• Tidak ada hasil yang ditemukan

POKOK-POKOK TAUHID SYAIKH ‘ABDURRAHMAN SHIDDÎQ

A. Pengertian Syari’ah, Tarekat, Hakikat, Ma’rifah

4. Pengertian Ma’rifah

tersebut, dirinya telah lenyap. Yang ada dan yang disaksikannya hanyalah

al-haqq. Di sinilah timbul paham hulul yaitu timbul kesatuan antara ‘Asyik

dengan Ma’syuk. Sebagian yang lainnya berpendirian bahwa yang mungkin terjadi hanya ittisal, yaitu perhubungan antara aku dan Dia. Antara mahluk dengan Dia Khalik. Tiada kesatuan antara Khalik dan makluk.7

4. Pengertian Ma’rifah

Dari segi bahasa ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya pengetahuan dan pengalaman. Dan dapat berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya.

Ma’rifah adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu dan segala yang maujud berasal dari yang satu.8

Dengan penghayatan atas pengalaman syari’ah itu maka seseorang akan mendapatkan manisnya iman yang disebut ma’rifah. Sedangkan Ma’rifah artinya pengenalan yang sempurna kepada Allah Ta’ala yaitu takluk pada sirr hati. Maka arti mengenal itu yaitu mengenal wahdaniah Allah Ta’ala pada af’al-Nya (perbuatan-Nya) dan pada asma’-Nya

(nama-       7

Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h 112. 8

‘Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1996), h. 220.  

Nya) dan pada sifat dan pada dzat dengan i’tiqad yang yakin sekira-kira tetap pada i’tiqadnya tiada yang memperbuat sekalian kainat melainkan Allah Ta’ala dan tiada yang bernama didalam kainat hanya Allah Ta’ala. Dan tiada yang bersifat didalam kainat hanya Allah Ta’ala. Dan tiada yang maujud didalam kainat ini hanya Allah Ta’ala.9 Adapun segala perbuatan mungkin dan asma’nya dan sifatnya dan wujûdnya, maka yaitu fana di dalam af’al Allah Ta’ala dan asma’-Nya dan sifah-Nya dan wujûd-Nya. Hasilnya yang ada pada mumkin ini majazi dan madzhar yakni kenyataan

af’al Allah Ta’ala dan asma’-nya dan sifatnya dan wujudnya tiada mempunyai wujud hakiki yang sebenarnya.10

Dalam kitab Asrar al-shalah min ‘iddah al-kutub al-mu’tamadah

Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq menegaskan kembali makna ma’rifah yaitu mengenal uluhiyyah zat Allah dan sifat-Nya yang wajib, mustahil dan jaiz dengan pengenalan yang sebenarnya berdasarkan dalil yang benar serta mengenal dalam arti wahdaniyyah (ketauhidan) Allah pada perbuatan, asma’, sifat-Nya serta sifat-Nya juga mengenai wahdaniyyah.11

Sebagaimana halnya dengan mahabbah, makrifat ini terkadang di pandang sebagai maqam dan terkadang dianggap sebagai hâl. Dalam literatur Barat, ma’rifah dikenal dengan istilah gnosis. Dalam pandangan al-Junaid, ma’rifah dianggap sebagai hâl, sedangkan dalam Risalah

al-       9

Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah,

h. 8. 10

Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah.

h. 8. 11

Syaikh Abdurrahman Shiddiq,Asrar al-salah min ‘iddat al-kutub al-mu’tamadah. Singapura: Matba’ah Ahmadiya 1931 , h. 11.

47

Qusyairiyah, ma’rifah dianggap sebagai maqam, sementara itu al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ’Ulum al-din memandang ma’rifah datang sebelum

mahabbah. Sedangkan al-Kalabazi menjelaskan bahwa ma’rifah datang sesudah mahabbah. Selanjutnya ada pula yang mengatakan bahwa

ma’rifah dan mahabbah merupakan kembar dua yang selalu disebut berbarengan. Keduanya mengambarkan keadaan dekatnya hubungan seorang sufi dengan Tuhan. Dengan kata lain mahabbah dan ma’rifah

mengambarkan dua aspek dari hubungan rapat yang ada antar sufi dengan Tuhan.12

Selanjutnya ma’rifah di gunakan untuk menunjukkan pada salah satu tingkatan dalam tasawuf. Dalam arti sufistik ini, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Pengetahuan itu demikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu, yaitu Tuhan. Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa ma’rifah mengambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari.13

Dalam pandangan Syaikh Abdurrahman Shiddiq, untuk mencapai

ma’rifah adalah hati (qalb), namun artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa Inggris, karena qalb selain dari alat untuk merasa adalah juga alat untuk berpikir. Bedanya , dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Qalb

yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkai

       12

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta : Bulan Bintang, 1978) hl 57.

13

. Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam h75.  

zikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, yaitu setelah hati tersebut disinari cahaya Tuhan.

Proses sampainya qalb pada sinar Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli dan tajalli sebagaimana diungkapkan oleh para tokoh tasawuf yaitu:.

Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat Karena manusia memiliki sifat baik dan jahat.14 Firman Allah Swt:

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”(Q.S. al-Syam: 8)

Hal ini dilanjutkan dengan tahalli yaitu menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan amal ibadah. Dalam firman-Nya ditegaskan:

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu” (Q.S. al-Syam: 9)

Sedangkan tajalli adalah terbukanya hijab, sehingga tampak jelas cahaya Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt:

       14

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf h. 224.  

49

Takkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa jatuh pingsan”. (Q.S. al-A’raf:143)

Demikianlah beberapa cara untuk mencapai pada Allah Swt, sampai di sini bukan berarti dapat melihat Allah secara utuh, namun ketenangan jiwalah yang akan kita peroleh bila telah melalui tiga tahapan ini.15

B. Konsep Pengesaan Allah dengan Af’al-Nya, Asma-Nya, Sifat, dan Dzat-Nya

1. Tauhid al-Af’al

Tauhid atau wahdaniyah af’al, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq merumuskan perbuatan manusia dalam hubungannya dengan perbuatan Tuhan. Bahwa semua perbuatan manusia baik yang positif berupa iman dan taat maupun perbuatan yang negatif berupa kafir dan maksiat, baik perbuatan itu bersifat mubasyarah (Langsung) maupun tawallud (terlahir) kesemuanya dalam pandangan mata hati adalah perbuatan Allah semata. Bila hal ini sudah diyakini secara haqqul yaqin, barulah seseorang hamba mendapat ma’rifah dalam wahdaniyah af’al dengan Allah. Pendapat

       15

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf h. 14  

demikian sepintas lalu meniadakan perbuatan makhluk, sehingga terkesan perbuatan makhluk itu tidak ada, yang ada hanya perbuatan Allah. Dasar yang digunakan oleh ‘Abdurrahman Shiddîq dalam mengajarkan

wahdaniyah af’al ini antara lain adalah surah ash-Shafaat ayat 96.

“Padahal Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu, karenanya sembahlah Dia dan esakanlah Dia”

Pendapat ini bila dipahami secara sepotong-potong tentu berbahaya. Orang awam yang tauhid dan syariatnya masih lemah boleh jadi akan enggan mengerjakan amal kebaikan, atau bahkan berani melakukan perbuatan jahat, karena beranggapan kedua sisi perbuatan itu berasal dari Allah juga. Jika Allah tidak menghendaki, tidak akan terwujud perbuatan baik dan jahat itu. Tetapi bagi orang yang keberagamaannya sudah mantap, hal demikian tidak jadi masalah, karena ‘Abdurrahman Shiddîq sendiri sudah menyediakan kata kuncinya, yaitu hakikat tanpa syariat itu batil, atau hakikat tanpa syariat zindik. Kemudian apabila syariat diteliti, maka tidak satupun ditemui ajarannya yang menyuruh mengabaikan amal kebaikan (ma’ruf) dan menyuruh mengerjakan kejahatan (munkar).16

Tidak hanya itu, syariat juga memberi tempat kepada akal untuk menilai suatu perbuatan tergolong ma’ruf dan munkar. Abdul Qadir

       16

Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h. 10  

51

Jaelani mengatakan: Artinya: “segala sesuatu yang bersesuaian dengan Al-Qur’an, hadits dan akal sehat disebut ma’ruf dan segala sesuatu yang bertentangan dengan ketiganya disebut munkar”.

Jadi perbuatan (af’al) hamba yang baik dan buruk dapat diukur dengan syariat, yang bersumber dari al-Qur’an, Hadits dan akal (ra’yu). Akal di sini adalah hasil ijtihad manusia yang juga dapat dijadikan landasan hukum sesudah al-Quran dan Hadits, meliputi ijma’, qiyas, istihsan, maslahat- mursalah, ‘urf, dan lain-lain.

Karenanya tidak masuk akal bila syariat menyuruh berbuat yang

munkar atau melarang yang ma’ruf. Disebabkan syariat Islam sejalan dengan akal, maka pasti perintah syariat adalah yang ma’ruf dan yang dilarangnya adalah yang munkar. Dengan demikian, walaupun pada dasarnya Allah yang menciptakan manusia dan semua af’al-nya (wahdaniyah af’al), namun tidaklah pantas menyandarkan perbuatan yang munkar kepada Allah atau sebagai perbuatan Allah. Yang benar adalah bahwa perbuatan baik (ma’ruf) lahir atas hidayah Allah dan sebaliknya perbuatan jahat (munkar) akibat kebodohan manusia itu sendiri. Seperti dalam firman Allah:

☺ ☺

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi”(Q.S. an-Nisa’: 79)

Pendapat ini bagi ‘Abdurrahman Shiddîq dimaksudkan agar manusia tidak tergelincir kepada akidah Qadariyah bahwa setiap perbuatan manusia adalah karena kodrat manusia itu sendiri dan memberi bekas atau sebaliknya tergelincir ke dalam akidah Jabariyah yang meyakini semua perbuatan baik dan buruk berasal dari Allah, sedangkan usaha dan ikhtiar manusia tidak memberi bekas seperti halnya bulu yang berterbangan ditiup angin.17

Selain itu konsep wahdaniyah af’al ini oleh ‘Abdurrahman Shiddîq juga dimaksudkan untuk mewujûdkan tasawuf akhlaki pada hamba, yaitu terlepasnya mereka dari sifat syirik khafi, seperti ujub, riya, sum’ah dan lainnya. Sehingga dengan meyakini wahdaniyah af’al, manusia akan terhindar dari sifat riya dan ujub, misalnya merasa dirinya hebat karena rajin beribadah atau alim, mampu melakukan apa saja perbuatan baik. Sekiranya manusia tidak meyakini wahdaniyah af’al-Nya Allah, bisa jadi ia akan riya, ujub, sum’ah dan sifat tercela yang lainnya karena merasa hebat dengan perbuatannya serta merasa ia sendiri yang kuasa melakukan semua itu.

       17

Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h. 10-12.  

53

Jadi wahdaniyat-Nya Allah pada af’al yang diajarkan oleh ‘Abdurrahman Shiddîq punya dua muara. Pertama meluruskan akidah agar tetap berada di jalur Ahlussunah wal Jama’ah dan tidak cenderung kepada Qadariyah atau Jabariyah sebagimana ditekankan dalam pendahuluan kitabnya, kedua menumbuhkan tasawuf amali agar pada diri manusia terhindar dari sifat-sifat tercela.18

Syaik Abdurrahman Shiddîq lebih jauh menjelaskan bahwa segala perbuatan, apakah itu terjadi pada diri sesorang maupun di luar dirinya, tidak terlepas dari perbuatan yang bersifat mubasyarah dan tawallud

(terlahir). Contoh perbuatan yang bersifat mubasyarah (langsung) menurut dia, ialah terjadinya gerakan pena di tangan seorang penulis, artinya gerakan pena itu terwujûd disebabkan oleh adanya gerakan tangan penulis yang mubasyarah (langsung) dengan gerakan pena. Sedangkan contoh perbuatan yang bersifat tawallud (terlahir) ialah terjadinya gerakan batu yang lepas dari tangan pelempar; artinya terjadinya gerakan batu karena

tawallud (terlahir) dari pelempar19.

Menurut dia, perbuatan yang bersifat mubasyarah (langsung) dan yang bersifat tawallud (terlahir), kedua-keduanya pada hakikatnya adalah

af’al (perbuatan) Allah Swt. Adapun perbuatan manusia atau mahluk, baik ia bersifat mubasyarah (langsung) maupun bersifat tawallud (terlahir) hanya bisa dipandang sebagai perbuatan majazi (semu).20

       18

Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h 10-12. 19

Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, , Risalah Amal Ma’rifah, h 12 20

Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, , Risalah Amal Ma’rifah, h 13  

Pendapat ini hampir mirip dengan pendapat Muhammad Nafis yang menjelaskan sebagai berikut, apabila salik membiasakan musyahadah

(memandang) berbagai macam perbuatan pada hakikatnya hanya satu (tauhid al-af’al), dan pandangan itu diyakininya sepenuh hati (tahqiq), maka ini akan terlepas dari syirik khafi (syirik tersembunyi) sebagaiman tersebut di atas, dan pada akhirnya salik akan dapat memandang bahwa semua perbuatan majazi (semu) yang lenyap atau sirna (fana’) di dalam perbuatan Allah yang hakiki, bagaikan sinarnya cahaya lampu di dalam sinar matahari yang terang benderang, bila salik mau terus berlatih dengan cara pandang (mubasyarah) demikian, sedikit demi sedikit dengan tidak membaurkan antara pandangan syari’at dengan pandangan hakikat, maka ia akan sampai pada peringkat (maqam) yang dinamakan maqam

wahdaniyah af’al. Pada tingkat ini menurut Muhammad Nafis, seorang salik sudah mampu melenyapkan (memfana’kan) dirinya di dalam perbuatan Allah Ta’ala yang Maha besar.21

Pendapat Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq ini juga tentang tauhid al-af’al ini, bila diteliti rujukannya agaknya cenderung kepada pendapat Junaid al-Baghdadi, yang membagi tauhid untuk ‘awam dan untuk orang

khawwas. Berkenaan dengan tauhid khawwas menurut beliau adalah bila seseorang mampu mengesakan Allah dengan keyakinan bahwa manusia itu hanya laksana bayang-bayang di hadapan Allah, segala yang berlaku pada

       21

Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 100.

55

aktivitas, perbuatan manusia adalah ketentuan yang berlaku atas kuasa Allah, karena dalam pengesaan Allah itu manusia telah fana’ dari dirinya dan dari segala yang lainnya, dengan memandang kepada hakikat wujud dan keesaan Allah. Hilang lenyap perasaan indrawi manusia dan perbuatannya, sebab yang berlaku hanyalah af’al dan kehendak Allah saja dan eksistensi manusia itu seperti tidak ada.

Dengan demikian pada aspek wahdaniyah af’al ini, Syaikh‘Abdurrahman Shiddîq tidaklah mengajarkan wahdah al-wujûd

(tauhid wujûdi), tapi lebih kepada wahdah al-syuhûd (tauhid syuhûdi). Hal ini karena kesatuan af’al yang berasal dari Allah itu hanyalah pada hakikat dan pada pandangan batin, tanpa mengenyampingkan af’al atau usaha dan ikhtiar manusia. Sebab kewajiban manusia menjalankan syariat.22

Dokumen terkait