• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

D. Korban NAPZA

1. Pengertian korban NAPZA

Pembahasan tentang korban penting diberikan untuk membantu menentukan secara jelas batas-batas yang dimaksud oleh pengertian tersebut sehingga diperoleh kesamaan pandangan. Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli maupun yang bersumber dari peraturan-peraturan hukum nasional dan internasional mengenai korban kejahatan.

a. Menurut Arief Gosita, korban adalah: “mereka yang

menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.24

b. Mulai di menyatakan bahwa korban (victims) adalah: Orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi atau ganguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental,

23

EM. Giri Prastomo, Rehabilitasi bagi Korban Narkoba, (Tangerang: Visimedia, 2006), h. 28-34

24

melalui suatu perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.25

c. Dalam perspektif viktimologi, pada fase new victimolog Zvonimir Paul Separovic dalam bukunya yang berjudul

victimology, Studies Of Victims” memberikan

pengertian tentang korban sebagai berikut:

…those person who are threatened, injured or destroyed by an act or omission of another (man, structure, organization, or institution) and consequently, a victim would be any one who has suffered from or been threatened by punishable act (ot only criminal act but also other punisable acts as misdemeanors, economic offenses, non-fulfilment of work duties) or from an accident (accident at work, at home, trafict accident, etc). Suffering may be caused by another man (man made victim) or another structure where people are also involved.26 d. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002

pasal 1 ayat (3) dan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, mendefinisikan

korban: “orang perseorangan atau kelompok orang yang

mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia

yang berat, termasuk ahli warisnya”.

e. Definisi korban menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

adalah: “seseorang yang mengalami penderitaan fisik,

mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh

suatu tindak pidana”.

Dari pengertian diatas, jelas bahwa korban adalah orang yang mengalami penderitaan karena sesuatu hal. Yang dimaksud

25 Muladi, “HAM dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana”, dalam Muladi (ed) Hak Asasi Manusia, hakekat konsep dan implikasinya dalam perspektif hukum dan masyarakat, Refika Aditama, Bandung: 2005, h. 108

26

dengan sesuatu hal disini adalah meliputi orang, institusi atau lembaga, struktur.

Korban pada dasarnya tidak hanya orang-perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi.27

a. Korban NAPZA dalam Perspektif Vitimologi

Dalam perspektif viktimologi terutama mengenai tipologi korban, terdapat beberapa pendapat ahli hukum mengenai korban penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.

Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan, maka korban penyalahgunaan narkotika dan psikotropika menurut Ezzat Abdul Fateh,

adalah dalam tipologi; “false victims yaitu mereka yang

menjadi korban karena dirinya sendiri’. Dari perspektif

tanggungjawab korban, menurut Stephen Schafer menyatakan:

27

Self-victimizing victims adalah mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. Beberapa literatur menyatakan ini sebagai kejahatan tanpa korban, akan tetapi, pandangan ini menjadi dasar pemikiran bahwa tidak ada kejahatan tanpa korban. Semua atau setiap kejahatan melibatkan 2 hal, yaitu penjahat dan korban. Sebagai contoh dari self-victimizing victims adalah: pecandu obat bius (koersif-penulis), alkoholisme, homoseks, judi. Hal ini berarti pertanggungjawaban terletak penuh pada si pelaku, yang juga sekaligus merupakan korban.28

Menurut Sellin dan Wolfgang, korban penyalahgunaan narkotika dan psikotropika adalah merupakan: “mutual victimization yaitu yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri. Misalnya: pelacuran, perzinahan, narkotika.29

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli hukum mengenai tipologi korban dalam perspektif viktimologi dapat dinyatakan, bahwa pecandu narkotika dan psikotropika adalah merupakan self-victimizing victims, yaitu seseorang yang menjadi korban karena perbuatannya sendiri. Namun, ada juga yang mengelompokannya dalam victimless crime atau kejahatan

28

E. Sahetapy, (ed), Bunga Rampai Viktimisasi, cet.1, Bandung: 1995, h. 14-125 29

tanpa korban karena kejahatan ini biasanya tidak ada sasaran korban, semua pihak terlibat. 30

Hal ini senada dengan Rumusan teoritis Savitz bahwa suatu perbuatan dinyatakan jahat haruslah menimbulkan korban dan korban itu adalah orang lain. Di sini timbul pertanyaan, bagaimana bila korban tersebut adalah diri sendiri? Dalam criteria Savitz, apabila hanya diri sendiri yang menjadi korban bukan sebagai kejahatan. Apabila seorang pengguna narkoba menggkonsumsi barang haram itu, hanya untuk dirinya sendiri, dalam konteks criteria Savitz, pengguna tersebut bukan pelaku tindak pidana.

Dari hukum nasional yang mengatur mengenai tindak pidana NAPZA, juga ada penegasan pecandu NAPZA selain adalah pelaku kejahatan juga adalah sebagai korban:

Dalam konteks UU no. 5/1997 tentang psikotropika dan UU no. 22/1997 tentang Narkotika dinyatakan sebagai berikut:

a) pasal 37 ayat 1 UU no. 5/1997 menyatakan: “pengguna

psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan berkewajiban ikut serta dalam pengobatan dan atau

perawatan”.

30

b) pasal 44 ayat 1 UU no. 22/1997 tentang Narkotika, intinya menegaskan bahwa untuk kepentingan pengobatan dan atau perawatan pengguna narkotika dapat memiliki, menyimpan dan membawa narkotika, dengan syarat narkotika tersebut diperoleh secara sah. Pada pasal 45 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pecandu wajib menjalani perawatan dan pengobatan.(kursif: penulis).

Dokumen terkait