• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

3. Pengertian, Klasifikasi dan Hapusnya

a. Pengertian pertanggungjawaban pidana ditinjau dari KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007

Dalam KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007 tidak terdapat rumusan tentang pengertian pertanggungjawaban pidana dan kemampuan bertanggungjawab, oleh karena itu pengertian tersebut harus kita cari dalam dunia ilmu hukum (doktrin).

Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana, maka tidak dapat dilepaskan dengan adanya tindak pidana. Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan yang obyektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subyektif kepada pembuat yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatan tersebut.

Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah tiada pidana tanpa kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut (Dwidja Priyatno, 2004 : 30).

Sudarto menyatakan “dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam Undang-Undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu

adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Dengan perbuatan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut” (Dwidja Priyatno, 2004 : 31).

Simon mengatakan bahwa kesalahan adalah keadaan pshikis orang yang melakuan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tadi (Roeslan Saleh, 1983 : 78).

Jadi yang harus diperhatikan adalah (1). Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan itu. (2). Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan. Hal yang pertama yaitu mengenai keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan, dalam ilmu hukum pidana merupakan soal yang lazim disebut masalah kemampuan bertanggungjawab, hal yang kedua yaitu mengenai hubungan antara batin itu dengan perbuatan yang dilakukan merupakan masalah kesengajaan, kealpaan, serta alasan pemaaf, sehingga mampu bertanggungjawab, mempunyai kesengajaan atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur-unsur dari kesalahan. Tiga unsur ini merupakan unsur yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Yang satu bergantung pada yang lain. Konkritnya tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan ataupun kealpaan apabila orang itu tidak mampu bertanggungjawab, begitu pula tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf apabila orang tidak mampu bertanggungjawab, dan tidak pula adanya kesengajaan ataupun kealpaan

Karena tidaklah ada gunanya untuk mempertangungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila

perbuatan itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut sekarang dapat pula dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan tadi harus dihubungkan pula dengan dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, maka terdakwa haruslah (Roeslan Saleh, 1983 : 79) yaitu :

1). Melakukan perbuatan pidana 2). Mampu bertanggungjawab

3). Dengan kesengajaan atau kealpaan 4). Tidak adanya alasan pemaaf.

Dalam KUHP memang tidak ada rumusan yang tegas tentang kemampuan bertanggungjawab pidana. Pasal 44 ayat (1) KUHP justru merumuskan tentang keadaan mengenai bilamana seseorang tidak mampu bertanggungjawab agar tidak dipidana, artinya merumuskan kebalikan secara negative dari kemampuan bertanggungjawab (Adami Chazawi.2002 : 142).

Dua keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggungjawab sebagaimana yang dirumuskan didalam pasal 44 ayat (1) KUHP, yakni jiwanya cacat dalam pertumbuhannya dan jiwanya terganggu karena penyekit. Orang yang dalam keadaan demikian jika melakukan tindak pidana tidak boleh dipidana (Adami Chazawi,2002 : 143).

Menurut Moelyatno ada dua syarat seseorang dikatakan mempunyai kemampuan bertanggungjawab, yaitu :

1). Harus adanya kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dengan perbuatan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.

2). Harus ada kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara yang baik dan yang buruk merupakan faktor akal yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan, sedangkan yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas nama yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan.

Konsekuensi bagi orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi, ia tidak mempunyai kesalahan, sehingga perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan pidana, tidak dapat dipertanggunngjawabkan kepadanya (Moeljatno, 1993 : 165-166).

Menurut Satocjid Kartanegara orang yang mampu bertanggungjawab itu ada tiga syarat yang harus dipenuhi (Adami Chazawi.2002 : 145) yaitu :

1) Keadaan jiwa seseorang yang sedemikian rupa (normal) sehingga ia bebas atau mempunyai kemampuan dalam menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia akan lakukan.

2) Keadaan jiwa orang itu yang sedemikian rupa, sehingga ia mempunyai kemampuan untuk dapat mengerti terhadap nilai perbuatannya beserta akibatnya.

3) Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa, sehingga ia mampu untuk menyadari, menginsyafi bahwa perbuatan yang akan dilakukannya itu adalah suatu kelakuan yang tercela, kelakuan yang tidak dibenarkan oleh hukum, atau oleh masyarakat maupun tata susila.

Dalam Rancangan KUHP pasal 32 ayat (2) dimungkinkan dalam hal tertentu seseorang dapat dipertanggungjwabakan atas

tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, jika ditentukan dalam suatu Undang-Undang. Ketentuan ini merupakan pengecualian dari asas tiada pidana tanpa kesalahan. Dalam hal-hal tertentu tanggungjawab seseorang dipandang patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya. Oleh karena itu meskipun dalam kenyataannya orang tidak melakukan tindak pidana namun dalam rangka pertanggungjawaban pidana ia dipandang mempunyai kesalahan jika perbuatan orang lain yang berada dalam kedudukan yang sedemikian itu merupakan tindak pidana.

Asas pertanggungjawaban yang bersifat pengecualian ini dikenal dengan asas “Vicarious Liability” sering diartikan pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain (Dwidja Priyatno. 2004 : 49).

Pengecualian lainya juga terdapat dalam pasal 32 ayat (3) Rancangan KUHP yang menyatakan untuk tindak pidana tertentu Undang-Undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.

Ketentuan ayat ini merupakan suatu pengecualian. Oleh karena itu tidak berlaku juga bagi semua tindak pidana melainkan hanya untuk tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Untuk tindak pidana tertentu tersebut pembuat telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Disini kesalahan pembuat dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Ketentuan dalam ayat ini sering dikenal dengan asas “Strict Liability” atau disebut dengan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (Dwidja Priyatno. 2004 : 50).

b. Klasifikasi pertanggungjawaban pidana ditinjau dari KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007

1) Klasifikasi pertanggungjawaban pidana ditinjau dari KUHP Adapun klasifiksai pertanggungjawaban pidana yang dikenal dalam KUHP antara lain :

a) Percobaan yaitu permulaan kejahatan yang tidak selesai. KUHP hanya merumuskan batasan mengenai kapan dikatakan ada percobaan untuk melakukan kejahatan yang dapat dipidana yaitu dalam pasal 53 (1) yang berbunyi “Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri” (Barda Nawawi Arief, 1999 : 1).

Dari rumusan pasal 53 (1) KUHP diatas jelas terlihat unsur-unsur percoban (Barda Nawawi Arief, 1999 : 4) adalah :

(1) ada niat

(2) ada permulaan pelaksanaan

(3) pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata karena kehendak sendiri.

b) Penyertaan

Beberapa istilah penyertaan antara lain : turut campur dalam peristiwa pidana ( Tresna), turut berbuat delik (Karni). Turut serta (Utrech) (Barda Nawawi Arief, 1999 : 28).

Pembagian penyertaan menurut KUHP Indonesia (Barda Nawawi Arief, 1999 : 29) adalah :

(1) pembuat atau dader (Pasal 55) yang terdiri dari : (a) pelaku (Pleger)

(c) yang turut serta (Mede Pleger) (d) penganjur (Uitloker).

(2) pembantu atau mendeplectige (pasal 56) yang terdiri dari : (a) membantu pada saat kejahatan dilakukan

(b) membantu sebelum kejahatan dilakukan.

Mengenai pengertian pembuat (Dader) ada dua pandangan (Barda Nawawi Arief, 1999 : 29-30) :

(1) pandangan yang luas (Ektensief) : pembuat ialah tiap orang yang menimbulkan akibat yang memenuhi rumusan delik. Yaitu mereka yang disebut dalam pasal 55 KUHP diatas.

(2) pandangan yang sempit (restrictif) : pembuat hanyalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang sesuai dengan rumusan delik, jadi hanya pembuat materiil saja (pelaku atau Pleger).

Pelaku (Pleger) adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik.

Orang yang menyuruhlakukan (Doen Pleger) ialah orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedangkan perantara itu hanya diumpamakan sebagai alat. Pada Doen Pleger terdapat unsur-unsur (Barda Nawawi Arief, 1999 : 31) sebagai berikut :

(1) alat yang dipakai adalah manusia

(2) alat yang dipakai itu berbuat (bukan alat yang mati) (3) alat yang dipakai itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Yang menyebabkan alat atau pembuat materiil tidak dapat dipertanggungjawabkan ialah :

(1) bila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya (Pasal 44 KUHP)

(2) bila ia berbuat karena daya paksa (Pasal 48 KUHP) (3) bila ia melakukan atas perintah jabatan yang tidak sah

(Pasal 51 ayat 2 KUHP)

(4) bila ia keliru (sesat), menenai salah satu unsur delik. Misal A menyuruh B untuk menguangkan pos wesel yang tanda tangannya dipalsukan oleh A, sedangkan B tidak mengetahui pemalsuan itu.

(5) bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang diisyaratkan untuk kejahatan itu. Misal A menyuruh B untuk mengambil barang dari suatu tempat. B mengambilnya untuk diserahkan kepada A dan ia tidak memilki maksud untuk memilki bagi dirinya sendiri.

Menurut MVT orang yang turut serta (Mede Pleger) ialah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu (Barda Nawawi Arief, 1999 : 33).

Menurut Pompe, turut mengerjakan terjadinya sesuatu tindak pidana ada tiga kemungkinan :

(1) mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam rumusan delik.

(2) salah seorang memenuhi semua unsur delik, sedang yang lain tidak.

(3) tidak seorangpun memenuhi unsur-unsur delik seluruhnya tetapi mereka bersama-sama mewujudkan delik itu.

Penganjur (Uitloker) ialah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan mengggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh Undang-Undang (Barda Nawawi Arief, 1999 : 36).

Sarana-sarana yang ditentukan oleh Undang-Undang yaitu berdasarkan pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP yang berbunyi “Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan , ancaman atau penyesatan, atau dengan memberikan kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan”.

Jadi hampir sama dengan menyuruhlakukan (Doen pleger) pada penganjuran (Uitlokking) ini ada usaha untuk menggerakkan orang lain sebagai pembuat materiil.Yang membedakan menyuruhlakukan (Doen pleger) dengan penganjuran (Uitlokking) adalah pada menyuruhlakukan sarana mengerakkannya tidak ditentukan (tidak limitatif) dan pembuat materiil tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan pada penganjuran mengerakkannya dengan sarana-sarana tertentu (limitatif) dan pembuat materiilnya dapat dipertanggungjawabkan.

Pembantu mendeplectige, menurut Pasal 56 KUHP ada dua jenis (Barda Nawawi Arief, 1999 : 42) yaitu :

(1) pada saat kejahatan dilakukan, caranya tidak ditentukan secara limitatif dalam Undang-Undang.

(2) sebelum kejahatan dilakukan, caranya ditentukan secara limitatif dalam Undang-Undang yaitu dengan cara memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.

2) Klasifikasi pertanggungjawaban pidana ditinjau dari UU RI No. 21 Tahun 2007

Adapun klasifiksai penanggungjawab pidana yang dikenal dalam UU RI No. 21 Tahun 2007 antara lain :

a) Setiap orang yaitu orang perorangan dan korporasi (Pasal 1 ke 4 UU RI No. 21 Tahun 2007

(1) Orang perorangan yaitu setiap individu atau perorangan yang secara langsung bertindak melakukan perbuatan pidana perdagangan orang.

(2) Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisir baik yang merupakan badan hukum maupun bukan merupakan badan hukum yang melakukan tindak pidana perdagangan orang.

b) Penyelengara negara adalah pejabat pemerintah, angggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat keamanan, penegak hukum atau pejabat publik yang menyalahgunakan kekuasaan untuk melakukan atau memepermudah tindak pidana perdagangan orang.

c) Penganjur (Uitlokker) dan atau menyuruhlakukan (Doen pleger), supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang sebagaimana halnya yang dimaksud dalam Pasal 55 KUHP. d) Membantu melakukan (Medeplichtigheid) sama halnya dalam

Pasal 56 KUHP dan percobaan (Poging) dalam Pasal 52 KUHP

Dalam hal pembantuan dalam UU RI No. 21 Tahun 2007 ada penambahan yaitu pembantuan tidak hanya sebelum atau pada saat kejahatan perdagangan orang dilakukan tetapi juga sesudah kejahatan perdagangan orang dilakukan, seperti yang disebutkan dalam Pasal 23 UU RI No. 21 Tahun 2007 yang berbunyi setiap orang yang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan dengan cara :

(1) Memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta benda, atau harta kekayaaan lainnya kepada pelaku; (2) Menyediakan tempat tinggal bagi pelaku;

(4) Memyembunyikan informasi keberadaan pelaku

e) orang yang turut melakukan (Mede pleger) sebagaimana halnya yang dimaksud dalam Pasal 55 (1) ke-1 KUHP.

f) Pengguna adalah setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktek eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang. g) Kelompok terorganisasi adalah kelompok terstruktur yang

terdiri dari 3 orang atau lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu dan bertindak dengan tujuan melakukan satu atau lebih tindak pidana yang diatur dalam UU RI No. 21 Tahun 2007 dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan materiil atau financial baik langsung maupun tidak langsung. c. Hapusnya pertanggungjawaban pidana ditinjau dari KUHP dan UU

RI No. 21 Tahun 2007

Undang-Undang (Bab III KUHP) menentukan ada tujuh dasar yang menyebabkan tidak dapat dipidanannya si pembuat ini (Adami Chazawi, 2002 : 18), yaitu :

1) Adanya ketidakmampuan bertanggungjawab si pembuat (rekeningsvatbaarheid, pasal 44 ayat 1)

2) Adanya daya paksa (Overmach, pasal 48)

3) Adanya pembelaan terpaksa (Noodweer, pasal 49 ayat 1)

4) Adanya pembelaan terpaksa yang melampaui batas (pasal 49 ayat 2)

5) Adanya sebab menjalankan perintah Undang-Undang (pasal 50) 6) Karena melaksanakan perintah jabatan yang sah, dan (pasal 51

7) Karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (pasal 51 ayat 2)

Menurut doktrin hukum pidana, tujuh hal penyebab tidak dapat dipidananya si pembuat tersebut dibedakan dan dikelompokkan menjadi dua dasar, yakni (1). Atas dasar pemaaf yang bersifat subyektif dan melekat pada diri orangnya, khususnya mengenai sikap batin sebelum atau pada saat akan berbuat dan (2). Atas dasar pembenar yang bersifat obyektif dan melekat pada perbuatannya atau hal-hal lain diluar batin sipembuat.

Pada umumnya pakar hukum memasukkan kedalam dasar pemaaf ialah :

1) Ketidakmampuan bertanggungjawab. 2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas.

3) Hal menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik.

Sedangkan yang masuk dalam kategori pembenar adalah : 1) Adanya daya paksa

2) Adanya pembelaan terpaksa

3) Sebab menjalankan perintah Undang-Undang 4) Sebab menjalankan perintah jabatan yang sah.

Adapun tidak dipidananya si pembuat karena alasan pemaaf ialah bahwa perbuatannya itu walaupun terbukti melanggar UU, yang artinya ialah pada perbuatan itu tetap bersifat melawan hukum, namun berhubung hilang atau hapusnya kesalahan pada diri si pembuat, maka perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, dia dimaafkan atas perbuatannya itu. Contoh orang gila memukul orang lain sampai luka berat.

Berlainan dengan alasan pembenar, tidak dipidananya si pembuat atas dasar pembenar, karena pada perbuatan tersebut

kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan. Walaupun dalam kenyataan perbuatan si pembuat telah memenuhi unsur tindak pidana, tetapi karena hapusnya sifat melawan hukum pada perbuatan itu, maka si pembuatnya tidak dapat dipidana. Contohnya petinju yang bertanding diatas ring memukul lawannya hingga luka-luka bahkan sampai mati.

Memorie Van Toelichting (MVT) tidak secara tegas membedakan antara dasar pemaaf dengan dasar pembenar, tetapi pada dasarnya membagi antara (1). Dasar peniadaan pidana yang berasal dari dalam batin si pembuat, yakni pasal 44 ayat (1), dan (2). Dasar peniadaan pidana yang berasal dari luar batin si pembuat, yakni pasal 48, 49, 50, dan 51 (Adami Chazawi, 2002 : 19),

Dalam KUHP terdapat rumusan syarat-syarat kemampuan bertanggungjawab secara negatif, artinya dalam rumusan ini dikemukakan alasan-alasan yang ada dalam diri petindak yang digunakan sebagai dasar untuk menyatakan si petindak tidak mampu bertanggungjawab

Rumusan tersebut tercantum dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP sebagai berikut : “barang siapa melakukan perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau jiwanya terganggu karena penyakit, tidak dipidana”.

Dari norma yang dirumuskan pada Pasal 44 ayat (1) KUHP, jelas ada dua penyebab tidak dipidananya berhubung dengan tidak mampu bertanggungjawabnya si pembuat yang terbukti melakukan tindak pidana, (Adami Chazawi, 2002 : 20), yaitu :

1) Karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya, dan 2) Karena terganggu jiwanya dari sebab penyakit.

Jiwanya cacat dalam pertumbuhannya adalah suatu cacat jiwa (Abnormal) yang melekat pada seseorang sejak kelahirannya misalnya ambicili, idiot, bisu tuli sejak lahir, dan lain sebagainya. Sedangkan terganggu jiwanya karena penyakit, keadaan jiwa yang abnormal ini diderita bukan sejak lahir, melainkan setelah lahir misalnya gila, epilepsi. Gangguan jiwa ini baik fisik maupun pshikis (Adami Chazawi, 2002 : 26).

Dua keadaan jiwa sebagaimana disebutkan dalam pasal 44 ayat (1) adalah keadaan jiwa sebagai penyebab tidak dapat dipertanggungjawabkan atas semua perbuatannya. Dengan kata lain keadaan jiwa disitu berlaku untuk segala macam bentuk kesalahan. Oleh karena itu sifatnya umum. Disamping itu ada pula keadaan jiwa yang orangnya tidak mampu bertanggungjawab atas perbuatannya yang sifatnya khusus, artinya hanya berlaku untuk perbuatan tertentu saja, sedangkan pada perbuatan yang lain ia tetap dapat dipertanggungjawabkan. (Adami Chazawi, 2002 : 21-22).

Keadaan jiwa yang orangnya tidak mampu bertanggungjawab atas perbuatannya yang sifatnya khusus contohnyanya (Adami Chazawi,2002 : 23),antara lain .

1) Kleptomania yaitu suatu penyakit jiwa yang sangat kuat mendorong untuk mengambil sesuatu benda tanpa keinsyafan bahwa perbuatan itu tercela, tidak dapat dipertanggungjawabkan hanya terhadap tindak pidana pencurian dan tetap dapat dipertanggungjawabkan dalam hal melakukan tindak pidana yang lain.

2) Phyromania yaitu suatu kelainan jiwa yang sangat kuat mendorong untuk membakar tanpa keinsyafan bahwa perbuatan itu sebagai tercela. Penderita Phyromania hanya tidak dipertanggungjawabkan atas perbuatan pembakaran saja, tetapi tetap bertanggungjawab pada perbuatan yang lainnya.

Keadaan jiwa cacat dalam pertumbuhannya atau keadaan jiwa yang terganggu karena penyakit (pasal 44 ayat 1), keadaan daya paksa (48), pembelaan darurat (49 ayat ke 1), pembelaan darurat yang melampaui batas (49 ayat ke 2), menjalankan perintah UU (50 ayat ke-1), melaksanakan perintah jabatan (51 ayat ke-1), melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik(51 ayat ke-2) adalah dasar peniadaan pidana yang bersifat umum artinya berlaku untuk segala tindak pidana. Dalam KUHP juga ada dasar peniadaan pidana yang bersifat khusus yaitu hanya berlaku pada tindak pidana khusus tertentu, yang tersebar dalam beberapa pasal, misalnya 163 bis ayat (2), 166 jungto 164 dan 165, 221 (2), 310 (3) (Adami Chazawi, 2002 : 62-62).

Dalam UU RI No. 21 Tahun 2007 mengenai hapusnya pertanggungjawaban pidana disebutkan dalam pasal 18 dijelaskan bahwa alasan hapusnya pertanggungjawaban pidana, karena korban yang melakukan tindak pidana dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang untuk melakukan tindak pidana.

Dokumen terkait