• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran peer counselor dalam rehabilitasi korban napza di Panti Sosial Pamardi Putra Galih Pakuan Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran peer counselor dalam rehabilitasi korban napza di Panti Sosial Pamardi Putra Galih Pakuan Bogor"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I)

Disusun Oleh:

Nurjanah NIM. 1110052000026

JURUSAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 22 Agustus 2014

Nurjanah

(5)

NIM.1110052000026

Peran Peer Counselor dalam Rehabilitasi Korban NAPZA di Panti Sosial Pamardi Putra “GalihPakuan” Bogor.

Proses rehabilitasi korban penyalahgunaan NAPZA merupakan upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non-medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Dalam mencapai tujuan dari proses tersebut dibutuhkan suatu layanan bantuan berupa peran peer counselor. Hal ini didasari bahwa tidak semua klien yang mengikuti program rehabilitasi memiliki masalah yang sama (walaupun sama-sama pengguna). Adanya peer counseling tersebut tentunya memiliki beberapa tujuan yang hendak dicapai, dasar komunikasi dalam peran peer counselor, dan keberhasilan yang dicapai dalam peer counselor. Panti Sosial Pamardi Putra (PSPP) “Galih Pakuan” Bogor merupakan panti sosial yang mengadakan program TC rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan NAPZA.

Dari uraian di atas, maka penulis dalam penelitian ini mengkaji mengenai peran peer counselor dalam rehabilitasi korban NAPZA di PSPP “Galih Pakuan” Bogor. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dengan metode pengumpulan data menggunakan metode wawancara, observasi dan pengamatan. Sedangkan analisis data menggunakan teknik triagulasi.

Hasil dari penelitian ini yaitu peran peer counselor dalam proses rehabilitasi korban NAPZA merupakan bagian integral dalam program pemulihan bagi residen di PSPP “Galih Pakuan” Bogor. Dalam proses rehabilitasi kebanyakan residen tidak bisa diharapkan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dan mereka tidak mengetahui kelemahan dan kekuatan/ kelebihan mereka sendiri. Sehingga diperlukanlah suatu upaya bantuan guna membantu residen dalam proses pemulihannya, yaitu salah satunya dengan mereka memiliki peran peer counselor. Hal ini dapat terlihat dari harapan dan tujuan peran peer counselor yang sejalan dengan upaya rehabilitasi terutama mengarah pada aspek psikologis dan sosial. Peran peer counselor juga disediakan sesuai dengan kebutuhan residen selama mengikuti rehabilitasi sehingga mempermudah residen dalam menyampaikan masalah yang dialaminya kepada konselor setiap saat. Sedangkan pada pendekatan peer counseling yang digunakan adalah peran peer counselor.

(6)

i

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puji

syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT. yang telah membimbing saya

dengan petunjuk-petunjuk-Nya, sebagaimana terkandung dalam Al-Qur’an dan

sunnah. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad

SAW, dan kepada seluruh pengikutnya sampai akhir zaman.

Skripsi ini berhasil saya selesaikan, bukan dengan tidak melibatkan

banyak pihak. Untuk itu sudah sepantasnya saya mengucapkan terima kasih yang

setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A selaku Rektor Universitas

Islam Negeri, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak. Dr. Arief Subhan, M.A selaku dekan Fakultas Ilmu Dakwah

dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Dra. Rini Laili Prihatini, M.Si selaku Ketua Jurusan Bimbingan

dan Penyuluhan Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Drs. Sugiharto, MA selaku Sekretaris Jurusan Bimbingan dan

Penyuluhan Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Untuk kedua orang tua ku, aku bersyukur telah dilahirkan kedunia ini.

Terima kasih telah memberikan semuanya, merawat, membesarkan,

menyayangi, mendidik, menyekolahkan, memotivasi, memberi

masukan, dan lain sebagainya yang tak terhingga sampai-sampai tidak

bisa terucapkan oleh kata-kata. Suatu saat pasti akan aku buktikan, aku

(7)

ii

6. Ibu H. Dr. Elidar Husein, MA selaku pembimbing skripsi peneliti yang

tanpa beliau mungkin skripsi ini hanya menjadi setumpuk kertas yang

tidak berharga. Betapa beliau sungguh bersabar, rendah hati, terbuka,

mendidik peneliti dengan baik, membimbing dengan bijaksana,

memberikan segudang ilmunya, menyediakan waktunya, memberikan

peneliti kesempatan untuk mencoba hal-hal baru, dan segala halnya

yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Allah senantiasa

memberikan Ibu yang terbaik, seperti ibu memberikannya kepada saya.

7. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

umumnya dan khususnya dosen dan staff pengajar pada jurusan

Bimbingan dan Penyuluhan Islam. Juga kepada Civitas Akademik

FIDKOM yang telah berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman

selama saya menuntut ilmu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Bapak Iwan selaku Sekretaris PSPP. Terima kasih untuk kesan

pertama yang terbuka, untuk pintu PSPP yang selalu terbuka lebar

untuk saya, untuk semua pengalaman, ilmu, kesabaran, bapak dalam

menjawab pertanyaan-pertanyaan saya yang kadang membingungkan.

Terimakasih ya pak. Semoga Allah senantiasa memudahkan segala

urusan bapak dan selalu Allah jaga keluarga bapak menjadi keluarga

yang selalu harmonis.

9. Bapak Ahmadin S.Pd.i.M.Si, Ibu Sumi, Bapak Supri, Ustad Asep dan

(8)

iii

10.Sahabat-sahabat saya, Juayriah, Siti Choirunnisa, Elva Ristiawan,

Dewi Haneh dan Meylia Cahyaningrum. Terimakasih untuk segalanya,

bahagia itu sederhana “aku dan sahabatku” saling berbagi cerita dan

kita berbuat kekonyolan. Teruntuk Syarif Hidayatullah saya

sebenarnya bingung memanggil dia teman atau sahabat, mungkin bisa

dikatakan lebih dari kedua-dua nya hehe, terimakasih banyak atas

support yang diberikan, selalu menyisihkan waktumu, telah menemani

selama penelitian berlangsung. Tiada kata yang bisa terucap selain

syukron katsiran ya habibi.

11.Temen-temen BPI seperjuangan Siti Nurlaila Awaliyah, Haula

Sofiana, Sabatini Ayu Sentani, Sri Mulyanti dkk, terimakasih kalian

sudah menjadi teman-teman seperjuangan yang solid, canda tawa telah

kita lakukan di dalam kelas yang ramai dengan suara-suara emas

meskipun jika sedang terhening disaat diskusi karna bingung mau

ngomong apa hehe.. sukses terus untuk kita semua.

12.Untuk keluarga besarku Mang Arip, Umi Uhah, Umi Titim, K.H. Adit,

Umi Euroh, Umi „Ae, yang memberikan motivasi, do’a dan kasih

sayang kepada saya. dan Adeku Rifqi Anshori, Syahrul Hidayat yang

selalu membuat saya termotivasi untuk bisa mandiri dan terus

melangkah menggapai masa depan.

Terakhir kepada semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan

(9)

iv

yang terbaik untuk kita semua. Akhirnya kepada-Nyalah saya serahkan

segala urusan ini. Saya berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi

kita semua dan menambah khazanah pengetahuan walaupun belum

sepenuhnya sempurna.

Jakarta, 22 Agustus 2014

(10)

v ABSTRAK

KATAPENGANTAR... ... i

DAFTAR ISI... ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Metodologi Penelitian ... 10

E. Teknik Penulisan ... 15

F. Tinjauan Pustaka ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II LANDASAN TEORI A. Konsep Peran... ... 19

1. Pengertian Peran ... 19

2. Bentuk dan Macam-macam Peran... 20

3. Tujuan dan Manfaat Peran ... 23

B. Peran Peer Counselor dan Peer Counseling ... ... 23

(11)

vi

C. Rehabilitasi Sosial ... 30

1. Pengertian rehabilitasi ... 30

2. Tujuan dan sasaran rehabilitasi sosial ... 31

3. Proses rehabilitasi sosial... 32

D. Korban NAPZA... 36

1. Pengertian korban NAPZA ... 36

2. Pengertian NAPZA ... 41

BAB III GAMBARAN UMUM LEMBAGA A. Sejarah Berdirinya ... 52

B. Visi, Misi, Moto ... 52

1. Visi ... 52

2. Misi ... 53

3. Motto ... 53

C. Tugas Pokok Panti Sosial Pamardi Putra”Galih Pakuan” Bogor ... 53

1. SDM (Sumber Daya Manusia) pelaksanaan dan peserta ... 54

2. Tujuan, waktu pelaksanaan kegiatan, maklumat, pelayanan dan indikator... 55

D. Metode Pelayanan Rehabilitasi Sosial di PSPP “Galih Pakuan” Bogor ... 57

1. Tahap penerimaan ... 57

[image:11.595.90.547.75.767.2]
(12)

vii BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA

A. Identitas Informan dan Subjek Penelitian ... 66

1. Informan penelitian ... 66

2. Terbimbing/ subjek penelitian ... 68

B. Analisis Hasil Temuan ... 74

1. Peran Peer Counseling terhadap korban NAPZA ... 74

2. Komunikasi dalam peer counseling ... 84

3. Manfaat yang di dapatkan peer counselor setelah melaksanakan perannya di Panti Sosial Pamardi Putra “Galih Pakuan” Bogor ... 88

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 92

B. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 95

[image:12.595.90.549.154.562.2]

DAFTAR TABEL Tabel 1 Interaksi triadik antara konselor ahli dengan konseli ... 28

Tabel 2 Subjek pekerja PSPP “Galih Pakuan” Bogor ... 66

Tabel 3 Subjek berdasarkan agama ... 68

(13)

viii

Tabel 7 Subjek penelitian ... 70

DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Proses Pelayanan dan Rehabilitasi Korban NAPZA di dalam PSPP “Galih Pakuan”-Bogor ... 60

Gambar 2 Proses pelayanan ... 61

Gambar 3 Lanjutan ... 62

Gambar 4 Lanjutan ... 63

Gambar 5 Lanjutan ... 64

Gambar 6 Struktur organisasi PSPP “Galih Pakuan” Bogor ... 65

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. Transkip Wawancara

2. Surat Izin Penelitian

3. Surat Keterangan Melakukan Penelitian

[image:13.595.91.551.111.564.2]
(14)

1

A. Latar Belakang

Pada zaman sekarang, bangsa-bangsa di dunia sedang berada

dalam alam modernisasi. Tentu saja hal tersebut membawa dampak yang

sangat besar bagi perjalanan kehidupan hampir seluruh negara-negara

berkembang termasuk negara Indonesia. Sebagaimana dampaknya dapat

dilihat dari pola kehidupan masyarakat sehari-hari.1

Perubahan yang terjadi di masyarakat modern ditandai dengan

perkembangannya kapitalisasi di berbagai bidang kehidupan. Terjadi

pergeseran nilai, selera, dan gaya hidup kearah yang lebih beorientasi pada

sifat konsumeris, individualis, keduniawian yang mudah menimbulkan

frustasi, ketegangan jiwa, stress dan kecemasan diri.

Dalam suasana ketegangan, konflik dan tekanan pikiran batin yang

tidak terdamaikan seringkali penyelesaian yang ditempuh adalah dengan

jalan pintas, yakni dengan mengkonsumsi adiksi obat. Dan dimulai

dengan menggunakan pil tidur sebagai obat penenang sampai

mengkonsumsi NAPZA.

Di tengah-tengah kegalauan itu remaja, mereka menginginkan lari

dari masalah dan hidup nikmat maka dengan cara yang instant, mereka

terperangkap oleh NARKOBA. Narkoba adalah bagian dari khamr yang

telah banyak dinyatakan dalam al-Qur’an yakni:

1

(15)

                        

Artinya: Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, “pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya. (QS. Al-Baqara: 219)2

Beberapa masalah yang menjadi masalah putra-putri generasi muda

kita sekarang ini. Masalah-masalah tersebut adalah :3

1. Ketidakpastian masa depan.

Sebagian besar putra-putri kita tidak memiliki kejelasan

masa depan. Akan menjadi apa besok tidak dapat

mengetahuinya. Tak ada sekolah yang menjamin kerja

alumninya kecuali sejumlah lembaga pendidikan tertentu yang

jumlahnya sangat sedikit.

2. Persaingan hidup yang semakin ketat

Kita lihat fenomena ketika dibuka lowonga kerja. Satu

peluang bisa diperebutkan oleh ratusan bahkan ribuan orang.

3. Beban seksual dan narkoba.

Maksud hati pengin menikah tetapi belum bekerja,

akibatnya tertunda. Padahal seiring dengan meningkatnya nilai

gizi dan berbagai rangsangan seksual, putra-putri kita semakin

2

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, ( Jakarta: CV. Bayan Qur’an, 2009), h. 34

3

(16)

cepat dewasa secara seksual, tetapi untuk melampiaskannya

harus menanti punya pekerjaan lebih dulu. Umur 9 tahun sudah

mimpi basah/haid pertama, untuk melampiaskannya menanti

sampai umur 30 tahun karena baru dapat pekerjaan. Bayangkan

21 tahun harus ngempet. Mana tahan, amat berat.

4. Iseng-iseng sebagai remaja

Banyak anak puber dan adolesens yang menggunakan

bahan narkotika oleh keisengan. Anak-anak muda tersebut

mencoba-coba memakainya, didorong oleh rasa ingin tahu; atau

karena diolok-olok kawan sebaya, sehingga ikut-ikutan meniru.

Dari langkah permulaan yang iseng, kemudian jadi kebiasaan

dan kecanduan yang kronis.4

5. Salah satu cara pemberontakkan (jiwa remaja)

Ketika pada usia puberitas dan adolesenis mereka

dihadapkan pada macam-macam kesulitan hidup dan

konflik-konflik jiwani, maka hati pengecutnya mendorong mereka untuk

melarikan diri dari setiap kesulitan hidup. Mereka lalu

menggunakan ganja, morphine, dan bahan narkotika lainnya

sebagai alat “penenang” bagi ketakutan dan kerisauan hatinya.

Lebih-lebih jika mental yang labil dan lemah pada saat kritis

semasa puberitas dan adolesensi itu mendapatkan stimuli ekstern

4

(17)

yang buruk. Atau mendapatkan tekanan dan paksaan-paksaan

dari luar yang bertujuan dengan sengaja merusak moral dan

jasmani generasi anak muda, dengan tujuan subversive dan

kriminal. Maka korban-korban dari narkotika ini bertambah

dengan cepat sekali; dan dibanyak negara diperkirakan

pertambahannya bergerak diantara 30%-100% setiap tahunnya.

Siswa yang memiliki masalah akan lebih mudah berdiskusi dan

bertanya kepada teman yang berkemampuan lebih (konselor). Model ini

juga dapat menghindari kefrustrasian siswa yang menyukai tantangan

(bagi siswa yang akan berperan sebagai konselor), karena siswa tersebut

mendapat tantangan yang lebih banyak untuk membantu teman lainnya

yang kurang mampu memecahkan masalahnya sendirian. Dia merasa

mendapatkan kepercayaan dan perhatian sehingga merasa lebih

diberdayakan. Perasaan semacam ini diharapkan dapat memacu dan

menumbuhkan semangat untuk berprestasi yang lebih baik, sehingga

muncul konselor-konselor sebaya yang berkompeten.5

Anak yang kebanyakan sudah menganggap dirinya sebagai pribadi

yang dewasa pun, tidak jarang menghadapi permasalahan-permasalahan

hidup. Hal ini disebabkan karena pada hakekatnya, manusia hidup selalu

dihadapkan pada masalah-masalah tertentu, baik itu termasuk ke dalam

kategori ringan, sedang, ataupun berat.

5

(18)

Manusia mengaggap bahwa hubungan dengan teman sebaya (peer

counselor) menjadi bertambah penting dan selanjutnya lebih banyak

memberikan pengaruh dalam berbagai aspek perkembangannya. Pada

masa remaja, mereka membentuk kelompok-kelompok dengan efektifitas

yang lebih terarah dan bertujuan. Misalnya Kelompok Ilmiah Remaja

(KIR), olah raga, seni dan sebagainya. Pada saat remaja berinteraksi

dengan kelompok ini, mereka dapat melihat sejauh mana nilai-nilai yang

ada didalam kelompok dapat diikuti. Selain itu, remaja juga mendapatkan

kesempatan untuk memainkan berbagai macam peranan, yaitu sebagai

pemimpin, anggota, deviant, ataupun sebagai conformist. Adanya nilai dan

norma tingkah laku dalam kelompok dapat memberikan kesempatan

kepada remaja untuk dapat memperoleh berbagai perspektif mengenai

nilai dan sikapnya sendiri.

Pada prinsipnya hubungan teman sebaya, sangatlah berarti penting

bagi kehidupan. Selaras dengan uraian diatas, Piaget dan Sullivan (1976)

menyatakan bahwa melalui hubungan teman sebaya remaja belajar tentang

hubungan timbal balik yang simetris. Remaja mempelajari prinsip-prinsip

kejujuran dan keadilan melalui peristiwa pertentangan dengan teman

sebaya, mereka juga mempelajari secara aktif kepentingan-kepentingan

dan perspektif teman sebaya (peer counselor) dalam rangka memuluskan

integrasi dirinya dalam aktivitas teman sebaya yang berkelanjutan.

Dalam perkembangannya, tak selamanya masalah-masalah yang

datang tersebut selalu bisa diselesaikan sendirian oleh anak yang

(19)

bisa dipecahkan sendirian, melainkan membutuhkan bantuan dari orang

lain untuk membantu memecahkannya. Kelompok sebaya, bagi anak

sebagai individu, penting sekali untuk membantu anak belajar menemukan

identitas diri termasuk di dalamnya pemecahan masalah. Kelompok

sebaya, akan membantu anak sebagai individu untuk menjadi intermediasi

agar tujuan anak yang bersangkutan dapat tercapai, sehingga terjadilah

suatu alur kehidupan yang positif.

Peran peer counselor adalah langkah awal residen mendapatkan

kesempatan untuk memainkan berbagai macam peranan, yaitu sebagai

pemimpin, anggota, deviant, ataupun sebagai conformist. Adanya nilai dan

norma tingkah laku dalam kelompok dapat memberikan kesempatan

kepada remaja untuk dapat memperoleh berbagai perspektif mengenai

nilai dan sikapnya sendiri. Itu semua dapat membantu perubahan tingkah

laku residen korban NAPZA, serta untuk menentukan keberhasilan dari

program rehabilitasi guna memberikan kesembuhan korban dari

ketergantungan obat, karena dengan residen punya peran untuk menjadi

konseling teman sebayanya (peer counseling) yang baik, dan seseorang

mampu memposisikan dirinya untuk menjalani segala tahap-tahap dalam

program rehabilitasi. Penyesuaian diri korban NAPZA dalam rehabilitasi

juga dapat menjadi tinjauan untuk melakukan proses bimbingan dan

penyuluhan dalam tahap-tahap rehabilitasi, dimana seorang penyuluh atau

pembimbing harus bisa melihat korban dapat merespon dengan baik atau

tidak ketika mereka menjalani pembinaan fisik, mental, sosial, agama, dan

(20)

rehabilitasi korban NAPZA sangat perlu diperhatikan demi keberhasilan

proses rehabilitasi.

Oleh karena itu, banyak masyarakat mendirikan panti-panti

rehabilitas, seperti Panti Sosial Pamardi Putra “Galih Pakuan-Bogor”,

disamping dapat mendatangkan pendapatan dan disisi lain juga merupakan

upaya rehabilitasi terhadap pemakai NAPZA. Sebagaimana

langkah-langkah para ahli psikologi. Mencoba mencari solusi dalam

penanggulangan korban penyalahgunaan NAPZA yang akhirnya

memerlukan suatu pemikiran dalam menetapkan upaya-upaya mengatasi

berbagai permasalahan remaja korban penyalahgunaan NAPZA.

Untuk mengantisipasi lebih parahnya kasus penyalahgunaan

NAPZA, dibutuhkan kerja sama yang sinergis antara institusi pendidikan,

aparat penegak hukum, lingkungan, termasuk disini orang tua dan generasi

muda. Untuk itulah berdasarkan pada uraian diatas maka penulis tertarik

untuk menulis proposal penelitian dengan judul “Peran Peer Counselor Dalam Rehabilitasi Korban NAPZA Di Panti Sosial Pamaradi Putra “Galih Pakuan” Bogor.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas maka

peneliti membatasi masalah sebagai berikut: Batasan masalah

dalam penelitian ini, penulis membatasi ruang lingkup penelitian

(21)

mendukung untuk bertingkah laku lebih baik dan aktif berbicara

serta mendukung proses pemulihan korban NAPZA dengan bentuk

saling memahami masalah teman sebayanya pada korban NAPZA

akan tetapi tidak lepas dari bimbingan pekerja sosial (PEKSOS) di

Panti Sosial Pamardi Putra “Galih Pakuan-Bogor, Putat Nutug”

agar tidak melebar jauh dan penelitian ini dapat difokuskan untuk

memperoleh data-data yang valid dan dapat dipertanggung

jawabkan.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang ini sebagaimana yang diuraikan

diatas, dalam pembahasan selanjutnya agar lebih mengarah dan

mencapai hasil yang maksimal, maka penulis mengambil alternatif

dari rumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah peran peer counselor dalam rehabilitasi

korban NAPZA di PSPP “Galih Pakuan-Bogor?

b. Apa sajakah dasar-dasar komunikasi yang di terapkan

oleh peer counselor dalam rehabilitasi korban Napza di

Panti Sosial Pamardi Putra “Galih Pakuan” Bogor?

c. Manfaat apa yang di dapatkan peer counselor setelah

melaksanakan perannya di Panti Sosial Pamardi Putra

(22)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan

a. Untuk mengetahui peran peer counselor dalam rehabilitasi

korban NAPZA di Panti Sosial Pamardi Putra (PSPP) “Galih

pakuan” Putat Nutug-Bogor.

b. Untuk mengetahui dasar komunikasi dalam peer counselor

dalam rehabilitasi korban NAPZA di Panti Sosial Pamardi

Putra “Galih Pakuan” Bogor.

c. Untuk mengetahui manfaat apa sajakah yang di dapatkan peer

counselor dalam rehabilitasi korban NAPZA di Panti Sosial

Pamardi Putra “Galih Pakuan” Bogor.

2.Manfaat

a. Secara akademis, hasil penelitian ini dapat dijadikan

pengalaman dan menambah pelajaran atau pengetahuan dan

menambah wawasan mengenai peran peer counselor dalam

rehabilitasi korban NAPZA di Panti Sosial Pamardi Putra

(PSPP) “Galih Pakuan” Bogor.

b. Secara peraktis hasil penlitian ini diharapkan bisa menjadi

acuan mendasar khususnya bagi pihak lembaga Panti Sosial

Pamardi Putra dan umumnya untuk seluruh panti sosial

terutama dalam menumbuh kembangkan nilai-nilai bimbingan

kelompok terhadap pasien penyalahgunaan NAPZA sehingga

(23)

c. Terhadap jurusan, penelitian ini agar dapat bermanfaat menjadi

bahan referensi dan memberi masukan kepada Prodi

Bimbingan dan Penyuluhan Islam mengenai peran peer

counseling (konseling teman sebaya) terhadap korban NAPZA

dalam rehabilitasi sosial.

D. Metodologi penelitian 1. Metode penelitian

Dalam menentukan metode penelitian ini, penulis

menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan dekriptif analisis,

yaitu kegiatan penelitian yang dilakukan menggambarkan apa adanya

suatu peristiwa. Sebagaimana yang telah didefinisikan oleh Meleong

bahwa penelitian deskriptif adalah data yang dikumpulkan berupa

kata-kata, menggambar, dan bukan angka-angka. Dengan demikian,

[image:23.595.87.516.133.721.2]

isi laporan peneliti akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi

gambaran penyajian laporan tersebut.6

Dalam hal ini penulis melakukan observasi, wawancara, studi

kepustakaan dan dokumentasi. Data yang diperoleh akan dianalisa

serta disajikan dalam suatu pandangan yang utuh, yang bertujuan

untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek

penelitian. seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa setiap

penelitian memiliki langkah-langkah yang perlu dilalui secara

bertahap, maka langkah-langkah yang akan digunakan dalam

penelitian kualitatif ini adalah sebagai berikut:

(24)

2. Lokasi dan Waktu Penelitian

a. Lokasi yang dipilih untuk melakukan penelitian adalah di

Lembaga PSPP “Galih Pakuan” Putat Nutug-Bogor”. Alasan

peneliti mengambil penelitian di lembaga tersebut karena

lembaga ini merupakan tempat rehabilitasi korban NAPZA

dengan mengadakan kegiatan Peer Counselor. Disini juga

merupakan lembaga milik pemerintah yang bernaung di bawah

Kementrian Sosial.

b. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan dari 27 Februari 2014

sampai dengan 05 Juni 2014.

3. Subjek dan Oubjek Penelitian

a. Subjek Penelitian

Sujek penelitian adalah pelaku yang memberi informasi

atau data dalam suatu penelitian.7 Subjek penelitian ini adalah 3 residen, 2 peksos/Pembina dan 1 kepala seksi program dan

advokasi sosial di panti lembaga PSPP “Galih Pakuan”.

Kemudian objek penelitian adalah peer counselor

dalam rehabilitasi korban NAPZA pada residen.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan maka peneliti

menggunakan teknik dan alat pengumpul data sebagai berikut:

7

(25)

a. Observasi atau pengamatan

Observasi adalah suatu kegiatan pengumpulan data

yang dilakukan melalui pengamatan dan mencatat fenomena

yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antar aspek

dalam fenomena tersebut.8

Model observasi yang sudah biasa dilakukan sesuai

dengan standar yang ditetapkan. Pertama, Obsevasi secara

langsung dan ikut terlibat dalam peristiwa yang sedang

dijadikan obyek observasi. Dan kedua, observasi non

partisipan, yakni pembimbing berada di luar obyek atau

peran yang sedang diidentifikasi, bisa dari jarak dekat atau

jarak jauh.Artinya, pihak observer hanya mengamati dan

mencatat fakta atau kejadian-kejadian yang tampak

sebagaimana layaknya orang yang sedang mengamati

sesuatu.9

Peneliti menggunakan observasi sebagai teknik

pengumpulan data. Adapun observasi itu adalah penelitian

melakukan proses penanggulangi korban NAPZA di PSPP

(Panti Sosial Pamardi Putra) Galih Pkuan Putat

Nutug-Bogor. Dalam hal ini penulis akan mengobservasi

8E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif Dalam Penelitian Psikologi,( Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi, LPSP3 UI, 1983), h. 62.

(26)

pembimbing dan klien korban NAPZA di PSPP (Panti

Sosial Pamardi Putra) Galih Pkuan Putat Nutug-Bogor.

b. Wawancara

Wawancara yaitu percakapan dengan maksud tertentu,

percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, antara interviewer

mengajukan pertanyaaan dan interviewee memberiksn

jawaban atas pertanyaan itu.10 Wawancara juga merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau

keterangan yang diperoleh sebelumnya.Dalam penelitian

kualitatif yang digunakan adalah teknik wawancara

mendalam, dimana seorang responden atau kelompok

responden mengkomunikasikan bahan-bahan dan

mendorong untuk didiskusikan secara bebas.11 Wawancara

dilakukan dengan residen dan peksos/Pembina untuk

menggali informasi mengenali peer counsor dalam

rehabilitasi korban NAPZA.

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah pengambilan data yang diperoleh

melalui dokumen-dokumen.12 Data diperoleh dari dokumen-dokumen berupa catatan formal, literature,

majalah, Koran dan arsip lain yang berhubungan dengan

10

Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000), h. 186

11

Elvinaro Ardianto, M.Si, Metodologi Penelitian untuk Public Relation, ( Bandung: SIMBIOSA REKATAMA MEDIA, 2010), cet. Ke-1, h. 61.

12

(27)

administrasi dan data-data PSPP (Panti Sosial Pamardi

Putra) “Galih Pkuan” Bogor.sebagai pendukung dari hasil

wawancara.

5. Sumber data

Adapun yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian

adalah subyek dari penelitian dimaksud. 13 Sumber data yaitu subjek

utama dalam proses penelitian masalah di atas. Adapun

sumber-sumber data dari penelitian ini adalah:

a. Sumber data primer, yakni data yang diperoleh langsung dari

informan, dalam bentuk wawancara dengan 3 Residen, 1

Pekerja Sosial/ Pembina dan 1 kepala Seksi Program dan

Advokasi Sosial

b. Sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari

buku-buku, literatur, brosur dan artikel yang memiliki relevansi

terhadap objek penelitian ini.

6. Analisi Data

Teknik analisis data yaitu proses penyederhanaan data

kedalam bentuk yang lebih mudah untuk dibaca dan di

interprestasikan.14 Data-data yang dikumpulkan dengan cara observasi dan wawancara dan diolah dengan menggunakan penelitian kualitatif.

(28)

E. Teknik penulisan

Dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku

pedoman penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertai) yang

disusun oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang diterbitkan oleh

CeQDA Center for Quality Development and Assurance) tahun 2007.

F. Tinjauan Pustaka

Setelah penulis melakukan tinjauan pustaka diperpustakaan umum

Universitas Islam Negri Jakarta dan di perpustakaan Fakultas Ilmu

Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Menurut pengamatan penulis dari hasil

observasi yang dilakukan, sampai saat ini, penulistidak menemukan skripsi

yang membahas tentang “Peran Peer Counseling Terhadap Korban Napza

Di Panti Sosial Paramadi Putra Galih Pakuan-Bogor” Putat Nutug”,

hanya saja, sebelumnya ada beberapa skripsi yang membahas mengenai

korban napzayang telah dilakukan oleh mahasiswa terdahulu, untuk

mengetahui materi penelitiannya, dibawah ini diuraikan sebagai berikut;

1. Judul skripsi “Interaksi sosial para pengguna napza dalam

mengikuti metode therapeautic community di PSPP (Panti Sosial

Paramadi Putra” Galih Pakuan Putat Nutug-Bogor)” Penulis Nina

Riyanti Januarita, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,

Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam.

2. Judul skripsi: “evaluasi program penyuluhan sosial dalam

pencegahan penyalahgunaan narkoba pada Badan Narkotika

(29)

Muquomah, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Jurusan

Bimbingan dan Penyuluhan Islam.

3. Judul skripsi “Peranan KH.Muhammad Djunaidi dalam menangani

korban penyalahgunaan narkoba di Pondok Pesantren Hidayatul

Mubtadi’ienSawangan Depok”, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam.

Yang membedakan skripsi ini dengan skripsi yang telah

disebutkan diatas adalah bahwa, penelitian yang dilakukan

sebelumnya adalah:

Pertama, ingin mencari tahu bagaimana interaksi sosial para

pengguna napza dalam metode therapeautic community di PSPP

“Galih Pakuan Putat Nutug-Bogor. Kedua, seperti apa evaluasi

program penyuluhan sosial dalam pencegahan penyalahgunaan

narkoba pada badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Banten.

Ketiga, ingin mengetahui bagaimana peranan KH,Muhammad

Djuandi dalam menangani korban penyalahgunaan narkoba di

Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi’ienSawangan Depok.

Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, pada

penelitian ini penulis ingin mencari tahu “Peran Peer Counseling

Terhadap Korban NAPZA di Panti Sosial Pamardi Putra Putat

Nutug-Bogor”. Oleh karena itu, penulis sangat tertarik untuk

(30)

tulisan yang dijaadikan pembanding terhadap skripsi ini, sehingga

skripsi yang ada ini murni hasil karya penulis.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dalam skripsi ini, maka penulis membuat

rancangan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan. Meliputi, penegasan judul, latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, dan sistematika penelitian

BAB II: Landasan Teori. Meliputi pengertian peran, selain itu juga membahas pengertian peer counseling, pengertian NAPZA

dan korban NAPZA.

BAB III: Gambaran Umum Panti Sosial Paramadi Putra Galih Pakuan-Bogor” Putat Nutug”, gambaran umum ini meliputi tentang profil lembaga, sejarah berdirinya, visi dan

misi, Tujuan, Tugas Pokok, dan Fungsi Panti, landasan

hukum, Struktur Organisasi, mekanisme kerja, komposisi

pegawai, sasaran dan garapan lembaga, Persyaratan Calon

Keluarga Panti Sosial, Prosedur Pelayanan, Proses layanan,

Jenis Pembinaan, pembiayaan operasional, Mitra Kerja

Sama, sarana dan prasarana, jumlah W a r g a Binaan

tahun 2011.

BAB VI: Temuan dan Analisis Data, bab ini akan menguraikan analisa hasil penelitian mengenai proses bimbingan

(31)

terhadap korban napza di Panti Sosial Paramadi Putra Galih

Pakuan-Bogor” Putat Nutug”

BAB VI: Penutup, dalam penutup ini penulis akan berusaha memberikan kesimpulan dari keseluruhan pembahasan

skripsi ini serta Saran terhadap tujuan dan manfaat yang

(32)

19

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep Peran

1. Pengertian Peran

Dalam kamus bahasa Indonesia kata peran yang berarti

tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan

dalam masyarakat.1 Dalam kamus ilmiah popular, peran diartikan fungsi, kedudukan, bagian kedudukan.2 Kata “peran”, berarti

sesuatu yang menjadi bagian atau memegang pimpinan yang

terutama”.3

Peran menurut Levinson sebagaimana dikutip oleh Soejono

Soekamto, sebagai berikut:

Peran adalah “suatu konsep prihal apa yang dapat dilakukan

individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat, peran

meliputi norma-norma yang dikembangkan dengan posisi atau

tempat seseorang dalam arti ini merupakan rangkaian

peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan

kemasyarakatan”.4

Menurut Grass Massam dan A. W. Mc. Eachen yang

dikutip oleh David Berry mendefinisikan “peran sebagai

1

Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet. Ke-2, h. 854

2

Pius.A.Pratanto dan M.Dahlan AL Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola), h. 585

3

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1985), h. 73

4

(33)

seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang

menempati kedudukan sosial tertentu”.5

masih menurut David

Berry, harapan-harapan merupakan hubungan dari norma-norma

sosial. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa “peran itu ditentukan

oleh norma-norma didalam masyarakat, artinya seseorang

diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan oleh

masyarakat didalam pekerjaannya”.

Dalam ilmu Psikologi sosial peran diartikan sebagai suatu

prilaku atau tindakan yang diharapkan oleh orang lain dari

seseorang yang memiliki suatu status didalam kelompok tertentu.6

Dari penjelasan mengenai pengertian peran diatas penulis

dapat simpulkan bahwa peran adalah tingkah laku yang dimiliki

seseorang, yang memiliki harapan-harapan penting bagi residen

korban NAPZA dan mempunyai fungsi bagi struktur kehidupan

masyarakat.

2. Bentuk dan macam-macam peran

a. Bentuk peran

Melihat dari pengertian mengenai peran maka

bentuk peran bisa dilihat dalam bentuk individu, norma

atau aturan, intisusi atau lembaga dan lain sebagainya

tergantung fungsi dan kegunaan serta harapan-harapan yang

5

N. Gress W. S, Masson and A. W. Mc. Eachen, Exploration Role Analysis, dikutip oleh Davit Berry, Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. ke 3, h. 99

(34)

diinginkan oleh masyarakat itu sendiri, misalkan seorang

pemain sepak bola yang kawakan akan berbeda dengan

seorang pemain music yang bermain music untuk mengisi

waktu luang saja.

b. Macam-macam peran

Peran yang ada dalam masyarakat dapat

diklasifikasikan menurut bermacam-macam cara sesuai

dengan banyaknya sudut pandang. Berbagai macam peran

dapat disebutkan sebagai berikut:

1) Berdasarkan pelaksanaannya peranan dapat

dibedakan menjadi dua bagian yaitu:

a) Peranan yang diharapkan (exected roles),

yaitu cara ideal dalam pelaksanaan

peranan menurut penilaian masyarakat.

masyarakat menghendaki peran yang

diharapkan secermat-cermatnya dan

peran ini tidak dapat ditawar dan harus

dilaksanakan seperti yang ditentukan.

Peran jenis ini antara lain peran hakim,

peran protokoler diplomatic, dan

sebagainya.

b) Peranan yang disesuaikan (actual roles),

(35)

peranan itu dijalankan. Peranan ini

pelaksanaannya lebih luas, dapat

disesuaikan dengan situasi dan kondisi

tertentu. peran yang disesuaikan

mungkin tidak cocok dengan situasi

setempat, tetapi kekurangan yang

muncul dapat dianggap wajar oleh

masyarakat.7

2) Berdasarkan cara memperolehnya

Sementar itu berdasarkan cara memperolehnya,

peranan dapat dibedakan menjadi:

a. Peranan bawaan (ascribed roles), yaitu

peranan yang diperoleh secara otomatis,

bukan karena usaha misalnya peranan

sebagai nenek, anak, bupati dan lain

sebagainya.

b. Peranan pilihan (achives role), yaitu peranan

yang diperoleh atas dasar keputusan sendiri,

misalnya seseorang yang menentukan untuk

memilih kuliah di Fakultas Ilmu Sosial,

Politik, Universitas Airlangga dan menjadi

mahasiswa progran studi sosiologi.8

7

J.Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet. Ke-3, h. 160

8

(36)

3. Tujuan dan Manfaat Peran

Setiap peran bertujuan agar antar individu yang

melaksanakan peranan dengan orang-orang sekitarnya yang

berhubungan dengan peranan tersebut terdapat hubungan yang

diatur oleh nilai-nilai sosial yang diterima dan di taati oleh kedua

belah pihak.9

Peranan dapat membimbing seseorang dalam berprilaku,

karena manfaat peran sendiri adalah sebagai berikut:

a. Memberi arah pada proses sosialisasi.

b. Pewarisan tradisi, kepercayaan, nilai-nilai,

norma-norma dan pengetahuan.

c. Dapat mempersatukan kelompok atau masyarakat.

d. Menghidupkan sistem pengendali dan kontrol,

melestarikan kehidupan masyarakat.10

B. Pengertian Peer Counselor dan peer counseling

1. Peer Counselor

Menurut Sudarsono, teman sebaya berarti teman-teman

yang sesuai dan sejenis, perkumpulan atau kelompok pra puberitas

yang mempunyai sifat-sifat tertentu dan terdiri dari satu jenis.

Sedangkan kelompok sebaya adalah kelompok persahabatan yang

mempunyai nilai-nilai dan pola hidup sendiri, dimana persahabatan

dalam periode sebaya penting sekali karena merupakan dasar

9

(37)

pokok mewujudkan nilai-nilai dalam suatu kontak sosial. Jadi

teman sebaya merupakan media bagi remaja untuk mewujudkan

nilai-nilai sosial tersendiri dalam melakukan prinsip kerjasama,

tanggung jawab dan kompetisi.

Peer konselor adalah siswa yang berasal dari sekolah

(SMP/SMA/Sederajat), karang taruna, poskestren, pemuda

masjid/greja/keagamaan lainnya, pekerja industri, anak jalanan,

penyalahguna NAPZA dan lain-lain yang dilatih dengan materi

tertentu sehingga mampu memberikan informasi dan membantu

menyelesaikan masalah kesehatan pada teman sebayanya. Peer

counselor merupakan strategi yang efektif untuk menyelesaikan

masalah remaja dengan resiko penyalahgunaan NAPZA.

Kelompok sebaya dapat menurunkan remaja/siswa terhadap resiko

penyalahgunaan zat adiktif sehingga siswa yang berprilaku negatif

akan berkurang.11

Menurut irma ada tiga alasan peer counselor merupakan

strategi yang efektif untuk mencegah penyalahgunaan NAPZA

pada remaja/dewasa yaitu pertama; mendiskusikan masalah dengan

teman sebaya dirasakan lebih enak dan aman, kedua; teman sebaya

memiliki cara pandang dan gaya hidup yang mirip sehingga

dianggap lebih memahami, ketiga; situasi diskusi bisa lebih bebas

atau curhat (express feeling). Keefektifan peer counselor telah

dibuktikan oleh Barker dan Geller melalui studi kasus di Zambia

11

(38)

tentang perilaku siswa terkait kekerasan dan penyalahgunaan obat

terlarang menyimpulkan bahwa terjadi penurunan yang signifikan

terhadap perilaku kekerasan dan penyalahgunaan obat terlarang di

sekolah.12

Dari beberapa teori diatas penulis dapat menyimpulkan

bahwa peer counselor dapat membangun hubungan saling percaya

dan komunikasi terbuka sehingga mendorong siswa/remaja dan

dewasa untuk berprilaku positif dan mencegah remaja/dewasa

untuk menyalahgunakan NAPZA.

2. Peer counseling

Pada awalnya Peer Counseling muncul dengan konsep peer

support yang dimulai pada tahun 1939 untuk membantu para

penderita alkoholik.13 Dalam konsep tersebut diyakini bahwa

individu yang pernah kecanduan alkohol dan memiliki pengalaman

berhasil mengatasi kecanduan tersebut akan lebih efektif dalam

membantu individu lain yang sedang mencoba mengatasi

kecanduan alkohol. Dari tahun ke tahun konsep Peer Counseling

(konseling teman sebaya) terus merambah ke sejumlah setting dan

issue. Pada dasarnya Peer Counseling (konseling teman sebaya)

merupakan suatu cara bagi para siswa belajar bagaimana

12

Irma, Konseling pada Remaja, Jakarta: Pustaka Imam, 2009, h. 33

(39)

memperhatikan dan membantu anak-anak lain, serta

menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.14

Menurut Tindall & Gray, konseling teman sebaya

mencakup hubungan membantu yang dilakukan secara individual

(one-to-one helping relationship), kepemimpinan kelompok,

kepemimpinan diskusi, pemberian pertimbangan, tutorial, dan

semua aktivitas interpersonal manusia untuk membantu atau

menolong.15

Menurut (Corey1986, Herman Nirwana 1997, Shertzer &

Stone, 1981), peer counseling (konseling teman sebaya), untuk ini

diperlukan adanya hubungan yang saling percaya diantara konselor

dan konseli, Terciptanya komunikasi yang saling terbuka dan

terjadinya pemberdayaan konseli agar mampu mengambil

keputusan. Penciptaan hubungan diantara keduanya (konselor dan

konseli) sangat penting, sebab hubungan konselor dengan konseli

merupakan “jantung” dari keseluruhan proses konseling.

Hubungan konselor dengan konseli menjadi dasar dalam

keseluruhan proses konseling. Bahkan, menurut pendekatan

eksistensialis, dalam keseluruhan proses konseling yang paling

utama adalah hubungan konselor dengan konseli, karena situasi

hubungan tersebut merupakan stimulus untuk tercapainya tujuan

14 R.A.Carr, Theory and Practice of Peer Counseling, (Ottawa : Canada Employment and Immigration Commission, 1981) h. 3

(40)

konseling yang diharapkan, yaitu terjadinya perubahan ke arah

yang positif, dan terciptanya satu kondisi agar konseli merasa

bebas melakukan eksplorasi diri, penyesuaian diri daan kesehatan

mental, kebabasan secara psikologis tanpa mengabaikan

tanggungjawab sosial.

Dengan sederhana penulis dapat mendefinisikan bahwa

peer counseling adalah layanan bantuan konseling yang diberikan

oleh teman sebayanya (biasanya seusia/tingkatan pendidikannya

hampir sama) yang telah terlebih dahulu diberikan

pelatihan-pelatihan untuk menjadi konselor sebaya sehingga diharapkan

dapat memberikan bantuan baik secara individual maupun

kelompok kepada teman-temannya yang bermasalah ataupun

mengalami berbagai hambatan dalam perkembangan

kepribadiannya.

3. Dasar-dasar komunikasi dalam Peer Counselor

Dasar-dasar komunikasi tersebut meliputi:16

a. Acceptance, merupakan teknik yang digunakan konselor untuk menunjukkan minat, pemahaman terhadap hal-hal

yang dikemukakan konseli dan sikap menerima pribadi

konseli sebagai suatu keseluruhan

b. Attending, yaituperilaku yang secara langsung berhubungan

dengan respek, yang ditunjukan ketika konselor/helper

16

(41)

memberikan perhatian penuh pada konseli/helpee, melalui

komunikasi verbal maupun non verbal, sebagai komitmen

untuk fokus pada konseli

c. Summarizing, ketrampilan konselor untuk mendapatkan

kesimpulan atau ringkasan mengenai apa yang telah

dikemukakan oleh konseli

d. Questioning, yaitu teknik mengarahkan pembicaraan dan

memberikan kesempatan pada konseli uniuk mengelaborasi,

mengeksplorasi atau memberikan jawaban dari berbagai

kemungkinan sesuai dengan keinginan konseli dan bersifat

mendalam

e. Genuineness, adalah mengkomunikasikan secara jujur perasaan sebagai cara meningkatkan hubungan dengan dua

atau lebih individu

f. Assertiveness, kemampuan mengekspresikan pemikiran dan perasaan secara jujur, yang ditunjukkan dengan cara

berterus terang, dan respek pada orang lain

g. Confrontation, adalah ekspresi konselor tentang

ketidakcocokannya dengan perilaku konseli. Dengan kata

lain, konfrontasi adalah ketrampilan konselor untuk

menunjukkan adanya kesenjangan dan inkongruensi dalam

diri konseli

h. Problem Solving, adalah proses perubahan sesorang dari

(42)

masalah, dan mengevaluasi tingkah laku yang

mempengaruhi penyelesaian masalah itu

Dengan paparan diatas penulis mendefinisikan, konseling teman

sebaya secara kuat menempatkan keterampilan-keterampilan komunikasi

untuk memfasilitasi eksplorasi diri dan pembuatan keputusan. “Konselor”

sebaya bukanlah konselor profesional atau ahli terapi. “Konselor” sebaya

adalah para siswa yang memberikan bantuan kepada siswa lain di bawah

bimbingan konselor ahli. Dalam konseling sebaya, peran dan kehadiran

konselor ahli tetap diperlukan. Pada hakekatnya peer counseling adalah

counseling through peers. Dalam model konseling teman sebaya, terdapat

hubungan Triadik antara Konselor ahli, “konselor” sebaya dan konseli.

Hubungan Triadik tersebut dapat digambarkan melalui gambar:

[image:42.595.90.521.144.618.2]

Tabel 1

Interaksi Triadik antara Konselor Ahli, ”Konselor” Teman Sebaya, dengan

”Konseli” Teman Sebaya.17

Keterangan:

- Interaksi antara konselor ahli dengan konseli melalui

“konselor” teman sebaya.

17

Suwarjo, Suwarjo, Model Konseling Teman Sebaya Untuk Pengembangan Daya (Yogyakarta: 2008), h. 83

Konselor Ahli

(43)

Interaksi langsung antara konselor ahli dengan

konseli atas rujukan “konselor” teman sebaya.

“Konselor” sebaya terlatih yang direkrut dari jaringan kerja sosial

memungkinkan terjadinya sejumlah kontak yang spontan dan informal.

Kontak-kontak yang demikian memiliki multiplying impact pada berbagai

aspek dari remaja lainnya. Kontak-kontak tersebut juga dapat memperbaiki

atau meningkatkan iklim sosial dan dapat menjadi jembatan penghubung

antara konselor profesional dengan para siswa (remaja) yang tidak sempat

atau tidak bersedia berjumpa dengan konselor.

C. Rehabilitasi Sosial

1. Pengertian Rehabilitasi Sosial

Dalam Peraturan Mentri Sosial Republik Indonesia Nomor 5/

HUK/2009 tetang pelayanan dan Rehabilitasi Korban Penyalahgunaan

Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya, pengertian

rehabilitasi sosial tertulis pada pasal 10 yaitu: Rehabilitasi Sosial

merupakan serangkaian kegiatan profesional yang meliputi aspek

fisik, mental, spritual, mental, dan vokasional untuk mengembangkan

kemampuan dan memulihkan Korban Penyalahgunaan Narkotika,

Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya agar dapat melaksankan fungsi

sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.18

Rehabilitasi juga dapat diartikan sebagai suatu rangkaian

proses pelayanan yang ditujukan untuk pemulihan kepercayaan diri,

harga diri, kesadaran peranan serta tanggung jawab sosial korban

18

(44)

penyalahgunaan narkotika terhadap masa depannya, baik bagi dirinya,

keluarganya, maupun masyarakat dan lingkungannya.19 2. Tujuan dan Sasaran Rehabilitasi Sosial

a. Tujuan Rehabilitasi Sosial:

Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial korban NAPZA bertujuan

untuk dapat dipulihkannya kondisi fisik, mental, psikologi dan

kondisi sosial serta fungsi dan kualitas sosial korban NAPZA

sehingga mereka dapat hidup secara wajar dimasyarak serta

menjadi SDM (sumber daya manusia) yang berguna dan

produktif.20

b. Sasaran Rehabilitasi Sosial

Sasaran program rehabilitasi sosial korban NAPZA adalah:

1. Korban Penyalahgunaan NAPZA, usia disesuiakan dengan

persyaratan yang berlaku dalam panti/ lembaga penyelenggara

dan telah bebas dari ketergantungan fisik terhadap NAPZA.

2. Orang tua/keluarga korban

3. Lingkungan social

 Lingkungan sebaya

 Lingkungan sekolah/pekerjaan

 Lingkungan masyarakat sekitar korban.21

19

Direktorat Pelayanan dan Rehabilitas Sosial Korban NAPZA Direktorat Jendral Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI, Panduan Pelayanan Rehabilitasi Sosial Bagi Korban Penyalahgunaan NAPZA. (Jakarta, 2003) h. 5

20

Ibid., h.7 21

(45)

3. Proses Rehabilitasi Sosial

Keseluruhan rangkaian proses rehabilitasi sosial terdiri

atas beberapa tahap kegiatan yang dilaksanakan secara

beraturan, sejak perkenalan program sampai dengan klien

kembali ke lingkungan keluarganya/lingkungan masyarakat.

Proses rehabilitasi sosial tersebut terdiri atas 6 (enam

tahapan yang meliputi berbagai kegiatan yaitu:

a) Tahap pendekatan awal/tahap persiapan rehabilitasi yaitu

tahap kegiatan yang mengawali keseluruhan proses

rehabilitasi dan dilaksanakan di masyarakat, untuk

mempersiapkan pelaksanakan kegiatan rehabilitasi baik

yang diselenggarakan didalam panti maupun diluar panti.

b) Tahap penerimaan (intake)

Pada tahap ini terjadi proses pertukaran informasi

mengenai apa yang dibutuhkan oleh calon klien dan pelayan

apa yang ada pada panti/ lembaga dalam membantu

memenuhi kebutuhan klien atau memecahkan masalah yang

dialaminya.

c) Tahap assessment

Assessment merupakan penilaian atau penafsiran

terhadap situasi dan orang-orang yang terlibat didalamnya.

Sebagai suatu proses pengungkapan dan pemahaman

(46)

mendefinisikan masalah, membuat keputusan tentang

aspek-aspek mana dari situasi itu yang akan dihadapi,

merumuskan tujuan perubahan, dan menetapkan cara untuk

mencapai tujuan tersebut.

d) Tahap pembinaan dan bimbingan

Salah satu prinsip dasar philosophi utama pelayanan

manusia adalah bahwa “yang mendasari perubahan harus

datang dari dalam, tetapi kekuatan-kekutan dari luar dapat

membantu untuk mewujudkan terjadinya perubahan

tersebut”. Tahap pembinaan dan bimbingan adalah inti dari

proses pelayanan dan rehabilitasi sosial korban NAPZA,

pelibatan klien secara aktif (working with clien) merupakan

hal yang sangan penting sesuai dengan prinsip di atas untuk

mengoptimalkan hasil-hasil yang ingin dicapai.

e) Tahap resosialisasi/reintegrasi

Hasil akhir dari proses pelayan dan rehabilitasi

sosial korban penyalahgunaan NAPZA adalah

mengembalikan dan meningkatkan keberfungsian sosial

klien.

f) Tahap pembinaan lanjut

Tahap pembinaan lanjut adalah usaha yang sangat

(47)

kondisi kesembuhan dan kepulihan klien dari

ketrgantungan terhadap NAPZA.22

Secara umum ada beberapa tahapan yang harus

dilewati. Masing-masing tahapan tersebut memakan waktu

bervariasi: ada yang seminggu, sebulan dan bahkan

berbulan tergantung tingkat ketergantungan, tekat korban,

dan juga dukungan berbagai pihak terutama keluarga dalam

seluruh proses tersebut. Setiap tahapan tersebut disusun dan

dibuat untuk mengantar pasien secara bertahap melepaskan

dari ketergantungan narkoba.

Beberapa tahapan rehabilitasi ini disajikan berikut

sudah teruji dapat menyembuhkan/ memulihkan korban

narkoba secara maksimal.

a. Tahap Transisi

Penekanan dalam tahap ini lebih kepada

informasi awal tentang korban seperti: latar belakang

korban, lama ketergantungan, jenis obat yang dipakai,

akibat-akibat ketergantungan dan informasi lainnya.

b. Tahap Intensif

Setelah melewati masa transisi (pengumpulan

informasi tentang keadaan korban dan latar belakangnya)

baru masuk pada fase berikutnya yakni proses

22

(48)

penyembuhan secara psikis. Motivasi dan potensi dirinya

dibangun dalam tahap ini.

c. Tahap Rekonsiliasi

Tahap berikut yang harus dilewati dan sangat vital

adalah tahap rekonsilitas. Para korban tidak langsung

berinteraksi secara bebas dengan masyarakat, akan tetapi

terlebih dahulu ditampung disebuah lingkungan khusus

selama beberapa waktu sampai pasien benar-benar siap

secara mental dan rohani kembali ke lingkungannya

semula.

d. Pemeliharaan Lanjut

Pada tahap ini walaupun secara fisik yang

bersangkutan sudah dinyatakan sehat dan secara psikis

pun sudah pulih, namun masih ada kemungkinan mereka

akan tergelincir kembali, lebih-lebih saat mereka

bernostalgia dengan kenikmatan narkoba. Saat ini juga

rawan. Karena itu setiap korban yang memasuki tahap ini

dipersiapkan sungguh-sungguh agar dapat melewati dan

mengatasi situasi rawan ini dengan melewati tiga titik ini

yakni:

1) Mengubah, menghilangkan, atau menjauhi hal-hal

yang bersifat nostalgia kesenangan narkoba.

2) Setia mengikuti program-program dan acara-acara

(49)

3) Dapat juga melibatkan diri dalam gerakan atau

kelompok bersih narkoba dan peduli

penanggulangannya.23

D. Korban NAPZA

1) Pengertian korban NAPZA

Pembahasan tentang korban penting diberikan untuk

membantu menentukan secara jelas batas-batas yang dimaksud

oleh pengertian tersebut sehingga diperoleh kesamaan pandangan.

Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli maupun yang

bersumber dari peraturan-peraturan hukum nasional dan

internasional mengenai korban kejahatan.

a. Menurut Arief Gosita, korban adalah: “mereka yang

menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat

tindakan orang lain yang mencari pemenuhan

kepentingan diri sendiri atau orang lain yang

bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau

kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.24

b. Mulai di menyatakan bahwa korban (victims) adalah:

Orang-orang yang baik secara individual maupun

kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian

fisik atau mental, emosional, ekonomi atau ganguan

substansial terhadap hak-haknya yang fundamental,

23

EM. Giri Prastomo, Rehabilitasi bagi Korban Narkoba, (Tangerang: Visimedia, 2006), h. 28-34

24

(50)

melalui suatu perbuatan atau komisi yang melanggar

hukum pidana di masing-masing negara, termasuk

penyalahgunaan kekuasaan.25

c. Dalam perspektif viktimologi, pada fase new victimolog

Zvonimir Paul Separovic dalam bukunya yang berjudul

victimology, Studies Of Victims” memberikan

pengertian tentang korban sebagai berikut:

…those person who are threatened, injured or destroyed by an act or omission of another (man, structure, organization, or institution) and consequently, a victim would be any one who has suffered from or been threatened by punishable act (ot only criminal act but also other punisable acts as misdemeanors, economic offenses, non-fulfilment of work duties) or from an accident (accident at work, at home, trafict accident, etc). Suffering may be caused by another man (man made victim) or another structure where people are also involved.26 d. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002

pasal 1 ayat (3) dan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, mendefinisikan

korban: “orang perseorangan atau kelompok orang yang

mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia

yang berat, termasuk ahli warisnya”.

e. Definisi korban menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

adalah: “seseorang yang mengalami penderitaan fisik,

mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh

suatu tindak pidana”.

Dari pengertian diatas, jelas bahwa korban adalah orang

yang mengalami penderitaan karena sesuatu hal. Yang dimaksud

25 Muladi, “HAM dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana”,

dalam Muladi (ed) Hak Asasi Manusia, hakekat konsep dan implikasinya dalam perspektif hukum dan masyarakat, Refika Aditama, Bandung: 2005, h. 108

26

(51)

dengan sesuatu hal disini adalah meliputi orang, institusi atau

lembaga, struktur.

Korban pada dasarnya tidak hanya orang-perorangan atau

kelompok yang secara langsung menderita akibat dari

perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi

diri/kelompoknya, bahkan lebih luas lagi termasuk di dalamnya

keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan

orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban

mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi.27

a. Korban NAPZA dalam Perspektif Vitimologi

Dalam perspektif viktimologi terutama mengenai

tipologi korban, terdapat beberapa pendapat ahli hukum

mengenai korban penyalahgunaan narkotika dan

psikotropika.

Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban

dalam terjadinya kejahatan, maka korban penyalahgunaan

narkotika dan psikotropika menurut Ezzat Abdul Fateh,

adalah dalam tipologi; “false victims yaitu mereka yang

menjadi korban karena dirinya sendiri’. Dari perspektif

tanggungjawab korban, menurut Stephen Schafer

menyatakan:

27

(52)

Self-victimizing victims adalah mereka yang menjadi korban

karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. Beberapa literatur

menyatakan ini sebagai kejahatan tanpa korban, akan tetapi,

pandangan ini menjadi dasar pemikiran bahwa tidak ada

kejahatan tanpa korban. Semua atau setiap kejahatan melibatkan 2

hal, yaitu penjahat dan korban. Sebagai contoh dari

self-victimizing victims adalah: pecandu obat bius (koersif-penulis),

alkoholisme, homoseks, judi. Hal ini berarti pertanggungjawaban

terletak penuh pada si pelaku, yang juga sekaligus merupakan

korban.28

Menurut Sellin dan Wolfgang, korban penyalahgunaan

narkotika dan psikotropika adalah merupakan: “mutual

victimization yaitu yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri.

Misalnya: pelacuran, perzinahan, narkotika.29

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli

hukum mengenai tipologi korban dalam perspektif viktimologi

dapat dinyatakan, bahwa pecandu narkotika dan psikotropika

adalah merupakan self-victimizing victims, yaitu seseorang yang

menjadi korban karena perbuatannya sendiri. Namun, ada juga

yang mengelompokannya dalam victimless crime atau kejahatan

28

E. Sahetapy, (ed), Bunga Rampai Viktimisasi, cet.1, Bandung: 1995, h. 14-125 29

(53)

tanpa korban karena kejahatan ini biasanya tidak ada sasaran

korban, semua pihak terlibat. 30

Hal ini senada dengan Rumusan teoritis Savitz bahwa suatu

perbuatan dinyatakan jahat haruslah menimbulkan korban dan

korban itu adalah orang lain. Di sini timbul pertanyaan,

bagaimana bila korban tersebut adalah diri sendiri? Dalam criteria

Savitz, apabila hanya diri sendiri yang menjadi korban bukan

sebagai kejahatan. Apabila seorang pengguna narkoba

menggkonsumsi barang haram itu, hanya untuk dirinya sendiri,

dalam konteks criteria Savitz, pengguna tersebut bukan pelaku

tindak pidana.

Dari hukum nasional yang mengatur mengenai tindak

pidana NAPZA, juga ada penegasan pecandu NAPZA selain

adalah pelaku kejahatan juga adalah sebagai korban:

Dalam konteks UU no. 5/1997 tentang psikotropika dan

UU no. 22/1997 tentang Narkotika dinyatakan sebagai berikut:

a) pasal 37 ayat 1 UU no. 5/1997 menyatakan: “pengguna

psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan

berkewajiban ikut serta dalam pengobatan dan atau

perawatan”.

30

(54)

b) pasal 44 ayat 1 UU no. 22/1997 tentang Narkotika,

intinya menegaskan bahwa untuk kepentingan

pengobatan dan atau perawatan pengguna narkotika

dapat memiliki, menyimpan dan membawa narkotika,

dengan syarat narkotika tersebut diperoleh secara sah.

Pada pasal 45 undang-undang tersebut dinyatakan

bahwa pecandu wajib menjalani perawatan dan

pengobatan.(kursif: penulis).

2) Pengertian NAPZA

a. Narkotika

Narkoba berasal dari bahasa inggris

narcotics yang berarti obat yang menidurkan atau

obat bius,31 sedangkan menurut istilah menurut

Undang-Undang No.35 Tahun 2009 pasal 1 adalah

zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman baik sintesis atau bukan sintesis yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,

hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan

rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

adalah zat yang apabila digunakan sesuai dengan

fungsinya yaitu untuk kepentingan medis dan

kepentingan ilmiah akan memberikan manfaat

kepada umat manusia. Ada beberapa jenis zat

31

(55)

sebagai sarana kebutuhan medis yang

penggunaannya secara terukur dibawah kendali ahli

medis. Baik untuk kepentingan penelitian maupun

pertolongan kesehatan. Namun demikian, dalam

perkembangannya menjadi barang yang berbahaya

karena telah diedarkan secara gelap dan

disalahgunakan untuk kepentingan di luar medis dan

berdampak terhadap gangguan kesehatan.

Sebelum tahun 1976 istilah narkotika belum dikenal

dalam perundang-undangan Indonesia. Peraturan yang

berlaku waktu itu, yaitu “Verdovende Middelen

Ordonnantie(Staatsblad 1927 No. 278 jo. No. 536), yang diubah terakhir tahun 1949 (L.N 1949 No. 337), bukan

menggunakan istilah “narkotika”, melainkan “obat yang

membiuskan” (Verdovende middelen), oleh karena itu

peraturan iersebut dikenal sebagai Ordonansi Obat Bius.

Namun dalam rangka pencegahan kejahatan dan

pembinaan para pelanggar hukum narkotika, istilah

“narkotika” sudah mulai dikenal sekitar akhir decade 60-an.

Boleh dikatakan baik “obat bius” maupun “narkotika”

tidaklah berbeda, merupakan obat yang diperlukan dalam

dunia penelitian. oleh karena itu tidak dilarang penggunaan

obat bius (narkotika) untuk kepentingan kedokteran dan

(56)

Dampaknya sangat membahayakan kesehatan dan

bahkan mengancam keselamatan jiwa manusia. Dan tidak

hanya itu, kini nyata-nyata telah semakin berdampak

dahsyat. Membuat hancur dan matinya karakter bangsa.

Yang diawali dengan rusaknya sel-sel syaraf otak sebagai

dampak menggunakan Narkoba illegal. Kerusakan syaraf

otak ini akan berpengaruh buruk pada kepribadian,

tempramen dan karakter manusia.

Jadi, pada hakekatnya Narkoba memiliki dua

dampak yakni positif dan negative. Positif adalah demi

kepentingan medis, sedangkan negative adalah untuk

kepentingan bisnis illegal oleh kalangan mafia yang tidak

bertanggung jawab. Menghancurkan kehidupan manusia

dan menjadi musuh bersama seluruh bangsa beradab

dimuka bumi ini. Terkait dengan ini maka perlunya

membangun karakter manusia sebagai embiro karakter

bangsa. Karakter bangsa yang kuat akan mampu memiliki

daya imunitas yang lebih baik untuk menghadapi peredaran

gelap Narkoba. Dengan daya tahan yang handal, maka

pengaruh negative Narkoba dapat di cegahnya.32

32

(

Gambar

GAMBARAN UMUM LEMBAGA
Tabel 1      Interaksi triadik antara konselor ahli dengan konseli ...............................
Tabel 6      Terbimbing berdasarkan pendidikan ........................................................
gambaran penyajian laporan tersebut.6
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keterangan informan tersebut diatas menjelaskan bahwa, sumber daya manusia yang ada dalam merealisasikan kebijakan rehabilitasi sosial penyandang tuna grahita di Panti

Berdasarkan tabel 9 di atas, antara lain perbandingan untuk melihat perbedaan pada sumber daya manusia Panti Rehabilitasi Sosial bahwa mereka bekerja atas dasar

a)kurangnya sumber daya manusia (SDM), b) waktu pelaksanaan pendampingan yang kadang tidak sesuai dengan yang direncanalcan karena wring ada tugasmendadak yang harus