• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3.2. Resolusi Konflik

Sebuah fabel Cina kuno, menceritakan jika dua pihak tidak mau mengalah dalam menyelesaikan suatu masalah maka kedua pihak akan menuai kerugian. Fabel itu mengisahkan, seekor Tiram berjemur diri di pantai dengan kedua kulitnya yang terbuka lebar. Ketika seekor Bangau menghampiri dan mematuk dagingnya, tiba-tiba sang Tiram mengatupkan dirinya sambil menjepit paruh panjang sang Bangau, tidak satu pun yang ingin mengalah. Akhir kisah, seorang nelayan mendekati dan menangkap keduanya.

Pelajaran yang dapat ditarik dari fabel tersebut, bahwa yang besar tidak selamanya memperoleh kemenangan terhadap pihak yang kecil. Pada sisi lain, selemah-lemahnya pihak yang kecil, selalu ada kekuatan tersendiri untuk melakukan perlawanan. Oleh karena itu, jangan meremehkan yang kecil, sebaliknya yang kecil pun hendaknya tahu diri dan tidak memaksakan kehendak untuk mendapatkan sesuatu.

Dalam hubungan industrial, ajaran kisah di atas sudah dikenal, namun aplikasinya jarang dilaksanakan. Pada tingkat nasional, didambakan hubungan industrial yang mampu menciptakan perkembangan ekonomi dan hubungan yang harmonis diantara para pelakunya. Pada tingkat perusahaan didasari pula bahwa hubungan yang serasi dan sehat antara pengusaha, pekerja serta hubungan dengan masyarakat sekitarnya akan menciptakan ketenangan usaha dan ketentraman kerja yang pada gilirannya dapat mendorong produktivitas.

Dorcey (1986), menegaskan bahwa dalam banyak situasi terdapat lebih dari satu akar konflik yang akan muncul yaitu:

a. Perbedaan pengetahuan atau pemahaman dapat mengarah pada timbulnya konflik. b. Konflik dimungkinkan muncul karena perbedaan nilai.

c. Perbedaan kepentingan dapat menimbulkan konflik, meskipun berbagai kelompok menerima fakta dan interpretasi yang sama serta mempunyai kesamaan nilai. d. Konflik dapat muncul karena adanya persoalan pribadi atau latar belakang

Hendricks (2006), menyebutkan lima gaya manajemen konflik yang dapat dipilih sebagai upaya untuk menyelesaian konflik. Pertama, penyelesaian konflik dengan mempersatukan (integrating). Penyelesaian konflik dengan cara mempersatukan mendorong tumbuhnya creative thinking (berfikir kreatif), mengembangkan alternatif merupakan kekuatan dari gaya integrating. Kedua, penyelesaian konflik dengan kerelaan untuk membantu (obliging), strategi ini berperan dalam menyempitkan perbedaan antar kelompok dan mendorong para pihak untuk mencari persamaan dasar. Ketiga, penyelesaian konflik dengan cara mendominasi (dominating), merupakan kebalikan dari cara obliging. Strategi ini dapat menjadi reaksioner, digerakkan oleh mekanisme mempertahankan diri. Keempat, penyelesaian konflik dengan menghindar (avoiding), aspek negatif cara ini diantaranya adalah menghindar dari tanggungjawab. Kelima, penyelesaian konflik dengan kompromi (compromising), cara ini dianggap paling efektif apalagi menghadapi isu yang kompleks. Kompromi dapat menjadi pemecah perbedaan atau pertukaran konsesi, cara ini hampir selalu dijadikan sarana oleh semua kelompok yang berselisih untuk mendapatkan jalan keluar atau pemecahan masalah.

Manajemen konflik dapat berjalan maksimal, jika mampu mengembangkan pendekatan yang dapat dipercaya untuk melaksanakan manajemen konflik itu sendiri. Manajemen konflik membutuhkan keputusan yang jelas, manajemen konflik memerlukan toleransi terhadap perbedaan, manajemen konflik mengurangi agresi, manajemen konflik mengurangi prilaku pasif dan manajemen konflik memerlukan pengurangan prilaku manipulatif.

Konflik hendaknya dianggap sebagai suatu faktor yang konstruktif, bukan semata destruktif di dalam perencanaan dan pengambilan keputusan dalam kerangka pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan (Mitchell, et al, 2007). Memandang konflik sebagai suatu faktor yang konstruktif sejalan dengan tujuan pengelolaan lingkungan hidup yaitu tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup. Konflik lingkungan yang terjadi antara masyarakat dengan pihak industri misalnya, tidak bermakna harus menyingkirkan masyarakat atau memindahkan industrinya (Syahrin, 2006).

Mengelola konflik merupakan salah satu kunci utama meraih “performance” yang optimal dalam setiap organisasi. Namun sering dalam praktek, persepsi demikian tampaknya masih timpang. Selama ini organisasi tanpa konflik selalu dipersepsi sebagai kondisi ideal dan harmonis. Konflik jarang dipandang sebagai

“vitamin” kehidupan organisasi, tetapi justru sebagai virus pembawa “penyakit”.

Padahal jika konflik dikelola secara cerdas akan sangat dekat korelasinya dengan kehidupan organisasi yang dinamis dan efektif. Sangat mustahil, sebuah organisasi hidup tanpa konflik mengalami dinamika yang membangun.

Sebagaimana diketahui bahwa nilai-nilai sosial yang diajarkan dan dianut dalam masyarakat selalu bersifat anti konflik. Nilai-nilai persatuan, kesatuan, kerjasama dan gotong royong selalu ditekankan untuk dapat mencapai tujuan bersama. Di lain pihak, nilai-nilai demokrasi, musyawarah untuk mufakat dan sikap menghargai perbedaan pendapat tidak jarang dikorbankan secara tidak proporsional demi menjaga kelestarian nilai-nilai sosial tersebut. Oleh karena itu, resolusi konflik

adalah bagaimana mengklasifikasikan jenis konflik dinamis kemudian di-manage, bukan menghindari ataupun menghilangkan konflik karena dari perbedaan pendapat itulah sering timbul kebenaran. Resolusi konflik juga menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang dapat bertahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan (Fisher, et al, 2000).

Pada hakekatnya terdapat dua pandangan utama dalam memandang konflik, yaitu pandangan tradisional dan interaksional. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap mengganggu kerjasama untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam konsep pemikiran demikian, konflik selalu mengandung pengertian negatif, jelek dan destruktif. Sebaliknya, dalam pandangan interaksional, konflik justru mendorong terjadinya efektivitas organisasi dalam bentuk perubahan dan pengambilan keputusan yang lebih baik. Tanpa konflik, suatu organisasi akan statis, apatis dan tidak responsif. Namun, agar konflik dapat fungsional maka harus dikendalikan secara cerdas dan profesional, sehingga efektivitas organisasi akan optimal (Supadi, 2001).

Nilai-nilai sosial yang berlaku selama ini dimana konflik ditempatkan dalam

dectructive zone perlu direformasi, konflik yang nyata-nyata bersifat destruktif harus

segera dicarikan solusinya. Sebaliknya, konflik yang bersifat positif harus di-manage secara tepat agar aspek organisasi ini dapat menstimulasi peningkatan performance dan dinamika organisasi melalui proses sustainable reparadigming. Ketidakmampuan ataupun kegagalan menerapkan resolusi konflik akan bermuara pada kehidupan organisasi yang apatis, stagnan dan disfungsional. Diperlukan kemampuan mengimplementasikan resolusi konflik secara cerdas dan berdasarkan visi, misi dan

strategi praktis yang design-nya sanggup menyulap konflik sebagai “mesin” dinamika

organisasi. Sehingga, format organisasi tersebut akan selalu match dengan lingkungan strategisnya (Supadi, 2001).

Dharmawan (2007), menegaskan bahwa secara umum resolusi konflik seharusnya dimulai dengan pengetahuan yang mencukupi tentang peta atau profil konflik sosial yang terjadi di suatu kawasan. Berbekal peta tersebut, segala kemungkinan dan peluang resolusi konflik diperhitungkan dengan cermat, sehingga setiap manfaat dan kerugiannya dapat dikalkulasikan dengan baik. Seringkali dijumpai banyak kasus bahwa sebuah pilihan penyelesaian atau tindakan rasional untuk menangani konflik sosial, tidak mampu menghapuskan akar persoalan konflik secara tuntas dan menyeluruh. Pada kasus yang demikian maka resolusi konflik sepantasnya dikelola (conflict management) pada derajat dan suasana yang sedemikian rupa sehingga ledakan berupa “clash social” yang berdampak sangat

destruktif dapat dihindarkan.

Menurut Lamuru (2007), upaya resolusi konflik adalah: 1. Melakukan upaya-upaya penyelesaian konflik tanpa kekerasan.

2. Fasilitasi (pemberdayaan kelompok lokal atau masyarakat terkena dampak). 3. Mediasi (lobbing dan negosiasi para pihak yang berkepentingan).

4. Informasi dan komunikasi (inamisasi penerapan upaya penyelesaian konflik). 5. Mendorong upaya-upaya untuk kolaborasi penyelesaian konflik bersama

Sejalan dengan itu, menyelesaikan sebuah konflik, terlebih dahulu harus memahami apa sebenarnya konflik itu. Menurut Zein (2007), ada tiga tahap dalam memahami konflik, yaitu:

1. Jangan selalu dilihat sebagai ancaman kekerasan, tetapi lebih luas sebagai ekspresi dari perubahan sosial yang terjadi. Misalnya perubahan teknologi, komersialisasi milik publik, privatisasi, konsumerisme, kebijakan pemerintah pada sumber daya alam, tekanan-tekanan kepada buruh atau masyarakat dan sebagainya.

2. Konflik akan selalu dihadapi dan tidak dapat dihindari atau ditekan dalam dinamika kehidupan.

3. Konflik harus dapat diterima, dikelola dan ditransformasikan menjadi perubahan sosial yang positif.

Tujuan dari resolusi konflik lingkungan, yaitu: 1. Untuk mencegah konflik berkembang tidak terkendali. 2. Untuk mencegah konflik laten muncul kembali.

3. Mencari kemungkinan mentransformasi konflik menjadi kekuatan perubahan sosial yang positif.

Chaidir (2001), menyatakan ada tiga metode penyelesaian konflik yang lazim dipergunakan yaitu metode dominasi atau penekanan, metode kompromi dan metode pemecahan masalah interaktif. Metode dominasi tidak mengharamkan aturan mayoritas melalui pemungutan suara atau voting.

Metode kompromi adalah penyelesaian konflik melalui pencarian jalan tengah yang dapat diterima kedua belah pihak dan menerima tawaran kompensasi (dalam banyak kasus, metode ini seringkali dimanfaatkan oleh para "calo reformasi" yakni kelompok yang pintar menangguk di air keruh). Berbeda dengan dua metode sebelumnya, penyelesaian konflik melalui pemecahan masalah secara interaktif maka konflik antarkelompok diubah menjadi masalah bersama yang dapat diselesaikan melalui teknik-teknik pemecahan masalah. Apa pun teori dan teknik penyelesaiannya, hal yang diperlukan adalah kejujuran dan keikhlasan semua pihak.

2.4. Beberapa Kasus Konflik Lingkungan

Dalam banyak kasus penyelesaian konflik lingkungan, seringkali bermuara pada kesepakatan bersifat rekomendasi yang harus ditindaklanjuti. Beberapa kasus konflik lingkungan adalah:

a. Konflik Lingkungan antara Masyarakat Tangerang dengan Pabrik Tekstil

Sumber konflik adalah limbah cair yang keluar dari saluran pembuangan dan mencemari Kali Sabi, secara sederhana upaya penyelesaian melalui perundingan, para pihak pun bersedia berunding dan Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang sebagai mediator.

Dua pelajaran yang dapat dipetik dari kasus ini adalah: Pertama, kunci penyelesaian terletak pada respon yang cepat dari instansi pengelola lingkungan hidup dan itikad baik dari pihak industri. Kedua, posisi Dinas Lingkungan Hidup dalam kasus ini sangat dilematis, karena timbulnya pencemaran limbah cair juga

disebabkan oleh kelalaian melaksanakan pengawasan pada kegiatan industri. Oleh karena itu, pengaduan masyarakat diharapkan menjadi umpan balik bagi instansi yang bersangkutan.

b. Konflik Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang

Konflik TPA akan menjadi fenomena menonjol terutama di kota-kota besar, seiring meningkatnya volume sampah dan manajemen pengelolaan sampah. Konflik ini muncul karena Pemerintah Kota (Pemko) pada umumnya mengelola sampah tidak berdasarkan prinsip sanitary landfill, sebatas melakukan pengangkutan dan pembuangan (open dumping).

Selain menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan di sekitarnya, TPA Bantargebang seluas 108 ha tersebut tidak sesuai dengan ketentuan izin lokasi seperti yang ditegaskan dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat dan pengangkutan sampah juga menimbulkan gangguan bagi masyarakat yang wilayahnya dilalui armada angkutan sampah. Masyarakat Kota Bekasi menuntut kepedulian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap pencemaran di Bantargebang. Jika upaya penyelesaian hanya berupa ganti rugi, dikhawatirkan akan timbul tuntutan kambuhan.

c. Konflik Lingkungan Masyarakat Dukuh Tapak dengan Pihak Industri

Konflik lingkungan ini berawal dari pembuangan limbah cair beberapa perusahaan di wilayah industri Tugu Kota Semarang ke Kali Tapak. Kasus ini menarik perhatian dan diliput secara luas berbagai media massa karena masyarakat Dukuh Tapak dengan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) pendamping mengadukan kasus pencemaran ke LBH (Lembaga Bantuan Hukum), kemudian

pihak LBH melanjutkan kasus pencemaran ini ke Menteri Perindustrian dan Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Upaya perundingan dan butir-butir kesepakatan cukup optimal, namun dari pemantauan berbagai pihak ditemukan adanya beberapa kesepakatan yang tidak ditindaklanjuti oleh pihak industri. Beberapa catatan hasil pemantauan menyebutkan bahwa dari 14 (empat belas) butir kesepakatan, pihak industri hanya menindaklanjuti pemberian ganti rugi, pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat.

Penyelesaian ketiga kasus konflik lingkungan yang disebutkan di atas, hanya sebatas perundingan atau musyawarah yang menghasilkan beberapa butir kesepakatan tetapi tindak lanjut kesepakatan tidak sepenuhnya dilaksanakan. Oleh karena itu, langkah perundingan sebagai upaya penanganan konflik lingkungan perlu didukung oleh unsur eksternal berupa “tekanan” yang merupakan bentuk “power

untuk mengawasi pelaksanaan kesepakatan itu sendiri.

Dokumen terkait