• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

G. Kekerasan dalam Rumah Tangga

3. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga atau Domestic Violence adalah rangkaian kata yang terdiri dari dua kata yaitu kekerasan atau violence yang menjadi penekanan utamanya; dan kata rumah tangga atau domestic yang menjelaskan tempat peristiwa violence itu sendiri. Secara sederhana

domestc violence dapat diterjemahkan sebagai kekerasan yang terjadi dalam

lingkup rumah tangga.27

Kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan yang meliputi penyerangan, pemukulan, perkosaan dan pembunuhan, yang dilakukan oleh

26

Achie Sudiarti Luhulima, ed., Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya (Bandung: PT. Alumni, 2000), h. 109.

27

seseorang kepada orang lain (yang dilakukan oleh pelaku kepada korban) dalam hubungan intim. Hubungan intim ini termasuk hubungan antara suami-istri, pasangan seksual, orang tua, anggota keluarga besar, dan pacaran.28

Menurut Mansur Faqih, “Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah serangan atau invasi (assault) yang menyakitkan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang.”29

Pada tahun 1993 Laporan Kekerasan dalam Rumah Tangga oleh

Home Affairs Select Committee (HASC), mendefinisikan kekerasan dalam

rumah tangga sebagai: “Semua bentuk penganiayaan fisik, seksual atau emosional yang berlangsung dalam konteks suatu hubungan yang erat. Dalam banyak kasus, hubungan yang terjadi diantara pasangan (yang dinikahi, kumpul kebo, atau yang lainnya) atau bekas pasangan.”30

Dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 1 Ayat 1, pengertian kekerasan dalam rumah tangga adalah:

“Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”31

28

Dewita Hayu Shinta dan Oetari Cintya Bramanti, Kekerasan dalam Rumah Tangga Reduksi Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam RUU KUHP (Jakarta: LBH APIK, 2007), h. 38.

29

Eti Nurhayati, Bimbingan, Konseling & Psikoterapi Inovatif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 127.

30

Purnianti dan Kolibonso, Menyingkap Tirai Kekerasan dalam Rumah Tangga, h. 28.

31

Terdapat teori lingkaran kekerasan untuk memahami mengapa korban kekerasan dalam rumah tangga tetap bertahan atau berupaya mempertahankan perkawinannya. Teori lingkaran kekerasan terdiri atas tiga tahap, yaitu tahap munculnya ketegangan, tahap pemukulan akut, dan tahap bulan madu.32

Pada tahap munculnya ketegangan yang mungkin disebabkan percekcokan terus-menerus, atau tidak saling memerhatikan, atau kombinasi keduanya dan kadang-kadang disertai dengan kekerasan kecil. Namun, semua ini biasanya dianggap sebagai bumbu perkawinan. Kemudian, pada tahap kedua, kekerasan mulai muncul berupa meninju, menendang, menampar, mendorong, mencekik, atau bahkan menyerang dengan senjata. Kekerasan ini dapat berhenti kalau si perempuan pergi dari rumah atau si laki-laki sadar apa yang dia lakukan, atau salah seorang perlu dibawa ke rumah sakit.

Pada tahap bulan madu, laki-laki sering menyesali tindakannya. Penyesalannya biasanya berupa rayuan dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. Bahkan, tidak jarang laki-laki sepenuhnya menunjukkan sikap mesra dan menghadiahkan sesuatu. Kalau sudah begitu, biasanya perempuan menjadi luluh dan memaafkannya karena ia masih

Kekerasan dalam Rumah Tangga pasal 1 Ayat 1.

32

Rika Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009), h. 32.

berharap hal tersebut tidak akan terjadi lagi. Itulah sebabnya mengapa perempuan tetap memilih bertahan meski menjadi korban kekerasan karena pada tahap bulan madu ini perempuan merasakan cinta yang paling penuh. Namun, kemudian tahap ini pudar dan ketegangan muncul lagi. Terjadi tahap kedua, munculnya ketegangan dan kekerasan. Selanjutnya, terjadi bulan madu kembali. Demikian seterusnya lingkaran kekerasan ini berputar jalin-menjalin sepanjang waktu.

Kekerasan dalam rumah tangga adalah perilaku yang disebabkan oleh suatu kebutuhan untuk mengendalikan. Kekerasan dalam rumah tangga dapat terentang dari ancaman, mengganggu percakapan telepon dan pembuntutan (seperti mengikuti korban ke dan dari pekerjaan, dan mengancam korban), hingga sentuhan seksual yang tidak dikehendaki dan pemukulan. Kekerasan ini juga dapat didefinisikan sebagai seseorang merusak milik pasangannya.33

Kebanyakan perempuan menganggap bahwa kekerasan yang dilakukan suaminya adalah kekhilafan sesaat. Dan biasanya suami terus minta maaf, bersikap mesra lagi pada istrinya. Biasanya, suami melakukan kekerasan fisik dengan pola perputaran sebagai berikut:34

a. Rasa cinta: Ketika suami melakukan kekerasan pada istri, istri biasanya menunjukkan rasa sayang dan cintanya pada suami, memaklumi,

33

Purnianti dan Kolibonso, Menyingkap Tirai Kekerasan dalam Rumah Tangga, h. 29.

34

mencoba untuk mengerti.

b. Berharap: Istri selalu berharap suami akan berubah menjadi baik, sehingga selalu bersabar.

c. Teror: Biasanya setelah suami dimaafkan istri, maka hari-hari berikutnya jika menghadapi masalah keluarga suami kembali melakukan teror, mengancam, menakut-nakuti akan dipukul, ditinggal, dan sebagainya. Istri kembali menangis, memaafkan, memaklumi, bersabar dan berharap suami berubah, sampai suami kembali melakukan kekerasan. Demikian seterusnya. Ini adalah siklus perputaran terjadinya kekerasan.

Kekerasan dalam rumah tangga dalam prakteknya sulit diungkap karena beberapa sebab. Pertama, kekerasan dalam rumah tangga terjadi dalam lingkup kehidupan rumah tangga yang dipahami sebagai urusan yang bersifat privasi, dimana orang lain tidak boleh ikut campur (intervensi).

Kedua, pada umumnya korban (istri/anak) adalah pihak yang secara

struktural lemah dan mempunyai ketergantungan khususnya secara ekonomi dengan pelaku (suami). Dalam posisi ini, korban pada umumnya selalu mengambil sikap diam atau bahkan menutup-nutupi tindak kekerasan tersebut, karena dengan membuka kasus kekerasan dalam rumah tangga ke publik berarti membuka aib keluarga. Ketiga, kurangnya pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat terhadap hak-hak hukum yang dimilikinya.

dipahami oleh masyarakat sebagai hal yang mungkin dianggap wajar dalam kerangka pendidikan yang dilakukan oleh pihak yang memang mempunyai otoritas untuk melakukannya. Pada posisi ini, korban sering enggan melaporkan kepada aparat penegak hukum karena khawatir justru akan dipersalahkan (blame the victim).35

Dokumen terkait