• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi komparasi pertanggungjawaban pidana Delik perdagangan orang ditinjau dari kuhp dan Uu ri no. 21 tahun 2007

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Studi komparasi pertanggungjawaban pidana Delik perdagangan orang ditinjau dari kuhp dan Uu ri no. 21 tahun 2007"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

Studi komparasi pertanggungjawaban pidana Delik perdagangan orang ditinjau dari kuhp dan

Uu ri no. 21 tahun 2007

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan diajukan untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh

Tri Wahyu Setyanto NIM : E.1104209

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008

(2)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

STUDI KOMPARASI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DELIK PERDAGANGAN ORANG DITINJAU DARI KUHP DAN

UU RI NO. 21 TAHUN 2007

Disusun oleh :

TRI WAHYU SETYANTO NIM : E 1104209

Disetujui untuk Dipertahankan

Pembimbing I WINARNO BUDYATMOJO, S.H., M.S. NIP 131 658 559 Pembimbing II ISMUNARNO, S.H., M.Hum. NIP 131 884 428

(3)

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

STUDI KOMPARASI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DELIK PERDAGANGAN ORANG DITINJAU DARI KUHP DAN

UU RI NO. 21 TAHUN 2007

Disusun oleh :

TRI WAHYU SETYANTO NIM : E 1104209

Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

pada : Hari : Jumat Tanggal : 9 Mei 2008 TIM PENGUJI 1. R. Ginting, S.H., M.H. : Ketua 2. Ismunarno, S.H., M.Hum. : Sekretaris 3. Winarno Budyatmojo, S.H., M.S. : Anggota MENGETAHUI Dekan,

Moh. Jamin, S.H., M.Hum. NIP. 131570154

(4)

ABSTRAK

Tri Wahyu Setyanto, 2008. STUDI KOMPARASI

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DELIK PERDAGANGAN ORANG DITINJAU DARI KUHP DAN UU RI NO. 21 TAHUN 2007. Fakultas Hukum UNS.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang siapa yang dapat dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana perdagangan orang dan bagaimana Komparasi (perbandingan) pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang ditinjau dari KUHP dan UU RI NO. 21 TAHUN 2007.

Sedangkan perumusan kerangka pikiran dalam penulisan hukum ini bahwa subyek tindak pidana perdagangan orang ditinjau dari KUHP dan UU RI NO 21 TAHUN 2007 berbeda. Dimana ditinjau dari KUHP subyek tindak pidana perdagangan orang adalah manusia dan dalam UU RI NO 21 TAHUN 2007 subyek tindak pidana perdagangan orang tidak hanya berupa manusia tetapi juga korporasi.

Penelitian yang dilakukan menggunakan jenis penelitian normatif, jenis data yang digunakan adalah data sekunder, sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder. Setelah data terkumpul kemudian data dianalisa dengan menggunakan metode analisa isi (content analysis).

Sebagai kesimpulan dalam penelitian ini dapat katakan bahwa pelaku tindak pidana perdagangan orang ditinjau dari KUHP digolonglan menjadi : (1). pembuat tunggal (dader), (2). para pembuat (Mede dader) yang terdiri dari empat bentuk sebagaimana disebut dalam pasal 55 ayat (1) KUHP yaitu : orang yang melakukan (pleger), orang yang menyuruh melakukan (doen pleger), orang yang turut serta melakukan (mede pleger),orang yang menganjurkan (uitloker). (3). pembuat pembantu (Medeplichtige) yaitu pada saat kejahatan dilakukan dan sebelum kejahatan dilakukan. Sedangkan dalam UU RI NO 21 TAHUN 2007 pelaku tindak pidana perdagangan orang digolongkan menjadi : (1). Setiap orang yang terdiri dari orang perorangan dan korporasi, (2). Penyelengara negara, (3). Penganjur (Uitlokker) dan atau menyuruhlakukan (Doen pleger), (4). Membantu melakukan (Medeplichtigheid) pembantuan tidak hanya sebelum atau pada saat kejahatan perdagangan orang dilakukan tetapi juga sesudah kejahatan perdagangan orang, (5). Orang yang turut melakukan (Mede pleger), (6). Pengguna, (7). Kelompok terorganisasi. Mengenai pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang bahwa ancaman hukuman atau sanksi pidana dalam UU RI NO. 21 TAHUN lebih berat dibandingkan dengan KUHP. Dalam UU RI NO. 21 TAHUN 2007 dicantumkan pidana penjara minimal dan maksimal serta denda maksimal dan minimal terhadap pelakunya sesuai dengan penggolongan pelaku. Disamping itu dalam UU RI NO. 21 TAHUN 2007 terdapat ketentuan yang menyimpang dari ketentuan KUHP seperti dalam hal pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus. Atas segala berkat dan kasih-Nya yang telah memberikan semangat dan kemudahan bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini. Dengan kasih karunia-Nya penulis akhirnya dapat menyelesaikan penulisan hukum ini sebagai syarat untuk meraih gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul “STUDI KOMPARASI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DELIK PERDAGANGAN ORANG DITINJAU DARI KUHP DAN UU RI NO. 21 TAHUN 2007”.

Penulisan hukum ini membahas tentang Siapa sajakah yang dapat dipertanggungjawabkan dalam delik perdagangan orang ditinjau dari KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007 dan Bagaimana komparasi pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang menurut KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007, penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini terdapat banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis dengan besar hati menerima segala kritik dan saran yang dapat memperkaya pengetahuan penulis di kemudian hari ini.

Seiring dengan selesainya penulisan hukum ini, maka dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberi bantuannya dalam penulisan hukum ini :

1. Bp. Moh. Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bp. Winarno Budyatmojo, S.H., M.S. dan Bp. Ismunarno, S.H., M.Hum selaku dosen pembimbing Penulisan Hukum ini.

3. Bp. Agus Rianto, S,H., M.Hum selaku pembimbing akademik.

4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang selama ini telah memberikan bekal ilmu bagi penulis, selama penulis belajar di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

5. Keluargaku, Bapak, Ibu, mbak Ria, mas wawan yang selama ini telah memberikan kasih sayang serta doanya selama ini.

(6)

6. Teman-temanku yang baik Tatag, Ronny, David terima kasih untuk semua bantuan dan dukungannya selama ini. Untuk Aji, Pesoy, Bandeng, Nugroho, Angga, Didit, Yani, wawan kalian temen-temen kumpul yang seru, terima kasih atas bantuan dan dukungannya selama ini dan yang lain tidak dapat saya sebutkan satu persatu terima kasih untuk semua bantuan dan doanya. Dan terakhir tidak lupa untuk seseorang yang selalu tersenyum ketika aku melihatnya, suatu keindahan yang mungkin akan terlupakan.

Akhirnya penyusun berharap bahwa penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Surakarta, Mei 2008 Penyusun

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Metode Penelitian ... 6

F. Sistematika Skripsi ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ... 11

1. Perdagangan Orang ... 11

2. Tindak Pidana Perdagangan Orang Ditinjau dari KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007 ... 22

3. Pengertian, Klasifikasi dan Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana Ditinjau dari KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007 ... 31

B. Kerangka Pemikiran ... 46

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Yang Dapat Dipertanggungjawabkan Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang Ditinjau dari KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007... 49

1. KUHP ... 49

2. UU RI No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 52

(8)

3. Analisa Perbandingan (Komparasi) ... 59 B. Komparasi Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku

Perdagangan Orang Menurut KUHP dan UU RI No. 21

Tahun 2007 ... 61 1. Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Perdagangan

Orang Menurut KUHP ... 61 2. Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Perdagangan

Orang Menurut UU RI No. 21 Tahun 2007 ... 66 3. Analisa Perbandingan (Komparasi) ... 73 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 76 B. Saran ... 79 DAFTAR PUSTAKA ... 80 LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Perdagangan orang terutama perempuan dan anak merupakan salah satu isu serius yang harus dihadapi dan ditangani oleh Pemerintah Indonesia. Meskipun belum ada data resmi dan valid mengenai besaran masalahnya diperkirakan sekitar 700.000 sampai 1.000.000 anak dan perempuan diperdagangkan di Indonesia, dimana sebagian besar korban diperjualbelikan sebagai para pekerja seks komersial didalam negeri, pembantu rumah tangga, pengemis, pengedar narkotika dan obat-obat terlarang serta bentuk-bentuk lain dari eksploitasi kerja seperti di rumah makan dan perkebunan. Situasi perdagangan perempuan ke luar negeripun tidak kalah memprihatinkan, yang mana menurut catatan Kepolisian Rl, pada tahun 2000 terungkap 1400 kasus pengiriman perempuan secara ilegal ke luar negeri.

(9)

Meningkatnya jumlah keluarga miskin dan angka putus sekolah di berbagai tingkat pendidikan, menurunnya kesempatan kerja dan maraknya konflik sosial di berbagai daerah yang muncul sebagai dampak krisis sangat potensial mendorong timbulnya perdagangan perempuan dan anak. Hal ini diperparah oleh kenyataan melemahnya peranan lembaga keluarga dan solidaritas antar warga masyarakat untuk melaksanakan fungsi pemenuhan kebutuhan ekonomi, sosial dan psikologis sekaligus kontrol terhadap para anggotanya.

Perdagangan perempuan dan anak merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang dialami perempuan dan anak. Dari kacamata Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan pelanggaran dan kejahatan terhadap manusia. Perdagangan perempuan juga dapat menghambat pembangunan sumber daya manusia mengingat dampak sosial dan psikologis yang dialami para korban menghalangi mereka untuk berfungsi secara sosial, memberikan kontribusi dalam proses pembangunan dan melanjutkan proses regenerasi yang berkualitas.

Pada masa sekarang, perkembangan perdagangan orang beralih pada jenis manusia yang lemah yakni perempuan dan anak. Perdagangan perempuan dan anak merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang dialami perempuan dan anak dan termasuk sebagai tindak kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia. Bertambah maraknya masalah perdagangan perempuan dan anak diberbagai negara, terutama negara-negara yang sedang berkembang telah menjadi perhatian masyarakat internasional dan organisasi internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Perempuan dan anak adalah yang paling banyak menjadi korban perdagangan orang, menempatkan mereka pada posisi yang sangat beresiko khususnya yang berkaitan dengan kesehatannya baik fisik maupun mental spiritual, dan sangat rentan terhadap tindak kekerasan, kehamilan yang tak

(10)

dikehendaki, dan infeksi penyakit seksual termasuk HIV/AIDS. Kondisi perempuan dan anak yang seperti itu akan mengancam kualitas ibu bangsa dan generasi penerus bangsa Indonesia.

Banyak cara dan modus operandi yang dilakukan oleh pelaku kejahatan perdagangan orang terutama perempuan dan anak, antara lain, dengan cara penipuan atau janji-janji bohong sehingga korban tidak menyadari bahwa dirinya adalah obyek dari kejahatan perdagangan yang dilakukan oleh pelaku perorangan ataupun suatu jaringan yang luas dan terorganisasi baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.

Pihak anggota keluarga seperti orang tua yang mempunyai latar belakang sosial ekonomi rendah dengan berbagai faktor pendorong baik ekstern maupun intern memberikan peluang terjadinya perdagangan orang. Faktor keluarga yang lemah dan daya integrasi keluarga kurang kuat menyebabkan tidak dapat mencegah terjadinya perdagangan perempuan dan anak. Selain itu, kuatnya konsep budaya tertentu yang berlaku misalnya budaya filial piety (keharusan patuh pada orang tua) masih dianut oleh sebagian besar mayarakat Indonesia.

Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang terutama perempuan dan anak pada dasarnya telah diatur dalam KUHP. Konsep pengaturan larangan ini seumur dengan pembentukan KUHP itu sendiri. Pasal 297 KUHP yang khusus mengatur perdagangan perempuan dan anak laki-laki di bawah umur yang menunjukkan bahwa pada masa penjajahanpun perdagangan perempuan dan anak sudah dikualifikasi sebagai suatu kejahatan atau dianggap sebagai tindakan yang tidak manusiawi dan layak mendapatkan sanksi pidana. Namun seiring dengan kemajuan tekhnologi, informasi, tranportasi yang mengakselerasi globalisasi pelaku (Trafficker) perdagangan orang dengan cepat berkembang menjadi sindikasi lintas batas negara yang dengan sangat halus menjerat mangsanya, tetapi dengan sangat kejam mengeksploitasinya dengan berbagai cara sehingga korban menjadi tidak

(11)

berdaya untuk membebaskan diri. Tindak pidana perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisasi maupun tidak terorganisasi. Tindak pidana perdagangan orang bahkan melibatkan tidak hanya perorangan tetapi juga korporasi dan penyelengara negara yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Jaringan pelaku tindak pidana perdagangan orang memiliki jangkauan operasi tidak hanya antar wilayah dalam negeri tetapi juga antar negara.

Ketentuan Pasal 297 KUHP tersebut tidak merumuskan pengertian perdagangan orang secara tegas dan memberikan sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan orang. Sehingga pada tanggal 17 April 2007 Pemerintah Indonesia akhirnya mensahkan dan mengundangkan UU RI NO. 21 TAHUN 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang yang mengatur secara khusus tentang tindak pidana perdagangan orang yang mampu menyediakan landasan hukum formil dan materiil sekaligus untuk mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara, atau semua bentuk ekploitasi yang mungkin terjadi dalam praktek perdagangan orang, baik yang dilakukan antar wilayah dalam negeri maupun secara antar negara, baik oleh pelaku perorangan maupun korporasi.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penyusun berharap lewat kajian perbandingan (studi komparasi) antara KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007 dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang menurut kedua perspektif aturan hukum tersebut, sehingga dapat tercapai suatu hasil yang obyektif dan sesuai dengan tujuan penelitian. Karena itulah yang mendorong dan memberikan motivasi kepada penyusun untuk melakukan penelitian dan menyusunnya sebagai suatu penulisan hukum dengan judul :

“STUDI KOMPARASI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DELIK PERDAGANGAN ORANG DITINJAU DARI KUHP DAN UU RI NO. 21 TAHUN 2007.”

(12)

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan, maka penyusun mengambil dua rumusan permasalahan yang akan dibahas yaitu : 1. Siapa sajakah yang dapat dipertanggungjawabkan dalam delik

perdagangan orang ditinjau dari KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007? 2. Bagaimana komparasi pertanggungjawaban pidana bagi pelaku

perdagangan orang menurut KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007?

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisa tentang siapa sajakah yang dapat dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana perdagangan orang ditinjau dari KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007.

2. Untuk mengetahui dan memahami komparasi pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang menurut KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007.

D. MANFAAT PENELITIAN

Berkaitan dengan tujuan penelitian, maka manfaat yang akan diperoleh dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis a. Bagi Penyusun

Penelitian ini memperluas wacana keilmuan perbandingan hukum pidana tentang sistem pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang, baik dalam perspektif KUHP maupun UU RI No. 21 Tahun 2007, sehingga dapat memberikan kepuasan keilmiahan secara ilmiah terhadap kajian hukum pidana.

(13)

b. Bagi Akademisi

1) Menambah, mengembangkan, dan memperdalam pemahaman yang lebih baik terhadap sistem pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang, baik dalam perspektif KUHP maupun UU RI No. 21 Tahun 2007, sehingga dapat membawa sikap yang lebih kritis dan tidak dogmatis terhadap sistem hukum nasional yang telah ada.

2) Memberikan pengetahuan, perbandingan hukum pidana secara ilmiah tentang persamaan dan perbedaaan antara KUHP dengan UU RI No. 21 Tahun 2007 didalam permasalahan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang, sehingga nantinya dapat lebih mempermudah dan mempertajam proses peneltian hukum nasional didalam upaya pemecahan masalah-masalah hukum secara adil, bijaksana, dan tepat.

2. Manfaat Aplikatif Bagi Praktisi

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini bagi para praktisi antara lain:

a. Memberikan bahan hukum tentang faktor-faktor hukum manakah yang perlu dikembangkan ataupun dihapuskan secara beragsur-angsur didalam kebijakan hukum nasional untuk menangani tindak pidana perdagangan orang demi integritas masyarakat;

b. Mengembangkan dan memperdalam pemahaman secara obyektif tentang hukum nasional yang berkaitan dengan sistem pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang, dengan cara melihat kelebihan dan kekurangan dua aturan hukum yang berbeda, sehingga akan berguna didalam usaha mengharmonisasikan aturan hukum nasional yang telah ada dan didalam upaya pembaharuan hukum pidana nasional yang lebih baik, berkeadilan, dan lebih menjunjung nilai-nilai kemanusiaan

(14)

E. METODE PENELITIAN

Adapun metode penelitian yang digunakan penulis adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian terhadap perbandingan hukum.

Dalam penelitian ini memperbandingkan antara KUHP (Undang-Undang yang bersifat umum) dengan UU RI NO. 21 TAHUN 2007 (Undang-Undang yang bersifat khusus) berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku delik perdagangan orang.

2. Sifat Penelitian

Penelitian yang digunakan bersifat deskriptif. Menurut Soerjono Soekanto penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif adalah untuk mempertegas hipotesa agar dapat membantu didalam memperkuat teori-teori lama atau didalam kerangka menyusun teori-teori-teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1984:10).

Jadi metode deskriptif ini digunakan untuk melaporkan atau menggambarkan suatu penelitian dengan cara mengumpulkan data, mengklasifikasikannya, menganalisa, dan menginterprestasikan data yang ada.

3. Pendekatan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan yang diangkat dalam penelitian ini, maka metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan pendekatan komparatif normatif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk mencari, meneliti, dan mengkaji secara mendalam rumusan norma dan aturan mengenai pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang, baik yang terdapat dalam KUHP maupun UU RI No. 21 Tahun 2007, kemudian kedua norma dan aturan yang berbeda

(15)

tersebut diperbandingkan atau dikomparasikan dengan cara melihat sisi-sisi persamaan dan perbedaan diantara keduanya untuk memperoleh jawaban yang obyektif dan hasilnya sesuai dengan tujuan penelitian. 4. Jenis Data

Dalam penelitian ini jenis data yang dipergunakan adalah data-data sekunder yang diperoleh dari bahan pustaka tentang pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang melalui studi kepustakaan dan studi peraturan perundang-undangan, dari buku-buku, dan literatur lain yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

5. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Sumber data sekunder, yaitu data yang bersumber dari bahan hukum antara lain :

a. Bahan hukum primer yang terdiri dari : bahan pustaka atau sumber data yang mengikat dan didapat langsung dari sumbernya yang terdiri dari : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan peraturan perundang-undangan yang terkait sebagai hukum positif Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu data yang menjelaskan analisa dan petunjuk pada bahan hukum primer yang terdiri dari : Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2007, sumber-sumber tulisan mengenai pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang dalam perspektif KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007, yang terdapat dalam buku, hasil-hasil penelitian, dan lain-lain yang berguna bagi penelitian.

6. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data penulis melakukan dengan jalan studi pustaka. Hal ini dilakukan dengan identifikasi literatur buku, peraturan perundang-undangan, dan literatur lain yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Menurut Soerjono Soekanto, studi kepustakaan adalah studi

(16)

dokumen yang merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan atas data tertulis dengan mempergunakan “content analysis” atau biasa yang disebut dengan analisis muatan. Dalam hal ini, peneliti membaca, mempelajari, dan mengkaji dari buku-buku, dokumen, dan bahan tulisan yang berhubungan dengan penelitian yang akan diadakan (Soerjono Soekanto, 1984: 21).

7. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah tahap yang penting dalam menentukan suatu penelitian. Analisis data dalam suatu penelitian adalah menguraikan atau memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan data yang diperoleh kemudian diolah ke dalam pokok permasalahan yang diajukan terhadap penelitian yang bersifat deskriptif (Heribertus Sutopo, 1998 : 8)

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan mengunakan metode analisa isi (content analysis) yaitu mendeskripsikan dan menganalisa materi isi dan keabsahan data yang diperoleh dari bahan pustaka melalui studi kepustakaaan dan studi peraturan perundang-undangan dengan cara mempelajari norma dan aturan hukum yang memperbandingkan antara KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007 tentang pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang sesuai dengan tujuan penelitian dan untuk menjawab rumusan permasalahan.

F. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM

Penulisan hukum ini terbagi dalam empat bab yang setiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

(17)

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka teori B. Kerangka pemikiran

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini berisi hasil penelitian dan pembahasannya, yang merupakan bagian yang pokok dari keseluruhan penulisan skripsi yang membahas, menguraikan, membandingkan, dan menganalisa rumusan permasalahan penelitian yang meliputi : (1) siapakah yang dapat dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana perdagangan orang menurut KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007, (2) komparasi pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang menurut KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007.

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini terbagi dalam dua bagian, yaitu kesimpulan dan saran.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KERANGKA TEORI 1. Perdagangan Orang

Perdagangan manusia (orang) adalah pelanggaran hak asasi manusia. Pada dasarnya, Perdagangan Manusia melanggar hak asasi universal manusia untuk hidup, merdeka, dan bebas dari semua bentuk perbudakan.

Perdagangan anak-anak merusak kebutuhan dasar seorang anak untuk tumbuh dalam lingkungan yang aman dan merusak hak anak untuk bebas dari kekerasan dan eksploitasi seksual.

Perdagangan manusia (orang) meningkatkan kerusakan sosial. Hilangnya jaringan dukungan keluarga dan masyarakat membuat korban perdagangan sangat rentan terhadap ancaman dan keinginan para pelaku perdagangan, dan dalam beberapa cara menimbulkan kerusakan pada struktur-struktur sosial. Perdagangan merenggut anak secara paksa dari orang tua dan keluarga mereka, menghalangi pengasuhan dan perkembangan moral mereka. Perdagangan mengganggu jalan pengetahuan dan nilai-nilai budaya dari orang tua kepada anaknya dan dari generasi ke generasi, yang membangun pilar utama masyarakat. Keuntungan dari perdagangan seringkali membuatnya mengakar di masyarakat-masyarakat tertentu, yang kemudian dieksploitasi secara berulang-ulang sebagai sumber yang siap menjadi korban. Bahaya menjadi korban perdagangan seringkali membuat kelompok yang rentan seperti anak-anak dan perempuan muda bersembunyi dengan dampak merugikan bagi pendidikan dan struktur keluarga mereka. Hilangnya pendidikan mengurangi kesempatan ekonomis masa depan para korban dan meningkatkan kerentanan mereka untuk diperdagangkan di masa

(19)

mendatang. Para korban yang kembali kepada komunitas mereka seringkali menemui diri mereka ternoda dan terbuang atau terasing, dan membutuhkan pelayanan sosial secara terus menerus. Mereka juga berkemungkinan besar menjadi terlibat dalam tindak kejahatan serta menunjukkan perilaku yang kejam.

Perdagangan manusia (orang) mendanai kejahatan terorganisir. Keuntungan-keuntungan dari perdagangan manusia menjadi sumber dana bagi kegiatan kriminal lainnya. Menurut PBB, Perdagangan Manusia adalah perusahaan kriminal terbesar ketiga tingkat dunia yang menghasilkan sekitar 9.5 juta USD dalam pajak tahunan menurut masyarakat intelijen AS. Perdagangan manusia juga merupakan salah satu perusahaan kriminal yang paling menguntungkan dan sangat terkait dengan pencucian uang (money laundering), perdagangan narkoba, pemalsuan dokumen, dan penyelundupan manusia. Bahkan keterkaitannya dengan terorisme juga telah didokumentasikan. Dimana kejahatan terorganisir tumbuh subur, pemerintah dan peranan hukum justru melemah.

Perdagangan manusia (orang) menghilangkan sumber daya manusia banyak negara. Perdagangan manusia memiliki dampak negatif pada pasar tenaga kerja, yang menimbulkan hilangnya sumber-sumber daya manusia yang tidak dapat diperoleh kembali. Beberapa dampak perdagangan manusia mencakup upah yang kecil, hanya sedikit individu yang tersisa untuk merawat orang tua yang jumlahnya semakin meningkat, dan generasi yang terbelakang dalam hal pendidikan. Dampak-dampak ini selanjutnya mengakibatkan hilangnya produktifitas dan kekuatan pendapatan di masa mendatang. Memaksa anak-anak untuk bekerja 10 hingga 18 jam per hari di usia-usia awal menghalangi mereka mendapat pendidikan dan memperkuat putaran kemiskinan dan buta huruf yang memperlambat perkembangan nasional.

(20)

Perdagangan manusia (orang) merusak kesehatan masyarakat. Para korban perdagangan seringkali mengalami kondisi yang kejam yang mengakibatkan trauma fisik, seksual dan psikologis. Infeksi-infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual, penyakit inflammatori pelvic, dan HIV/AIDS seringkali merupakan akibat dari prostitusi yang dipaksakan. Kegelisahan, insomnia, depresi dan penyakit pasca traumatis stres adalah wujud psikologis umum di antara para korban. Kondisi hidup yang tidak sehat dan sesak, ditambah makanan yang miskin nutrisi, membuat korban dengan mudah mengalami kondisi kesehatan yang sangat merugikan seperti kudis, TBC, dan penyakit menular lainnya. Anak-anak menderita masalah pertumbuhan dan perkembangan dan menanggung derita psikologi kompleks dan syaraf akibat kekurangan makanan dan hak-haknya serta mengalami trauma. Kekejaman yang paling buruk seringkali ditanggung oleh anak-anak yang lebih mudah dikendalikan dan dipaksa menjadi pelayan rumah, dilibatkan dalam konflik bersenjata, dan bentuk lain pekerjaan. Anak-anak dapat menjadi sasaran eksploitasi yang progresif, misalnya dijual beberapa kali dan menjadi sasaran pertunjukan kekerasan fisik, seksual dan mental. Kekerasan ini memperumit rehabilitasi psikologis dan fisik mereka dan membahayakan reintegrasi mereka.

Perdagangan manusia menumbangkan wibawa pemerintah. Banyak pemerintah yang berjuang untuk melaksanakan kendali penuh atas teritorial nasional mereka, khususnya dimana korupsi merupakan hal yang umum. Konflik-konflik bersenjata, bencana alam, dan perjuangan politik serta etnis seringkali menciptakan populasi besar orang-orang yang telantar. Para pelaku perdagangan manusia lebih lanjut merusak usaha-usaha pemerintah untuk menggunakan wewenangnya, mengancam keamanan penduduk yang rentan. Banyak pemerintah tidak dapat melindungi wanita dan anak-anak yang diculik dari rumah dan sekolah mereka atau dari camp penampungan. Selain itu,

(21)

uang suap yang dibayarkan oleh para pelaku perdagangan menghalangi kemampuan pemerintah untuk memerangi korupsi yang dilakukan diantara para petugas penegak hukum, pejabat imigrasi, dan pejabat pengadilan.

Perdagangan manusia memakan biaya ekonomi yang sangat besar. Ada manfaat ekonomis besar sekali yang akan diperoleh dengan terhapusnya perdagangan manusia. Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization) baru-baru ini menyelesaikan sebuah studi mengenai biaya dan keuntungan dari penghapusan bentuk-bentuk terburuk kerja paksa pada anak-anak yang definisinya meliputi perdagangan anak. ILO menyimpulkan bahwa perolehan ekonomis dari penghapusan bentuk-bentuk terburuk kerja paksa pada anak-anak sangat besar (puluhan jutaan dolar pertahun) karena pertambahan kapasitas produktifitas pada generasi tenaga kerja masa mendatang akan diperoleh dari peningkatan pendidikan dan kesehatan masyarakat yang membaik. Dampak sosial dan kemanusiaan dari perdagangan manusia seringkali mencerminkan bentuk-bentuk terburuk kerja paksa pada anak-anak tersebut.

Perbudakan atau penghambaan pernah ada dalam sejarah Bangsa Indonesia sebagai bentuk dari perdagangan orang. Pada jaman raja-raja Jawa dahulu, perempuan merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Pada masa itu, konsep kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai yang agung dan mulia. Raja mempunyai kekuasan penuh, antara lain tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang dari selir tersebut adalah putri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan, sebagian lagi persembahan dari kerajaan lain, tetapi ada juga yang berasal dari lingkungan kelas bawah yang dijual atau diserahkan oleh keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan langsung dengan keluarga istana. Sistem feodal ini belum menunjukkan

(22)

keberadaan suatu industri seks tetapi telah membentuk landasan dengan meletakkan perempuan sebagai barang dagangan untuk memenuhi nafsu lelaki dan untuk menunjukkan adanya kekuasaan dan kemakmuran. Pada masa penjajahan Belanda, industri seks menjadi lebih terorganisir dan berkembang pesat yaitu untuk memenuhi kebutuhan pemuasan seks masyarakat Eropa seperti serdadu, pedagang dan para utusan yang pada umumnya adalah bujangan. Pada masa pendudukan Jepang (1941-1945), komersialisasi seks terus berkembang. Selain memaksa perempuan pribumi dan perempuan Belanda menjadi pelacur, Jepang juga membawa banyak perempuan ke Jawa dari Singapura, Malaysia dan Hongkong untuk melayani para perwira tinggi Jepang

Dalam era kemerdekaan terlebih di era reformasi yang sangat menghargai hak asasi manusia, masalah perbudakan atau penghambaan tidak ditolerir lebih jauh keberadaannya. Secara hukum bangsa Indonesia menyatakan bahwa perbudakan atau penghambaan merupakan kejahatan terhadap kemerdekaan orang. Namun kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang mengakselerasi terjadinya globalisasi, juga dimanfaatkan oleh hamba kejahatan untuk menyelubungi perbudakan dan penghambaan itu ke dalam bentuknya yang baru yaitu: perdagangan orang (trafficking in persons), yang beroperasi secara tertutup dan bergerak di luar hukum. Pelaku perdagangan orang (trafficker) yang dengan cepat berkembang menjadi sindikasi lintas batas negara dengan sangat halus menjerat mangsanya, tetapi dengan sangat kejam mengeksploitasinya dengan berbagai cara sehingga korban menjadi tidak berdaya untuk membebaskan diri.

a. Pengertian Perdagangan Orang

Perdagangan orang secara umum merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelangaran harkat dan martabat manusia.

(23)

Dalam protokol Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan trafficking sebagai: Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Tabel di bawah ini yang disarikan dari Definisi PBB di atas adalah alat yang berguna untuk menganalisa masing-masing kasus untuk menentukan apakah kasus tersebut termasuk trafficking atau tidak. Agar suatu kejadian dapat dikatakan sebagai trafficking, kejadian tersebut harus memenuhi paling tidak satu unsur dari ketiga kriteria yang terdiri dari proses, jalan/cara dan tujuan.

Process + Cara/Jalan + Tujuan

Perekrutan Atau Pengiriman Atau Pemindahan Atau Penampungan Atau Penerimaan D A N Ancaman Atau Pemaksaan Atau Penculikan Atau Penipuan Atau Kebohongan Atau Kecurangan Atau Penyalahgunaan Kekuasaan D A N Prostitusi Atau Pornografi Atau Kekerasan/Eksploitasi Seksual Atau Kerja Paksa/dengan upah yang tidak layak Atau

Perbudakan/Praktek-praktek lain serupa perbudakan

Tabel 1. Unsur Perdagangan Orang dari Protokol PBB Jika satu unsur dari masing-masing ketiga kategori di atas muncul,

(24)

Dalam UU RI No. 21 Tahun 2007 tentang tindak pidana pemberantasan perdagangan orang pengertian perdagangan orang dirumuskan dalam Pasal 1 ke-1, yang esensinya adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi, b. Unsur Perdagangan Orang

Dari definisi Pasal 1 ke-1 UU RI No. 21 Tahun 2007 tersebut di atas maka dapat diuraikan beberapa unsur dari tindakan perdagangan orang yaitu :

1) Perbuatan: merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan, atau menerima.

2) Sarana (cara) untuk mengendalikan korban: dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberikan bayaran atau manfaaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam negara maupun antar negara

3) Tujuan: eksploitasi atau mengakibatkan ekploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk ekspoitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, pengambilan organ tubuh. c. Bentuk Trafficking (Perdagangan Orang) meliputi :

1) Menjadikannya pembantu rumah tangga,

2) Menjadikannya sebagai komoditas seksual (dilacurkan) dan pornografi.

(25)

3) Menjadikannya tenaga perahan untuk pekerjaan-pekerjaan dalam kurungan, perbudakan, budak paksa atau tenaga kerja paksa, antara lain: pekerja Anak untuk jermal, perkebunan 4) Menjadikannya pengemis, pengamen dan pekerjaan jalanan

lainnya

5) Adopsi palsu dan penjualan bayi yang diternukan di daerah konflik atau daerah miskin.

6) Menjadikannya Isteri melalui pengantin pesanan (Mail Order Bride) yang kemudian dieksploitasi

7) Menjadikannya alat untuk melakukan Perdagangan Narkotika 8) Dipekerjakan di perkebunan dan pabrik-pabrik atau tenaga

kasar dengan upah sangat murah

9) Menjadikannya sebagai obyek atau sasaran eksploitasi seksual oleh orang yang mengidap pedofilia, atau orang-orang yang mempunyai kepercayaan tertentu yang hanya mau melakukan hubungan seksual dengan anak-anak.

10) Menjadikannya obyek percobaan dibidang ilmu pengetahuan atau obyek pencangkokan organ tubuh

11) Menjadikannya komoditi dalam pengiriman tenaga kerja migrant

12) Menjadikannya sebagai alat bayar hutang

13) Pola-pola tersebut di atas masih mungkin mengalami perkembangan, seiring perkembangan jaman.

d. Faktor Penyebab Trafficking (perdagangan orang)

Tidak ada satupun yang merupakan sebab khusus terjadinya perdagangan orang di Indonesia. Perdagangan orang disebabkan oleh keseluruhan hal yang terdiri dari bermacam-macam kondisi serta persoalan yang berbeda-beda termasuk didalamnya adalah : 1) Kurangnya kesadaran : banyak orang yang bermigrasi untuk

mencari kerja baik di Indonesia atau diluar negeri tidak mengetahui adanya bahaya perdagangan orang dan tidak

(26)

mengetahui cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak mereka dalam pekerjaan yang disewenang-wenangkan atau pekerjaan yang mirip perbudakan.

2) Kemiskinan : kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merencanakan strategi penopang kehidupan mereka termasuk bermigrasi untuk bekerja dan bekerja karena jeratan hutang, yaitu pekerjaan yang dilakukan seseorang guna membayar hutang atau pinjaman.

3) Keinginan cepat kaya : keinginan untuk memiliki materi atau standart hidup yag lebuh tinggi memicu terjadinya migrasi dan membuat orang-orang yang bermigrasi rentan terhadap perdagangan orang.

4) Faktor budaya : faktor budaya berikut memberikan kontribusi terjadinya perdagangan orang :

a) Peran perempuan dalam keluarga : meskipun norma-norma budaya menekankan bahwa tempat perempuan adalah dirumah sebagai istri dan ibu, juga diakui bahwa perempuan juga mencari nafkah tambahan atau pelengkap buat kebutuhan keluarga. Rasa tangggungjawab dan kewajiban membuat banyak wanita bermigrasi untuk bekerja agar dapat mencukupi keluarga mereka.

b) Peran anak dalam keluarga : kepatuhan terhadap orang tua dan kewajiban untuk membantu keluarga membuat anak-anak rentan terhadap perdagangan orang. Buruh atau pekerja anak-anak bermigrasi untuk bekerja, dimana buruh anak karena jeratan hutang dianggap sebagai strategi-strategi keuangan keluarga yang dapat diterima untuk dapat menopang kehidupan keuangan keluarga.

c) Perkawinan dini : perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi para anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang

(27)

terbatas, gangguan perkembangan pribadi dan seringkali juga perceraian dini. Anak-anak perempuan yang sudah bercerai secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan rentan terhadap perdagangan orang disebabkan oleh kerapuhan ekonomi mereka.

d) Sejarah pekerjaan karena jeratan hutang : praktek menyewakan tenaga anggota keluarga untuk melunasi pinjaman merupakan strategi penopang kehidupan keluarga yang dapat diterima oleh masyarakat. Orang yang ditempatkan sebagai buruh karena jeratan hutang khususnya rentan terhadap kondisi-kondisi yang sewenang-wenang dan kondisi yang mirip dengan perbudakan.

e) Kurangnya pencatatan kelahiran : orang tanpa pengenal yang memadai lebih mudah menjadi mangsa perdagangan orang karena usia dan kewarganegaraan mereka tidak terdokumentasi. Anak-anak yang diperdagangkan misalnya, lebih mudah diwalikan keorang dewasa manapun yang memintanya.

f) Kurangnya pendidikan : orang yang berpendidikan terbatas memiliki lebih sedikit keahlian atau kesempatan kerja dan mereka lebih mudah ditarik karena mereka bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian. g) Korupsi dan lemahnya penegakan hukum : pejabat penegak

hukum dan imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku perdagangan orang untuk tidak mempedulikan perbuatan-perbuatan yang bersifat kriminal. Para pejabat pemerintah juga dapat disuap agar memberikan informasi yang tidak benar pada Kartu Tanda Pengenal (KTP), akte kelahiran, dan paspor yang membuat buruh migran lebih rentan terhadap perdagangan orang karena migrasi ilegal. Kurangnya budget atau anggaran dana negara untuk

(28)

menanggulangi usaha-usaha perdagangan orang menghalangi kemampuan para penegak hukum untuk secara efektif untuk menjerat dan menuntut pelaku perdagangan orang.

e. Modus Operandi Perdagangan Orang

1) Modus operandi rekrutmen perdagangan orang tersebut biasanya dengan rayuan, menjanjikan berbagai kesenangan dan kemewahan, menipu atau janji palsu, menjebak, mengancam, menyalahgunakan wewenang, menjerat dengan hutang, mengawini atau memacari, menculik, menyekap, atau memperkosa.

2) Modus lain berkedok mencari tenaga kerja untuk bisnis entertainment, kerja di perkebunan atau bidang jasa di luar negeri dengan upah besar.

3) Ibu-ibu hamil yang kesulitan biaya untuk melahirkan atau membesarkan anak dibujuk dengan jeratan utang supaya anaknya boleh diadopsi agar dapat hidup lebih baik, namun kemudian dijual kepada yang menginginkan.

4) Anak-anak dibawah umur dibujuk agar bersedia melayani para pedofil dengan memberikan memberikan barang-barang. keperluan mereka bahkan janji untuk disekolahkan.

5) Memalsu identitas banyak dilakukan terutama untuk perdagangan orang ke luar negeri, RT/RW, Kelurahan dan Kecamatan dapat terlibat pemalsuan KTP atau Akte Kelahiran, karena adanya syarat umur tertentu yang dituntut oleh agen untuk pengurusan dokumen (paspor). Dalam pemrosesannya, juga melibatkan dinas-dinas yang tidak cermat meneliti kesesuaian identitas dengan subyeknya.

6) Agen dan calo perdagangan orang mendekati korbannya di rumah-rumah pedesaan, dikeramaian pesta-pesta pantai, mall, kafe atau di restauran. Para agen atau calo ini bekerja dalam

(29)

kelompok dan seringkali merayu sebagai remaja yang sedang bersenang-senang atau sebagai agen pencari tenaga kerja. Korban yang direkrut dibawa ke tempat transit atau ke tempat tujuan sendiri-sendiri atau dalam rombongan, menggunakan pesawat terbang, kapal atau mobil tergantung pada tujuannya. Biasanya agen atau calo menyertai mereka dan menanggung biaya perjalanan. Untuk ke luar negeri, mereka dilengkapi dengan visa turis, tetapi seluruh dokumen dipegang oleh agen termasuk dalam penanganan masalah keuangan. Seringkali perjalanan dibuat memutar untuk memberi kesan bahwa perjalanan yang ditempuh sangat jauh sehingga sulit untuk kembali. Bila muncul keinginan korban untuk kembali pulang, mereka ditakut-takuti atau diancam. Di tempat tujuan, mereka tinggal di rumah penampungan untuk beberapa minggu menunggu penempatan kerja yang dijanjikan. Tetapi kemudian mereka dibawa ke bar, pub, salon kecantikan, rumah bordil dan rumah hiburan lain, dan mulai dilibatkan dalam kegiatan prostitusi. Mereka diminta menandatangani kontrak yang tidak mereka mengerti isinya. Jika menolak, korban diminta membayar kembali biaya perjalanan dan “tebusan” dari agen atau calo yang membawanya. Jumlah yang biasanya membengkak itu menjadi hutang yang harus ditanggung oleh korban.

2. Tindak Pidana (delik) Perdagangan Orang Ditinjau Dari KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007

a. Tindak Pidana Perdagangan Orang Ditinjau Dari KUHP

Sebelum membahas tindak pidana perdagangan orang dalam KUHP terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian apa itu tindak pidana.

(30)

Pembentuk Undang-Undang telah menggunakan perkataan “strafbaarfeit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” didalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaarfeit” tersebut.

Perkataan “feit” itu sendiri dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” sedangkan “strafbaar” berarti “dapat dihukum” hingga secara harafiah perkatan “strafbaarfeit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan.

Oleh karena itu seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa pembentuk Undang-Undang kita tidak memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya telah ia maksud dengan perkataan “strafbaarfeit” maka timbulah didalam doktrin berbagai pendapat tentang apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaarfeit” tersebut. (P.A.F Lamintang. 1997 : 181).

Simons menerangkan bahwa “strafbaarfeit” adalah kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab (Moelyatno. 1993 : 56).

Menurut Pompe, tindak pidana atau “strafbaarfeit sebagai suatu pelangaran norma (gangguan tehadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum (P.A.F Lamintang. 1997 : 182).

(31)

Menurut Van Hattum, tindak pidana atau “strafbaarfeit” dikarenakan sebagai suatu tindakan yang karena telah melakukan tindakan semacam itu membuat seseorang menjadi dapat dihukum (P.A.F Lamintang. 1997 : 184).

Perbuatan pidana atau tindak pidana dapat kita disamakan dengan istilah Inggris “criminal act” yang berarti kelakuan dan akibat, atau dengan kata lain perkataan : akibat dari suatu kelakuan yang dilarang oleh hukum (Moelyatno. 1993 : 57).

Ada pembagian-pembagian dari tindak pidana salah satunya adalah delik formal dan delik material. Pada umumnya rumusan-rumusan delik didalam Kitab Undang Hukum Pidana itu merupakan rumusan-rumusan dari apa yang disebut valtooid delik, yakni delik yang telah selesai dilakukan oleh pelaku yang sebenarnya. Delik formal adalah delik yang telah dianggap selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam oleh hukuman dengan Undang-Undang. Delik material adalah delik yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang (P.A.F Lamintang. 1997 : 212-213).

Tindak pidana perdagangan orang memang tidak dirumuskan secara jelas dalam KUHP tetapi ada beberapa Pasal dalam KUHP yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku tentunya yang ada kaitannya dengan perdagangan orang. Diantaranya akan dijelaskan sebagai berikut :

1) Perbudakan dan penghambaan telah dinyatakan sebagai tindakan yang melanggar hukum dan dinyatakan sebagai kejahatan terhadap kemerdekaan orang, sebagaimana termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wet boek van Strafrecht

(32)

yang terakhir diubah dengan Undang-undang RI No. 1 Tahun 1946) yang mengatur:

a) Pasal 324: Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain menjalankan perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam salah satu perbuatan tersebut di atas, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

b) Pasal 333 (1): Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

c) Pasal 333 (2): Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

d) Pasal 333 (3): Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

e) Pasal 333 (4): Pidana yang ditentukan dalam Pasal ini diterapkan juga bagi orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan.

2) Perbudakan dan penghambaan dalam bentuk perdagangan orang juga dikriminalisasi dalam sistem hukum Indonesia sebagaimana termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 297 yang berbunyi : “Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”

3) Salah satu kegiatan yang mendorong timbulnya perdagangan orang adalah pelacuran. Di Indonesia ‘kegiatan melacur’ tidak secara eksplisit dinyatakan sebagai tindak pidana, Namun mendapatkan keuntungan dan melacurkan orang lain adalah tindakan yang dianggap kejahatan terhadap kesusilaan atau

(33)

pelanggaran terhadap ketertiban umum, sebagaimana termaktub dalam KUHP sebagai berikut:

a) Dalam Buku Kedua. Kejahatan, Bab XIV. Kejahatan terhadap Kesusilaan:

(1) Pasal 289 :Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(2) Pasal 296 : Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbutan cabul dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak seribu rupiah.

b) Dalam Buku Ketiga. Pelanggaran, Bab II. Pelanggaran Ketertiban Umum: Pasal 506: Barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencaharian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.

Secara umum dari penjelasan tersebut di atas tindak pidana yang terkait dengan perdagangan orang dalam KUHP dapat diklasifikasikan menjadi berbagai bentuk tindak pidana. Sebagai berikut :

1) Tindak pidana materiil, yang terdapat dalam Pasal 333 (2) yaitu mengakibatkan luka-luka berat, 333 (3) yaitu mengakibatkan mati.

2) Tindak pidana formil yang terdapat dalam Pasal 324, 333 (1), 297, 296, 289, dan 506.

(34)

3) Tindak pidana penyertaan (turut serta), yang terdapat dalam Pasal 324.

4) Tindak pidana pembantuan, yang terdapat dalam Pasal 333 (4).

b. Tindak Pidana Perdagangan Orang Ditinjau Dari UU RI No. 21

Tahun 2007

Menurut perumusan dalam Undang-Undang ini, tindak pidana dibedakan menjadi dua yaitu tindak pidana formil dan tindak pidana materiil. Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang perumusannya ditiikberatkan kepada perbuatan yang dilarang, tindak pidana ini selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dirumuskan dalam Undang-Undang sedangkan tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang dilarang. Tindak pidana ini selesai apabila akibat yang dilarang itu timbul.

Tindak pidana perdagangan orang ditinjau dari UU RI No. 21 Tahun 2007 adapun pengertiannya terdapat dalam Pasal 1 ke-2, yaitu : “tindak pidana perdagangan orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini”. Yaitu Setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Pasal 2 -7 UU RI No. 21 Tahun 2007.

Berikut adalah Pasal-Pasal 2-7 dalam UU RI No. 21 Tahun 2007 yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang antara lain :

1) Pasal 2 ayat (1), yaitu setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, pengunaan kekerasan, penculikan penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang,

(35)

atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengekploitasi orang tersebut diwilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit seratus dua puluh juta rupiah dan paling banyak enam ratus juta rupiah. Pasal ini merupakan tindak pidana formil.

2) Pasal 2 ayat (2), yaitu jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang terekploitasi, maka pelaku dipidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal ini merupakan tindak pidana materiil karena mengakibatkan orang tereksploitasi.

3) Pasal 3, yaitu setiap orang yang memasukkan orang kewilayah negara Rebuplik Indonesia dengan maksud untuk diekploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau diekploitasi diwilayah negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah. Pasal ini merupakan tindak pidana formil.

4) Pasal 4, yaitu setiap orang yang membawa warga negara Indonesia keluar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk diekploitasi diluar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah. Pasal ini merupakan tindak pidana formil.

5) Pasal 5, setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda

(36)

paling sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah. Pasal ini merupakan tindak pidana formil.

6) Pasal 6, yaitu setiap orang yang melakukan pengiriman anak kedalam atau keluar negeri dengan cara apapun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah. Pasal ini merupakan tindak pidana materiil karena mengakibatkan anak tereksploitasi.

7) Pasal 7 ayat (1), yaitu jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit ,menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya maka ancaman pidananya ditambah sepertiga dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6. Pasal ini merupakan tindak pidana materiil karena menimbulkan akibat kepada korban.

8) Pasal 7 ayat (2), yaitu jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal4, Pasal 5, Pasal 6, mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lam penjara seumur hidup dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 5 milyar rupiah. Pasal ini merupakan tindak pidana materiil karena mengakibatkan matinya korban.

Selain dalam ketentuan Pasal 2-7 tersebut di atas, juga masih terdapat pembagian tindak pidana lainnya antara lain dalam Pasal : 1) Pasal 8 ayat (1) yaitu, setiap penyelenggara negara yang

menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 maka pidananya

(37)

ditambah sepertiga dari ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6. Pasal ini merupakan tindak pidana penyalahgunaan kekuasaan.

2) Pasal 9, yaitu setiap orang yang berusaha mengerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 6 tahun dan pidana denda paling sedikit 40 juta rupiah dan paling banyak 240 juta rupiah. Pasal ini merupakan tindak pidana menggerakkan.

3) Pasal 10, yaitu setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6. Pasal ini merupakan tindak pidana pembantuan dan percobaan.

4) Pasal 11, yaitu setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Pasal ini merupakan tindak pidana perencanaan dan permufakatan jahat.

5) Pasal 12, yaitu setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang, dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktek eksploitasi atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 , Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Pasal ini merupakan tindak pidana menggunakan atau memanfaatkan.

(38)

6) Pasal 23, yaitu setiap orang yang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan dengan cara :

a) Memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta benda, atau harta kekayaaan lainnya kepada pelaku;

b) Menyediakan tempat tinggal bagi pelaku; c) Menyembunyikan pelaku atau;

d) Memyembunyikan informasi keberadaan pelaku

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan pidana denda paling sedikit 40 juta rupiah dan paling banyak 200 juta rupiah. Pasal ini merupakan tindak pidana pembantuan.

Secara umum dari penjelasan tersebut di atas tindak pidana perdagangan orang dalam UU RI No. 21 Tahun 2007 dapat diklasifikasi menjadi berbagai bentuk tindak pidana sebagai berikut : 1) Tindak pidana materiil yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (2), 6,

7 ayat (1), dan 7 ayat (2).

2) Tindak pidana formil yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1), 3, 4, dan 5.

3) Tindak pidana percobaan yang terdapat dalam Pasal 10.

4) Tindak pidana pembantuan yang terdapat dalam Pasal 10 dan 23.

5) Tindak pidana menyalahgunakan kekuasaan yang terdapat dalam Pasal 8.

6) Tindak pidana menggerakkan yang terdapat dalam Pasal 9. 7) Tindak pidana perencanaan dan permufakatan jahat yang

terdapat dalam Pasal 11.

8) Tindak pidana menggunakan atau memanfaatkan yang terdapat dalam Pasal 12.

3. Pengertian, Klasifikasi, dan Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana Ditinjau dari KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007

(39)

a. Pengertian pertanggungjawaban pidana ditinjau dari KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007

Dalam KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007 tidak terdapat rumusan tentang pengertian pertanggungjawaban pidana dan kemampuan bertanggungjawab, oleh karena itu pengertian tersebut harus kita cari dalam dunia ilmu hukum (doktrin).

Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana, maka tidak dapat dilepaskan dengan adanya tindak pidana. Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan yang obyektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subyektif kepada pembuat yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatan tersebut.

Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah tiada pidana tanpa kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut (Dwidja Priyatno, 2004 : 30).

Sudarto menyatakan “dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam Undang-Undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu

(40)

adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Dengan perbuatan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut” (Dwidja Priyatno, 2004 : 31).

Simon mengatakan bahwa kesalahan adalah keadaan pshikis orang yang melakuan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tadi (Roeslan Saleh, 1983 : 78).

Jadi yang harus diperhatikan adalah (1). Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan itu. (2). Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan. Hal yang pertama yaitu mengenai keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan, dalam ilmu hukum pidana merupakan soal yang lazim disebut masalah kemampuan bertanggungjawab, hal yang kedua yaitu mengenai hubungan antara batin itu dengan perbuatan yang dilakukan merupakan masalah kesengajaan, kealpaan, serta alasan pemaaf, sehingga mampu bertanggungjawab, mempunyai kesengajaan atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur-unsur dari kesalahan. Tiga unsur ini merupakan unsur yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Yang satu bergantung pada yang lain. Konkritnya tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan ataupun kealpaan apabila orang itu tidak mampu bertanggungjawab, begitu pula tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf apabila orang tidak mampu bertanggungjawab, dan tidak pula adanya kesengajaan ataupun kealpaan

Karena tidaklah ada gunanya untuk mempertangungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila

(41)

perbuatan itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut sekarang dapat pula dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan tadi harus dihubungkan pula dengan dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, maka terdakwa haruslah (Roeslan Saleh, 1983 : 79) yaitu :

1). Melakukan perbuatan pidana 2). Mampu bertanggungjawab

3). Dengan kesengajaan atau kealpaan 4). Tidak adanya alasan pemaaf.

Dalam KUHP memang tidak ada rumusan yang tegas tentang kemampuan bertanggungjawab pidana. Pasal 44 ayat (1) KUHP justru merumuskan tentang keadaan mengenai bilamana seseorang tidak mampu bertanggungjawab agar tidak dipidana, artinya merumuskan kebalikan secara negative dari kemampuan bertanggungjawab (Adami Chazawi.2002 : 142).

Dua keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggungjawab sebagaimana yang dirumuskan didalam pasal 44 ayat (1) KUHP, yakni jiwanya cacat dalam pertumbuhannya dan jiwanya terganggu karena penyekit. Orang yang dalam keadaan demikian jika melakukan tindak pidana tidak boleh dipidana (Adami Chazawi,2002 : 143).

Menurut Moelyatno ada dua syarat seseorang dikatakan mempunyai kemampuan bertanggungjawab, yaitu :

1). Harus adanya kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dengan perbuatan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.

2). Harus ada kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

(42)

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara yang baik dan yang buruk merupakan faktor akal yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan, sedangkan yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas nama yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan.

Konsekuensi bagi orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi, ia tidak mempunyai kesalahan, sehingga perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan pidana, tidak dapat dipertanggunngjawabkan kepadanya (Moeljatno, 1993 : 165-166).

Menurut Satocjid Kartanegara orang yang mampu bertanggungjawab itu ada tiga syarat yang harus dipenuhi (Adami Chazawi.2002 : 145) yaitu :

1) Keadaan jiwa seseorang yang sedemikian rupa (normal) sehingga ia bebas atau mempunyai kemampuan dalam menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia akan lakukan.

2) Keadaan jiwa orang itu yang sedemikian rupa, sehingga ia mempunyai kemampuan untuk dapat mengerti terhadap nilai perbuatannya beserta akibatnya.

3) Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa, sehingga ia mampu untuk menyadari, menginsyafi bahwa perbuatan yang akan dilakukannya itu adalah suatu kelakuan yang tercela, kelakuan yang tidak dibenarkan oleh hukum, atau oleh masyarakat maupun tata susila.

Dalam Rancangan KUHP pasal 32 ayat (2) dimungkinkan dalam hal tertentu seseorang dapat dipertanggungjwabakan atas

(43)

tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, jika ditentukan dalam suatu Undang-Undang. Ketentuan ini merupakan pengecualian dari asas tiada pidana tanpa kesalahan. Dalam hal-hal tertentu tanggungjawab seseorang dipandang patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya. Oleh karena itu meskipun dalam kenyataannya orang tidak melakukan tindak pidana namun dalam rangka pertanggungjawaban pidana ia dipandang mempunyai kesalahan jika perbuatan orang lain yang berada dalam kedudukan yang sedemikian itu merupakan tindak pidana.

Asas pertanggungjawaban yang bersifat pengecualian ini dikenal dengan asas “Vicarious Liability” sering diartikan pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain (Dwidja Priyatno. 2004 : 49).

Pengecualian lainya juga terdapat dalam pasal 32 ayat (3) Rancangan KUHP yang menyatakan untuk tindak pidana tertentu Undang-Undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.

Ketentuan ayat ini merupakan suatu pengecualian. Oleh karena itu tidak berlaku juga bagi semua tindak pidana melainkan hanya untuk tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Untuk tindak pidana tertentu tersebut pembuat telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Disini kesalahan pembuat dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Ketentuan dalam ayat ini sering dikenal dengan asas “Strict Liability” atau disebut dengan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (Dwidja Priyatno. 2004 : 50).

Gambar

Tabel 1. Unsur Perdagangan Orang dari Protokol PBB  Jika satu unsur dari masing-masing ketiga kategori di atas muncul,

Referensi

Dokumen terkait

Munuais- ja maksaliiton toteutta- man toiminnan kohderyhmänä ovat elinsiirtoa odottavat ja siirron saaneet lapset (6-10 perhettä/vuosi), jos perheillä ei ole oikeutta

Hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna dari masing-masing formula, pada kekerasan dan kerapuhan tablet ekstrak kulit buah manggis, sedangkan pada waktu

Dampak Penggunaan Alasan Penetapan Skor mengenai Kriteria Kinerja Subjektif dan Aktivitas Grup terhadap Penilaian Kinerja Subjektif dalam.. Upaya Mengurangi Bias Kemurahan

Dari hal tersebut apakah yang akan dilakukan guru BK dalam menangani kasus perilaku sosial murid, padahal guru BK ini belum pernah menjadi atau belajar tentang

Hal terpening dalam membangun kemitraan antara satuan PAUD, orang tua/wali, dan masyarakat agar dapat berjalan dengan baik dan benar adalah pemahaman semua warga sekolah

Bulan September-Oktober 2016 terdapat kategori yang mengalami penurunan jumlah. pengaduan di bulan

Gambar 4.4 Hasil simulasi untuk kelas stabilitas D dengan model Fluent (kiri) dan dengan Metode Gauss Ganda (Kanan) dengan penampang x,y,z (atas); x,y (tengah) dan x,z (bawah) ...

bahwa untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf b, setiap rancangan produk hukum daerah