E. Kegunaan Penelitian
3. Pengertian Kemiskinan
Permasalahan yang sangat urgen ditangani adalah masalah kemiskinan. Bagi setiap negara terkhusus Indonesia kemiskinan merupakan persoalan yang memerlukan perhatian khusus dalam penyelesaiannya. Menurut BPS Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan.74
Istilah kemiskinan atau masyarakat miskin merupakan istilah yang umum di pergunakan, sedangkan di dalam Islam ketidakmampuan seseorang dapat dipilah menjadi dua bahagian yaitu fakir dan miskin, meski demikian menurut Abu Yusuf dan Ibnu Qasim75 kedua golongan tersebut sama saja dan memiliki karakteristik yang sama.76
Dari sudut pandang etimologi, kata miskin merupakan asal kata dari ―as-sakan” yang berarti bahwa hal yang selalu bergolak atau bergerak. Ibnu Faris berkata ―huruf sin, kaf, dan nun adalah huruf-huruf yang asli dan umum yang menandakan pada suatu makna kebalikan dari hal yang bergerak dan bergolak. Menurut Ibnu Faris orang miskin merupakan orang yang ditenangkan oleh kefakiran dan ia adalah orang yang sama sekali tidak memiliki apa-apa atau orang yang memiliki sesuatu tetapi tidak
74
www. Bps.go.id (diakses tanggal 5 Juli 2017). 75
Abu Yusuf adalah pengikut abu Hanifah dan Ibnu Qasim adalah pengikut imam Malik. 76
mencukupi kebutuhannya.77 Seseorang dikatakan miskin dapat disebabkan oleh menaruh kepercayaan kepada orang lain atau karena kefakiran benar-benar telah membuat geraknya menjadi sedikit lalu mencegahnya untuk bergerak.78
Menurut pandangan Islam, istilah bagi masyarakat tidak mampu/kekurangan terdiri dari dua istilah yaitu fakir dan miskin. Faqir adalah orang yang tidak memiliki harta atau penghasilan yang mencukupi kebutuhan hidupnya seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan apa saja yang dibutuhkannya. Seperti orang yang membutuhkan 10 riyal perhari namun yang didapat hanyalah 4, 3 atau hanya 2 riyal saja. Adapun pengertian miskin para ulama berbeda pendapat dalam mendefenisikannya, diantara pendapat yang termasyhur adalah bahwa yang dimaksud dengan miskin yaitu orang yang memiliki makanan pokok untuk sehari namun tidak mencukupi. Namun sebagian ulama menyatakan bahwa miskin dan faqir memiliki makna yang sama apabila disebutkan secara sendiri-sendiri dalam satu kalimat namun menjadi berbeda maknanya apabila disebutkan secara bersamaan dalam suatu kalimat.79
Namun demikian walaupun memiliki makna yang berbeda ketika disebutkan secara bersamaan, fakir dan miskin tergolong ke dalam golongan ahlul hajah yang sama-sama tidak cukup harta untuk memenuhi kebutuhan mereka.80
Syaikh Zadah menyebutkan dalam kitab Majma‟ al-Anhar bahwa faqir dan miskin menurut Hanafiah dan Syafi‘iyah adalah orang yang memiliki sesuatu di bawah batas nishab zakat.81
Ibnu al-Rif‘ah mengutarakan definisi kemiskinan yaitu suatu kondisi di mana mereka atau seseorang yang tidak mampu memenuhi
77
Ibnu Faris, Mu‟jam Maqayis al- Lughah ( Beirut : Dār al-jail, 1999),cet ke1,h.444. 78
Mahmud al-Athrasy, Hikmah di balik Kemiskinan ( Jakarta: Qisthi Press, 2011), h.10. 79
Majid, Wasail Mu‟alijati al-Faqr fi „Ahdi al-Nabawi (Madinah: al-Jami‘ah al-Islamiyah, 2014), jilid I, h. 2.
80
Kamal, Shahih Fiqh al-Sunnah wa Adillatuh (Mesir: al-Maktabah al-Taufiqiyah, 2003), jilid 2, h. 66.
81
Abdurrahman, Majma‟ al-Anhar fi Syarh Mulataqa al-Abhar (Bairut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‗Arabi, tt.), jilid 1, h. 220.
kebutuhannya sehari-hari.82 Menurut Supardi kemiskinan adalah standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung nampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan harga diri mereka yang tergolong sebagai orang miskin.83
Glencoe berpendapat bahwa kemiskinan adalah ukuran relatif yang tergantung pada harga barang, standar hidup, dan pendapatan. Keluarga dan individu didefinisikan hidup dalam kemiskinan jika pendapatan mereka rendah di bawah tingkat tertentu.84
Pengertian kemiskinan juga diutarakan oleh Lavitan dimana kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak.85
Penduduk miskin didefinisikan sebagai penduduk yang pendapatannya (didekati dengan pengeluaran) lebih kecil dari pendapatan yang dibutuhkan untuk hidup secara layak diwilayah tempat tinggalnya. Kebutuhan untuk hidup layak tersebut diterjemahkan sebagai suatu jumlah rupiah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi makanan setara 2.100 kilo kalori sehari, perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi dan lain-lain. Jumlah rupiah tersebut kemudian disebut dengan garis kemiskinan (GK).86
Definisi yang lebih mendalam dijelaskan oleh Suryono dimana kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan seseorang yang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental atau fisiknya dalam kelompok
82
Ibnu al-Rif‘ah, Kifayah al- Nabih fi Syarhi al-tanbih ( t.t.p. Dār al-Kutub al-ilmiah: 2009), jilid VI, h. 155.
83
Supardi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan ( Jakarta: Sinar Harapan dan yayasan Obor Indonesia, 1984), h.12.
84
Glencoe, Economics principles and Practices (America: McGraw-Hill, 2001), h.396. 85
Ninik Sudarwati, Kebijakan Pengentasan Kemiskinan (Malang: Intimedia, 2009), h.23. 86
t.p. Indikator Kesejahteraan Rakyat (Jakarta: Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, 2006), hal. 39.
tersebut. Seseorang bukan merasa miskin karena kurang sandang, pangan, papan tetapi karena harta miliknya dianggap tidak cukup untuk memenuhi taraf kehidupan yang ada.87
Menurut Darlene dan Cheryl kemiskinan adalah tidak adanya kekuatan yang dimiliki oleh seseorang untuk berkerja. Kekuatan tersebut tidak dimiliki disebabkan karena hilangnya rasa putus asa dan percaya diri hingga pada akhirnya merasa bahwa tidak adanya harapan untuk bangkit.
88
Francesco dkk, menyatakan bahwa kemiskinan dapat dipandang dalam dua perspektif. Perspektif pertama kemiskinan dari sudut pandang pendapatan yang rendah, perspektif kedua dari pandangan pola hidup yang serba kekurangan.89
Bachtiar Chamsyah menyorot lebih mendalam tentang hakikat definisi kemiskinan di atas, kemiskinan harus kembali dilihat dari sudut pandang penciptaan manusia itu sendiri vis a vis, penciptaan alam yang luas dan kaya raya dan manusia telah dibekali oleh seperangkat kemampuan (akal terusan budi) dalam pengelolaan dan pengembangannya. Menurutnya disamping besarnya kelengkapan sarana yang telah tuhan berikan manusia harus memupuk dan memahami nilai-nilai etika religius dan ini merupakan akar kemiskinan teologis, kemiskinan jenis teologis adalah kemiskinan terparah yang akan menghantarkan pada kekafiran dan kufur.90
Di samping itu, Zakiyah Daradjat mendefinisikan kemiskinan sebagai orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan91. Menurut Sajogyo dalam bukunya ―Sosiologi Pedesaan‖ kemiskinan
87
Suryono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002), h. 366.
88
Darlene Ciuffeteli dan Cheryl J.Craig, ―An International Inquiry: Story Of Proverty,‖ dalam Sage Journal, vol. 52, h. 145.
89 Francesco Devicienti, et.al., ―The Persistance of income poverty and lifestyle Deprivation : Evidence from Italy,‖ dalam Bulletin Of Economics research, vol. 66, h. 28.
90
Bachtiar Chamsyah, Teologi Penanggulangan Kemiskinan (Jakarta: RMBOOK, 2006), h. 27-28.
adalah keadaan penghidupan dimana orang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar.92
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa kemiskinan mayoritas didefinisikan sebagai bentuk kekurangan-kekurangan fisik maupun nonfisik yang dialami oleh seorang atau sejumlah manusia dalam perjalanan kehidupan yang disebabkan oleh ketertutupan (kufr) akan nikmat yang telah diberikan tuhan terutama nikmat dalam menjalankan fungsi akal dan hati.
Implementasi definisi ini jelas memberikan filosofi mendalam di mana yang membuat kaya itu adalah keimanan dan rasa kesyukuran bukan kadar kekayaan yang dimiliki. Dalam kehidupan betapa kayapun seseorang maka secara naluriah kekayaan tersebut belumlah dirasa cukup, hal ini dibuktikan dengan tingkat kasus korupsi yang tinggi dan terjadi dimana-mana, perusakan norma-norma, pelanggaran dan lain-lain. Oleh sebab itu tentulah pemahaman seseorang terhadap teologis itu menjadi hal yang sangat penting dalam mengurangi kemiskinan dan menjungjung keadilan.
Menurut Jazairy berbagai definisi yang mengkondisikan kemiskinan dapat diartikan pula secara lebih luas dan dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis:
a. Kemiskinan “interstitial”. Kondisi deprivasi materil dan alienasi mendorong timbulnya kantong-kantong kemiskinan yang dikelilingi oleh para pemilik kekayaan, kekuasaan dan aset lain yang besar. Kondisi seperti ini sulit melakukan intervensi untuk penanggulangan kemiskinan tanpa diselewengkan oleh mereka yang tidak miskin.
b. Kemiskinan “periferal”. Kemiskinan ini terdapat di wilayah-wilayah pinggiran dan terjadi akibat deprivasi materil yang berlangsung dalam keadaan isolasi dan alienasi.
92 Sajogyo dan Jiwati, Sosiologi Pedesaan ( yogyakarta: Gajahmada university Press, 1983), h.11.
c. Kemiskinan “overcrowding”. Yaitu deprivasi materil akibat desakan kependudukan dan kelangkaan sumber daya.
d. Kemiskinan “sporadik” atau “traumatik”, yaitu yang timbul akibat kerentanan terhadap bencana alam (misalnya kemarau panjang), hilangnya lapangan pekerjaan dan ketidakamanan yang mungkin sementara tetapi sering berkembang menjadi endemik. e. Kemiskinan endemik dapat timbul akibat isolasi, alienasi,
deprivasi teknologis, ketergantungan dan kelangkaan aset.93
McKenzie menjelaskan bahwa ada empat sebab terjadinya kasus kemiskinan, yaitu :
1) Rendahnya produktivitas;
2) Jenis kelamin dan diskriminasi suku; 3) Permintaan agregat rendah; dan, 4) Pilihan gaya hidup.94