• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Kejahatan dan Ruang Lingkup Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Kejahatan

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Penanggulangan Kejahatan

A. 1. Pengertian Kejahatan dan Ruang Lingkup Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Kejahatan

Kejahatan merupakan suatu perbuatan menyimpang dari perilaku yang dianggap sesuai dengan norma yang mengatur kehidupan masyarakat dalam berperilaku.

Menurut Giriraj Shah ”Crime is as old as man”, menurutnya kali pertama terjadinya pelanggaran larangan dan hal itu dapat dipandang kejahatan (dosa), yakni ketika Adam memakan buah terlarang, yang berakibat dikeluarkannya Adam dan Hawa dari surga ke bumi. Dengan perkembangan manusia dan masyarakat, maka kejahatan juga tumbuh dalam berbagai bentuk dan tingkatan.47

Dalam Encyclopedia Amerika (volume 8) dikemukakan bahwa kejahatan atau crime adalah perbuatan yang secara hukum dilarang oleh negara, sedangkan dilihat dari segi hukum (legal definition) kejahatan adalah tindakan yang dapat dikenakan hukuman oleh hukum pidana.48

47

Arief Amrullah, Kejahatan Korporasi, Bayumedia, Malang, 2006, hal. 2-3.

48

Pembicaraan mengenai kejahatan dikatakan dalam suatu ungkapan bahwa ”Kejahatan itu tua dalam usia tetapi muda dalam berita”, karena sejak dahulu hingga saat ini, orang tidak pernah bosan mendiskusikannya.

Menurut Benedict S. Alper, kejahatan merupakan problem sosial yang paling tua dan sehubungan dengan masalah itu tercatat lebih dari 80 kali konfrensi internasional yang dimulai pada tahun 1825 hingga tahun 1970 yang membahas upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan kejahatan.49

Frank Tannenbaum dalam preface buku ”New Horizons in

Criminology” karya Barnes & Teeters; ”Crime is eternal as eternal as

society”, manusia sesuai dengan kodratnya lahir dan hidup dalam kelompok-kelompok tipe dan corak organisasi kemanusiaan. 50

Dalam organisasi tersebut sifat-sifat manusia tidak selalu berjalan dengan apa yang dikehendaki oleh tuntutan masyarakat, termasuk dalam hal ini perilaku manusia yang dinamakan dengan kejahatan. Kejahatan merupakan suatu perbuatan yang sama sekali tidak dikehendaki oleh masyarakat, akan tetapi kejahatan sendiri tidak dapat dihapus di dalam masyarakat, hal ini dikarenakan yang melakukan kejahatan tersebut adalah anggota masyarakat sendiri.

Selain definisi di atas tentang kejahatan Kansil berpendapat bahwa, kejahatan merupakan perbuatan pidana dalam kategori berat, yang secara umum kejahatan dibagi dua:

49

Ibid, hal. 3-4.

50

A. Widiada Gunakaya., Sejarah Dan Konsepsi Permasyarakatan, Armico, Bandung, 1988, hal. 117.

1) kejahatan terhadap peraturan negara, seperti pemberontakan, tidak membayar pajak, melawan petugas negara yang menjalankan tugasnya;

2) kejahatan terhadap kepentingan hukum manusia yang mencakup jiwa (pembunuhan), tubuh (penganiayaan), kemerdekaan (penculikan), kehormatan (penghinaan), dan milik (pencurian atau perampokan). Dalam KUHP yang berlaku di Indonesia ancaman pidana terhadap kejahatan adalah pidana mati ataupun pidana penjara.51

Kejahatan dalam KUHP merupakan sisi lain dari pada pelanggaran. KUHP memisahkan antara kejahatan dengan pelanggaran, keduanya merupakan perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancamkan dengan pidana (kepada barang siapa yang melanggar larangan tersebut) atau disebut dengan istilah perbuatan pidana ataupun delik.

Menurut pembuat KUHP di Nederland dahulu tahun 1880 masing masing delik tersebut berlainan sifat secara kualitatif yaitu: kejahatan (misdrijven) misalnya pencurian (Pasal 362 KUHP), penggelapan (Pasal 378), penganiayaan (Pasal 351) dan pembunuhan (Pasal 338), sedangkan pelanggaran (overtredingen), misalnya; kenakalan (Pasal 489), pengemisan (Pasal 504), dan pergelandangan (Pasal 505).52

Perbuatan pidana ini menurut ujud dan sifatnya adalah bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum, mereka adalah perbuatan yang melawan (melanggar hukum).53

Penentuan sebuah perbuatan sebagai kejahatan dalam undang-undang tidakalah terlepas dari proses pembuatan kebijakan dalam

51

Al Yasa’ Abubakar, Marah Halim., Hukum Pidana Islam di Nanggroe Aceh Darusalam, Dinas Syari’at Islam Nanggroe Aceh Darussalan, 2006, hal. 32.

52

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal. 2.

53

menentukan sebuah perbuatan itu sebagai tindak pidana atau sebuah delik. Dalam membuat atau merumuskan suatu kebijakan banyak faktor yang berpengaruh, sehingga harus diantisipasi agar mudah dan berhasil saat diimplementasikan.

James E. Anderson mengemukakan bahwa kebijakan adalah arah tindakan yang mempunyai maksud, yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan.54

Dalam proses itu pembuat kebijakan harus mencari dan menemukan identitas permasalahan kebijakan. Adapun yang dimaksud dengan permasalahan kebijakan menurut David G. Smith adalah:

”For policy purposes, a problem can be formally defined as condition in situation that produces needs in dissatisfactions on the part of the people for which relief or redress is sought. This may be done those directly affected or by others acting on their behalf”. 55

Permasalahan baru akan menjadi permasalahan kebijakan (policy

problem), apabila problem-problem itu dapat membangkitkan orang

banyak untuk melakukan tindakan terhadap problema-problema itu.

Istilah kebijakan dalam hal ini ditransfer dari Inggris; ”Policy” atau dalam bahasa Belanda: ”Politiek” yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum) dalam mengelola, mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan publik,

54

Ema Wahyuni, T. Syaiful Bahri, Hessel Nogi S. Tangkilisan, Kebijakan dan Manajemen

Hukum Merek, YPAPI, Yogyakarta, Tanpa Tahun, hal. 12. 55

masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian hukum/peraturan, dengan satu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).56

Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah ”kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah ”politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah ”politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain ”penal policy”, ”Criminal law policy” atau ”strafrechtspolitiek”.57 Berkaitan dengan itu dalam kamus besar Bahasa Indonesia memberikan arti terhadap istilah ”politik” dalam 3 (tga) batasan pengertian yaitu:

a. pengetahuan mengenai ketatanegaraan (seperti: sistem pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan);

b. segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya); c. cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu

masalah), kebijaksanaan.58

Politik hukum pidana merupakan bagian yang yang saling terkait antara politik kriminal dan politik sosial (social policy) dalam kebijakan yang lebih luas. Politik kriminal merupakan suatu upaya penanggulangan kejahatan dengan perumusan suatu kebijakan baik melalui hukum pidana maupun di luar hukum pidana. Sudarto membagi politik kriminal ini dalam arti sempit, lebih luas dan paling luas. Dalam arti sempit politik kriminal

56 Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan

Komputer, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1999, hal. 10. 57

Barda Nawawi Arief, Op.cit, hal. 24.

58

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahsa Indonesia, Balai Pustaka, 1997, hal. 780.

itu digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode, yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelangaran hukum yang berupa pidana. Dalam arti lebih luas politik kriminal merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; sedang dalam arti yang paling luas ia merupakan keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.59 Beliau juga mengemukakan definisi singkat mengenai politik kriminal yang berarti ”suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”. Defisnisi ini diambil dari definisi Marc Ancel yang merumuskan sebagai ”The rational organization of the control

of crime by society”.60

Politik kriminal menurut G. Peter Hoefnagels adalah” Ciminal

policy is the rational organization of the social reaction to crime”.61

Berbagai definisi lain yang dikemukakan oleh G. P. Hoefnagels, yaitu:62 a. Criminal policy is the science of responses;

b. Criminal policy is the science of crime prevention;

c. Criminal policy is policy of designating human behavior of

crime;

d. Criminal policy is a rational total of the responses to crime. Banyak cara maupun usaha yang dapat dilakukan oleh setiap negara (pemerintah) dalam menaggulangi kejahatan, diantaranya melalui suatu kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana.

59

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, 2006, hal. 113-114.

60

Barda Nawawi Arief, Op.cit, hal. 1-2.

61

Ibid.

62

Selanjutnya menurut Sudarto, pengertian kebijakan atau politik hukum pidana adalah;

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada saat itu.

b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekpresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.63

Dengan demikian kebijakan hukum pidana (penal policy/criminal

law policy (strafrechtspolitiek) dapat didefinisikan sebagai usaha

mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. Kata ”sesuai” dalam pengertian tersebut mengandung makna ”baik” dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna.64

Dari definisi tersebut di atas sekilas nampak bahwa kebijakan hukum pidana identik dengan ”pembaharuan perundang-undangan hukum pidana”, namun sebenarnya pengertian kebijakan hukum pidana tidak sama dengan pembaharuan perundang-undangan hukum pidana dalam arti sempit. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

” Hukum pidana sebagai suatu sistem hukum yang terdiri dari budaya (culture), struktur dan substansi hukum. Dengan demikian pembaharuan hukum pidana tidak sekedar memperbaharui perundang-undangan hukum pidana saja namun juga memperbaharui sektor-sektor lain seperti ilmu hukum pidana dan ide-ide hukum pidana melalui proses pendidikan dan pemikiran akademik”.65

63

Ibid, Hal. 24-25.

64

Aloysius Wisnubroto, Op.cit. hal. 11.

65

Bahkan sebenarnya ruang lingkup kebijakan hukum pidana lebih luas dari pada pembaharuan hukum pidana. Hal ini disebabkan oleh kebijakan hukum pidana dilaksanakan melalui tahap-tahap konkretisasi/operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana yang terdiri dari;

1. kebijakan formulatif/legislatif, yaitu tahap perumusan/penyusunan hukum pidana;

2. kebijakan aplikatif/yudikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana; 3. kebijakan administratif/eksekutif, yaitu tahap pelaksanaan hukum

pidana.66

Dalam hal ini pembaharuan hukum pidana lebih banyak berkaitan dengan tahap perumusan atau pembuatan hukum pidana atau berkaitan dengan kebijakan formulatif.

Kebijakan hukum pidana tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum pidana. Dalam hal ini Marc Ancel menyatakan bahwa setiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan hukum pidana beserta sanksinya, suatu prosedur hukum pidana dan suatu mekanisme pelaksanaan pidana.67

Dalam hal ini A. Mulder mengemukakan bahwa kebijakan hukum pidana ialah garis kebijakan untuk menentukan;

1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dirubah atau diperbaharui;

2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;

66

Ibid. hal. 11.

67

3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.68

Dengan demikian kebijakan hukum pidana berkaitan dengan proses penegakan hukum (pidana) secara menyeluruh. Oleh sebab itu kebijakan hukum pidana diarahkan pada konkretisasi/operasionalisasi/ fungsionalisasi hukum pidana material (substansial), hukum pidana formal (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana. Selanjutnya kebijakan hukum pidana dapat dikaitkan dengan tindakan-tindakan.

1. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana;

2. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi mayarakat;

3. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum pidana;

4. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.69 Kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai bagian dari politik kriminal, pada dasarnya merupakan upaya yang rasional untuk menunjang dan mencapai ”kesejahteraan sosial” (social welfare) dan ”pertahanan sosial” (social defence). Dengan demikian, digunakannya hukum pidana sebagai salah satu sarana politik kriminal dan sarana politik sosial, dimaksudkan untuk melindungi kepentingan dan nilai-nilai sosial tertentu dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial.

68

Ibid. hal. 28.

69

Dengan demikian, sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal) dilakukan dengan menggunakan sarana ”penal” (hukum pidana), maka kebijakan hukum pidana (penal policy) khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakan hukum pidana in concreto) harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa ”social welfare” dan ”social defence”

Dalam kebijakan hukum pidana, pemberian pidana untuk menanggulangi kejahatan merupakan salah satu upaya di samping upaya-upaya lain. Penanganan kejahatan melalui sistem peradilan pidana merupakan sebagian kecil dari penanganan kejahatan secara keseluruhan.

Upaya melalui sistem peradilan pidana dikenal dengan istilah ”upaya penal” yaitu dengan menggunakan peraturan perundang-undangan pidana, di samping upaya ”non penal” yang penekanannya ditunjukkan pada faktor penyebab terjadinya kejahatan. Keseluruhan penanggulangan kejahatan ini merupakan politik kriminal. Kebijakan kriminal atau politik kriminal adalah suatu usaha rasional untuk menaggulangi kejahatan. politik kriminal ini merupakan bagian dari politik penegakan hukum yang arti luas (law Enforcement Policy) yang merupakan bagian dari politik sosial (social Policy) yakni usaha dari masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.70

Penegakan norma sentral ini dapat diartikan sebagai penanggulangan kejahatan. Melaksanakan politik kriminal berarti

70

mengadakan pemilihan dari sekian banyak alternatif, mana yang paling efektif dalam usaha penanggulangan tersebut. 71

Politik hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari politik hukum (dalam tataran makro), dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu dengan cara-sara yang diusulkan dan denangan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan dapat dihormati.72

Jika demikian halnya maka menurut Sudarto, melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana sesuai dengan keadaan situasi pada suatu waktu dan masa-masa yang akan datang. Lebih lanjut Sudarto menyatakan:

“ Pembentukan Undang-undang yang merupakan proses sosial dan proses politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh luas, karena ia akan memberi bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang-undang ini digunakan oleh penguasa untuk mencapai dan mewujudkan tujuan-tujuan tertentu”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa undang-undang itu mempunyai dua fungsi:

1) fungsi untuk mengekpresikan nilai-nilai; dan 2) fungsi intrumental.

Sudarto merujuk pada hasil simposium Tentang Kesadaran Hukum Masyarakat Dalam Masa Transisi, yang diselanggarakan di Semarang tanggal 20-23 Januari 1975 menulis, negara-negara yang sesudah Perang Dunia ke-II telah memperoleh kemerdekaan berusaha untuk melakukan

71

Ibid, hal. 14l.

72

langkah-langkah modernisasi di negaranya masing-masing. Dengan adanya langkah-langkah tersebut maka telah terjadi proses perkembangan masyarakat yang meliputi bidang ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Modernisasi itu menurut beliau dapat diartikan sebagai proses penyesuaian diri dengan keadaan konstelasi dunia pada waktu kini. Apabila hukum pidana hendak dilibatkan maka harus dilibatkan maka harus dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal. 73

Barda Nawawi Arief, menjelaskan bahwa sistem hukum nasional di samping hendaknya dapat menunjang pembangunan nasional dan kebutuhan pergaulan internasional, namun juga harus bersumber dan tidak mengabaikan nilai-nilai dan aspirasi hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat itu dapat bersumber atau digali dari nilai-nilai hukum adat dan nilai-nilai hukum agama.74

Kongres PBB yang diselenggarakan 5 (lima) tahun sekali mengenai ”The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders” sering dinyatakan bahwa sistem hukum pidana yang ada di beberapa Negara, pada umumnya bersifat “Obsolete and Unjust” (telah usang dan tidak adil) serta “Outmoded and Unreal” (sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan). Karena sistem hukum pidananya yang berasal dari hukum asing semasa zaman kolonial yang tidak sesaui dengan karakteristik dan falasfah hidup masyarakatnya dan tidak sesuai lagi dengan kebutuhan

73

Ibid.

74

sosial masa kini. Hal yang demikian dinilai oleh kongres PBB merupakan salah satu faktor kontribusi untuk terjadinya kejahatan (a contributing

factor to the increase of crime) dan dapat menjadi faktor kriminogen jika

suatu kebijakan pembangunan hukumnya mengabaikan nilai-nilai moral dan kultural dalam masyarakat di mana hukum tersebut diterapkan. 75

Hal di atas menegaskan bahwa kajian perbandingan dari sudut hukum tradisional/adat dan hukum agama merupakan “tuntutan zaman”. Khusus bagi Indonesia, tentunya merupakan “beban nasional” dan bahkan merupakan kewajiban dan tantangan nasional” karena telah diamanatkan dan direkomendasikan dalam berbagai kebijakan perundang-undangan dan seminar-seminar nasional selama ini.76