• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Hukum Adat

Dalam dokumen Buku-Pengantar Hukum Indonesia (Halaman 114-120)

DASAR-DASAR HUKUM ADAT

1. Pengertian Hukum Adat

Adat merupakan pencerminan kepribadian suatu bangsa, yang merupakan penjelmaan dari jiwa bangsa yang cukup lama bahkan berabad-abad. Setiap bangsa tentunya mempunyai adat atau kebiasaan sendiri-sendiri satu dengan yang lain tidak sama. Ketidaksamaan ini memperlihatkan bahwa adat dan atau kebiasaan merupakan unsur yang penting dalam pergaulan hidup kemasyarakatan. Adat-istiadat dan kebiasaan yang sudah mentradisi inilah yang mejadi sumber terbentuknya hukum adat dan hukum kebiasaan.

Hukum Indonesia yang bersumber dari adat istiadat inilah yang kemudian disebut hukum adat, sedangkan yang bersumber dari kebiasaan disebut hukum kebiasaan.

Adat istiadat adalah tingkah laku yang oleh dan dalam suatu masyarakat (sudah, sedang, akan) diadatkan ( dibiasakan untuk dilakukan) karena merupakan perbuatan baik guna menjaga ketenteraman dan keseimbangan hidup di antara sesama anggota masyarakat. Adat-istiadat yang berlangsung lama dan diikuti atau dilakukan setiap anggota masyarakat berarti telah membiasa sebagai kebiasaan (tradisi). Dengan demikian adat istiadat sama dengan kebiasaan.

Kebiasaan-kebiasaan sosial yang sejak lama ada dalam masyarakat dengan maksud mengatur tata-kehidupan dalam masyarakat, disebut kebiasaan. Ada yang menganggap bahwa, adat istiadat itu sebagai peraturan sopan santun yang turun temurun. Bedanya, adat istiadat bersifat lebih sakral

115

(sesuatu yang suci) dan mentradisi, kalau kebiasaan tidak mengandung makna sakral, tapi sengaja ditradisikan dibiasakan untuk dilakukan.

Perbedaan antara kebiasaan dan adat adalah perbedaan asal. Adat bersifat agak sakral berhubungan dengan (bersumber) dari tradisi rakyat Indonesia yang telah turun temurun. Kebiasaan - berasal (bersumber) dari negara lain (asing) dan/atau berlakunya wilayah kota. Kebiasaan belum/tidak merupakan tradisi rakyat - sebagian besar hasil akulterasi antara budaya “Timur” dengan “Barat” yang belum diresapi sebagai tradisi.

Soepomo, di dalam “Beberapa catatan mengenai Kedudukan Hukum Adat” mengartikan hukum adat sebagai sinonim dari “hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislative (non statutory law); hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum Negara (Parlemen, Dewan Propinsi dan sebagainya); hukum yang timbul karena putusan-putusan Hakim (Judge made

law); hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di

dalam pergaulan hidup, baik di kota-kota maupun di desa-desa (Customary

law); semua ini merupakan Adat atau Hukum yang tidak tertulis yang disebut

oleh Pasal 32 UUDS Tahun 1950”.[1]

Di dalam bukunya “Bab-Bab Tentang Hukum Adat” Soepomo menyatakan, bahwa hukum adat adalah hukum non-statutory yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum Islam. Hukum adat itupun melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan dimana ia memutuskan perkara. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat.[2]

Dari uraian tersebut, Soepomo mengartikan hukum adat sebagai hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan yang tidak tertulis.

Sukanto di dalam bukunya “Meninjau Hukum Adat Indonesia” mengemukakan bahwa, hukum adat adalah hukum yang tidak dibukukan,

116

tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan (dwang) mempunyai akibat hukum atau “rechtsgevolg”.[3]

Dalam hal ini Sukanto mengartikan hukum adat sebagai keseluruhan adat yang tidak tertulis dan hidup dalam masyarakat yang bersifat memaksa dan mempunyai akibat hukum.

Kusumadi Pudjosewojo di dalam bukunya “Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia” membedakan antara “adat istiadat”, adat nan tar adat”,

“adat” dan “adat yang hukum”.

Adat istiadat, yaitu adat pusaka dari leluhur, yang semenjak purbakala berlaku sebagai adat; adat itu menjadi dasar; perubahan dalam adat itu hampir tidak diadakan.[4]

Adat nan tar adat, yakni adat yang dijadikan adat. Ini bukan adat yang sama sekali baru diadakan, melainkan adat untuk menambahi dan melengkapi; menjalankannya menurut tempat-tempat.[5]

Selanjutnya, “Adat” adalah aturan-aturan tingkah laku manusia dalam masyarakat sebagaimana dimaksudkan tadi, adalah aturan-aturan adat.[6]

Dalam uraiannya, Kusumadi tidak menyebutkan secara definitip tentang pengertian “hukum adat”. Beliau menyatakan sebagai berikut “Penetapan-penetapan yang dipernyatakan dari para petugas hukum demikian itu dapat dijadikan tanda ciri untuk menunjuk batas antara yang adat dan yang hukum. Ini tidak berarti bahwa sebelum penetapan, aturan itu belum besifat hukum. Tetapi baru pada saat penetapanlah aturan tingkah laku adat itu tegas berwujud hukum yang positip. Dengan sekaligus dalam suatu penetapan, suatu tingkah laku diadatkan seraya pula dihukumkan”. Jika hukum ini tidak tertulis, maka itu disebut “hukum adat”. Tetapi pula perwujudan dari proses menjadinya hukum itu menurut cara-cara tertentu, dalam bentuk tertulis, yang disebut “hukum tertulis” yang sekarang disebut “perundang-undangan”.[7]

Selanjutnya beliau menjelaskan arti “Adat” dan arti “Hukum” dan “Hukum

117

masyarakat (sudah, sedang, akan) diadatkan. Aturan-aturan tingkah laku manusia dalam masyarakat seperti yang dimaksudkan tadi adalah aturan Adat. Akan tetapi dari aturan tingkah laku itu ada pula aturan-aturan tingkah laku yang merupakan “Aturan Hukum”.[8]

Menurut Ter Haar (dalam pidato Dies pada tahun 1930), hukum adat adalah hukum yang lahir dari dan dipelihara oleh keputusan-keputusan; keputusan para warga masyarakat hukum, terutama keputusan berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum; atau dalam hal pertentangan kepentingan - keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senapas seirama dengan kesadaran tersebut, diterima/diakui atau tidak ditoleransikan olehnya. Selanjutnya dalam orasi pada tahun 1937, Ter Haar memberikan pengertian hukum adat adalah “keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa (macht, authority) serta pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku serta merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati”.[9]

Pendapat Ter Haar tentang pengertian hukum adat yang lahir dari sebuah keputusan tersebut, oleh para ahli hukum dikenal dengan “Teori Keputusan” (beslissingenleer).

Snouck Hurgronje, mempergunakan istilah hukum adat sebagai sebutan untuk hukum rakyat Indonesia yang tidak dikodifikasi.[10]

R. Van Dijk mengemukakan bahwa, hukum adat adalah hukum yang tidak dikodifikasi di kalangan bangsa Indonesia dan Timur Asing (Tionghoa, Arab dsb).[11]

Dari pendapat Snouck Hurgronje dan Van Dijk tersebut, bahwa hukum adat adalah hukum tidak tertulis yang berlaku bagi rakyat Indonesia dan Timur Asing.

118

Bellefroid dalam bukunya “Inleiding tot de rechtswetenschap in

Nederland” memberikan pengertian hukum adat adalah peratuan-peraturan

hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh Penguasa toh dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.[12]

M.M. Djojodigoeno dalam bukumnya “Asas-asas Hukum Adat” mendefinisikan hukum adat sebagai hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan.[13]

Menurut Van Vollenhoven, bahwa hukum adat ialah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu disebut “hukum”) dan dipihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan, karena itu disebut “adat”.[14] Selanjutnya dikatakan oleh van Vollenhoven bahwa, tidak semua kaidah adat istiadat merupakan hukum, yaitu hukum positif. Ada perbedaan antara hukum adat dan adat. Di samping adat yang yang bersanksi, ada juga adat yang tidak bersanksi. Hukum adat adalah adat yang bersanksi, sanksinya adalah reaksi masyarakat terhadap perbuatan salah satu anggotanya.[15] Kemudian van Vollenhoven menyatakan bahwa, hukum adat tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Hukum adat ialah bagian tatahukum Indonesia yang berasal dari adat istiadat. Adat istiadat ialah himpunan kaidah-kaidah sosial yang sejak lama ada, telah merupakan tradisi dalam masyarakat Bumi Putera, dan yang bermaksud mengatur tata tertib masyarakat Bumi Putera itu.[16]

Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis, hukum adat hanya dapat diketahui dari dan hanya dapat dipertahankan dalam keputusan-keputusan para peguasa Adat.[17]

Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan, bahwa hukum adat adalah keseluruhan kaidah-kaidah atau norma baik tertulis maupun tidak tertulis yang berasal dari adat istiadat atau kebiasaan masyarakat Indonesia untuk

119

mengatur tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, terhadap yang melanggarnya dapat dijatuhi sanksi.

Bagian terbesar dari hukum adat masih tidak tertulis. hukum adat hanya dapat diketahui dari dan dipertahankan dalam keputusan-keputusan para tetua-tetua atau penguasa adat.

Banyak keputusan-keputusan tersebut oleh para ahli ilmu hukum adat dikumpulkan dalam himpunan-himpunan yurisprudensi adat atau ditulis dalam literatur adat. Buku-buku tentang hukum adat yang terkenal hingga kini tetap dipakai sebagai rujukan antara lain :

1. Prof Mr.C.Van Vollenhoven “Het Adatrecht van Ned. Indie” (Hukum Adat Indonesia) 3 jilid;

2. Mr. B. Ter Haar Bzn. “Beginselen en stelsel van het adatrecht” (Asas-asas dan Susunan Hukum Adat);

3. Prof. Dr. Soepomo “Het adat privaatrecht van West Java” (Hukum Adat Perdata Jawa Barat);

4. Prof. M.M. Djojodiguno dan Tirtawinata “Het Adatrecht van Middel Java” (Hukum Adat Perdata Jawa Tengah);

5. Dr. V.E. Korn “Het Adatrecht van Bali” (Hukum Adat Bali);

6. Dr. J. Mallinckrodt “Het Adatrecht van Borneo” (Hukum Adat Borneo) dan lain-lain.

Pengarang yang pertama menulis tentang filsafat hukum adat adalah M. Nasroen, di dalam bukunya “Dasar Filsafah Hukum Adat Minangkabau” (1957).

Sebagian besar hukum adat bentuknya tidak tertulis, hanya sebagian kecil yang tertulis, diantaranya ialah :

a. Bermacam-macam piagam raja (surat pengesahan raja atau kepala adat); b. Kitab-kitab hukum misalnya yang dibuat oleh Kasunanan, Mangkunegara dan

Pakualam dahulu antara lain : “Angger - aru-biru” (tahun 1782);

120

“Peraturan Bekel” (tahun 1884);

c. Peraturan persekutuan hukum adat yang dituliskan seperti :

“Pranatan desa” - “agama desa” - “awig-awig” ( peraturan subak di Bali). 2. Bentuk Hukum Adat

Dari uraian di muka dapat diketahui bahwa, bentuk atau wujud Hukum Adat yaitu :

a. Tidak tertulis, bahwa hukum adat sebagian besar tidak tetulis;

b. Tertulis, bahwa sebagian kecil hukum adat tertulis dalam buku-buku kuno (klasik) yang dikeluarkan oleh para raja/sultan jaman kerajaan dahulu (Kerajaan Kadiri, Kerajaan Singosari, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Mataram Islam).

Dalam dokumen Buku-Pengantar Hukum Indonesia (Halaman 114-120)