• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

F. Kepatuhan Perpajakan

1. Pengertian

Pengertian pajak menurut Undang-Undang No. 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan :

Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2. Fungsi pajak

Pajak menurut Thomas (2017) memiliki dua fungsi yaitu: a. Fungsi penerimaan (Budgetair)

Pajak memiliki fungsi untuk menghimpun dana dari masyarakat bagi kas negara, yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah.

b. Fungsi mengatur (Reguler)

Pajak berfungsi sebagai alat yang untuk mengatur dalam melaksanakan kebijakan di bidang sosial maupun ekonomi. Sebagai contoh yakni pajak untuk minuman keras dan barang mewah yang dikenakan pajak lebih tinggi.

3. Wajib pajak

Berdasarkan Undang-Undang No. 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang - Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan:

Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Wajib Pajak menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan adalah:

Orang pribadi yang tinggal atau berada di Indonesia dengan jangka waktu lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

Dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan berbunyi:

Bahwa setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subyektif dan obyektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan:

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Menurut (Salman & Tjaraka, 2019) Nomor Pokok Wajib Pajak mempunyai fungsi sebagai berikut:

1. Sarana dalam administrasi perpajakan.

2. Tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

3. Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan

4. Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan

5. Surat Pemberitahuan (SPT)

Dalam buku (Waluyo, 2017) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Tata Cara Umum Perpajakan menyebutkan bahwa:

Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta dan kewajiban.

Surat pemberitahuan dibedakan menjadi dua yaitu sebagai berikut (Waluyo, 2017):

a. SPT Masa merupakan surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang dalam suatu masa pajak, dengan batas waktu penyampaian paling lambat adalah (20) dua puluh hari setelah akhir masa pajak.

b. SPT Tahunan adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran yang terutang dalam satu tahun pajak, dengan batas waktu penyampaian SPT Tahunan paling lambat adalah tiga bulan setelah akhir tahun pajak.

B. Usaha Mikro Kecil dan Menegah ( UMKM )

Dalam (Rusastra, 2019) definisi UMKM menurut perpajakan adalah Wajib Pajak yang memiliki omzet tidak lebih dari Rp4,8 miliar dalam setahun. Usaha Mikro Kecil Menengah terbagi menjadi 3 (tiga) yakni:

a. Usaha Mikro

Usaha mikro adalah usaha produktif milik perorangan atau badan usaha perorangan yang memiliki kekayaan bersih maksimal Rp50 juta dan omzet per tahun hingga Rp300 juta serta memiliki jumlah karyawan kurang dari 4 orang.

b. Usaha Kecil

Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri dan dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak

perusahaan serta memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50 juta sampai dengan Rp500 juta rupiah. Omzet penjualan per tahun mencapai Rp300 juta hingga Rp500 juta. Jumlah karyawan yang dimiliki adalah sebanyak 5 hingga 19 orang.

c. Usaha Menengah

Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri dan dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan serta memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500 juta sampai dengan Rp10 miliar. Omzet penjualan per tahun mencapai Rp2,5 miliar hingga Rp50 miliar dengan jumlah karyawan lebih dari 20 orang.

C. Etika

1. Pengertian Etika

Kata etik atau etika berasal dari kata; ethos dalam bahasa Yunani yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Etika berkaitan dengan konsep atau pemikiran yang dimiliki oleh individu atau pun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik (Soemarso, 2018). Menurut kamus bahasa Indonesia, etika diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang tidak sesuai dengan ukuran moral atau akhlak yang dianut oleh masyarakat luas; ukuran nilai mengenai yang salah dan yang benar sesuai dengan anggapan umum atau anutan masyarakat. Definisi lain dari etika adalah sekumpulan nilai, moral, prinsip, atau standar perilaku yang

dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat. Dalam konteks perpajakan, etika Wajib Pajak merupakan suatu keyakinan yang dimiliki oleh Wajib Pajak mengenai kewajiban moral yang mengharuskan seseorang Wajib Pajak untuk berbuat jujur dalam hal perpajakan yang berhubungan dengan perilakunya dalam memenuhi kewajibannya untuk membayar pajak (Kautsar, 2017).

2. Macam-macam Etika

Dari pengertian diatas dapat artikan bahwa setiap manusia akan melaksanakan segala tindakan mereka sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Dalam menentukan baik buruknya perilaku manusia terdapat dua macam etika yang harus dipahami yaitu etika deskriptif dan etika normatif (Suseso, 1991):

a. Etika deskriptif, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis, rasional sikap, perilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang perilaku atau sikap yang mau diambil.

b. Etika normatif, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola perilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif berusaha mencari ukuran umum baik buruknya tingkah laku sekaligus memberi penilaian norma serta kerangka tindakan yang akan diputuskan.

3. Komponen yang mempengaruhi etika

Dalam konteks perpajakan, kesanggupan Wajib Pajak dalam membedakan tingkah laku mana yang merupakan perintah dan tingkah laku mana yang merupakan tatc (hanya melakukan hal-hal tertentu pada kondisi tertentu) sangat diperlukan. Wajib pajak yang selalu melaksanakan perintah berupa kewajiban perpajakan cenderung dapat dipercaya dan sebaliknya, jika Wajib Pajak hanya melakukan kewajibannya pada kondisi tertentu maka kepatuhannya dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya cenderung tidak dapat dipercaya (Tajib, 2007). Berdasarkan penjelasan diatas menunjukkan bahwa semakin besar kepercayaan yang diberikan oleh pihak pajak kepada Wajib Pajak maka semakin besar pula kepercayaan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya dan akan meningkatkan etika yang positif dari Wajib Pajak. Terdapat tiga komponen yang dapat membentuk sikap sehingga dapat menimbulkan etika positif maupun negatif (Tajib, 2007):

a. Komponen kognitif, yakni komponen yang menekankan pada aspek kepercayaan seseorang terhadap suatu objek.

b. Komponen afektif, yakni komponen yang menekankan pada aspek pengevaluasian seseorang terhadap suatu objek.

c. Komponen konatif, yakni komponen yang menekankan pada aspek maksud dan tujuan seseorang terhadap suatu objek.

4. Pengukuran Etika

Menurut (Handayani, 2015) hubungan antara keyakinan etika para pembayar pajak dan kepatuhan hukum pajak dapat diukur berdasarkan dua hal berikut:

1. Keyakinan etika secara umum

Etika Wajib Pajak dapat dikatakan baik ketika mempunyai kepedulian terhadap sesama manusia serta memandang bahwa peraturan yang telah diterapkan bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat.

2. Moralitas penggelapan pajak

Etika Wajib Pajak dipandang baik ketika menganggap bahwa pajak merupakan hal yang etis dan tidak mengurangi harta serta menganggap bahwa mengurangi jumlah pajak merupakan tindakan yang tidak dibenarkan.

D. Sanksi Pajak

1. Pengertian Sanksi Pajak

Sanksi adalah hukuman yang diberikan kepada orang yang telah melanggar peraturan (Saragih, 2014). Dalam konteks perpajakan, Sanksi pajak merupakan suatu jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan / norma perpajakan akan ditaati/dipatuhi, dengan kata lain sanksi pajak merupakan alat pencegah agar Wajib Pajak tidak melanggar norma perpajakan (Saragih, 2014). Sanksi pajak sering juga diartikan sebagai suatu hukuman/ketidakpatuhan/ketidaktaatan terhadap peraturan yang berlaku (Putra, 2017). Penerapan sanksi pajak bertujuan

untuk memberikan efek jera kepada Wajib Pajak yang melanggar norma perpajakan, Wajib Pajak akan memenuhi kewajiban perpajakannya jika memandang bahwa sanksi perpajakan akan lebih merugikan dirinya sehingga Wajib Pajak memilih untuk patuh terhadap kewajiban perpajakannya.

2. Macam-macam Sanksi Pajak

Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang sehubungan dengan Surat Pemberitahuan (SPT) akan dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana, yaitu sebagai (Waluyo, 2017):

a. Apabila Surat Pemberitahuan Wajib Pajak tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan atau batas waktu perpanjangan Surat Pemberitahuan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp500.000,00 untuk SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai, Rp100.000,00 untuk Surat Pemberitahuan Masa Lainnya, dan Rp1.000.000,00 untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, serta Rp100.000,00 untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi.

b. Apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar/lengkap/ melampirkan keterangan yang isinya tidak benar karena kealpaannya dan dapat menimbulkan kerugian negara maka akan dikenakan denda paling sedikit 1 (satu)

kali dan paling banyak 2 (dua) kali dari jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun .

c. Apabila dengan sengaja Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar/tidak lengkap maka akan dipidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

d. Pengungkapan ketidakbenaran SPT sebelum diterbitkannya SKP (Surat Ketetapan Pajak) akan dikenakan sanksi administrasi sebesar 50% dari pajak kurang bayar.

e. Apabila diterbitkan SKPKBT (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan) akan dikenakan sanksi administrasi sebesar 100% dari pajak yang tidak atau kurang dipotong.

3. Pengukuran Sanksi Pajak

Menurut (Handayani, 2015) indikator yang digunakan untuk mengukur sanksi pajak adalah sebagai berikut:

a. Pengetahuan Wajib Pajak terhadap sanksi yang berlaku sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Dalam menjalankan kewajiban perpajakannya Wajib Pajak harus mengetahui dan memahami sanksi yang berlaku sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

b. Dampak penerapan sanksi terhadap Wajib Pajak

Hal ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana dampak penerapan sanksi pajak terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak.

E. Modernisasi Teknologi Informasi Sistem Administrasi Perpajakan 1. Pengertian Modernisasi Sistem

Modernisasi sistem perpajakan merupakan bentuk pembaharuan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan tujuan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaporkan kewajiban perpajakannya. Tujuan lain dari modernisasi sistem perpajakan ini adalah untuk mengoptimalkan penerimaan perpajakan dengan terciptanya transparansi dan akuntabilitas atas penggunaan dana dari sektor pajak. Selain itu modernisasi sistem ini juga memberikan pengawasan terhadap pelaksanaan pemungutan pajak.

Salah satu contoh bentuk modernisasi sistem yakni modernisasi teknologi informasi sistem administrasi perpajakan yang merupakan salah satu bentuk pembaharuan yang dilakukan

oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memudahkan dan meningkatkan pelayanan perpajakan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi.

2. Efektifitas Administrasi Pajak

Menurut Gunadi dalam (Rahayu & Lingga, 2009) administrasi pajak dapat dikatakan efektif apabila mampu mengatasi masalah-masalah sebagai berikut:

a. Wajib Pajak yang tidak terdaftar (unregistered taxpayers)

Yakni sejauh mana administrasi pajak mampu mendeteksi serta mengambil tindakan terhadap anggota masyarakat yang belum terdaftar sebagai Wajib Pajak walau seharusnya mereka sudah memenuhi ketentuan untuk menjadi Wajib Pajak. Secara tidak langsung maka akan terjadi penambahan jumlah Wajib Pajak secara signifikan dan akan meningkatkan jumlah penerimaan pajak.

b. Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Menyikapi Wajib Pajak yang sudah terdaftar tetapi tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) atau disebut stop filling

taxpayers.

c. Penyelundupan pajak (tax evaders)

Yaitu Wajib Pajak melaporkan pajaknya lebih kecil dari yang seharusnya berdasarkan pada ketentuan perundang-undangan. Keberhasilan sistem self assessment yang memberi kepercayaan

sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang, hal ini bergantung kejujuran Wajib Pajak. Tidak mudah untuk mengetahui apakah Wajib Pajak melakukan penyelundupan pajak atau tidak. Dalam hal ini dukungan adanya bank data tentang Wajib Pajak dan seluruh aktivitas usaha Wajib Pajak sangat diperlukan.

d. Penunggak pajak (delinquent tax payers)

Dari tahun ke tahun jumlah tunjakan pajak semakin besar. Upaya pencarian tunjakan pajak dilakukan melalui pelaksanaan tindakan penagihan secara insentif.

3. Bentuk Modernisasi Teknologi Informasi Administrasi Perpajakan Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, Direktorat Jenderal Pajak menerapkan pelayanan dalam jaringan atau secara online yang disebut dengan e-Tax. Yang dimaksud dengan e-Tax adalah sarana pelayanan yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk melayani masyarakat. Menurut (Pandiangan, 2014) terdapat beberapa bentuk e-Tax yakni:

a. e-Registration

Adalah sistem informasi perpajakan yang dihubungkan oleh perangkat komunikasi data yang digunakan untuk mengelola proses pendaftaran Wajib Pajak. Sistem ini dapat berfungsi sebagai sarana

pendaftaran Wajib Pajak secara online serta dapat pula dimanfaatkan oleh petugas pajak untuk memproses pendaftaran Wajib Pajak.

b. e-Filling

Merupakan sebuah proses penyampaian SPT elektronik yang dilakukan secara online dan real time melalui website atau

Application Service Provider ( ASP ) Direktorat Jenderal Pajak. c. e-SPT

Merupakan SPT Wajib Pajak dalam bentuk elektronik yang dibuat mengggunakan aplikasi yang telah disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

d. e-Billing

Menurut Direktorat Jenderal Pajak e-Billing merupakan metode pembayaran pajak secara elektronik dengan menggunakan kode

Billing.

Dengan adanya modernisasi sistem ini dapat memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak dalam melaporkan kewajiban perpajakannya tanpa harus datang ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) karena Wajib Pajak dapat melakukan hal tersebut dimana pun mereka berada hanya dengan memanfaatkan sistem yang telah tersedia.

4. Pengukuran Modernisasi Sistem

Menurut (Ulum, 2015) pengukuran modernisasi sistem dapat diukur melalui persepsi Wajib Pajak terhadap pemanfaatan teknologi informasi yang telah disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak yakni :

a. Pendaftaran sebagai Wajib Pajak dapat dilakukan secara online b. Media informasi yang disediakan dapat membantu Wajib Pajak c. Dapat mengakses dengan mudah hal yang berkaitan dengan pajak d. Memahami cara kerja e-Registration

e. Efisiensi pelayanan melalui teknologi informasi

F. Kepatuhan Wajib Pajak 1. Pengertian

Menurut (Jatmiko, 2006) kepatuhan adalah motivasi seseorang kelompok/organisasi untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Dalam konteks pajak, aturan yang berlaku adalah peraturan perpajakan maka yang dimaksud dengan kepatuhan Wajib Pajak merupakan suatu ketaatan untuk melakukan ketentuan-ketentuan aturan perpajakan yang wajib untuk dilaksanakan (Jatmiko, 2006).

Dokumen terkait