• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA

2. Pengertian Hukum Persaingan Usaha

Hukum Persaingan Usaha merupakan hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan persaingan usaha baik tentang interaksi pelaku usaha di pasar maupun tingkah laku perusahaan yang dilandasi atas motif-motif ekonomi. Ada banyak istilah yang digunakan dalam bidang Hukum Persaingan

25 ELIPS Project bekerja sama dengan Partnership for Business Competition, Op.Cit., hlm. 24.

26 Ibid, hlm. 59.

Usaha, selain hukum persaingan usaha (competition law), yaitu hukum anti monopoli (antimonopoly law) dan hukum anti-trust (anti-trust law). 27

Menurut Hermansyah, hukum persaingan usaha adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur mengenai segala jenis aspek yang berkaitan dengan persaingan usaha, yang mencakup hal-hal yang boleh.28 Menurut Arie Siswanto, hukum persaingan usaha adalah instrument hukum yang menentukan tentang bagaimana persaingan itu harus dilakukan.29

Sedangkan, menurut Cristopher Pass dan Bryan Lowes dalam kamus lengkap ekonomi, dijelaskan bahwa hukum persaingan (Competition Law) adalah

“Suatu bagian yang berasal dari Undang-Undang yang mengatur mengenai praktik-praktik anti persaingan dan hal-hal yang dilarang dalam persaingan usaha dan juga mengatur tindakan-tindakan dalam persaingan seperti monopoli, penggabungan, dan pengambil alihan agar tetap pada sebagaimana proses persaingan yang sehat dan tidak melanggar ketentuan Undang-Undang persaingan tersebut.”30

Hal – hal lain yang harus dimengerti dalam persaingan usaha ini adalah, kita harus mengenali lebih lanjut mengenali wujud dari persaingan usaha tersebut, sehingga setelah mengenali bagaimana wujudnya maka akan dapat dengan mudah menetapkan apakah suatu persaingan itu melanggar ketentuan undang-undang.31 B. Substansi Undang - Undang No. 5 Tahun 1999

1. Asas dan Tujuan

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 merupakan sebuah aturan perundang-undangan yang harus dimengerti dan dipahami oleh setiap penggunanya, sehingga

27 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Op.Cit., hlm. 1.

28 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), hlm. 1.

29 Ibid.

30 Ibid, hlm. 2.

31 Asril Sitompul, Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Tinjauan Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999), hlm.

17.

dengan adanya Asas dan Tujuan dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dapat memberikan arahan terhadap pengaturan dan norma-norma yang terkandung didalamnya dengan tujuan agar pemahaman terhadap norma-norma tersebut dapat mempengaruhi pelaksanaan dan cara-cara penegakan hukumnya.

Asas dari UU No. 5/1999 sebagaimana diatur pada pasal 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 bahwa “pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antar kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.” Asas demokrasi ekonomi tersebut merupakan penjabaran pasal 33 UUD 1945 dan ruang lingkup pengertian demokrasi ekonomi yang dimaksud dahulu dapat ditemukan dalam penjelasan atas pasal 33 UUD 1945.32

Adapun tujuan dari UU No. 5 Tahun 1999 sebagaimana yang diatur dalam pasal 3 adalah sebagai berikut: 33

a. Untuk menjamin kepentingan umum;

b. Meningkatkan efisiensi perekonomian nasional;

c. Meningkatkan kesejahteraan rakyat;

d. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat;

e. Menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, kecil dan menengah, mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha;

f. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Pasal 2 dan 3 tersebut di atas menyebutkan asas dan tujuan-tujuan utama UU No. 5 Tahun 1999. Diharapkan bahwa peraturan mengenai persaingan akan membantu dalam mewujudkan demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945 (Pasal 2) dan menjamin sistem persaingan usaha yang bebas dan adil untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menciptakan sistem perekonomian yang efisien (Pasal 3). Oleh karena itu, mereka mengambil bagian

32 Andi Fahmi Lubis, Dkk. Op.Cit., hlm. 14.

33 Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, Op.Cit., hlm. 87-88.

pembukaan UUD 1945 yang sesuai dengan Pasal 3 Huruf a dan b UU No. 5 Tahun 1999 dari struktur ekonomi untuk tujuan perealisasian kesejahteraan nasional menurut UUD 1945 dan demokrasi ekonomi, dan yang menuju pada sistem persaingan bebas dan adil dalam pasal 3 Huruf a dan b UU No. 5 Tahun 1999. Hal ini menandakan adanya pemberian kesempatan yang sama kepada setiap pelaku usaha dan ketiadaan pembatasan persaingan usaha, khususnya penyalahgunaan wewenang di sektor ekonomi.34

Undang-Undang Antimonopoli setidaknya, memiliki 3 (tiga) fungsi, yaitu:35 1. Fungsi hukum yang akan memberikan dasar perlindungan atas

kebebasan menghadapi persaingan, di samping juga kebebasan untuk mengadakan perjanjian; dan

2. Fungsi kebijakan ekonomi adalah untuk melindungi pasar terbuka atau pasar bebas, menjaga stabilitas harga, mencegah konsentrasi ekonomi pada seglintir pihak yang akan merugikan masyarakat luas dan pengusaha ekonomi kecil dan menengah; serta

3. Fungsi kebijakan sosial yang berkaitan pula dengan hukum pajak, dan instrument hukum ekonomi lainnya yang diharapkan dapat meningkatkan pembangunan ekonomi masyarakat, melalui penciptaan demokratisasi ekonomi, pengembangan kreativitas dan inovasi pada dunia usaha, dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dalam mengembangkan.

34 Andi Fahmi Lubis, Dkk. Op.Cit., hlm. 15.

35 Insan Budi Maulana, Catatan Singkat Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 3.

2. Perjanjian yang Dilarang

Ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian dalam KUHPerdata ini merupakan asas-asas dan ketentuan-ketentuan umum yang berlaku untuk semua perjanjian secara umum. Disamping itu suatu Undang-Undang khusus dapat saja mengatur secara khusus yang hanya berlaku untuk ketentuan-ketentuan dalam undang-undang yang khusus tersebut. Hal ini dapat ditemui dalam UU No. 5 Tahun 1999 yang mengatur secara khusus apa yang dimaksud dengan perjanjian dalam UU ini. Menurut Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, perjanjian didefinisikan sebagai: “Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.” Dengan adanya definisi perjanjian yang dirumuskan oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, dapat diketahui bahwa Undang-Undang No. 5 tahun 1999 merumuskan bahwa perjanjian dapat dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis, kedua-duanya diakui atau digunakan sebagai alat bukti dalam kasus persaingan usaha. Sebelumnya perjanjian tidak tertulis umumnya dianggap tidak begitu kuat sebagai alat bukti di pengadilan, karena hukum acara perdata yang berlaku pada saat ini lebih menekankan dan mengganggap bukti tertulis dan otentik sebagai alat bukti yang kuat. Pengakuan dan masuknya perjanjian yang tidak tertulis sebagai bukti adanya kesepakatan yang dilakukan oleh para pelaku usaha dalam Hukum Persaingan Usaha adalah sangat tepat dan telah sesuai dengan rezim Hukum Persaingan Usaha yang berlaku di berbagai negara. Pada umumnya para pelaku usaha tidak akan begitu ceroboh untuk memformalkan kesepakatan diantara mereka dalam suatu bentuk tertulis, yang akan memudahkan terbuktinya kesalahan mereka. Oleh karenanya

perjanjian tertulis diantara para pelaku usaha yang bersekongkol atau yang bertentangan dengan Hukum Persaingan Usaha akan jarang ditemukan.

Undang-undang Nomor. 5 Tahun 1999 mengatur beberapa perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu:

1. Oligopoli;

2. Penetapan harga;

a. Penetapan harga (Pasal 5 UU No. 5/1999);

b. Diskriminasi harga (Pasal 6 UU No. 5/1999);

c. Jual rugi (Pasal 7 UU No. 5/1999);

d. Pengaturan harga jual kembali (Pasal 8 UU No. 5/1999);

3. Pembagian wilayah (Pasal 9 UU No. 5/1999);

4. Pemboikotan (Pasal 10 UU No. 5/1999);

5. Kartel (Pasal 11 UU No. 5/1999);

6. Trust (Pasal 12 UU No. 5/1999);

7. Oligopsoni (Pasal 13 UU No. 5/1999);

8. Integrasi vertikal (Pasal 14 UU No. 5/1999);

9. Perjanjian tertutup:

a. Exclusive distribution agreement (Pasal 15 ayat (1) UU No. 5/1999);

b. Tying agreement (Pasal 15 ayat (2) UU No. 5/1999);

c. Vertical agreement on discount (Pasal 15 ayat (3) UU No. 5/1999);

10. Perjanjian dengan pihak luar negeri.

3. Kegiatan yang Dilarang

Pengertian “kegiatan” adalah tindakan atau perbuatan hukum “sepihak”

yang dilakukan oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha tanpa ada

keterkaitan hubungan (hukum) secara langsung dengan pelaku usaha lainnya.

Sehingga, kegiatan dan perjanjian merupakan hal yang berbeda. Jadi dengan demikian “kegiatan” merupakan suatu usaha, aktivitas, tindakan, atau perbuatan hukum secara sepihak yang dilakukan oleh pelaku usaha tanpa melibatkan pelaku usaha lainnya.36

Jenis-jenis dari kegiatan yang dilarang menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:

a. Monopoli (Pasal 17);

Black‟s Law Dictionary mengartikan monopoli sebagai “a privilege or perculiar advantage vested in one or more persons or companies, consisting in the exclusive right (or power) to carry on a particular business or trade, manufacture a particular article, or control the sale of the whole supply of a particular commodity”.37

Adapun pengertian “monopoli” dikemukakan dalam pasal 1 angka 1 UU No. 5 Tahun 1999, yaitu “penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.” Dengan demikian, monopoli adalah situasi pasar di mana hanya ada satupelaku usaha atau suatu kelompok pelaku usaha yang “menguasai” suatu produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau penggunaan jasa tertentu, yang akan ditawarkan kepada banyak konsumen, yang mengakibatkan pelaku usaha atau

36 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Antimonopoli, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 31.

37 Jika diteliti, ada perbedaan antara definisi yang diberikan oleh UU No. 5 Tahun 1999 yang mengacu kepada “penguasaan pasar”, sedangkan Black’s Law Dictionary mengacu pada adanya suatu hak istimewa yang dapat menghalangi adanya persaingan bebas yang akan berakibat langsung pada penguasaan pasar. Mengenai persaingan, Black’s Law Dictionary mengartikannya sebagai “Contest of Two Rivals”.

kelompok pelaku usaha tadi dapat mengontrol dan mengendalikan tingkat produksi, harga, dan sekaligus wilayah pemasarannya.38

b. Monopsoni (Pasal 18);

Dalam UU No. 5 Tahun 1999, tidak ditentukan pengertian mengenai monopsony sebagaimana halnya pengertian monopoli.

Menurut Black’s Law Dictionary, monopsoni adalah “a condition of market in which there is but one buyer for a particular commodity.”

Monopsoni adalah situasi pasar di mana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal; sementara itu, pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya lebih banyak. Akibatnya, pembeli tunggal tersebut dapat mengontrol dan menentukan, bahkan mengendalikan, tingkat harga yang diinginkannya. Kegiatan yang demikian dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat dan apabila pembeli tunggal yang dimaksud juga menguasai lebih dari 50% pangsa pasar dari satu jenis produk barang atau jasa tertentu. Jadi, jika dalam hal monopoli, seseorang atau satu kelompok usaha menguasai pangsa pasar yang besar untuk “menjual” suatu produk, maka dalam monopsoni, sebaliknya seorang atau satu kelompok usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar untuk “membeli” suatu produk.39

c. Penguasaan Pasar (Pasal 19-Pasal 21);

38 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Op.Cit., hlm. 226.

39 Ibid, hlm. 244.

UU No. 5 Tahun 1999 tidak menentukan pengertian “penguasaan pasar”, namun demikian, penguasaan pasar ini adalah kegiatan yang dilarang karena dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 UU No. 5 Tahun 1999.

Penguasaan Pasar merupakan keinginan dari sebagian besar pelaku usaha, karena penguasaan pasar yang cukup besar memiliki potensi yang positif dengan tingkat keuntungan yang mungkin bias diperoleh oleh pelaku usaha. Segala cara akan dilakukan dari yang dapat dilakukan sampai yang dilarang untuk dapat menguasai pasar. Dengan penguasaan pasar oleh pelaku usaha dapat memungkinkan pelaku usaha tersebut melakukan segala tindakan yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.

Walaupun tidak dirumuskan berapa besar penguasaan pasar atau berapa pangsa pasar suatu pelaku usaha, namun demikian suatu perusahaan yang menguasai suatu pasar, pasti mempunyai posisi dominan di pasar. Oleh karena itu, penguasaan pasar yang cukup besar oleh pelaku usaha, biasanya menjadi perhatian bagi penegak hukum persaingan usaha untuk mengawasi perilaku pelaku usaha tersebut dalam pasar, karena penguasaan pasar yang besar biasanya dimanfaatkan untuk melakukan tindakan-tindakan anti persaingan yang bertujuan agar ia dapat tetap menjadi penguasa pasar dan mendapat keuntungan yang maksimal.40

40 Ibid, hlm. 255.

d. Persekongkolan (Pasal 22-Pasal 24).

Persekongkolan adalah suatu bentuk kerjasama dagang diantara pelaku usaha dengan maksud untuk menguasai pasar yang bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang melakukan perbuatan bersekongkol tersebut. Esensi dari perbuatan persekongkolan adalah belum tentu terdapat adanya perjanjian dalam untuk bersekongkol samata mata karena substansinya sulit untuk diformulasikan dalam bentuk perjanjian, misalnya mencuri informasi dari pelaku usaha lain.

4. Posisi Dominan

Posisi dominan dalam Pasal 1 ayat (4) UU No. 5 Tahun 1999 adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara para pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan kemampuan akses pada pasokan atau penjualan serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Sehingga dapat simpulkan, bahwa suatu posisi dominan cenderung dimiliki oleh pelaku usaha yang secara fisik telah menguasai pangsa pasar secara dominan.41

Pelaku Usaha Dominan adalah pelaku usaha yang mempunyai pangsa pasar yang besar dalam pasar, yang dapat memengaruhi harga pasar dengan memperbanyak produksinya. Pelaku usaha dominan bisa memiliki posisi dominan

41 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Op.Cit., hlm. 390.

dalam suatu industri karena memiliki keunggulan bersaing seperti halnya dalam hal ukuran, pengakuan nama perusahaan dan sumber daya.42 Pelaku usaha ini lebih sering berperan sebagai penentu harga dibanding dengan pengikut harga, dan oleh karenanya mempunyai kekuatan pasar yang besar. Sebaliknya pelaku usaha yang lebih mempunyai peranan yang kecil dan akan bertindak sebagai pengikut harga.

Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, Bentuk-Bentuk Posisi Dominan yang Dilarang dalam dunia usaha dapat dibedakan menjadi 4 bentuk:

1. Posisi Dominan yang bersifat umum (Pasal 25);

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha yang memiliki posisi dominan untuk menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung menetapkan syarat-syarat perdagangan dan bertujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas. Selain itu, pelaku usaha dilarang untuk membatasi pasar dan pengembangan teknologi dan menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.

Pelaku Usaha yang memiliki posisi dominan ialah satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar 1 jenis barang atau jasa tertentu. Selain itu, dua atau tiga pelaku

42 Indonesia, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 6 Tahun 2010, Pedoman Pelaksanaan Pasal 25 Tentang Penyalahgunaan Posisi Dominan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, hlm. 11.

usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Posisi dominan yang dimiliki oleh pelaku usaha bukanlah sesuatu yang dilarang selama pelaku usaha tersebut tidak melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.

2. Posisi Dominan karena Jabatan Rangkap (Pasal 26);

Undang-Undang Antimonopoli melarang adanya jabatan rangkap dari seorang direksi atau komisaris suatu perusahaan pada waktu bersamaan merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain. Perusahaan-perusahaan tersebut apabila berada dalam pasar bersangkutan yang sama, atau yang memiliki keterkaitan erat dalam bidang dan/atau jenis usaha. Sehingga, perusahaan-perusahaan tersebut secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan/atau jasa tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

3. Posisi Dominan karena Pemililikan Saham (Pasal 27);

Kepemilikan saham seseorang di suatu perusahaan juga membuka peluang terjadinya Posisi Dominan yang dapat menimbulkan praktik monopoli. Larangan posisi dominan karena kepemilikan saham yang diatur oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ialah pelaku usaha yang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang

sama. Kepemilikan saham tersebut dapat menimbulkan praktik monopoli apabila mengakibatkan satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu, atau dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

4. Posisi Dominan karena Pengambilalihan (Pasal 28 dan 29).

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 melarang adanya melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham perusahaan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha dan ketentuan mengenai pengambilalihan saham perusahaan diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010.

B.5. KPPU

5. 1 Latar Belakang

Dalam perkembangan hukum persaingan, ternyata penyelesaian sengketa persaingan usaha tidak semata-mata merupakan sengketa perdata. Pelanggaran terhadap hukum persaingan mempunyai unsur-unsur pidana bahkan administrasi.

Hal ini disebabkan pelanggaran terhadap hukum persaingan pada akhirnya akan merugikan masyarakat dan merugikan perekonomian Negara. Oleh karenanya, di samping penyelesaian sengketa secara perdata, penyelesaian sengketa persaingan usaha dilakukan juga secara pidana.

Hal tersebut yang menyebabkan agar persaingan usaha dapat memiliki institusi khusus. Adapun institusi yang diberi kewenangan oleh Negara untuk penanganan perkara pelanggaran hukum persaingan usaha diatur secara berbeda dengan tindak pidana pada umumnya. Institusi ini dibentuk dan diberi kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 institusi yang memiliki kewenangan untuk sengketa persaingan usaha adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

KPPU adalah sebuah lembaga yang bersifat independen, dimana dalam menangani, memutuskan atau melakukan penyelidikan suatu perkara tidak dapat dipengaruhi oleh pihak mana pun, baik pemerintah maupun pihak lain yang memiliki conflict of Interest. Untuk menjamin independensi kerja komisi dari pengaruh pemerintah dan pihak lain ditentukan bahwa anggota komisi diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR, sehingga untuk pelaksanaan wewenang dan tugasnya bertanggung jawab kepada presiden. KPPU juga adalah lembaga quasi judicial yang mempunyai wewenang eksekutorial terkait kasus- kasus persaingan usaha.43

Meskipun pengadilan pada umumnya merupakan tempat penyelesaian perkara yang resmi dibentuk oleh Negara, namun untuk hukum persaingan, pada tingkat pertama penyelesaian sengketa antar pelaku usaha tidak dilakukan oleh pengadilan. Alasan yang dapat dikemukakan adalah karena hukum persaingan membutuhkan orang-orang spesialis yang memiliki latar belakang dan mengerti betul tentang seluk beluk bisnis dalam rangka menjaga mekanisme pasar. Institusi

43 Rival Rumimpunu, “Penegakan Hukum Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Berdasarkan UU No.5 Tahun 1999”. Lex et Societatis Volume. 4 No.1, Januari 2016, diakses dari web https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/view/11151, pada tanggal 19 Agustus 2018.

yang menyelesaikan sengketa persaingan usaha harus beranggotakan orang-orang yang tidak saja berlatar belakang hukum, tetapi juga ekonomi dan bisnis. Alasan lain mengapa diperlukan institusi yang secara khusus menyelesaikan kasus praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat adalah agar tidak bertumpuknya berbagai perkara di pengadilan. Institusi yang secara khusus menyelesaikan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat dapat dianggap sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa sepanjang alternatif disini adalah diluar pengadilan.44

Indonesia yang saat ini sudah memiliki undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai persaingan usaha, dan mengharapkan agar dengan adanya undang-undang ini diharapkan dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan benar. Sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat serta terhindarinya pemusatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, antara lain dalam bentuk praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat. Undang-Undang ini secara umum mengatur cukup lengkap hal-hal yang berkaitan dengan larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Menurut Pasal 37 UU No. 5 Tahun 1999, lembaga yang ditunjuk melakukan pengawasan adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Disamping lembaga tersebut, berdasarkan Pasal 44 ayat (2) dari undang-undang

44 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Op.Cit., hlm. 540.

ini ada lembaga lain yang dapat menjadi penegak pelaksanaan undang-undang ini, yaitu penyidik dan pengadilan.45

5.2. Tugas dan Kewenangan Komisi

Di Indonesia, esensi keberadaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 pasti memerlukan pengawasan dalam rangka implementasinya. Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai landasan kebijakan persaingan diikuti dengan berdirinya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) guna memastikan dan melakukan pengawasan terhadap dipatuhinya ketentuan dalam Undang-Undang Antimonopoli tersebut.46

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah lembaga publik, penegak dan pengawas pelaksanaan UU No. 5/1999, serta wasit independen dalam rangka menyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Perlu ditekankan bahwa melalui wewenang pengawasan yang dimilikinya, KPPU di harapkan dapat menjaga dan mendorong agar sistem ekonomi pasar lebih efisien produksi, konsumsi dan alokasi, sehingga pada akhinrya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Terkait dengan hal tersebut, maka tugas dan wewenang dari KPPU sebagaimana ditentukan dengan jelas dan tegas baik dalam UU No. 5/1999 maupun di dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 75/1999 adalah instrumen hukum yang mempunyai peranan penting dalam rangka wemujudkan sistem ekonomi pasar yang mendorong efisiensi produksi, konsumsi dan alokasi.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah lembaga publik, penegak dan pengawas pelaksanaan UU No. 5/1999, serta wasit independen dalam rangka menyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Perlu ditekankan bahwa melalui wewenang pengawasan yang dimilikinya, KPPU di harapkan dapat menjaga dan mendorong agar sistem ekonomi pasar lebih efisien produksi, konsumsi dan alokasi, sehingga pada akhinrya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Terkait dengan hal tersebut, maka tugas dan wewenang dari KPPU sebagaimana ditentukan dengan jelas dan tegas baik dalam UU No. 5/1999 maupun di dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 75/1999 adalah instrumen hukum yang mempunyai peranan penting dalam rangka wemujudkan sistem ekonomi pasar yang mendorong efisiensi produksi, konsumsi dan alokasi.

Dokumen terkait