• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Hukum Syara’

Dalam dokumen Ushul Fiqh I (Halaman 33-37)

TAKLIFY DAN WADH’IY

PENGERTIAN HUKUM SYARA’ DAN PEMBAGIAN HUKUM SYARA’ (TAKLIFY DAN WADH’IY)

1. Pengertian Hukum Syara’

Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berartii “mencegah” atau “memutuskan”. Menurut terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm) berarti:

ِعْضَولْا ِوَأ ِْيِْيْخَّتلا ِوَأ ِءاَضِتْقِلااِب َْ ِ َّلَكُمْلا ِلاَعْ فَأِب ُقّْلَعَ تُمْلا ِللها ُباَطِخ

Artinya;

Khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa iqtidha (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), Takhyir (kebolehan untuk orang mukalaf memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau Wadl (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani‟ (penghalang)

Khitab Allah yang di maksud dalam defenisi tersebut adalah Kalam Allah. Kalam Allah sebagai sifatnya adalah al-kalam al-nafsi (kalam yang ada pada diri Allah) yang tidak mempunyai huruf dan suara. Kalam Allah seperti itulah yang dimaksud hakikat hukum

syara‟. Kita hanya bisa mengetahui kalam nafsi itu melalui kalam lafdzi,

yaitu kalam yang mempunyai huruf dan suara yang terbentuk dalam ayat-ayat al-Qur‟an. Ayat al-Qur‟an merupakan dalil (petunjuk) kepada kalam nafsi Allah. Dari segi ini, ayat-ayat al-Qur‟an populer

Allah. Oleh karena yang dapat dijangkau oleh manusia hanyalah kalam lafdzi Allah dalam bentuk ayat-ayat al-Qur‟an, maka populer dikalangan ahli-ahli Ushul Fiqh bahwa yang dimaksud dengan teks-teks ayat adalah hukum itu sendiri yang mengatur perbuatan manusia.

Kalam Allah adalah hukum baik langsung, seperti ayat-ayat hukum dalam al-Qur‟an, atau secara tidak langsung, seperti hadits-hadits hukum dalam sunnah Rasulullah yang mengatur amal perbuatan manusia. Hadits hukum dianggap sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena apa yang diucapkan Rasulullah di bidang tasyri‟ tidak lain adalah petunjuk dari Allah juga.

Dengan demikian, apa yang disebut hukum dalam pembahasan ini adalah teks ayat-ayat ahkam dan teks hadits ahkam. Sejalan dengan hal ini, ada sebagian ulama, antara lain Abdul Karim Zaidan, secara langsung menafsirkan pengertian khitab dalam defenisi tersebut sebagai kalam Allah baik secara langsung seperti kalam Allah yang terdapat dalam al-Qur‟an, maupun secara tidak langsung seperti sunnah Rasulullah saw., ijma‟‟, dan dalil-dalil syara‟ lain yang dijadikan Allah sebagai dalil (petunjuk) untuk mengetahui hukum-Nya. Sunnah Rasulullah saw. dianggap sebagai kalam Allah secara langsung karena merupakan petunjuk-Nya sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Najm (53): 2-3

ىَحْوُ ي ٌيْحَو َّلاِإ َوُى ْنِإ ىَوَْلْا ِ َع ُقِطْنَ ي اَ َو

Terjemahnya;

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur‟an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tida lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)

Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa Rasulullah saw. tidak mengucapkan sesuatu di bidang hukum kecuali berdasarkan wahyu. Demikian pula dengan ijma‟ harus mempunyai sandaran, baik al-Qur‟an atau sunnah Rasulullah saw. Sama halnya dengan itu dalil-dalil hukum lainnya tidak sah dijadikan sebagai dasar hukum kecuali setelah diketahui adanya pengakuan dari wahyu. Dengan demikian, khitab Allah dalam defenisi hukum di atas, mencakup semua dalil-dalil hukum yang diakui oleh syara‟, sehingga apa yang dimaksud

dengan khitab dalam defenisi di atas adalah ayat-ayat hukum dan hadits-hadits hukum. Misalnya Firman Allah :

ىَلتُي اَ َّلاإ ِماَعْ نَلأا ُةَمْيَِبِ ْ ُكَل ْ َّلِحأ ِدْوُقُعْلاِب اْوُ فْوَأ اْوُ نَ اء َ ْيِذَّلااَ ُّ يَأ اَي

ُدْيِرُي اَ ُ ُكَْيَ َللها َّنِإ ٌمُرُح ْ ُتْ نَأ َو ِدْيَّ لا ىّْلُِمُ َرْ يَغ ْ ُكْيَلَع

(

ةدئالما

/

1

)

Terjemahnya;

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu, dihalalkan atas kamu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum mnurut yang dikehendaki-Nya.

Bagian awal dari ayat tersebut adalah ketentuan Allah tentang kewajiban memenuhi janji. Jadi yang disebut hukum dalam kajian Ushul Fiqh adalah teks ayat atau sunnah Rasulullah saw. yang mengatur amal perbuatan manusia, yang populer tersebut sebagai ayat-ayat ahkam dan hadits-hadits ahkam.

Bagian awal ayat tersebut adalah ketentuan Allah tentang kewajiban memnuhi janji. Jadi, yang disebut hukum dalam kajian Ushul Fiqh adalah teks ayat atau Sunnah Rasulullah yang mengatur amal perbuatan manusia, yang popular disebut sebagai ayat-ayat

ahkam dan hadits-hadits ahkam.

Bila dicermati defenisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ayat-ayat atau hadits-hadits hukum dapat dikategorikan kepada beberapa macam:

a. Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang diperintahkan itu sifatnya wajib.

b. Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang dilarang itu sifatnya haram.

c. Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan yang dianjurkan itu sifatnya mandub.

d. Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan, dan perbuatan yang dianjurkan untuk ditinggalkan itu sifatnya makruh.

e. Memberi kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan, dan perbuatan yang diberi pilihan untuk dilakukan atau ditinggalkan itu sifatnya mubah.

f. Menetapkan sesuatu sebagai sebab. g. Menetapkan sesuatu sebagai syarat.

h. Menetapkan sesuatu sebagai mani (penghalang).

i. Menetapkan sesuatu sebagai kriteria sah dan fasad/batal. j. Menetapkan sesuatu sebagai kriteria „azimah dan rukhsah. Pembagian ayat hukum dan hadits hukum kepada beberapa kategori tersebut sekaligus memberikan informasi tentang ciri ayat

ahkam dan hadits ahkam. Artinya, untuk membedakan mana yang

ayat ahkam atau hadits ahkam dan mana yang bukan, bisa dengan menggunakan ciri-ciri tersebut. Dua hal yang perlu digaris bawahi adalah:

Pertama, bahwa dalam pemakaiannya dikalangan ahli Ushul

Fiqh, istilah hukum disamping digunakan untu menyebut teks-teks ayat atau hadits-hadits hukum, juga digunakan untuk menyebut sifat perbuatan yang menjadi objek dari hukum itu. Dalam pembagian di atas, perbuatan yang diperintahkan seperti melakukan shalat sifatnya

wajib, perbuatan yang dilarang sifatnya haram, yang dianjurkan

sifatnya mandub, yang dianjurkan untuk ditinggalkan sifatnya makruh, dan yang dibebaskan untuk memilih sifatnya mubah. Maka sifat wajib,

haram, mandub, makruh, dan mubah yang merupakan sifat dari

perbuatan itu dikenal dengan hukum syara‟. Dengan demikian hukum shalat, misalnya, adalah wajib dan meminum khamr adalah haram. Ada dua bentuk pemakaian tersebut tidak perlu dipertentangkan. Sebab, pemakaian istilah hukum kepada teks ayat atau hadits karena melihat kepada dalil dan proses terbentuknya hukum. Sedangkan pemakaiannya kepada sifat perbuatan mukalaf yang terkena hukum karena melihat kepada hasilnya.

Penggunaan istilah hukum kepada teks ayat ahkam dan hadits

ahkam dapat dilihat ketika membicarakan dalil-dalil hukum, seperti

pembicaraan tentang al-Qur‟an dan Sunnah. Sedangkan pemakaian istilah hukum kepada sifat perbuatan mukalaf dapat dilihat ketika membicarakan pembagian hukum takhlifi dan wadh‟i. dalam perkembangannya, kalangan Hanafiyah, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, lebih cenderung mengartikan hukum dengan

sifat perbuatan mukalaf tersebut, sehingga apa yang disebut hukum

takhlifi menurut mereka adalah wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah. Kecenderungan ini diikuti pula oleh ahli-ahli fiqhi dari

kalangan mayoritas ulama. Dibawah ini akan diuraikan pembagian hukum bila dilihat kepada hasilnya.

Perbedaan pendapat tersebut bukan tidak mempunyai akibat hukum. Sebab, menurut mayoritas ulama hukum adalah qadim karena merupakan kalam nafsi Allah yang merupakan salah satu sifat-Nya. Sedangkan menurut kalangan Hanafiyah, hukum adalah baru karena merupakan pengaruh kalam Allah terhadap perbuatan manusia.

Kedua, seperti dikemukakan di atas, yang dimaksud dengan

hukum adalah teks ayat ahkam atau hadits ahkam. Dengan demikian bukan berarti bahwa yang disebut hukum hanya terdapat pada bunyi teks itu sendiri. Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya itu ada yang secara langsung ditunjukkan oleh teks al-Qur‟an dan Sunnah dan ada pula yang secara tidak langsung ditunjukkan oleh teks, tetapi oleh substansi ayat atau hadits yang disimpulkan oleh ahlinya (mujtahid) dengan kegiatan ijtihad, seperti hukum yang ditetapkan dengan ijma‟‟, qiyas, dan dalil-dalil hukum lainnya seperti akan datang penjelasannya. Ketentuan-ketentuan seperti itu adalah ketentuan Allah dan Rasul-Nya juga karena bersumber dari al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah saw.

Dalam dokumen Ushul Fiqh I (Halaman 33-37)