagram Batang Perbandingan Rata-rata Derajat
Desentralisasi Fiskal sebelum dan sesudah otonomi khusus
3 Diagram Garis Tingkat Kemandirian Pembiayaan Sebelum
Otonomi Khusus
3 Diagram Garis Tingkat Kemandirian Pembiayaan Sesudah
Otonomi Khusus
3 Diagram Batang Perbandingan Rata-rata Tingkat
Kemandirian Pembiayaan Sebelum dan Sesudah Otonomi
Khusus
4 Diagram Garis Efisiensi Penggunaan Anggaran Sebelum
Otonomi Khusus
4 Diagram Garis Efisiensi Penggunaan Anggaran Sesudah
4 Diagram Batang Perbandingan Rata-rata Efisiensi
Penggunaan Anggaran Sebelum dan Sesudah Otonomi
Khusus
5 Diagram Garis Rasio Tingkat Kemandirian Keuangan
Daerah Sebelum Otonomi Khusus
5 Diagram Garis Rasio Tingkat Kemandirian Keuangan
Daerah Sesudah Otonomi Khusus
5 Diagram Batang Perbandingan Rata-rata Rasio Tingkat
Kemandirian Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah
Otonomi Khusus
6 Diagram Garis Rasio Aktifitas (Rasio Keserasian) Sebelum
Otonomi Khusus
6 Diagram Garis Rasio Aktifitas (Rasio Keserasian) Sesudah
Otonomi Khusus
6 Diagram Batang Perbandingan Rata-rata Rasio Aktifitas
(Rasio Aktifitas) Sebelum dan Sesudah Otonomi Khusus
7 Diagram Garis Rasio Pertumbuhan Sebelum Otonomi
Khusus
7 Diagram Garis Rasio Pertumbuhan Sesudah Otonomi
Khusus
7 Diagram Batang Perbandingan Rata-rata Rasio
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana pengaruh penerapan status otonomi khusus bagi Kabupaten Aceh Timur terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah sebelum dan sesudah otonomi khusus tersebut diberlakukan. Apakah dengan adanya status otonomi khusus ini, kinerja keuangan pemerintah daerah akan lebih baik ataupun sebaliknya. Kinerja keuangan dalam penelitian ini tertuang dalam beberapa rasio berdasarkan standar yang diberikan para ahli.
Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah laporan realisasi APBD dari tahun 1995 sampai tahun 2006. Tahun anggaran 2001 merupakan tahun dimulainya otonomi khusus di Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif dalam bentuk studi kasus. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif dan komparatif.
Temuan penelitian ini menyimpulkan bahwa dengan berlakunya otonomi khusus ternyata tidak secara keseluruhan memperbaiki kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten Aceh Timur. Secara umum derajat desentralisasi fiskal mengalami penurunan pada PAD/TPD, dan mengalami peningkatan pada BHPBP/TPD. Untuk tingkat kemandirian pembiayaan mengalami peningkatan pada PAD/BRNP, dan pada TPjD/PAD mengalami penurunan. Pada efisiensi penggunaan anggaran, TSA/TBD dan TPL/TPD mengalami peningkatan nilai. Untuk rasio tingkat kemandirian keuangan daerah setelah otonomi khusus terjadi penurunan nilai. Kemudian pada rasio aktifitas (rasio keserasian), untuk TBR/TAPBD terjadi peningkatan nilai, sedang pada TBP/TAPBD terjadi penurunan. Terakhir untuk rasio pertumbuhan, secara rata-rata pendapatan asli daerah dan total belanja pembangunan terjadi peningkatan nilai, sedang untuk total pendapatan daerah dan total belanja rutin terjadi penurunan nilai setelah otonomi khusus berlaku di Kabupaten Aceh Timur. Oleh karena itu, ada baiknya Pemerintah Kabupaten Aceh Timur segera merumuskan strategi dan kebijakan dalam meningkatkan kinerja keuangan agar tercapai pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan partisipasi aktif dan sesuai dengan kabutuhan dari masyarakat setempat.
ABSTRACT
The purpose of this research is to see how the application of the status of the special autonomy in the regency of Aceh Timur (East Aceh) affects the local government’s financial performance. Is it true that after the application of the special autonomy, the financial performance of the local government improves? The financial performance in this research is revealed in some ratios based on the standardization given by experts.
In this research, the data employed is the report of the realization of APBD ( The estimation of local income and expenditure) from 1995 to 2006. The estimation year of 2001 is the year in which the special autonomy began to apply in East Aceh. The research employs the design of descriptive research in the form of case study. The available data are analyzed by using the descriptive and comparative methods.
The research summarizes that following the special autonomy the financial performance does not thoroughly improve in East Aceh. In general, the degree of fiscal decentralization has a decrease in PAD/TPD, and an increase in BHPBP/TPD. For the degree of financial independence, it has an increase in PAD/BRNP, and TPjD/ PAD has a decrease. In the efficiency of the estimation expenditure, TSA/TBD and TPL/TPD has an increase of value. The ratio of the financial independence degree of the local finance following the special autonomy has a decrease of value. Then the ratio of activity (the parallelism ratio) has an increase of value in TBR/ TAPBD, while in TBP/TAPBD it experiences a decrease. For the ratio of growth, averagely the genuine total income of the local government and the total expenditure of development has an increase of value, while the total regular income and expenditure experience a decrease of value following the special autonomy. Therefore, the local government of East Aceh is to formulate the strategy and policy to improve the financial performance in order to attain the sustainable development based on the active participation and adjusted with the needs of the local society.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak tahun 1998 Negara Kesatuan Republik Indonesia mengalami krisis
ekonomi yang pada akhirnya melahirkan krisis multi dimensi yang mencakup
seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu yang dirasakan pada
saat itu adalah sentralisasi Pemerintah Pusat yang dirasakan amat besar, terutama
sejak orde baru. Terjadinya krisis ini juga tidak terlepas karena tatacara
penyelenggaraan pemerintahan yang tidak dikelola dan diatur dengan baik.
Menanggapi hal tersebut, sejak tahun 2001, Negara Kesatuan Republik Indonesia
menerapkan Desentralisasi (otonomi daerah) yang didasarkan pada UU No. 22
tahun 1999 (saat ini telah diganti dengan UU No.32 tahun 2004) tentang
“Pemerintah daerah” dan UU No. 25 tahun 1999 (diganti dengan UU No. 33 tahun
2004) tentang “Perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah”. UU No. 22
tahun 1999 pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang
lebih mengutamakan pelaksanaan atas dasar desentralisasi dimana kota dan
kabupaten bertindak sebagai “motor” sedangkan pemerintah propinsi sebagai
koordinator. Atau dengan kata lain kekuasaan pemerintah daerah menjadi lebih
besar dari sebelumnya, dimana daerah (dalam hal ini Propinsi, Kabupaten atau
Kota) berhak untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri. Salah satu
dalam mengatur ekonomi daerah tanpa campur tangan/dipengaruhi secara mutlak
oleh Pemerintah pusat.
Menurut Yuwono, dkk (2005:50) ”Paket undang-undang otonomi daerah
ini mengamanatkan tentang pentingnya pemberdayaan masyarakat,
pengembangan prakarsa dan kreativitas, peningkatan peran serta masyarakat, dan
pengembangan peran dan fungsi DPRD”. Era otonomi daerah ini memberikan
kewenangan penuh kepada daerah untuk merencanakan, melaksanakan,
mengawasi, mengendalikan, dan mengevaluasi berbagai kebijakannya sesuai
dengan aspirasi masyarakat.
Otonomi atau desentralisasi perlu dilakukan karena tidak ada suatu
pemerintahan dari suatu negara yang luas mampu secara efektif membuat
kebijakan publik di segala bidang ataupun mampu melaksanakan kebijakan
tersebut secara efisien diseluruh wilayah tersebut. Dengan adanya desentralisasi
diharapkan beban pemerintah pusat dapat berkurang. Desentralisasi juga
diharapkan akan mempercepat pelayanan kepada masyarakat.
Krisis ekonomi di Indonesia yang antara lain disebabkan oleh tata cara
penyelengaraan pemerintah yang tidak dikelola dan diatur dengan baik, sehingga
timbul berbagai masalah seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sulit
diberantas, masalah penegakan hukum yang sulit berjalan, monopoli dalam
kegiatan ekonomi, serta kualitas pelayanan kepada masyarakat yang memburuk.
Oleh karena itu, tata pemerintahan yang baik perlu segera dilakukan agar
segala permasalahan yang timbul dapat segera dipecahkan dan juga proses
banyak pihak yang menyerukan tentang Good Governance. Good Governance
atau tata pemerintahan adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan
administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat
(UNDP : Tata Pemerintahan Menunjang Pembangunan Manusia Berkelanjutan).
Secara sempit dapat pula diartikan bahwa Good Governance adalah masalah
perimbangan antara negara, pasar, dan masyarakat.
Otonomi daerah sangat identik dengan tuntutan adanya Good Governance.
Menurut Krina P (2003) setidaknya ada tiga pilar Good Governance, yaitu
akuntabilitas, Transparansi, dan Partisipasi. Salah satu upaya nyata mewujudkan
akuntabilitas dan transparansi ini adalah penyampaian laporan
pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip tepat waktu
dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintahan yang telah diterima
secara umum.
Untuk itu Pemerintah Pusat telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah
nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), dimana
dalam peraturan tersebut menyebutkan bahwa setiap pemerintah, baik pusat
maupun daerah harus menyusun laporan keuangan sebagai bentuk laporan
pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran, dalam hal ini adalah Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD). Keluarnya PP nomor 24 tahun 2005 merupakan salah satu upaya
konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan
Kaho dalam Munir, dkk (2004:92) menyatakan bahwa ”Salah satu faktor
yang mempengaruhi dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah faktor keuangan
yang baik”. Istilah keuangan disini mengandung arti bahwa setiap hak yang
berhubungan dengan masalah uang, antara lain berupa sumber pendapatan, jumlah
uang yang cukup, dan pengelolaan keuangan yang sesuai dengan tujuan dan
peraturan yang berlaku. Selanjutnya Munir, dkk (2004:93) menyatakan bahwa
”Untuk menciptakan suatu pemerintah daerah yang baik dan yang dapat melaksanakan tugas otonominya dengan baik, maka faktor keuangan ini mutlak
diperlukan”. Keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah tidak dapat
dilepaskan dari cukup tidaknya kemampuan daerah dalam bidang keuangan,
karena kemampuan keuangan ini merupakan salah satu indikator penting guna
mengukur tingkat otonomi suatu daerah. Hal ini mudah dipahami, karena adalah
mustahil bagi daerah-daerah untuk dapat menjalankan berbagai tugas dan
pekerjaannya dengan efektif dan efisien serta dapat melaksanakan pelayanan dan
pembangunan bagi masyarakatnya tanpa tersedianya dana untuk itu.
Dengan bergulirnya otonomi daerah yang dimulai dengan hadirnya UU
Nomor 22 Tahun 1999 tentunya membawa konsekuensi terhadap pembiayaan
daerah. Dengan otonomi terdapat dua aspek kinerja keuangan yang dituntut agar
lebih baik dibanding sebelum otonomi daerah. Aspek pertama dalah bahwa daerah
diberi kewenangan mengurus pembiayaan daerah dangan kekuatan utama pada
kemampuan mengurus pembiayaan daerah dengan kekuatan utama pada
kemampuan Pendapatan Asli Daerah (Desentralisasi Fiskal). Aspek kedua yaitu di
lebih akuntabel dan transparan tentunya menuntut daerah agar lebih efisien dan
efektif dalam pengeluaran daerah. Kedua aspek tersebut dapat disebut sebagai
reformasi pembiayaan atau Financing Reform (Mardiasmo, 2002:50).
Reformasi pembiayaan merupakan bagian integral dari reformasi
pengelolaan keuangan daerah. Reformasi ini dilaksanakan melalui regulasi
ketentuan/instrumen keuangan daerah. Instrumen yang mengatur penerimaan
daerah adalah UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang
diikuti dengan peraturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65
dan PP Nomor 66 Tahun 2001. Di bidang pengeluaran daerah, telah dikeluarkan
PP No. 105, PP No. 106, PP No. 107, PP No. 108 dan PP No. 109 serta Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002.
Terkait dengan otonomi khusus, yaitu suatu otonomi yang lebih luas dari
otonomi daerah, Nanggroe Aceh Darussalam sebagai salah satu propinsi di
Indonesia yang memperoleh keistimewaan dari Pemerintah Pusat dengan
memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah (dalam hal
ini adalah propinsi serta kabupaten/kota dalam wilayah NAD) dalam menjalankan
pemerintahan, maka Pemerintah Pusat memberikan status otonomi khusus bagi
Propisi DI Aceh. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya UU No.44 tahun 1999
tentang penyelenggaraan keistimewaan propinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU
No. 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi propinsi DI Aceh sebagai
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, serta baru-baru ini juga telah disahkan
Undang-Undang No. 11 tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh. Dengan
atau Kota yang berada didalamnya memperoleh hak –hak khusus yang tidak
diperoleh oleh daerah lainnya. Salah satu hak tersebut adalah hak untuk mengatur
dan mengelola keuangan daerah sepenuhnya dengan alokasi dana yang besar serta
pembagian porsi kekayaan daerah yang lebih besar dimiliki oleh daerah
dibandingkan dengan pusat. Sebagai contoh, dalam UU No.18 tahun 2001
disebutkan Propinsi NAD akan memperoleh dana penerimaan dalam rangka
otonomi khusus yaitu bagi hasil sumber daya alam yang ada di Propinsi NAD
setelah dikurangi pajak yaitu sebesar 55% untuk minyak bumi, dan 40% untuk gas
alam selama delapan tahun sejak UU No.18 tahun 2001 tersebut berlaku.
Kemudian dalam Undang-Undang No.11 tahun 2006 tersebut menyatakan bahwa
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam akan memperoleh Dana Alokasi Umum
(DAU) sebanyak 2% dari seluruh DAU nasional. Selain itu, Propinsi NAD juga
akan memperoleh dana-dana lainnya seperti dana migas, dana otsus, dan lain
sebagainya. Tentunya hal ini akan mengakibatkan atau membawa perubahan yang
begitu besar bagi daerah. Kabupaten/kota yang ada di Propinsi NAD, tentunya
ikut merasakan perubahan akibat adanya perubahan ini dengan diberlakukannya
otonomi khusus tersebut. Dalam hal ini tentunya perubahan yang sangat kentara
ada pada keuangan daerah. Dalam hal ini, tentu ada perbedaan sebelum dan
sesudah adanya otonomi khusus ini yang dapat kita lihat pada beberapa rasio
keuangan daerah yang akan dibahas dalam skripsi ini.
Kabupaten Aceh Timur, sebagai kabupaten yang termasuk tertua di
Propinsi NAD (kabupaten ini sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda di
kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara ini. Kabupaten Aceh Timur
tentunya ikut merasakan adanya efek dari penerapan status otonomi khusus ini,
karena sebagai kabupaten yang memang telah ada sejak lama tentunya dapat
dilihat efek dari penerapan tersebut sebelum dan sesudah otonomi khusus berlaku.
Dari uraian diatas dikatakan bahwa dengan adanya otonomi khusus ini,
perubahan paling kentara ada pada bidang keuangan. Dengan otonomi khusus ini
maka daerah memperoleh banyak tambahan dana. Diharapkan dengan dana yang
banyak ini maka kesejahteraan rakyat di Propinsi NAD khususnya di Kabupaten
Aceh Timur dapat naik atau menjadi lebih baik dari sebelumnya, karena memang
otonomi daerah dan otonomi khusus ini diterapkan agar kesejahteraan rakyat
dapat meningkat, serta kinerja dari pemerintah daerah dapat menjadi lebih baik
juga dari sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti
bagaimana tingkat atau kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota yang
berada di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan diterapkannya status
otonomi khusus ini yang akan dituangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul :
“Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi Khusus (Studi Kasus Pada Pemerintah Kabupaten Aceh Timur)”.
B. Perumusan Masalah
Sehubungan dengan adanya uraian pada latar belakang masalah
sebelumnya, maka penulis mencoba merumuskan apa yang menjadi permasalahan
“Bagaimanakah kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten Aceh Timur
sebelum dan sesudah diberlakukannya Otonomi khusus?” C. Batasan Masalah
Kinerja pemerintah daerah bisa dinilai dari aspek finansial dan
nonfinansial. Dalam penelitian ini, penulis hanya menganalisis berdasarkan aspek
finansial saja dengan mengacu pada rasio keuangan berdasarkan instrumen yang
terdapat pada Laporan Realisasi APBD. Permasalahan dalam penelitian ini akan
dibatasi pada pengukuran kinerja keuangan dengan menggunakan berbagai rasio
keuangan pemerintah daerah seperti: derajat desentralisasi fiskal, tingkat
kemandirian pembiayaan, rasio efisiensi penggunaan anggaran, rasio kemandirian
keuangan daerah, rasio aktifitas (rasio keserasian), dan rasio pertumbuhan. Data
keuangan yang dipakai adalah dari tahun 1995-2006. Dalam penelitian ini, tahun
2001 adalah tahun dimana Kabupaten Aceh Timur menerima status otonomi
khusus.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan informasi
apakah dengan diberlakukannya otonomi khusus, maka kinerja keuangan
Pemerintah Kabupaten Aceh Timur sebagai kabupaten yang berada dalam wilayah
Propinsi NAD (Propinsi yang menerima otonomi khusus dari Pemerintah Pusat)
akan lebih baik atau lebih buruk dibanding sebelum diberlakukannya otonomi
E. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat penelitian yang diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Bagi penulis, penelitian ini merupakan pelatihan intelektual untuk
menambah pengetahuan bagaimana menganalisis kinerja keuangan
pemerintah daerah.
2. Bagi Pemerintah Daerah, dapat menjadi sumbangan pemikiran
mengenai kinerja keuangan selama ini.
3. Bagi pihak lain atau pembaca, serta akademisi penelitian ini dapat
memberikan gambaran dan masukan dalam melakukan penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teoritis
1. Pengertian dan Teori Otonomi Daerah Serta Otonomi Khusus
Sejak tahun 2001, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah
menerapkan sistem desentralisasi yang kemudian lebih identik dengan istilah
otonomi daerah. Penerapan ini dengan didasarkan atau mengacu pada UU No.
22 Tahun 1999 (sekarang diganti dengan UU No. 32 tahun 2004) tentang
”Pemerintah Daerah”, dan UU No. 25 Tahun 1999 (sekarang menjadi UU No.
33 Tahun 2004) tentang ”Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah”.
Untuk beberapa daerah dalam perkembangan lebih lanjut, dengan
memperhatikan berbagai macam aspek ataupun faktor, ada daerah yang
kemudian diterapkan status otonomi khusus seperti untuk daerah Nanggroe
Aceh Darussalam dan Papua.
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah
Daerah, dalam ketentuan umumnya menyebutkan bahwa otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang dimasud dengan daerah otonom dalam
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 adalah kesatuan masyarakat hukum yang
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Menurut Suparmoko (2002 : 18) “Otonomi daerah adalah
kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat”.
Dengan berlakunya otonomi, maka Pemerintah Daerah Tingkat
Kabupaten/kota diberi kewenangan yang luas dalam menyelenggarakan semua
urusan pemerintahan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
pengendalian dan evaluasi. Sebagai konsekuensi dari kewenangan otonomi
yang luas, pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan
pelayanan dan kesejahteraan secara demokratis, adil, merata, dan
berkesinambungan, karena pada hakikatnya otonomi daerah diterapkan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kewajiban itu bisa dipenuhi apabila
pemerintah daerah mampu mengelola potensi daerahnya yaitu sumber daya
alam, sumber daya manusia, dan potensi sumber daya keuangan secara
optimal. Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi,
efektivitas, dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi,
daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan
tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian (sharing) dari
Pemerintah Pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan
keleluasaan kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha
yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat,
karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan
pelaksanaan otonomi daerah tersebut yaitu: menciptakan efisiensi dan
efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, menciptakan efisiensi dan
efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, memberdayakan dan
menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam
proses pembangunan.
Moh. Hatta dalam Indra Bastian (2006:3) menyatakan bahwa:
Otonomisasi tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi juga mendorong berkembangnya prakarsa sendiri untuk mengambil keputusan berkaitan dengan kepentingan masyarakat setempat. Dengan berkembangnya prakarsa sendiri, rakyat dimungkinkan tidak saja untuk menentukan nasibnya sendiri, tetapi yang terutama, rakyat dapat memperbaiki nasibnya sendiri.
Selanjutnya menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jika dikaitkan dengan sistem hubungan keuangan pusat dan daerah,
maka pengertian otonomi dan desentralisasi saling berkaitan. Oleh sebab itu,
didalam setiap pendistribusian fungsi atau kewenangan dari tingkat
pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih rendah harus
disertai atau diikuti dengan distribusi pembiayaan atau keuangan yang
Indra Bastian (2006:3) mengatakan bahwa otonomi daerah di
Indonesia setidaknya mempunyai empat ciri yaitu:
1. Pemekaran dearah administratif pemerintahan. 2. Tuntutan kemandirian fiskal di pemerintah daerah.
3. Peningkatan pelayanan publik dan kesejahreraan masyarakat.
4. Pengalihan kewenangan beberapa sektor dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Menurut Halim (2002:25) ciri utama suatu daerah mampu
melaksanakan otonomi daerah adalah
1. Kamampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola, dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan
2. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah. Secara konseptual, pola hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam
membiayai pelaksanaan pemerintah. Oleh karena itu, untuk melihat
kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat
diukur melalui kinerja keuangan.
Selanjutnya, mengenai otonomi khusus pada hakikatnya atau pada
dasarnya tidak begitu berbeda dengan otonomi daerah. Otonomi khusus
adalah pengembangan dari otonomi daerah yang diberikan oleh Pemerintah
Pusat hanya kepada daerah-daerah tertentu karena pada daerah tersebut
memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lainnya di
khusus di Indonesia hanya ada tiga daerah yakni Nanggroe Aceh Darussalam,
Papua, dan Maluku (Reksohadiprodjo, 2001). Daerah-daerah ini memperoleh
status otonomi tersebut karena situasi dan kondisi yang terjadi di daerah
tersebut, yang kemudian menjadikan Pemerintah Pusat pada akhirnya
memberikan status otonomi khusus tersebut bagi ketiga daerah ini. Pada
skripsi ini yang menjadi fokus adalah otonomi khusus yang diterapkan di
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Perjalanan pemberian status otonomi khusus bagi Propinsi NAD
diawali dengan lahirnya UU No. 44 Tahun 1999. Dalam undang-undang ini
diatur mengenai keistimewaan daerah Aceh. Keistimewaan tersebut
merupakan kewenangan khusus untuk menyelengggarakan kehidupan
beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan
daerah. Undang-undang ini belum mengatur hal-hal yang lain seperti tentang
keuangan, politik, dan sebagainya. Kemudian, pada tahun 2001 lahirlah UU
No. 18 Tahun 2001. UU No. 18 Tahun 2001 dalam penjelasannya mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan otonomi khusus adalah pemberian kesempatan
yang lebih luas kepada daerah yang dimaksud untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga sendiri termasuk dalam menggali sumber-sumber ekonomi
daerah, menggali dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya
manusia, menumbuhkembangkan prakarsa, kreatifatas, dan demokrasi,
meningkatkan peran serta masyarakat, menggali dan mengimplementasikan
tata bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kehidpan masyarakat Aceh,
NAD dalam memajukan penyelenggaraan pemerintahan di Propinsi NAD dan
mengaplikasikan syariat islam dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu,
kewenangan yang didapat pemerintah daerah (yaitu pemerintah propinsi dan
pemerintah kabupaten/kota) cakupannya juga lebih luas dari yang tercantum
dalam UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999. Selain itu, yang
terpenting dalam UU No. 18 Tahun 2001 ini adalah pengenalan istilah Qanun
sebagai pengganti istilah Peraturan Daerah. Yang menarik, qanun di Propinsi
NAD ini dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain
dengan mengikuti asas lex specialis derogaat lex generalis dan Mahkamah
Agung berwenang melakukan uji materiil terhadap qanun. Secara sederhana
ini dapat berarti bahwa segala macam perundang-undangan dan segala macam
peraturan yang berlaku di Negara Republik Indonesia akan dapat disesuaikan
pelaksanaannya di Propinsi NAD melalui qanun ini. Dan terakhir pada tahun
2006 yang lalu lahirlah UU No. 11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh.
Undang-undang ini adalah penyempurnaan dari UU No. 18 Tahun 2001.
Dalam UU ini diatur secara komprehensif mengenai penyelenggaraan
pemerintahan di Aceh. Dalam UU ini juga terdapat istilah yang hanya berlaku
di Propinsi NAD yaitu: untuk APBD penyebutannya menjadi Anggaran
Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) bagi propinsi dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota bagi kabupaten atau kota. Serta
penyebutan DPRD menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) bagi
propinsi serta Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota bagi
2. Peraturan dan Perundang-undangan Yang Berkaitan Dengan Keuangan Daerah
Sejak otonomi daerah mulai diberlakukan di Negara Kesatuan
Republik Indonesia maka sejak saat itu sampai dengan sekarang telah banyak
peraturan serta perundang-undangan yang dibuat. Peraturan tersebut mulai
dari undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, serta
peraturan menteri. Kesemuanya dibuat agar pelaksanaan otonomi dapat
berjalan dengan baik. Seperti diketahui, hal yang paling esensial dari adanya
otonomi daerah ini adalah pada bidang keuangan. Bidang keuangan
merupakan kunci dari penentu berhasil atau tidaknya otonomi daerah
diterapkan di daerah-daerah di indonesia (Halim, 2002).
Menurut Mahmudi dalam Forum Dosen Akuntansi Sektor Publik
(2006:23) menyatakan bahwa perjalanan reformasi manajemen keuangan
daerah, dilihat dari aspek historis, dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu “Era
sebelum otonomi daerah, Era transisi otonomi, era pascatransisi”.
Era pra-otonomi daerah merupakan pelaksanaan otonomi ala Orde
Baru mulai tahun 1975 sampai 1999. Era transisi ekonomi adalah masa antara
tahun 1999 hingga 2004, dan era pascatransisi adalah masa setelah
diberlakukannya UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU
Nomor 1 Tahun 2004, UU Nomor 15 Tahun 2004, UU Nomor 32 dan 33
Tabel 2.1
Perkembangan Hukum di Bidang Keuangan Daerah
Pra-Otonomi Daerah &
Desentralisasi Fiskal 1999 Transisi otonomi Pascatransisi Otonomi
Sumber: Diolah dari Forum Dosen Akuntansi , 2006
PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah memiliki keterkaitan dengan PP
Nomor 108 tahun 2000 tentang Pertanggungjawaban Kepala Daerah.
Pengelolaan keuangan daerah secara khusus diatur dalam Pasal 14 PP Nomor
105 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa:
1. Ketentuan tentang pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah ditetapkan
dengan Peraturan Daerah.
UU No. 5 Tahun 1974
PP No. 5&6 Tahun 1975
Manual Administrasi Keuangan Daerah
UU No. 22 Tahun 1999 UU No. 25 Tahun 1999
PP No. 105 Tahun 2000
Kepmendagri No. 29 Tahun 2002
2. Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah diatur dengan
Keputusan Kepala Daerah; dan
3. Pedoman tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan
Keuangan Daerah, serta Tata Cara penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata
Usaha Keuangan Daerah, dan Penyusunan Perhitungan APBD ditetapkan
Keputusan Menteri Dalam Negeri.
Berdasarkan ketentuan PP Nomor 105 Tahun 2000 Pasal 14 tersebut,
kemudian Departemen Dalam Negeri mengeluarkan Kepmendagri Nomor 29
Tahun 2002. Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tersebut merupakan
petunjuk teknis pelaksanaan PP Nomor 105 Tahun 2000 di bidang
pengelolaan keuangan daerah dalam rangka pelaksanaan transparansi dan
akuntabilitas keuangan daerah.
PP Nomor 105 Tahun 2000 (saat ini telah diganti dengan PP Nomor 58
Tahun 2005) dan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 (saat ini telah diganti
dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006) memberikan pendekatan baru
dalam pengelolaan keuangan daerah. Perubahan-perubahan yang terjadi cukup
besar, namun tetap dilakukan secara bertahap evolusioner sesuai semangat
reformasi, tidak radikal dan evolusioner. Perubahan itu sudah sampai pada
teknik akuntansinya yang meliputi perubahan dalam pendekatan sistem
akuntansi dan prosedur pencatatan, dokumen dan formulir yang digunakan,
fungsi-fungsi otorisasi untuk jutuan sistem pengendalian internal, laporan dan
pengawasan. Berbagai perubahan dari pola lama ke pola baru yang
Tabel 2.2.
Perubahan setelah PP Nomor 105 Tahun 2000 PP 105 Tahun 2000
PERUBAHAN YANG MENDASAR
LAMA BARU
Sistem Anggaran Tradisional dengan ciri:
Line-Item & Incrementalism
Sistem Anggaran Kinerja
(Performance Budget)
Sistem Anggaran Berimbang Sistem Anggaran Defisit Struktur Anggaran:
• Pendapatan, dan
• Belanja
• Belanja rutin
• Belanja Pembangunan
Belanja Dikategorikan:
• Belanja Administrasi Umum,
• Belanja Operasi dan Pemeliharaan,
• Belanja Modal,
• Belanja tidak Tersangka Belanja dipisahkan per sektor; tidak ada
pemisahan Belanja Publik dengan Belanja Aparatur
Belanja dipisahkan menjadi:
• Belanja Aparatur, dan
• Belanja Publik Pinjaman sebagai komponen
Pendapatan
Pinjaman sebagai komponen pembiayaan
Laporan Pertanggungjawaban: Nota Perhitungan APBD
Laporan Pertanggungjawaban :
• Neraca
• Laporan Arus Kas
• Laporan Perhitungan APBD
• Nota Perhitungan APBD
Sumber: Diolah dari Forum Dosen Akuntansi , 2006:26
Perubahan yang signifikan yang diakibatkan oleh Kepmendagri
29/2002, yaitu terkait dengan penatausahaan keuangan daerah. Perubahan itu
sudah sampai pada teknik akuntansinya yang meliputi perubahan dalam
Tabel 2.3
Perubahan Setelah Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 KEPMENDAGRI NOMOR 29 TAHUN 2002
PERUBAHAN YANG MENDASAR
LAMA BARU
Arah dan Kebijakan Umum APBD
Pemegang Kas Daerah Bendaharawan Umum Daerah
Bendaharawan Rutin & Pembangunan Satuan Pemegang Kas & Pembantu Pemegang Kas
Pembukuan Tunggal (single entry) Pembukuan Berpasangan (double entry) Akuntansi Berbasis Kas Akuntansi Berbasis Kas Modifikasian Tidak ada Kebijakan Akuntansi Kebijakan Akuntansi
Tidak Dikenal Depresiasi Aktiva Tetap Pembukuan Asset Daerah:
• Nilai Buku
• Depresiasi & Kapitalisasi
• Penghapusan Asset
• Manajemen Asset Daerah Belum diwajibkan membuat Laporan
Keuangan berupa Neraca dan Laporan Arus Kas
Sistem Akuntansi Keuangan Daerah:
• Sistem Pengendalian Internal
• Prosedur Akuntansi
• Dokumen/Formulir & Catatan Akuntansi
• Manajemen Asset Daerah Pengawasan oleh banyak pihak:
Itwilprop, Itwilkab/ko, Irjen, BPKP, dan BPK
Pengawasan Internal Pengelolaan Keuangan Daerah
Bawasda Sumber: Diolah dari Forum Dosen Akuntansi, 2006:27
Perubahan UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 menjadi UU Nomor 32
dan 33 Tahun 2004 menimbulkan implikasi perlunya dilakukan revisi
peraturan perundang-undangan dibawahnya terkait dengan pengelolaan
Nomor 29 Tahun 2002. Sementara itu, pada tahun 2005, pemerintah
mengeluarkan PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP). Pada dasarnya antara PP Nomor 24 Tahun 2005
mengatur tentang standar akuntansi, sedangkan Kepmendagri Nomor 29
Tahun 2002 lebih banyak mengatur tentang sistem akuntansi pemerintah
daerah (Mahmudi, 2006:29).
Tabel 2.4
Perbandingan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 dengan PP No. 24 Tahun 2005
Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 PP No. 24 Tahun 2005
Basis Kas Modifikasian Menuju Basis Akrual
Basis Kas untuk pengakuan pendapatan, belanja dan pembiayaan (Laporan L/R) Basis akrual untuk pencatatan asset, kewajiban dan ekuitas dana (Neraca) Aktiva Tetap diakui pada akhir periode
dengan menyesuaikan Belanja Modal yang telah terjadi
Aktiva/asset tetap diakui pada saat hak kepemilikan berpindah dan atau saat diterima
Aktiva Tetap selain tanah didepresiasi dengan metode garis lurus berdasarkan umur ekonomisnya
Aktiva Tetap selain tanah dapat
didepresiasi dengan metode garis lurus, metode saldo menurun dan metode unit produksi
Terdapat dana depresiasi Tidak terdapat dana depresiasi
Kewajiban diakui menjadi belanja aparatur dan belanja publik
Diakui pada saat dana pinjaman diterima dan atau kewajiban timbul
Jenis Laporan Keuangan:
• Neraca
• Laporan Perhitungan APBD
• Laporan Aliran Kas
• Nota Perhitungan APBD
Jenis Laporan Keuangan:
• Neraca
• Laporan Realisasi Anggaran
• Laporan Arus Kas
• Catatan atas Laporan Keuangan Belanja dikelompokkan menjadi aparatur
dan belanja publik
Tidak terdapat ketentuan mengelompokkan belanja aparatur dan belanja publik
Belanja dikategorikan:
• Belanja administrasi umum
• Belanja operasi dan pemeliharaan
• Belanja modal
• Belanja tidak tersangka
Masing-masing belanja dikelompokkan menjadi:
• Belanja Pegawai dan Personalia
• Belanja Barang dan Jasa
• Belanja Perjalanan Dinas
• Belanja Pemeliharaan
Belanja dikelompokkan menurut klasifikasi ekonomisnya yaitu:
Belanja Operasi
• Belanja pegawai
• Belanja barang
• Bunga
• Subsidi
• Hibah
• Bantuan sosial Belanja Modal Belanja Tak Terduga
Laporan Aliran Kas dikelompokkan dalam tiga aktivitas yaitu:
• Aktivitas Operasi
• Aktivitas Investasi
• Pembiayaan
Laporan Arus Kas dikelompokkan dalam empat aktivitas, yaitu
• Aktivitas operasi
• Aktivitas investasi
• Pembiayaan
• Aktivitas non-anggaran
Sumber: Diolah dari Forum Dosen Akuntansi, 2006:30
Atas dasar itu maka pemerintah mengeluarkan PP Nomor 58 Tahun
2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri Nomor 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai
pengganti PP Nomor 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002.
PP No. 58 Tahun 2005 merupakan pengganti dari PP No 105 Tahun
2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang
selama ini dijadikan sebagai landasan hukum dalam penyusunan APBD,
pelaksanaan, penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah.
Substansi materi kedua PP dimaksud, memiliki persamaan yang sangat
mendasar khususnya landasan filosofis yang mengedepankan prinsip
efisiensi, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas. Sedangkan perbedaan,
dalam pengaturan yang baru dilandasi pemikiran yang lebih mempertegas dan
kebijakan lainnya yang perlu mendapatkan perhatian dibidang penatausahaan,
akuntansi, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan daerah.
Tujuan dikeluarkannya PP No. 58 Tahun 2005 dan Permendagri
No.13 Tahun 2006 adalah agar pemerintah daerah dapat menyusun Laporan
Keuangan sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yaitu PP No.24
Tahun yang merupakan panduan atau pedoman bagi pemerintah daerah dalam
menyajikan keuangan yang standar, bagaimana perlakuan akuntansi, serta
kebijakan akuntansi.
Khusus untuk Propinsi NAD mengenai regulasi tentang keuangan
daerah telah diatur dalam Qanun No. 7 Tahun 2002 Tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan. Dalam qanun ini dikatakan bahwa Kepala
Daerah adalah pemegang kekuasaan umum dalam pengelolaan keuangan.
Asas dalam pengelolaan keuangan adalah tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku efisien, efektif, transparan dan
bertanggungjawab dengan memperhatikan azas keadilan dan kepatutan,
dengan APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan. Dan setiap rancangan
APBD harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari DPRD. Serta DPRD,
aparat pengawasan fungsional, dan masyarakat dapat mengawasi mengenai
pelaksanaan dari APBD. Adapun bentuk pertanggungjawaban kepala daerah
mengenai pelaksanaan APBD adalah dalam bentuk: laporan perhitungan
3. Keuangan Daerah
a. Pengertian Keuangan Daerah
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun
2005, tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dalam ketentuan umumnya
menyatakan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban
daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai
dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut.
Menurut Munir, dkk (2004:96) “Keuangan daerah adalah
keseluruhan tatanan, perangkat, kelembagaan dan kebijakan penganggaran
yang meliputi Pendapatan dan Belanja Daerah”.
Menurut Mamesah (Halim, 2007:23) menyatakan bahwa “Keuangan
daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai
dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun
barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki oleh
negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai peraturan
perundangan yang berlaku.”
Pemerintah daerah selaku pengelola dana publik harus menyediakan
informasi keuangan yang diperlukan secara akurat, relevan, teapt waktu, dan
dapat dipercaya. Untuk itu, pemerintah daerah dituntut untuk memiliki
sistem informasi akuntansi yang handal.
Dari defenisi tersebut, selanjutnya Halim (2007:25) menyatakan
terdapat 2 hal yang perlu dijelaskan, yaitu
perusahaan milik daerah, dan lain-lain, dan atau hak untuk menerima sumber-sumber penerimaan lain seperti Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Hak tersebut akan menaikkan kekayaan daerah.
b. Yang dimaksud dengan semua kewajiban adalah kewajiban untuk mengeluarkan uang untuk membayar tagihan-tagihan kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan, infrastruktur, pelayanan umum, dan pengembangan ekonomi. Kewajiban tersebut akan menurunkan kekayaan daerah.
b. Gambaran Keuangan Daerah Pra Otonomi dan Pasca Otonomi
Manajemen atau pengelolaan keuangan daerah di era sebelum
otonomi dilaksanakan terutama dengan berdasarkan Undang-undang No. 5
Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah Daerah. Pengertian daerah
menurut Undang-undang ini adalah ”Tingkat I, yaitu propinsi dan daerah
tingkat II, yaitu kabupaten atau kotamadya”.
Disamping itu ada beberapa peraturan yang lain yang menjadi dasar
pelaksanaan menajemen keuangan daerah pada era sebelum otonomi.
Peraturan-peraturan tersebut sebagaimana dikutip Halim (2007:2) antara
lain :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Daerah.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 tentang Penyusunan APBD Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD.
3. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 900-009 Tahun 1989 tentang Manual Administrasi Keuangan Daerah.
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBD.
5. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Berdasarkan peraturan-peraturan diatas, dapat disimpulkan beberapa
ciri pengelolaan keuangan daerah di era sebelum otonomi, antara lain
(Halim, 2007:2)
1. Pengertian Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD (Pasal 13 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1975). Artinya, tidak terdapat pemisahan secara konkret antara eksekutif dan legislatif.
2. Perhitungan APBD berdiri sendiri, terpisah dari
pertanggungjawaban Kepala Daerah (Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975).
3. Bentuk laporan perhitungan APBD terdiri atas: a. Perhitungan APBD
b. Nota Perhitungan APBD
c. Perhitungan Kas dan Pencocokan antara Sisa Kas dan Sisa Perhitungan dilengkapi dengan lampiran Ringkasan Pendapatan dan Belanja (Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 dan Keputusan Mendagri Nomor 3 Tahun 1999).
4. Pinjaman, baik pinjaman PEMDA maupun pinjaman BUMD diperhitungkan sebagai pendapatan pemerintah daerah, yang dalam struktur APBD menurut Kepmendagri No. 903-057 Tahun 1988 tentang Penyempurnaan Bentuk dan Susunan Anggaran Pendapatan Daerah masuk dalam pos penerimaan pembangunan. 5. Unsur-unsur yang terlibat dalam penyusunan APBD adalah
Pemerintah Daerah yang terdiri atas Kepala Daerah dan DPRD saja, belum melibatkan masyarakat.
6. Indikator kinerja Pemerintah Daerah mencakup: a. Perbandingan antara anggaran dan realisasinya.
b. Perbandingan antara standar biaya dengan realisasinya. c. Target dan persentase fisik proyek yang tercantum dalam
penjabaran Perhitungan APBD (Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 tentang Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah, Penyusunan Perhitungan APBD).
7. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah dan Laporan Perhitungan APBD baik yang dibahas DPRD maupun yang tidak dibahas DPRD tidak mengandung konsekuensi terhadap masa jabatan Kepala Daerah.
Kewenangan daerah dalam menjalankan pemerintahannya pada
Tahun 1974. Disamping mengatur pemerintahan daerah, undang-undang
tersebut juga menjelaskan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah. Untuk bisa menjalankan tugas-tugas dan fungsi-fungsi yang
dimilikinya, pemerintah daerah dilengkapi dengan seperangkat kemampuan
pembiayaan, dimana menurut undang-undang ini sumber pembiayaan
daerah sangat didominasi oleh bantuan keuangan dari pemerintah pusat.
Sumber pembiayaan pemerintah daerah menurut UU. No. 5 Tahun
1974 pasal 55 terdiri dari 3 komponen besar yaitu (Munir, dkk, 2004:45)
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi: a.Hasil pajak daerah
b.Hasil retribusi daerah
c.Hasil perusahaan daerah (BUMD) d.Lain-lain hasil usaha daerah yang sah.
2. Pendapatan yang berasal dari pemerintah pusat, meliputi: a.Sumbangan dari pemerintah
b.Sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.
3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Diantara ketiga komponen sumber pendapatan tersebut, komponen
kedua yaitu pendapatan yang berasal dari pusat merupakan cerminan atau
indikator dari ketergantungan pendanaan pemerintah daerah terhadap
pemerintah pusat. Sepanjang potensi sumber keuangan daerah belum
mencukupi, pemerintah pusat memberikan sejumlah sumbangan kepada
pemerintah daerah. Dengan demikian bagi pemerintah daerah Tingkat II
Kabupaten atau Kodya, disamping mendapat bantuan dari pemerintah pusat
juga mendapat limpahan dari Pemda Tingkat I Propinsi. Meskipun bisa jadi
lewat APBN. Berbagai penelitian empiris yang pernah dilakukan
menyebutkan bahwa dari ketiga sumber pendapatan daerah tersebut diatas,
peranan dari pendapatan yang berasal dari pusat sangat dominan.
Dengan semakin kuatnya tuntutan desentralisasi, pemerintah
mengeluarkan satu paket undang otonomi daerah, yaitu
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 (saat ini telah diganti dengan Undang-Undang-undang
No.32 Tahun 2004) Tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undnag N0. 25
Tahun 1999 (saat ini telah diganti dengan Undang-undang No. 33 Tahun
2004) Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah.
Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
yang diatur dalam UU No. 22 perlu dibarengi dengan pelimpahan keuangan
dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang diatur dalam UU No. 25.
Setelah keluarnya kedua undang-undang tersebut, pemerintah juga
mengeluarkan berbagai peraturan pelaksanaan. Beberapa peraturan
pelaksanaan antara lain (Halim, 2007:3)
1. Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah.
5. Surat Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Tanggal 17 November 2000 Nomor 903/2735/SJ tentang Pedoman Umum Penyusunan dan Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2001.
8. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.
Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, manajemen keuangan
daerah di era otonomi daerah memiliki karakteristik yang berbeda dari
pengelolaan keuangan daerah sebelum otonomi daerah. Karakteristik
tersebut antara lain (Halim, 2007:4)
1. Pengertian daerah adalah propinsi dan kota atau kabupaten. Istilah Pemerintah Daerah Tingkat I dan II, juga Kotamadya tidak lagi digunakan.
2. Pengertian Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat lainnya. Pemerintah Daerah ini adalah badan eksekutif, sedang badan legislatif di daerah adalah DPRD (pasal 14 UU No.22 Tahun 1999). Oleh karena itu, terdapat pemisahan yang nyata antara legislatif dan eksekutif.
3. Perhitungan APBD menjadi satu laporan dengan
Pertanggungjawaban Kepala Daerah (pasal 5 PP Nomor 108 Tahun 2000).
4. Bentuk Laporan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran terdiri dari atas:
a. Laporan Perhitungan APBD b. Nota Perhitungan APBD c. Laporan Aliran Kas
d. Neraca Daerah dilengkapi dengan penilaian berdasarkan tolak ukur Renstra (pasal 38 PP Nomor 105 Tahun 2000).
5. Pinjaman APBD tidak lagi masuk dalam pos Pendapatan (yang menunjukakn hak Pemerintah Daerah), tetapi masuk dalam pos Penerimaan (yang belum tentu menjadi hak Pemerintah Daerah). 6. Masyarakat termasuk dalam unsur-unsur penyusuan APBD
disamping Pemerintah Daerah yang terdiri atas Kepala Daerah dan DPRD.
7. Indikator kinerja Pemerintah Daerah tidak hanya mencakup: a. Perbandingan antara anggaran dan realisasinya
b. Perbandingan antara standar biaya dengan realisasinya
c. Target dan persentase fisik proyek tetapi juga meliputi standar pelayanan yang diharapkan.
8. Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah pada akhir tahun anggaran yang bentuknya Laporan Perhitungan APBD dibahas oleh DPRD dan mengandung konsekuensi terhadap masa jabatan Kepala Daerah apabila dua kali ditolak oleh DPRD.
Dengan telah digantikannya UU Nomor 22 tahun 1999 dan UU
Nomor 25 Tahun 1999 oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33
Tahun 2004, maka berbagai peraturan pemerintah dan peraturan lain
dibawahnya perlu disesuaikan lagi. Atas dasar itu maka pemerintah
mengeluarkan PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai pengganti PP Nomor 105 Tahun
2000 dan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002.
Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi menurut
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah terdiri atas Pendapatan Daerah dan
Pembiayaan.
1. Pendapatan Daerah bersumber dari:
a. Pendapatan Asli Daerah
b. Dana Perimbangan; dan
c. Lain-lain Pendapatan.
2. Pembiayaan bersumber dari:
a. Sisa lebih perhitungan anggaran Daerah;
b. Penerimaan Pinjaman daerah;
c. Dana cadangan daerah; dan
PAD bersumber dari pajak daerah; retribusi daerah; hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan lain-lain PAD yang sah.
Sedangkan lain-lain PAD yang sah meliputi:
a. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
b. Jasa giro;
c. Pendapatan bunga;
d. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;dan
e. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari
penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
Bagi Propinsi NAD, dengan mengacu pada UU No. 11 Tahun 2006
Tentang Pemerintahan Aceh, maka penerimaan daerah berasal dari:
a. Pendapatan Asli Daerah;
b. Dana Perimbangan;
c. Dana Otonomi Khusus
d. Lain-lain pendapatan yang sah.
Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh dan PAD
kabupaten/kota se Aceh terdiri atas:
a. Pajak daerah
b. Retribusi daerah
c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan milik
Aceh/kabupaten/kota dan hasil penyertaan modal Aceh/kabupaten/
d. Zakat
e. Lain-lain pendapatan asli Aceh dan pendapatan asli kabupaten/kota
yang sah.
Dana perimbangan sebagaimana dimaksud di atas terdiri atas:
a. Dana Bagi Hasil pajak.
b. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumber
daya alam lain.
c. Dana Alokasi Umum.
d. Dana Alokasi Khusus.
Selain Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud diatas, Pemerintah
Aceh mendapat tambahan Dana Bagi Hasil minyak dan gas bumi yang
merupakan bagian dari penerimaan Pemerintah Aceh, yaitu:
Beberapa karakteristik pengelolaan belanja daerah di era otonomi
daerah dengan alat pengatur berupa regulasi tersebut di atas dapat
dikemukakan sebagai berikut:
a. Pengeluaran rutin terdiri dari belanja administrasi umum, dan
belanja operasi dan pemeliharaan.
b. Belanja pembangunan merupakan belanja yang dialokasikan untuk
membiayai pekerjaan fisik dan disebut sebagai belanja modal.
c. Selain belanja dimaksud terdapat belanja bagi hasil dan bantuan