• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep tauhid Syaikh' Abdurrahman Shiddiq dalam kitab 'amal ma'rifah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep tauhid Syaikh' Abdurrahman Shiddiq dalam kitab 'amal ma'rifah"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi D

Diajukan keepada Fakulltas Ushuludddin dan Fillsafat untukk Memenuhii Persyarataan Memperroleh Gelarr Sarjana Fillsafat Islamm (S.Fil.I)

 

D

Disusun Oleeh:

ISMA

F

PROGR

FAKULTA

UIN

AIL YUHA

AIDIR

10

060331011

126

RAM STU

UDI AQID

DAH FIL

LSAFAT

AS USHU

ULUDDIN

N DAN F

FILSAFA

AT

N SYARIIF HIDAY

YATULL

LAH

JJAKARTA

A

(2)

LEMBARAN PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk untuk memenuhi salah satu peersayaratan memperoleh gelar Strata Satu di UIN Syarif Hidayatullah;

2. Semua sumber yang telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 16, September 2010

(3)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)

Oleh;

ISMAIL YUHAIDIR NIM: 106033101126

Pembimbing;

Dr. Sri Mulyati, M.A NIP: 19560417.198603.2.001

PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “Konsep Tauhîd Syaikh‘Abdurrahman Shiddîq dalam Kitab

‘Amal Ma’rifah”: telah diujikan dalam siding munaqasah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tangga 16 September 2010 M. skripsi ini telah diterima sebagai salah satu Syarat memperoleh gelar Sarjana Filsafat Islam(S.Fil.I) pada program studi Aqidah Filsafat.

Sidang Munaqasyah

Jakarta, 16 September 2010

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Dra. Tien Rohmatin, MA NIP: 19610927.199303.1.002 NIP: 1968093 199403.2.002

Anggota,

(5)

Kpd Yth,

Ketua Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Assalamu’alaikum. Wr. Wb.

Salam sejahtera saya sampaikan semoga Bpk selalu dalam keadaan sehat dan dalam lindungan Allah Swt.

Selanjutnya saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Ismail Yuhaidir

NIM : 106033101126

Fak/Jur/Smstr : Ushuluddin/Aqidah Filsafat/IX Program : Reguler

Sudah mengikuti ujian skripsi pada tanggal 16 September 2010 dengan ini bermaksud mengajukan permohonan mengikuti wisuda sarjana ke-81 di karenakan sedang mengerjakan revisi skripsi dengan membutuhkan waktu sampai tanggal 16 November 2010 sehubungan batas akhir wisuda sarjana ke-81 di fakultas sampai tanggal 4 oktober 2010.

Demikianlah surat permohonan ini saya buat, terima kasih atas segala perhatiannya.

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

Ketua Juruan Aqidah Filsafat Pemohon

(6)

ABSTRAKSI

Ismail Yuhaidir dalam hasil penulisan dan penelitiannya skripsi pada tugas ahkir syarat kelulusan UIN Syarif Hidayatullah dengan judul “ Konsep Tauhîd Syaikh Abdurrahman Shiddik dalam kitab ‘Amal Ma’rifah,”Tokoh Ulama’ Bangka” di bawang bimbingan Dr. Sri Mulyati, M.A.

Syaikh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari, Mufti Kerajaan Indragiri Riau adalah salah seorang buyut dari Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Beliau adalah seorang ulama besar yang hidup pada tahun 1857-1939 M, sangat terkenal di Pulau Bangka. Dia adalah tokoh ulama yang telah membawa perubahan kultur keberagamaan di Bangka.dia juga telah banyak mencetak kader-kader ulama di kepulauan Bangka yang sampai sekarang nilai-nilai perjuangannya di kenang oleh banyak masyarakat, bahakan namanyapun di abadikan di sebuah perguruan tinggi di Bangka yaitu STAIN Syaikh Abdurrahman Shiddiq. Salah satu karya tulisnya yang populer adalah risalah

Amal Ma’rifah. Kitab ini disusun oleh beliau untuk menjadi tuntunan bagi orang-orang yang mencari ilmu-ilmu kesempurnaan di zaman itu, sebab sedikit sekali guru tasawuf yang alim dan mampu mengajarkan tasawuf secara benar. Kitab ini juga sering dijadikan rujukan serta diajarkan oleh ulama atau guru-guru agama di Bangka, dan ada kecenderungan kitab ini diidentikkan dengan kitab al-Durr al-Nafis karya Syekh Muhammad Nafis al-Banjari, serta dianggap bernuansa ajaran wahdat al-wujud. .

Maka dari itu sangatlah penting bagi penulis untuk mengangkat pemikiran Sayikh Abudrrahman Shiddiq dalam karya tulisnya Amal Ma’rifah

mudah-mudahan nantinya dapat mendorong kita untuk lebih memahami hakekat dari nilai ketuhanan yang kita jalani selama ini. Karena bagi penulis pemikikran Syaikh Abudrraman Shiddik cukup memberikan pencerahan yang sangat luar biasa dalam mengesakan Allah Swt.

(7)

Untuk ini begitu besar rasa syukur yang terus menerus penuliskan haturkan atas nikmat, rahmat dan hidayah yang telah diberikan Allah Swt kepada hamba yang lemah ini. Sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan penuh kemudahan dan kelancaran. Shalawat serta salam tidak lupa penulis senandungkan kepada junjungan Nabi akhir zaman beliau bernama Nabi Muhammad Saw.

Perjalanan ini seungguh panjang namun berasa singkat sekali, tak terasa semenjak masuk pada angkat tahun 2006 dan berakhir pada tahun 2010. Tak terasa kini akan berakhirlah masa studi di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini untuk stara S 1 pada Jurusan Aqidah filsafat.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari banyak sekali kesulitan dan hambatan yang dihadapi, serta penulis menyadari penulisan skripsi ini jauh dari sempurna, masih banyak sekali perbaikan-perbaikan dalam penulisan ini. apalagi data yang penulis kaji mengenai tokoh ini referensinya masih sangat minim sekali.

Selanjutnya penulis ingin sekali mengucapakan ribuan terimakasih tiada terhingga dan seakan kebaikankan semuanya tak dapat saya balaskan dengan apapun juga, mudah-mudahan apa yang telah mereka berikan selama ini dibalas oleh Allah Swt dengan setimpal dan ilmu yang saya dapatkan menjadi ilmu yang bermanfaat untuk ummat dan kemaslahatan agama. Saya tujukan ucapan terima kasih itu kepada kepada:

1. Ibu Dr. Sri Mulyati, M.A , sebagai Dosen pembimbing skripsi, yang telah mengarahkan sehigga terselesainya skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Zainun kamal, M.A, sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin, beserta jajarannya, pembantu Dekan I, II, III, mudah-mudahan dapat membawa Fakultas Ushuluddin menjadi Fakultas terdepan.

(8)

3. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.A, beserta Ibu Dra. Tien Rohmatin, M.A, baik selaku Ketua Jurusan dan Sektretaris jurusan maupun dosen yang telah banyak membatu dalam kelancaran proses selama kuliah.

4. Kedua orang tuaku, Ba’ ku Mi’an dan Emakku Marfu’ah, yang selalu memberi motivasi dan do’anya yang tak terhingga, doa itu mengalir dengan begitu derasnya bagaikan air mengalir sehingga mengantarkan daku pada gerbang kesuksesan dalam menempuhkan studi di kampus tercinta ini.

5. Kepada ayunda-ayundaku dan abangku tercinta, Siti Aminah, Nur Laila, Zaleha, Ridwan, terimakasihku selalu yang menyayangi adiknya yang manja ini, sehingga termotivasilah semangat diri ini untuk terus memberikan yang terbaik buat keluarga.

6. Tokoh masyarakat Bangka Belitung, terkhusus Masyarakat Desa Puding Besar. Terimaksih dorongan agar saya cepat menyelesaikan studiku, agar cepat balik kekampung halaman untuk mengabdi buat masyarakat di kampung.

7. Teman-teman seperjuanganku, Ali Ma’mun, Diah, Husen, Anwar, Euis, Mahbub, Kholik, Reyhan, Hasbullah, Adan, Fahmi, Tofik, Farid,

8. Teman-teman seperjuanganku di PAMALAYU BABEL, Joko Wasono, Rudy, Fahri, Zul, Budiman, Ican, Febri,

9. Keluarga Besar, KOMFUF, BEM-F Ushuluddin, BEM-J AF selamat berjuang sampai ketemu nanti di gerbang kesuksesan yang lebih cemerlang bermanfaat untuk agama dan bangsa nantinya, amin.

Jakarta, 02 September 2010

Ismail Yuhaidir

(9)

KATA PENGANTAR ... ii

DAFATAR ISI ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 7

C. Metode Penelitian ... 8

D. Tujuan Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II. BIOGRAFI SYEKH ABDURRAHMAN SIDDIQ ... 13

A. Riwayat Hidup dan Perjuanganya ... 13

B. Karya-karya Syaikh Abdurrahman Siddiq ... 29

BAB III. PENGERTIAN TAUHID DAN PERKEMBANGAN ISLAM ... 35

A. Pengertian Tauhid dan Perkembangan Islam ... 35

B. Perkembangan Islam di Bangka ... 38

BAB IV. POKOK-POKOH TAUHID SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIQ ... 42

A. Pengertian , Syari’ah, Tarekat, Hakikat, Ma’rifah ... 42

1. Pengertian Syari’ah ... 42

2. PengertianTarekat ... 43

3. Pengertian Hakikat ... 44

4. Pengertian Ma’rifat ... 45

B. Konsep Pengesaan Allah dengan Afal-Nya, Asma-Nya, dan Dzat-Nya ... 49

1. Tauhid Af’al ... 49

(10)

2. Tauhid Asma’ ... 55

3. Tauhid Sifat ... 60

4. Tauhid dzat ... 68

BAB V. PENUTUP ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 78

(11)

ب b د d ص sh ف f و w

ت t ذ dz ض dh ق q ﻩ h

ث ts ر r ط th ك k ء `

ج j ز z ظ zh ل l ي y

ح h س s ع ‘ م m ة ah, at

Vokal Panjang Vokal Pendek

vi

ا â = a

ى î = i

و û = u

Dibatas â و

ْى î

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tauhid adalah salah satu ajaran pokok Islam yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW. Bahkan, umum dikatakan bahwa ajaran tauhid merupakan dasar dari segala dasar kebenaran, serta merupakan akar tunggang dari ajaran Islam.1

Tauhid juga merupakan suatu kumpulan kepercayaan atau keyakinan. Adapaun pokok-pokok keyakinan adalah iman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, iman kepada malaikat-malaikat-Rasul-Nya, iman kepada kitab-kitab Rasul, iman kepada adanya Hari Kebangkitan, serta iman kepada qadla dan qadar.2

secara historis, paham ketauhidan pada dasarnya sudah ada semenjak diturunkannya Nabi Adam as ke muka bumi ini. Namun demikian, seiring berjalanannya proses dialektika sejarah kehidupan manusia, konsep tauhid ini pun secara berangsur-angsur mengalami sebuah distori pemahaman yang tentunya bertentangan dengan apa yang telah diajarkan dan dimaksudkan oleh Nabi Adam as.3 oleh karena itu, hadirnya Nabi Muhammad ke muka bumi ini sebagai utusan Tuhan yang terakhir berupaya menyempurnakan konsep tauhid tersebut berdasarkan nilai-nilai ajaran yang telah diwahyukan Tuhan

      

1 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Tafsir al-Azhar Sebuah Telaah atas Pemikiran Hamka dala Teoligi Islam ( Jakarta: Paramadina, 1990),h4

2 Ibn Taymiyyah, al-Aqidah al-wasathiyyah, (Beirut, Dar al-A'rabiyyah wa an-Nasrhr, tth)h.5

3 Taib Tahir Abd Mu'in, Ilmu Kalam (Jakarta: Penerbit Widjaya, 1975), cet., ke-3, h.15

(13)

kepada-Nya yang belakangan terdokumentasikan dalam sebuah “kitab suci” atau al-Qur'an.4

Dalam agama Islam, ada ajaran yang jelas dan tegas yaitu ajaran ketuhanan Yang Maha Esa. Agama ini selalu menjelaskan bahwa seluruh semangat ajarannya berpusat pada paham ketuhanan Yang Maha Esa, yang secara spesifik disebut dengan istilah tauhid. Sepanjang ajaran Islam, tauhid itulah ajaran ketuhanan Yang Maha Esa secara sebenarnya, yang pengajarannya secara sistem dimulai dari Nabi Ibrahim, nenek moyang bangsa Israel (Yahudi) dan bangsa Arab (terutama Quraysy).5

Awalnya, tauhid yang merupakan pokok keyakinan bagi muslim tersebut bersumber pada nash yang bersifat naqli. Namun dalam perkembangannya, tauhid sebagai sebuah ilmu berkembang tidak hanya terbatas pada kawasan dalil naqli belaka, tetapi juga menambah kawasan dalil 'aqli. Perkembangan ilmu tauhid yang menggunakan landasan rasional tersebut terkadang disebut pula sebagai ilmu kalam, ilmu tauhid (ilmu kalam) tersebut juga memberikan suatu jalan bagi alasan rasional dan logis tentang pokok-pokok kepercayan Islam terhadap argumentasi yang dikeluarkan oleh para perusak aqidah Islam, seperti para orientalis yang berusaha mengaburkan konsep tauhid dengan tujuan agar umat Islam memiliki keraguan terhadap doktrin tauhid, sehingga diharapkan mereka menjadi murtad.

      

4 Taib Tahir, Ilmu kalam, h.16

(14)

3

Dalam urusan menganut sebuah paham keislaman. Islam tidak membolehkan ada pemaksaan dalam bentuk apapun. Tugas Islam adalah menyeru kepada kebaikan, sepanjang ajaran Islam adalah berarti memenuhi konsekuensi paham tauhid secara benar, menurut keyakinan Islam, Tuhan yang Maha Esa sendiri mengajarkan, melalui wahyu-Nya, yaitu al-Qur'an, bahwa kita harus menganut prinsip tidak boleh ada paksaan dalam agama.6 Tauhid merupakan bidang kajian penting dalam Islam yang mengupas pokok-pokok agama (ushul ad-din). Hal tersebut mencakup kumpulan kepercayaan ('aqaid) yang harus diimani oleh setiap Muslim. Dengan katalain, tauhid merupakan aspek penting bagi ummat Islam.

Tauhid memiliki hubungan yang erat dengan aspek Ibadah. Ibadah dalam arti sebagai suatu penghambaan diri kepada Allah SWT dengan menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Hal tersebut juga merupakan hakikat dari agama Islam, karena makna Islam adalah penyerahan diri kepada-Nya dengan penuh rasa kerendahan diri dan penuh rasa cinta. Ibadah juga berarti segala perkataan dan perbuatan, baik secara lahir maupun batin, yang dicintai dan diridhai oleh Allah SWT. 7

Berangkat dari hal tersebut, perlu kiranya kita mengetahui masuknya Islam di Indonesia agar kita dapat memahami perkembangan dan penyebaran Islam di ranah Indonesia yang kita tempati ini. Ada beberapa pendapat mengatakan bahwa yang membawa masuknya Islam ke Indonesia adalah

      

6 Nurcholis Madjid, Cita-cita Politik Islam era Reformasi, h. 77

(15)

orang-orang India, ada yang mengatakan orang Persia, ada yang mengatakan orang Arab. Masing-masing pandangan memiliki argumentasi yang layak diperiksa dan teliti. Oleh karena permasalahan kita adalah masuknya tasawuf yang terkait dengan para pelopor dakwah Islam yang pertama itu, maka kita perlu memiliki informasi mengenai ini, baik kebangsaan mereka, aliran keagamaan, maupun tarekat, dan metode yang digunakan untuk memperkenalkan Islam kepada para penduduk di wilayah itu.8

Sedangkan dalam perkembangan studi-studi Islam di Indonesia, terdapat kecenderungan yang kuat bahwa dikotomi Islam tradisional-modern digunakan sebagai alat analisis. Tidak jarang, kajian Islam tradisional cenderung dikesampingkan atau paling tidak, kurang mendapat perhatian yang profesional. Padahal, dalam kenyataan, meskipun tidak ditemui data statistiknya, jumlah penganut Islam tradisonal di Indonesia jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah penganut Islam Modern. Ironisnya lagi, penelitian tentang Islam tradisional seringkali menggunakan perspektif dan standard ukuran Islam Modern sehinga melahirkan kekeliruan dan kesalahpahaman mengenai Islam tradisonal itu sendiri terkhusunya penyebaran agama Islam di kepulauan Bangka.9

Meskipun beberapa studi tentang Islam tradisonal sudah dilakukan tetapi kebanyakannya masih berpendirian bahwa Islam tradisonal itu merupakan entitas yang monolik, tanpa menunjukkan variasi yang terdapat di

      

(16)

5

dalamnya. Hal ini menunjukkan kekurangan nuansa analisis sehingga Islam tradisional hanya menunjukan kepada suatu pemahaman dan praktik keagamaan yang kontradiksi dengan Islam modern. Padahal, perbedaan kondisi sosiokultural suatu masyarakat akan melahirkan corak Islam tradisional tersendiri.

Dari sini perlu kiranya penulis mengkaji Konsep Tauhid Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq serta pengembangan Islam di Bangka. Dapat dilihat begitu besar pengaruh ajaran tasawuf Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq bagi masyarakat kepulauan Bangka. Hal tersebut dapat dilihat dengan berlangsungan kegiatan keagamaan di Bangka. Dalam hal ini penulis sedikit menguraikan tentang konsep Tauhid Syaikh Abdurraman Shiddik dalam kitab Amal Ma’rifah tasawuf yang beliau terapkan dalam metode dakwahnya.

Tokoh ulama yang bernama Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq al-Banjari cukup dikenal di kalangan masyarakat Kalimantan terkhususnya di kepulaun Bangka, sebab beliau merupakan salah seorang zuriat ulama besar Kalimantan Syaikh Muhammad ‘Arsyad al-Banjari, dan salah satu ulama yang masuk dalam entri Ensiklopedi Islam Indonesia.

(17)

yang cenderung menyimpang, disebabkan para tokohnya yang tidak memiliki dasar agama yang kuat dan hanya bertumpu pada khayalan dan alam kebatinan saja. Selain aktif berdakwah, ‘Abdurrahman Shiddîq juga aktif menulis, di antara karyanya yang terkenal adalah Amal Ma’rifah dan Syajaratul Arsyadiyah.10

Latar belakang ditulisnya kitab Amal Ma’rifah ini berangkat dari banyaknya orang yang menuntut ilmu ke berbagai wilayah Nusantara guna mencari ilmu-ilmu “kesempurnaan” dalam rangka mencapai martabat seorang muslim yang betul-betul taat kepada Allah SWT. Namun pada saat itu banyak aliran kalam dan tasawuf yang cenderung menyimpang, karena tidak menempatkan porsi syari’ah secara benar sehingga masyarakat cenderung menjadi fatalis (Jabari),

Kurangnya pemahaman suatu ajaran atau gagasan dari sebuah kitab tersebut, dapat merusak cara pemahaman mengenai paham tasawuf seseorang yang telah mereka konsepkan, bila saja pemahamanya salah maka akan berdampak negatif padahal konsep tasawuf yang mereka jadi rujukan tidak terlepas dari al-Qur‘an dan Hadits. Oleh karena itu, isi kitab tersebut perlu dikaji lebih menyeluruh lagi, sehingga diperoleh kejelasan yang lebih agar dapat dipertanggungjawabkan, dan terhindar dari kesalahan dalam memvonis ajaran seorang ulama. Karena bila hal ini sampai terjadi akan rusaklah reportasi seorang ulama di hadapan manusia.

      

(18)

7

Telah tertulis dalam kitab Amal Ma’rifah nampaknya bahwa Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq mengemukakan tentang konsep tauhid dan sufistik yang bernuansa Akhlaki ‘Amali paling jauh sampai kepada wahdah al-syuhûd, akan tetapi tidak sampai kepada wahdah al-wujûd meskipun ada sejumlah ungkapan yang mendekati ke arah itu. Hal ini karena pada saat itu setting sosial masyarakat banyak diwarnai paham wahdah al-wujûd, yang terlihat dengan banyaknya ajaran-ajaran yang mengarah kepada paham tersebut di masyarakat.11

Karena itu melalui penulisan skripsi ini, penulis berusaha untuk memaparkan kehidupan ‘Abdurrahman Shiddîq, kemudian naskah kitab yang menjadi objek penelitian, ajaran-ajarannya serta konsep tauhid sufistik dan tasawuf yang terkandung dalam risalah Amal Ma’rifah tersebut. Kajian seperti ini sepengetahuan penuli sangat sedikit sekali orang untuk menggali kilasan sejarah perjuangan ulama lokal dan memiliki kemampuan yang luar biasa seperti halnya ulama-ulama nusantara yang menyebarkan dakwahnya di ranah negeri yang memiliki corak ragam suku dan memiliki budaya yang berbeda-beda.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Penulis membatasi hanya pada permasalahan Tauhid Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq dalam kitab Amal Ma’rifah.

      

(19)

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, maka dapat dirumuskan: “Bagaimana Konsep Tauhid Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq dalam kitab ‘Amal Ma’rifah?”

C. Metode Penelitian

Dalam melakukan pembahasan metode yang di pakai adalah metode penelitian yang bersifat kepustakaan (Library Research), yaitu mengumpulkan buku-buku yang berkaitan dengan seorang tokoh yang diteliti, baik buku-buku karyanya sendiri sebagai data primer, maupun karya orang lain sebagai data sekunder.

Sumber primer adalah kitab Amal Ma’rifah buku ini menerangkan beberapa pendapat ahli ilmu tasawuf dan beberapa konsep tauhid yang beliau ajarkan, buku ini dicetak pada tahun 1332 H. Sedangkan sumber sekunder adalah Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq Mufti Iindargiri oleh H. M. Syafei Abdullah. Ensiklopedi Islam oleh dewan redaksi Ensiklopedi Islam. Seminar Hasil Penelitian Dosen Tahun 2007, Sya’ir Iabarah dan Khabar Qiyamah, (kajian Teks dan Kontekstual melalui pendekatan Teosentris dan Antroposentris).

(20)

9

dilakukan dengan mengemukakan pokok-pokoknya saja, sesuai dengan obyek yang diteliti. Dengan membandingkan ajaran tasawuf ‘Abdurrahman Shiddîq dengan teori-teori tasawuf terdahulu, maka akan diketahui ke arah mana kecenderungan corak, konsep atau pemikiran tauhid sufistik dan tasawuf ‘Abdurrahman Shiddîq. Adapun tehnik penulisan ini, penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) oleh Penerbit CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, cetakan ke-II, April 2007.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penulisan karya ini sebagai sebuah tugas akhir untuk melengkapi persyaratan kelulusan studi Strata Satu (SI), adalah bahwa penulis mencoba memahami pemikiran Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq mengenai ajaran tawasuf yang berkembang di Bangka. Sehingga nantinya dapat disusun mengenai ajaran beliau tentang dunia kesufian agar dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan dunia pemikiran. Lebih penting lagi penulis ingin mengangkat ulama daerah yang namanya belum begitu tenar seperti halnya ulama-ulama tasawuf nusantara.

E. Tinjauan Pustaka

Adapun karya-karya yang membahas tentang Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq sepengetahuan penulis adalah:

(21)

berisikan bantahan terhadap anggapan orang yang menilai bahwa ‘Abdurrahman Shiddîq penganut tasawuf wahdah al-wujûd.

Tulisan M. Arrafie Abduh berjudul “Corak Tasawuf ‘Abdurrahmad Shiddîq dalam Syair-Syairnya”, yang dimuat dalam Jurnal Penelitian Kutubkhanah, Volume III, diterbitkan oleh IAIN Sultan Syarif Qasim Pekanbaru Riau tahun 2000/2001, mengkaji pemikiran tasawuf ‘Abdurrahman Shiddîq al-Banjari lewat syair-syair yang telah beliau tulis.

Tulisan Muhammad Nazir berjudul “Kontroversi Sikap Ulama Tentang Eksistensi Ilmu Kalam dan Pandangan Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq al-Banjari”, yang dimuat dalam Jurnal Khazanah IAIN Antasari, Volume II, Nomor 3, Mei-Juni 2003, mengkaji dan mengungkapkan tentang pendapat dari ‘Abdurrahman Shiddîq terhadap eksistensi dan urgensi Ilmu Kalam, melalui salah satu karya tulisnya berkenaan dengan masalah tauhid, yang berjudul Aqaid al-Iman.

Namun dalam penulisan ini saya berbeda dengan penulis-penulis sebelumnya, adapun perbedaannya saya lebih menekankan pada pemikiran Tasawuf beserta konsepnya dalam pengenalan kepada Allah itu sendiri sehingga menguatkan keyakinan bagi siapa yang mendalami kitab Amal Ma’rifah ini nantinya. Dan sedikit penulis mengangkat kisah perjuangan beliau di kepulauan Bangka.

(22)

11

Dalam penulisan skripsi, penulis membagi pembahasan ke dalam lima bab, masing-masing bab mempunyai spesifikasi pembahasan menegnai topik tertentu, yaitu:

Bab I Pendahuluan, dimaksud untuk memperjelaskan latar belakang masalah yang menjadi inti pokok bahasan dalam skripsi ini, arah pembahasan dan tujuan yang hendak dicapai, pemfokusan pada segi-segi tertentu dalam pembahasan, metode penelitian dan sistematika penulisan. Sehingga jelaslah apa yang hendak diditeliti oleh penulis maksud dan tujuan dari penelitian ini.

Bab II Pemaparan tentang biografi Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq serta menjelaskan tentang Riwayat hidup beliau, sedikit mengungkapkan perjuangan beliau di Bangka untuk menyebarkan syi’ar Islam dan banyak sekali sekali karya-karya yang beliau tuliskan yang bisa di jadikan rujukan bagi mereka yang mau mengkaji pemahaman Islam secara mendalam.

Bab III dalam bab ini menjelaskan tentang pengertian tauhid itu sendiri dan perkembangn Islam di Bangka. Sehingga dengan ini dapatlah di mengerti begitu panjangnya sejarah perjalan Islam yang pada akhirnya di akui oleh banyak penduduk dunia, terkhususnya di Indonesia bila di lihat dari sejarah masuknya ajaran Islam dengan begitu kentalnya. Sama halnya ketika Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq menyebarkan konsep tawasuf yang beliau anut sangat banyak sekali tantangan yang beliau hadapi untuk menyebarkan Syarî‘ah Islam.

(23)

tentang pengertian Syari’at, Tarekat, Hakikat, Ma’rifah. Dan lebih pentingnya lagi pada bab inilah kita akan mengetahui konsep dan pemikiran tasawuf yang di jalankan oleh Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq dalam kitabnya Amal Ma’rifah. Mudah-mudahan nantinya dapat memberikan pencerahan bagi siapa saja yang membacanya.

(24)

BAB II

BIOGRAFI SYAIKH ‘ABDURRAHMAN SHIDDÎQ

A. Riwayat Hidup dan Perjuangannya

1. Kelahiran

Nama lengkapnya adalah Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq bin Muhammad Afif bin Muhammad bin Jamaluddin al-Banjari.1 Ia dilahirkan di Kampung Dalam Pagar Martapura Kalimantan Selatan pada tahun 1857 M pada masa pemerintahan Sultan Adam al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mu’tamidillah (1825-1857 M), dengan nama ‘Abdurrahman. Kemudian saat menuntut ilmu di Mekkah, oleh salah seorang gurunya Sayid Bakri Syatha, seorang ulama terkenal yang menulis kitab fiqh terkenal I‘anah al-Thalibin memberi nama tambahan dengan “Shiddîq” pada namanya, sehingga menjadi ‘Abdurrahman Shiddîq.2 Tidak ada informasi yang pasti tentang mengapa sang guru memberikan gelar itu kepadanya, tetapi cerita yang berkembang hingga sekarang ialah bahwa itu merupakan tanda penghargaan atas prestasi yang dicapaikannya dalam belajar, selain karena akhlaknya yang luhur.

Nama ayahnya adalah H. Muhammad ‘Afif bin Mahmud bin H. Jamaluddin, sedangkan nama ibunya adalah Shafura binti H. Muhammad Arsyad (Pagatan). Silsilah dari pihak ayahnya, bertemu pada Syeikh       

1

D. Sirojuddin Ar., Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Hoeve,1999), cet. Ke-6, h.27.

2

Syafie Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh H. A Rahman Shiddik Mufti Indragiri, (Pekan Baru: CV. Serjaya-Jakarta, 1982), h. 19.

(25)

Muhammad Arsyad al-Banjari dari istrinya yang bernama Gowat (Go Hwat Nio) seorang keturunan Cina. Dari istrinya ini Syaikh Muhammad Arsyad memiliki enam orang anak, di antaranya adalah Khalifah H. Zainuddin. H. Zainuddin kawin dengan Ambas melahirkan tujuh orang anak, satu di antaranya bernama Sari. Sari bersuamikan Mahmud dan melahirkan tujuh orang anak, satu di antaranya adalah H. Muhammad ‘Afif, orang tua dari ‘Abdurrahman Shiddîq. Silsilah keluarga dari pihak ibu juga bertemu pada Syeikh Muhammad Arsyad dari istrinya yang bernama Bajut. Bajut melahirkan anak yang bernama Syarifah. Syarifah bersuamikan Usman dan melahirkan Muhammad As’ad yang kawin dengan Hamidah dan melahirkan 12 orang anak. Salah satu di antara anak Muhammad As’ad dan Hamidah bernama Muhammad Arsyad. Muhammad Arsyad beristrikan ‘Ummu Salamah dan melahirkan tujuh orang anak, satu di antaranya bernama Shafura dan Shafura inilah ibu dari ‘Abdurrahman Shiddîq.3

2. Silsilah keturunan

Adapun keturunan Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq merupakan keturunan kelima dari Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari (1770-1812 M), pengarang kitab Sabil al-Muhtadin kitab agama yang terkenal dikalangan ummat Islam pada zaman itu.4 Adapun dilihat dari keturunan ayahnya, ia masih termasuk keluarga sultan Banjar. Ibunya Safura binti       

3

Syafie Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh H. A Rahman Shiddik Mufti Indragiri, h. 19

4

(26)

15

Syaikh H. Muhammad Arsyad bin H. Muhammad As’ad, adalah cucu Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, penulis kitab Sabilal al-Muhtadin (Jalan- Orang-Orang yang Mendapat Petunjuk)5. Kemudian apabila dilihat dari pihak neneknya, ‘Ummu Salmah, ‘Abdurrahman Shiddîq merupakan generasi keempat dari Syaikh Muhammad Arsyad, yakni ‘Abdurrahman Shiddîq bin Shafura bin ‘Ummu Salamah binti Pangeran Mufti H. Ahmad bin Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari.

Di lihat dari keturunan ayahnya, ia masih termasuk keluarga Sultan Banjar. Selain punya zuriat ke atas yang bertemu pada Syaikh Muhammad Arsyad, ‘Abdurrahman Shiddîq juga banyak melahirkan zuriat ke bawah melalui istri-istri yang pernah dinikahinya yang berjumlah sembilan orang, dan memiliki anak berjumlah 35 orang.

Menurut pengakuannya sendiri dalam Risalah Syajarah al-Arsyadiyah, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq dan sejumlah anaknya. Isteri dan anak-anaknya adalah sebagai berikut : 1. Nur Simah, di Mekkah, tidak mempunyai anak; 2) Fatimah di Belinyu tidak mempunyai anak; 3) Rahmah binti H. Usman mempunyai anak dua orang tetapi keduanya meninggal dunia dalam usia anak-anak; 4) Hajjah Salmah Amnati, mempunyai dua orang anak tetapi keduanya meninggal dunia dalam usia anak-anak; 5) Halimah binti Idris di Muntok Bangka, mempunyai anak delapan orang yaitu Shafura, Siti Hannah, Habibah, Raihanah, Hawa, Hamid Shiddîq, Siti Sarah, dan Siti Rahil; 6) Zulaikha, di Sungaiselan,       

5

(27)

mempunyai anak satu orang yaitu ‘Ummu Salmah; 7) Hasanah binti Muhammad Thayib, di Puding Besar Bangka, mempunyai anak delapan orang, yaitu Muhammad As’ad, Hafsah, Saudah, Muhammad Fatih, Shafiyah, Siti Ma Khair, Mahabbah, dan Afifah; 8) Aminah binti Muhammad Khalid mempunyai anak delapan orang, yaitu Aisyah, Muhammad Amin, Mahmud, Maimunah, Mariyah al-Qibtiyah, Zainuddin, Zainab, dan Muhammad Jamaluddin; 9) Fatimah binti H. Muhammad Nasir mempunyai anak enam orang, yaitu Khajidah, Balqis, Muhammad Thayib, Abdullah, Muhammad Arsyad, dan Ummu Hani. Anak keturunan Syaikh Muhammad Shiddîq tersebar di berbagai daerah tempat beliau pernah lama menetap seperti di Bangka dan Riau.

Dapat dilihat bahwa keturunan beliau diakui dalam ketangguhannya dalam menyebarkan syi’ar Islam, wajar bila saja sifat-sifat pengabdian untuk agamanya terus mengalir hingga keanak cucunya sampai sekarang ini.6

3. Pendidikannya

‘Abdurrahman Shiddîq sewaktu kecilnya tidak sempat lama diasuh oleh ibunya, sebab di usia baru dua bulan ibunya Shafura meninggal dunia. Selanjutnya beliau diasuh oleh adik ibunya (Mak Ciknya) bernama Sa’idah. Sa’idah adalah seorang wanita yang termasuk alim pada masa itu dan ‘Abdurrahman Shiddiq dididik mengaji dan mengenali Islam sedikit

       6

(28)

17

demi sedikit.7 Dalam masa pengasuhan ini dia tetap dipelihara dan dijaga oleh kakek dan neneknya yang sangat menyayangi beliau. Menjelang usia satu tahun, kakeknya yang bernama Mufti H. Muhammad Arsyad bin Mufti H. Muhammad As’ad di panggil kehadirat Allah Swt. Sejak kepergian kakeknya untuk selama-lamanya saat itu hingga dewasa ‘Abdurrahman tinggal dan diasuh oleh neneknya yang bernama ‘Ummu Salamah.

‘Ummu Salamah adalah seorang perempuan yang berilmu agama dan taat beribadah. Dalam pemeliharaannya inilah ‘Abdurrahman Shiddîq diajari membaca al-Quran dan setelah menjelang umur dewasa dia disuruh belajar oleh neneknya kepada guru-guru agama yang ada di Kampung Dalam Pagar guna memperluas pengetahuan agamanya.8

Setelah ‘Abdurrahman Shiddik menginjak dewasa, ia mulai belajar bahasa Arab dengan pamannya H. A. Rahman Muda dan sudah ada tanda-tanda kecerdasan yang ia miliki, sempat pada waktu itu ia disuruh untuk melanjutkan studinya keMakkah namun karena masalah biaya ia menunda keberangkatanya sehingga ia melanjutan studinya ke Padang (Sumatera Barat). Sewaktu belajar agama di Padang ini,9 ‘Abdurrahman Shiddîq sempat berguru dengan H. Muhammad Sa‘id Wali, H. Muhammad Khotib dan Syaikh H. ‘Abdurrahman Muda. Selama belajar di Padang       

7

Syafie Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh H. A Rahman Shiddik Mufti Indragiri h. 19.

8

Syaik ‘Abdurrahman Shiddîq, Sejarah Hidup, diakses pada 10 juli 2010, dari: http;//zuljamalie,blogdetik. Com/2009/07/17/36.

9

(29)

‘Abdurrahman Shiddîq bekerja membantu pamannya sebagai penjual emas yaitu sebagaimana lazimnya orang-orang Banjar Martapura yang terkenal keahlian mereka membuat barang-barang perhiasan pedagang emas, perak serta berlian. Untuk melaksanakan cita-cita melanjutkan studinya ke Mekkah oleh pamannya disuruh berdagang emas dan perak ke Barus dan Natal (Tapanuli Selatan). Setelah beberapa lama ia menjual barang dagang kepunyaan pamannya itu pulang pergi Padang-Tapanuli Selatan dengan mendapatkan hasil lumayan. Di samping itu juga ia sempat pula mengajar di Natal pada sebuah Surau. Disana ia mengajar kitab “Sabil al- Muhtadin” kitab ini adalah karangan kakeknya Syaikh H. Muhammad Arsyad Banjar. Namun ia tidak dapat untuk berdiam di Natal walaupun ia dipinta untuk mengajar dan menetap.hal ini terkendala ia masih memiliki keinginan untuk melanjutkan belajarnya ke tanah suci Makkah.10

Setelah menamatkan pendidikannya di Padang tahun 1882, tidak lama kemudian sekitar pada tahun 1889 beliau pergi menuntut ilmu ke Mekkah. Ada versi mengatakan beliau berangkat ke tanah suci tahun 1887 dari pulau Bangka Sumatera Selatan yang menjadi tempat kediamannya saat itu.11 Sebelum menuju tanah suci beliau singgah di Mentok (Bangka) untuk minta izin dan do’a restu dari ayahandanya yang telah bermukim di Mentok.

       10

Syafie Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh H. A Rahman Shiddik Mufti Indragiri h. 20.

11

(30)

19

Di Mekkah ia menuntut ilmu kepada para ulama besar yang membuka halaqah-halaqah pengajian agama di Masjidil Haram. Guru-guru tempatnya belajar di antaranya adalah Ahmad Khatib Minangkabau (dikenal sebagai pembaharu Islam di Sumatera Barat) Syaikh Said Bakri Syatha, Syaikh Said Babasyid, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dan Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani12. Selain itu ‘Abdurrahman Shiddîq juga giat mengaji agama di halaqah-halaqah yang ada di Masjid Nabawi di Madinah. Sedangkan teman yang seangkatan dengan beliau sama-sama mengaji di Mekkah pada masa itu ialah Ahmad Khatib (Minangkabau), Ahmad Dhamyati (Mufti Mekkah tahun 1912). Syaikh ‘Abdullah Zamawi, Syaikh Said Yamani, Syaikh Mukhtar, Abdul Qadir Mandailing, Syaikh ‘Umar Sumbawa, Awang Kenali (Kelantan Malaysia), Hasyim Asy’ari (Jombang), Syaikh Sulaiman Arrasuli ( Candung Bukittinggi) dan Syaikh Tahir Jalaluddin.13

‘Abdurrahman Shiddîq tinggal di tanah suci Mekkah dan Madinah selama tujuh tahun, lima tahun menuntut ilmu dan dua tahun mengajar (tahliah) di Masjidil Haram. Sebelum pulang ke tanah air untuk menyampaikan dan mengamalkan ilmu yang diperoleh atas izin dari pemerintah Kerajaan Saudi Arabia, ‘Abdurrahman Shiddîq sempat pula

       12

D. Sirojuddin Ar., Ensiklopedi Islam h. 27.

13

(31)

mengajar di Masjidil Haram dengan ilmu yang ia dapatkan selama belajar di sana.14

4. Kembali ke Indonesia

Kurang lebih dua tahun ia mengajar di masjidil haram Mekkah, beliau mengambil keputusan kembali ke tanah air (Indonesia). Mengingat di Indonesia pada masa itu masih terasa kekurangan guru agama, sedang di Mekkah sudah cukup banyak orang alim. Beliau berpendapat bahwa bila ilmu yang ia dapatkan selama di tanah suci akan lebih besar manfaatnya bila diamalkan di tanah air sendiri. Apalagi banyak dorongan sahabat-sahabat di tanah air untuk kembali ke tanah air dalam rangka melawan penjajahan Belanda yang bertujuan untuk memecahkan akidah ummat Islam.15

Dalam kepulangannya ke tanah air sebagian sahabatnya kurang setuju, terutama Syaikh Ahmad Khatib. Setelah selang beberapa waktu terjadilah keduanya saling tukar pikiran bagaimana menyingkapi akan hal ini sehingga mereka berdua bersepakat untuk kembali ketanah air. Setiba di Jakarta keduanya berpisah menuju daerahnya masing-masing. Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq menuju Kalimantan Selatan (Martapura). Sedangkan Syaikh Ahmad khatib menuju ke kota padang.16 Setelah delapan bulan berada di Kalimantan Selatan, Syaikh ‘Abdurrahman       

14

Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Sejarah Hidup, diakses pada 10 juli 2010, dari: http;//zuljamalie,blogdetik. Com/2009/07/17/36.

15

Syafie ‘Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh H. A Rahman Shiddik Mufti Indragiri, h. 21.

16

(32)

21

Shiddîq berangkat ke Batavia atau Betawi. Selama tiga bulan di sana. Kepergian dia kesana untuk menemui beberapa tokoh Sarikat Islam seperti H. Samanhudi dan ‘Umar said Cokroaminoto dalam rangka menjalin kerja sama dalam perjuangan meningkatkan martabat bangsa dan perjuangan memperoleh kemerdekaan melalui dakwah di daerah pedalaman dan terbelakang walaupun dia sendiri tidak menjadi anggota organisasi tersebut.17

Kemudian ia pergi ke Martapura (Kalimantan Selatan). Kurang lebih delapan bulan. Selama berada di Martapura beliau mengunjungi makam kakeknya H. Muhammad Arsyad sekaligus mengunjungi sanak famili dan handai taulan. Setelah sekian bulan ia tinggal di Martapura (Kalimantan Selatan) ia melanjutkan perjalanan ke Jakarta (1898) waktu itu Jakarta masih bernama Batavia. Ia menetap di Jakarta sekitar tiga bulan dan tinggal di rumah Syaikh Usman, beliau ditawarkan kedudukan mufti oleh Syaikh Usman untuk mengantikan kedudukan beliau. Namun tawaran ini ditolaknya karena ingin menetap di Bangka bersama ayahanda dan famili beliau.18

5. Berjuang dan Berdakwah di Bangka

Setelah sekian lama ia mendalami ilmu Agama ia memulai dakwahnya dengan mengajar ilmu agama di Mentok suatu kota kecil di pulau Bangka. Beliau berdakwah dari perkampungan pekampungan yang       

17

Zulkifli Harmi Dkk, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, (Sungailiat Bangka: Siddiq Press, 2006) h. 20.

18

(33)

berbeda-beda adapun sarana yang digunakan yaitu masjid, sesuai dengan tradisi penyebaran Islam di daerah Bangka tersebut. Adapun tujuan beliau berdakwah untuk memberantas syirik yang sedang melanda di daerah tersebut dan meluruskan akidah yang sedang dipercayai masyarakat setempat. Untuk menjawab tantangan tersebut beliau membuat sebuah tulisan yang ia beri nama “Amal Ma’rifah” buku ini selesai ditulis pada tahun 8 Rabiulawal 1332 H di Sapat Indragiri. Kitab ini ditulis sebagai tangkisan terhadap yang merusak akidah Islamiyah yang diperlengkap dengan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadits Rasulullah.19

Sebelum ke Bangka, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq berkunjung ke Batavia untuk bertemu temannya, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, yang akan kembali ke Mekkah. Pertemuan ini mereka manfaatkan untuk membahas tentang cara terbaik membina kehidupan ummat Islam di tanah air. Konon dia tinggal di kediaman Sayid Usman bin Yahya selama di Batavia. Sayid Usman adalah mufti Batavia dan tokoh kontroversial. Dia adalah teman dekat Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah kolonial Belanda untuk urusan pribumi dan Arab. Ada kabar bahwa Sayid Usman bin Yahya menawarkan jabatan mufti Batavia kepada Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq mengantikan dirinya tetapi Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq menolak jabatan tersebut. Mungkin berkat hubungan pertemanan

      

19

(34)

23

Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq dengan Sayid Usman inilah yang menyebabkan tersebar luasnya karya-karya Sayid Utsman di Bangka.20

Kedatangan Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq di Bangka semula tidak mendapat sambutan baik dari ayahnya karena ayahnnya telah mendengar kabar yang menyatakan bahwa Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq tidak belajar secara serius selama berada di Mekkah.21 Selama beberapa bulan berada di Muntok, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq tidak melaksanakan kegiatan pengajaran dan dakwah sama sekali kecuali tinggal di rumah dan bersilaturrahmi pada keluarga dan tetangga. Beliau tidak disuruh mengajar karena ayahnya belum begitu yakin bahwa Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq dapat menguasai kitab-kitab yang diajarkan ayahnya. Hal ini bermula ketika ayahnya jatuh sakit masyarakat mengusulkan agar Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq menggantikan ayahnya mengajar dipengajian tersebut. Setelah meneruskan kitab-kitab yang diajarkan yang diajarkan ayahnya. Dengan pengalaman mengajarnya di Mekkah dan didiskusinya dengan para ulama di Mekkah, Martapura, maupun Batavia, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq dapat menjelaskan materi kitab dengan baik dan menarik sehingga pengajian pun semakin bertambah. 22 Dan ketika ayahnya H. Muhammad Afif mendengar secara diam-diam baru dia yakin akan kemampuan anaknya. Sehingga akhirnya dengan besar hati H.       

20

Zulkifli Harmi Dkk, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, h. 50.

21

Zulkifli, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, h. 20.

22

(35)

Muhammad Afif memberikan kepercayaan kepada anaknya Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq untuk meneruskan pengajiannya.

Semua kegiatan dakwah dan pendidikan agama Islam yang dilakukan oleh Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq semula berpusat di Muntok. Tetapi kemudian kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan di kota-kota dan di desa-desa di Bangka seperti Belinyu, Sungaiselan, Kemuja, Kundi, Puding Besar dan Kotawaringin. Kegiatan dakwah dan pendidikan tersebut dipusatkan di masjid-masjid dan rumah-rumah penduduk karena pada masa itu belum terdapat lembaga pendidikan formal di Bangka. Kondisi seperti ini berbeda dengan Jawa yang terkenal dengan lembaga pesantren, atau dengan Aceh yang terkenal dengan dayah dan Minangkabau dengan suraunya. Namun demikian, pada masa Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq inilah penyebaran Islam berlangsung dengan pesat. Islam semakin berpengaruh dan berakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bangka.23

Sistem yang membedakan penyebaran dakwah keislaman di Bangka dan di daerah Jawa.Di Jawa biasanya penyebaran Islam diadakan di pesantren-pesantren sehingga sampai sekarangpun sistem ini terus berkembang dan sudah banyak diakui pemerintah sistemnya. Sedang pada masa itu penyebaran Islam di Bangka biasanya di adakan dari rumah ke rumah dari satu masjid ke masjid lainnya. Adapun alasan kenapa pengajian

       23

(36)

25

itu berpindah-pindah karena pada masa itu di Bangka belum ada pendidikan formal seperti sekarang, namun sekarang di Bangka telah banyak berdirinya pesantren-pesantren seperti di Jawa. Seperti pondok pesantren H. Nawi yang lebih condong pada pengajaran kitab kuning atau salafiahnya, dan pondok al-Ikhlas di Batu Rusa dan pondok pesantren Darur Abror Desa Kace, dan Pondok Pesantern Salafiah Bahrul Ulum Desa Kimak. Kegiatan dakwah Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq bermula di Muntok. Tetapi kemudian kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan di kota-kota dan di desa-desa di Bangka seperti Belinyu, Sungaiselan, Kemuja, Kundi, Puding Besar, dan Kotawaringin.

(37)

belas tahun sebagai ulama dan sebagai guru Agama dan akhirnya meninggalkan Bangka untuk melanjutkan dakwahnya ke wilayah yang lebih luas menuju kawasan Singapura dan Semenanjung Tanah Melayu.

Sebelum berangkat meninggalkan pulau Bangka (1910) H. Abdurraman Shiddîq telah menyelesaikan sebuah buku sya’ir yang bernama “Sya’ir Ibarah dan Khabar Kiamat” sebagai kenang-kenangan bagi masyarakat Bangka dan sekaligus untuk mengalihkan kegemaran masyarakat pada cerita-cerita dongeng yang tidak bermanfaat pada masa itu.

Ia juga menunjuk sepupunya, H. Muhammad Khalid, sebagai penggantinya menjadi guru agama dan melimpahkan kepercayaan kepada beberapa ulama untuk berdakwah dan mengajarkan agama Islam ke berbagai pelosok Pulau Bangka, beberapa murid Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq kemudian menjadi ulama terkenal di Bangka dan bahkan menjadi tokoh karismatis yang disegani pemerintah kolonial belanda24. Selain H. Ada juga seorang ulama bernama H. Khatamarrasyid salah satu murid Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq di daerah Belinyu. Ulama ini tidak hanya terkenal karena kedalaman pengetahuan agamanya tetapi juga karena kezuhudan dan kemuliaan akhlaknya. Selain itu, ia mempunyai banyak keistimewaan dan kekeramatan yang hingga saat ini masih diakui oleh masyarakat Bangka. Makamnya terletak di Bakik, daerah Jebus, masih

       24

(38)

27

ramai diziarahi orang baik sebagai kegiatan tahunan maupun dalam rangka memenuhi nazar ketika mendapat suatu keberuntungan atau terhindar dari suatu musibah dan bahaya. Ziarah ke makam tersebut dipandang dapat mendatangkan berkah yang senantiasa dicari masyarakat di Bangka. Dua ulama terkenal lain yang pernah menjadi murid Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq adalah H. Suhaimi dan H. Hasan Basri, dua saudara yang lahir di kotawaringin. Semasa hidupnya H. Suhaimi aktif berdakwah dan memberikan pengajian diseluruh pelosok pulau Bangka. Dia dimakamkan di Pemakaman Keramat Pangkalpinang. H. Hasan Basri aktif mengajar dan memberikan pengajian, selain menjadi sesepuh Pondok Pesantren Darussalam Pangkalpinang. Adapun murid terkenal lainnya adalah H. Usman yang Banyak melaksanakan kegitan dakwah dan pengajaran agama di daerah Bangka Tengah. Setelah belajar dengan Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, H. Usman bermukim di tanah suci untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam dan kemudian kembali menjadi ulama terkenal di Bangka. Setelah wafat dimakamkan di Desa Payabenua, kegiatan dakwah dan pengajaran agama dilanjutkan oleh anak-anaknya yang kebanyakan menjadi ulama dan tokoh agama yang disegani di daerahnya. Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq juga banyak mempunyai murid di Kemuja karena dia pernah menetap di desa tersebut.

(39)

pada awal abad XX Islam sudah semakin kuat pengaruhnya dalam kehidupan sosial dan masyarakat, baik yang pernah di Martapura (Kalimantan Selatan) dan Indagiri (Riau), maupun di Bangka beberapa putranya bahkan menjadi ulama dan tokoh agama terkenal di Bangka yang banyak melaksanakan kegiatan dakwah dan pengajaran agama Islam di Muntok, Pangkalpinang, Belinyu, Sungaiselan, salah seorang putranya adalah H. Muhammad Toyib yang tinggal di Pangkalpinang hingga wafat pada 1996. Dia adalah salah seorang ulama terkenal di Bangka yang memberikan pengajian di masjid-masjid di Pangkalpinag dan Desa sekitarnya.25

Setelah mengabdikan ilmu di Martapura, bersama keluarga dia pindah ke Sapat, Indragiri. ‘Abdurrahman juga mengadakan perjalanan dakwah ke Semenanjung Melayu pada tahun 1911. Di Sapat Indragiri pada tahun 1912 beliau membangun sebuah masjid dan pondok pesantren di tengah-tengah perkebunan kelapa. Di sana selain sebagai guru agama dan muballigh beliau juga dikenal sebagai petani kelapa. Lokasi pesantren tersebut dikenal sebagai kampung Parit Hidayat, yang kemudian berkembang menjadi locus pendidikan di daerah Riau seiring dengan kedatangan para santri dari berbagai pelosok Indragiri.

‘Abdurrahman Shiddîq juga pernah ditawari untuk menjadi Mufti di beberapa tempat. Pertama sewaktu singgah di Betawi ditawari menjadi

       25

(40)

29

Mufti Betawi, yang ketika itu dijabati oleh Syaikh Said Usman Betawi. Kedua, beliau juga ditawari oleh Sultan Kerajaan Johor menjadi Mufti, namun kedua tawaran itu ditolaknya. Tawaran untuk menjadi mufti di kerajaan Indragiri Riau pun baru diterimanya setelah pihak kerajaan memohon berkali-kali, yang mulai diembannya sejak tahun 1919 sampai wafatnya tahun 1939.

B. Karya-karya Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq

Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq salah satu ulama yang memiliki karya tulis yang cukup banyak dan bisa dikatakan ia adalah ulama ynag cukup produktif dalam karya tulisnya, di samping itu ia juga aktif dalam kegiatan pendidikan dan dakwah. Dia menulis tidak kurang dari delapan belas kitab yang mencakup beragam bidang ilmu agama Islam.26 Dapat juga dikatakan bahwa ia mendakwahkan ajaran-ajaran Islam di daerah-daerah di Bangka dan Indragiri melalui tulisan. Selain melaui lisan dan cara-cara konvensional.

Dari beberapa koleksi kitab-kitab yang beliau tulis tidak tersimpan disatu tempat tersendiri. Ini dikarenakan terjadinya agresi Belanda tahun 1948 yang memporak-porandakan kompleks pesantren di Indragiri yang merupakan tempat menyimpan seluruh koleksi kitabnya. Dalam peristiwa tersebut tidak semua kitab terselamatkan. Hanya saja seluruh kitab yang ditulis Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq telah tersebar di berbagai daerah di

       26

(41)

Bangka, Riau, atau di Kalimantan Selatan dan, oleh sebab itu, sebagian masih disimpan di rumah-rumah penduduk di daerah tersebut. Demikian juga, sejumlah tokoh, ulama, keturunnya sendiri masih menyimpan atau memelihara kitab-kitab ulama tersebut.27

Adapun dalam bidang penulisan, karya-karya Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq yang telah ditemui oleh tuan guru H. Wan Muhammad Saghir28 adalah sebagimana yang ada di bawah ini yaitu:

1. Asrarus Shalah, di selesaikan pada bulan rajab 1320 H. kandungannya membicarakan mengenai sembayang. Cetakan yang pertama matba’ H. Muhammad Sa’id bin H. Arsyad, kampong Silong, jalan Arab street, Kedai surat no. 82 Singapura. Akhir Dzulhijjah 1327 H. cetakan selanjutnya oleh Matba’ah al-Ahmadiyah, 12 jalan Sulttan Singapura, 1348 H/1929 M (cetakan ketiga).

2. Fath al-‘alim, diselesaikan pada 10 sya’ban 1324 H. Kandungannya membicarakan akidah ahlus sunnah wal jamaah secara lengkap, di cetak oleh mathba’ah al-Ahmadiah, 82 jalan Sultan, Singapura, 28 Syaban 1347 H/ 8 Januari 1929 M.

3. Risalah Tazkirah li nafsi wa lil qashirin mitsli, diselesaikan pada 20 Sya’ban 1324 H. kandungannya merupakan tazkiyah dan nasihat yang dipetik daripada majmu’ karangan Syaikh Muhammad Arsyad bin

       27

Zulkifli Harmi Dkk, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, h. 24.

28

(42)

31

Abdullah al-Banjari. Cetakan pertama, tempat cap H. Muhammad Amin, Singapura 1324 H.

4. Risalah Amal Ma’rifah, diselesaikan di Sapat Inderagiri, 8 Rabiulawal 1332 H. kandungannya membicarakan akidah menurut padangan tasawuf, cetakan kedua, 30 Muharam 1344 H oleh Matba’ah al-Ahmadiah, 50 minto road, singapura. (kitab inilah yang akan ditranslitkan untuk tatapan pengunjung blog al-fansuri-insyaallah).

5. Syair Ibarat dan Khabar Kiamat, diselesaikan 25 Zulhijjah 1332 H. kandungannya menceritakan peristiwa Hari Kiamat di tulis dalam bentuk syair. Dicetak oleh Matba’ah, 50 Minto Road, Singapura, 9 Syaaban 1344 H.

6. Risalah Kecil Pelajaran Kanak-kanak Pada Agama Islam, diselesaikan 1 Safar 1334 H. Kandungannya merupakan pelajaran fardu ain untuk kanak-kanak. Cetakan yang ketiga oleh Matba’ah al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura 1348 H/1929 M.

(43)

mukallaf seperti dikemukannya “fi hazihi rasalatun fi aqa’id al-iman allati tajibu ala al-mukallafin ma’rafatuha fardhan ‘ayniyyan”. Mukallaf yang dimaksudnya adalah orang-orang yang memiliki syarat Islam, balig, aqil.

8. Syajaratul Arsyadiyah, diselesaikan 12 Syawal 1350 H. Kandungannya membicarakan asusul Syaikh Muhammad Asyad bin Abdullah Banjari dan keturunan-keturunanya. Cetakan pertama oleh Matba’ah al-Ahmadiah, 82 jalan Sultan, Singapura.

9. Risalah Takmilah Qaulil Mukhtashar, diselesaikan 10 Shafar 1351 H. Kandungannya menceritakan tanda-tanda hari kiamat dan mengenai kedatangan Imam Mahdi. Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, dicetak kombinasi dengan Syajaratul Arsyadiyah (103 halaman) oleh pengarang yang sama, dan Risalah Qaulil Mukhtashar fi’Alamtil Mahdi Muntazhar (55 halaman) karya Syeikh Muhammad Arsyad bin ‘Abdullah bin ‘Abdullah al-Banjari. Kitab ini terdiri atas 33 halaman, buku ini disusun untuk menyempurnakan kitab Qawl al-Mukhtashar fi ‘Alamat al-Mahdi al-Muntazar (Perkataan Ringkas pada Tanda-tanda al-Mahdi al-Muntazar), karangan datuknya, Syaikh Muhammad Aryad Al-Banjari. Buku tersebut membicarakan tanda-tanda kiamat kubra (besar) yang diterjahkan ke dalam Bahaya Melayu oleh oleh Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq sendiri.

(44)

33

pertama oleh Matba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, 1355 H.

11. Dan beberapa kumpulan Khutbah yang beliau tulis. Di cetak oleh Matba’ah al-Ahmadiah, 101 Jalan Sultan, Singapura tanpa diketahui tahun cetakannya.

12. Majmu’ul Ayat wal Ahadits fi Fadhailil ‘Ilmi wal Ulama’ Muta’allimin wal Mustami’in, tanpa dinyatakan tarikh selesai penulisan. Kandungannya merupakan kumpulan hadits serta terjemahanya dalam bahasa Melayu. Dicetak oleh Matba’ah al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, 1346 H/1927 M.

13. Catatan, tanpa tarikh, ditulis dalam bahasa Arab dan Melayu. kandungannya merupakan beberapa catatan Syeikh ‘Abdurrahman Shiddiq mulai lahir malam Kamis, sebelum Subuh 1288 H/Juni/Juli 1871 M. wafat hari Senin, jam 5.40 pada 4 Syaban 1358 H/18 September 1939 M, dalam usia 70 tahun. Tahun 1306 H beliau ke Makkah. Tinggal di sana hingga tahun 1312 H. selain itu terdapat catatan kelahiran dan wafat anak-anaknya dan lain-lain.

(45)

menyimpang telah mewarnai karya-karyanya tersebut, dan ingin meluruskan praktek-praktek tasawuf dengan menekankan pada keharusan bagi setiap orang memiliki pemahaman yang kuat akan teologi dan fiqh sebelum memasuki dunia sufisme. Dalam hal tarekat, dia adalah pengikut dan guru tarekat, dia adalah pengikut dan guru Tarekat Sammaniyyah (yang dinisbahkan kepada diri Syaikh Muhammad Samman) sebagaimana kakeknya, Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari

(46)

BAB III

PENGERTIAN TAUHID DAN PERKEMBANGAN ISLAM

A. Pengertian Tauhid dan Perkembangan Islam

Tauhid, sebagai sebuah kata, telah melalui tahapan-tahapan perkembangan makna.1 Pada tahapan pengertian bahasa, kata tauhid berasal dari kata kerja “wahada yuwahhidu-tauhidan” yang berarti “menyatukan”. Maksudnya adalah mengesakan, yaitu mengesakan Allah Swt. Dalam lisan al-Arab. Kata tauhid diartikan dengan “percaya kepada Allah Swt. Sebagai satu-satunya Tuhan dan tidak berbuat syirik terhadap-Nya. “Tauhid adalah bentuk mashdar atau infinif dari kata kerja “wahada” yang merupakan derivasi dari akar kata “wahdah”.artinya keesaan.2 Perkataan tauhid berasal dari bahasa Arab itu kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan arti keesaan Allah3 sehingga kata mentauhidkan berarti mengakui keesaan Allah Swt.4

Pada tahap berikutnya pengertian tauhid mengalami perluasan makna. Tauhid ketika itu didefenisikan sebagai “mengesakan Allah Swt, sebagai Tuhan (rubûbiyah), sembahan (ulûhiyyah), dengan segala nama, sifat, dan perbuatan-Nya.5 Kata tauhid merupakan kata kerja (verbal noun) aktif (yakin, memerlukan perlengkapan penderita atau objek), sebuah derivasi dari kata “wâhid” yang

1

Ibrahim Muhammad al-Buraikan, Pengantar Studi Aqidah Islam. Ter (Jakarta : Rabbani Press, 1998) cet ke-1, h 7

2

Dewan Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, jilid v, cet Ke-3 h 90

3

Muhammad Ngafenan, Kamus Etologi Bahasa Indoneisa, (Semarang : Dahara Priza, 1990) cet ke-2 h. 171

4

Depdikbud, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pusaka, 1990) cet ke-3, h. 907-098

5

Ibrahim Muhammad al-Buraikan, h 7

(47)

artinya “satu) atau “Esa”. Maka makna harfiah tauhid adalah “menyatukan “ atau :mengesakan” hal-hal yang berserahkan atau terpecah-pecah seperti penggunaannya dalam bahasa Arab “tauhîd al-kalimah” yang berarti “mempersatukan paham” dalam ungkapan “tauhîd al-quwwah” yang berarti” mempersatukan kekuatan. 6

Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam, Tauhid diambil dari kata “wahada”, yang berarti “mengesakan”, menyatakan atau mengakui Yang Maha Esa. Sebuah pengakuan atas keesaan Allah Swt. Yang tidak dapat dibagi-bagi, yang mutlak, dan sebagai satu-satunya Yang Maha Nyata.7

Dalam teologi, kata ini berarti pernyataan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Swt.8 Sebagai istilah teknis dalam ilmu kalam (yang ciciptakan oleh para mutakalimin atau ahli teologis dialektis Islam), kata-kata tauhid dimaksudkan sebagai faham “memahaesakan Tuhan” atau lebih sederhananya faham “ketuhanan Yang Maha Esa” atau monoteisme. Meskipun bentuk harfiah kata tauhid itu sendiri tidak terdapat dalam al-Qur’an (yang ada dalam al-Qur’an adalah kata-kata “ahad” atau “wahid”) namun istilah ciptaan kaum mutakalimin itu memang secara tepat mengungkapakan isi pokok ajaran kitab suci itu, yaitu ajaran tentang “memahaesakan Tuhan: Bahkan secara jelas tauhid juga menggambarkan inti ajaran semua nabi rasul yang diutus untuk setiap kelompok

6

Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992) cet-2, h. 72

7

Cyil Glasse, Ensiklopedia Islam, h, 409

8

B. D. Mc Donald, Tauhid, dalam M TH Housma, et, all. Frist Encylopedia of Islam, leiden E. J. Brill, 1987) vol, 8,h, 704

(48)

37

manusia di bumi hingga kelahiran Nabi Muhammad Saw, yaitu ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa.9

Salah satu sumber penyebaran Islam di Indonesia adalah berawal dari berdirinya kerajaan Pasai. Kerajaan ini menjadi sentral penyiaran agama Islam ke berbagai daerah di sumatera dan pesisir pulau Jawa. Penyebaran Islam di Pulau Jawa, juga berasal dari kerajaan Pasai terutama atas jasa Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoro, yang ketiganya adalah abituren Pasai, Melalui keuletan mereka itulah berdirinya kerajaan Islam Demak yang kemudian menguasai Banten dan Batavia melalui Syarif Hidayatullah.10 Kemudian perkembangan Islam selanjutnya di jawa di kembangkan oleh para ulama yang sangat tinggi ilmunya yang lebih kita kenal dengan sebutan Wali Sanga atau wali Sembilan dari gelar tersebut cukuplah kiranya kita menyatakan bahwa mereka memiliki derajat kewalian yang sangat keramat.

Perkembangan Islam di Indonesia memiliki keterkaitan dengan penyebaran tasawuf di ranah Nusantara, penyebaran Islam di Nusantara tidak dapat dipisahkan dari tasawuf. Bahkan “Islam pertama” yang di kenal di Nusantara ini sesungguhnya adalah Islam yang disebarkan dengan pendekatan sufistik. Para penyebar Islam di Indonesia itu umumnya para da’i yang memiliki pengetahuan dan pengalaman tasawuf. Mereka juga banyak yang menjadi pengamal dan penyebaran tarekat di Indonesia.11

9

Nurcholis Majdjid, Islam, h. 72-73

10

Rosihon Anwar, Akhlak tasawuf, h. 27.

11

M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, h. 19.

(49)

B. Perkembangan Islam di Bangka

Mengenai masuknya Islam ke Bangka belum ditemui data yang dapat dipercaya, namun bila dilihat dari letak geografisnya yang berada di jalur lalu lintas yang menghubungkan Malaka, Sumatera dan Jawa, besar kemungkinan Islam sudah masuk kepulauan Bangka bersamaan dengan masuknya Islam ke Palembang atau Jawa. Bahkan, kalau komunitas Muslim sudah terbentuk di Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya, tidak menutup kemungkian bahwa pada masa itu sudah ada orang Muslim yang datang ke Bangka meskipun belum membentuk suatu komunitas. Perlu dicatat bahwa sudah sejak lama pulau Bangka menduduki posisi penting bagi Kerajaan Sriwijaya yang ditandai dengan didirikannya prasasti di Kotakapur pada tahun 686. Konon katanya Pulau Bangka kemudian menjadi benteng pertahanan Kerajaan Sriwijaya untuk ekspansi ke Majapahit dan Melayu. Namun, berberapa abad kemudian Pulau Bangka menjadi sarang bajak laut yang dikenal oleh masyarakat Bangka dengan sebutan lanun dan sampailah pada penyebaran Islam di Bangka secara meluas.12

Secara umum, Islam di Indonesia melalui pada dua jalur yaitu, Islam tradisional dan modern. Islam modern lebih mementingkan pemurnian dan pembaharuan aspek-aspek ajaran Islam sesuai dengan tuntutan kehidupan masyarakat modern, Sedangkan Islam tradisional cenderung memelihara dan mempertahankan tradisi Islam yang telah diterima secara turun temurun. Dua jalur agama tersebut sering kali terjadi perbedaan faham dan pendapat.13

12

Zulkifli, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, h. 11.

13

Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, terj h. 13

(50)

39

Menurut sejarah proses pengislamisasi di Bangka melalui lima jalur yaitu Jalur pertama lewat Johor (Malaysia) yang kedua melalui jalur Minangkabau, ketiga melalui jalur Banten, jalur keempat adalah Palembang, jalur yang terakhir adalah lewat Banjar (kalimantan Selatan) untuk lebih jelasnya lagi penulis akan menjelaskan ini dari tinjauan masa ke masa yang berkembang pada saat itu dengan sedikit dukungan info dari masyarakat setempat.

Jalur pertama melalui Johor (Malaysia) karena pada abad XVI ini, Bangka sudah menjadi persinggahan kapal-kapal yang meneruskan pelayarannya dari Malaka ke Jawa dan daerah Nusantara lainnya. Semenjak pulaun Bangka di bawah kekuasaan Kesultanan Johor yang sebelumnya bersekutu dengan Kesultanan Minangkabau dan berhasil menumpas bajak laut di Bangka di sinilah tampak adanya pengislamisasi secara intens dan terus berkembang. Di samping itu pula Sultan Johor kemudian mengangankat Panglima Sarah sebagai Raja Muda di pulau Bangka adapaun kedudukan kerajaannya terletak di Bangkakota. Tak lama setelah itu pasca wafatnya Panglima Sarah tampuk kekuasaan diserahkan kepada Kesultanan Minangkabau yang di pimpin oleh raja Alam harimau garang yang berkedudukan di Kotawaringin.

Jalur kedua ini tidak lepas dari pengabdian kesultanan Minangkabau, bahwa pada masa kekuasaan Raja Alam Harimau perkembangn Islam cukup cepat. Karena di samping Raja Alam Harimau sebagai seorang pemerintah ia juga sebagai tokoh alim ulama. Salah satu masjid yang dirikan beliau adalah masjid jamik yang berada di tikungan dekat sungai Kotawaringin. Beliau wafat di Kotawaringin dan makamnya tetap masih terjaga sampai sekarang, dicerita oleh

(51)

masyarakat sekitar ketika beliau berjuang dan mengabdikan dirinya di Pulau Bangka bertempat di Kotawaringin beliau adalah salah seorang yang sangat gigih dalam membina dan memimpin masyarakat sekitar. Sehingga sampai sekarangpun namanya selalu dingat oleh masyarakat sekitar.14

Jalur ketiga adalah Banten, nampaknya Banten memiliki peran penting dalam penyebaran Islam di Bangka ini dapat di lihat dari beberapa sejarah bahwa Banten juga mengambil peran penting dalam perjuangan pengislamisasi di Bangka. Peran penting ini diambil alih Sultan Agung Tirtayasa (1665-1692) dari Banten kemudian di tunjuklah Bupati Nusantara sebagai Raja Muda yang berkedudukan di Bangkakota. Degan demikikan Bangkakota kembali menjadi pusat pemerintahan, penyebaran Islam dan pengaturan masalah-masalah social kemasyarakatan di Bangka walaupun pada waktu itu pusat pemerintah sempat dipindahkan oleh Raja Harimau Garang.

Berikutnya adalah jalur keempat yaitu Palembang. Setelah Bupati Nusantara wafat pada tahun 1671, Putrinya Khatijah yang menjadi isteri Sultan ‘Abdurrahman mewarisi pulau Bangka dan sekitarnya. Pada masa Sultan ‘Abdurrahman memegang kekuasaan tersusunlah hukum adat yang dinamakan Undang-Undang Simbur Cahaya. Sedangkan untuk daerah Bangka terbitlah dan diberlakukan hukum adat uyang dinamai Undang-Undang Sindang Mardika15. Adapun kedudukanya ada di kota Muntok hukum ini hak penuh di pegang oleh Rangga, Rangga adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang mengepalai

14

Zulkifli, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, h. 10.

15

Zulkifli, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, h 13.

(52)

41

41

hukum tersebut. Hukum ini dapat berlaku bagi masarakat setempat dan hukum ini tidak hanya sebatas masalah perkara agama saja namun hukum ini memilki kekuatan untuk menentukan sampai kepada tututan kematian. Inilah awal berkembangnya islamisasi di Bangka.

Peroses islamisasi di Bangka tampak jelas setelah kedatangan ulama-ulama dari Banjar (Kalimantan Selatan). Pada jalur kelima inilah proses islamisasi berjalan intensif sejak pertengahan abad XIX. Salah satu tokoh ulama Banjar yang datang ke pulau Bangka adalah H. Muhammad Afif, namun data tak menemukan kapan beliau datang ke Bangka, dikisahkan banyaknya ulama Banjar merantau ke berbagai pelosok daerah karena pemerintahan Belanda ingin menghapus kesultan Banjar sehingga banyaklah terjadi pemberontakan. Pemberontakan yang dilakukan oleh masarakat Banjar selalu dapat dilumpuhkan oleh pemerintah Hindia Belanda sehingga sektor ekonomi lumpuh total dan keadaan semakin tidak aman.

H. Muhammad Afif adalah salah seorang ulama Banjar yang ikut pindah dan meneruskan dakwahnya untuk menyebarkan syi’ar-syi’ar Islam. Dan seterusnya dilanjutkan oleh anaknya yang lebih kita kenal dengan Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq tokoh yang tulis kaji konsep ajaran tasawufnya pada skripsi ini.16

16

(53)

BAB IV

POKOK-POKOK TAUHID SYAIKH ‘ABDURRAHMAN SHIDDÎQ

A. Pengertian Syari’ah, Tarekat, Hakikat, Ma’rifah

Sebelum berbicara tentang pemikiran tauhid dan tasawuf Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, perlu bagi kita mengetahui kedudukan syariat, tarekat, hakikat dan ma’rifah. Keempat unsur ini memang penting bagi keagamaan seseorang dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Beliau sudah menegaskan, syariat tanpa hakikat hampa dan hakikat tanpa syariat batil, sebagaimana pendapat Syaikh Abdul Qadir Jaelani yang menyatakan bahwa “tiap-tiap hakikat yang tidak meneguhi akan dia oleh syariat, maka itu adalah zindik”.

1. Pengertian Syarî‘ah

Dalam kitab amal ma’rifah di jelaskan bahwa barang yang ditiadakan oleh Allah SWT dari pada segala hukum ‘amar dan nahi dan lainnya, maka takluk ia pada anggota.1 Penjelasan disini adalah bahwa ketika sesorang menjalankan syari’ah hendaklah ia turut pada perbuatan hati dan tunduk menjalankan syari’ah-Nya. Adapun dalam pandangan Syaikh Ahmad Khatib al-Sambasi mengenai syariat adalah dimensi perundang-undangan dalam Islam. Ia adalah ketentuan yang telah

       1

Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, (Singapura: Matba’ah Ahmadiyah, 1929), h. 7.

(54)

43

ditetapkan Allah SWT. Sebagai al-Syari’ melalui Rasul-Nya Muhammad SAW. Baik yangberupa perintah maupun larangan.2

Syari’ah merupakan aspek hukum dalam Agama Islam (Islamic Law). Syari‘ah diartikan sebagai cara formal untuk melaksanakan peribadatan kepada Allah, yang biasa disebut sebagai rukun Islam, yang bersumber dari al- Qur’an dan Sunnah Rasul. Seseorang yang ingin memasuki dunia tasawuf harus lebih dahulu mengetahui secara mendalam tentang al-Qur’an dan Hadits. Sebab tanpa itu semua seseorang tidak akan mampu naik ke jenjang yang lebih tinggi. Bahkan menurut al-Ghazali, jika seorang sufi memasuki dunia tasawuf tanpa dibekali pengetahuan tentang syari’at, besar kemungkinan ia menjadi zindiq3.

2. Pengertian Tarekat

Adapun tarekat artinya jalan. Yakni jalan yang menyempurnakan syariat seperti taubat dan zuhud dan tawakkal dan sabar, dan ridho dan shiddîq, dan mahabbah dan zikrul maut (ingat akan mati) dan lainnya dari pada segala perangai yang terpuji, thariqat juga harus takluk atau bersandar pada hati dan dalam perbuatan nyata.4

Menurut Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq Dalam melakukan ibadah atau menjalankan syari’at kepada Allah seseorang akan mencari keridhaan Allah SWT. Maka diantara makhluk dengan khalik itu ada perjalanan hidup dan tata cara yang harus ditempuh sebagaimana yang telah tertera

       2

Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005), h. 322.

3

Hamka, Tasawuf, h. 201. 4

Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h. 7.

(55)

dalam agama. Perjalanan hidup itulah yang dimaksud dengan thariqat

(jalan). Atau yang dalam bahasa Arabnya dikenal sebagai sayr wa al-suluk, yang di dalamnya sesorang sufi akan menempuh berbagai tingkatan maqamah dan keadaan-keadaan batin (ahwal)

3. Pengertian Hakikat

Adapun pengertian Hakikat menurut Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, yaitu I’tiqad yang sebenarnya yang wajib dipercayakan sama

ilahiyat (ketuhanan) atau nubuwwat (kenabian) atau sam’iat (perkara-perkara ghaib yang diimani) yaitu tundukpada perbuatan hati.5 Sedangkan hakikat adalah dimensi penghayatan dalam pengalaman syariat yang ada. Dengan penghayatan atas pengalaman syariat itulah maka sesorang akan mendapatkan manisnya iman yang disebut ma‘rifah.6

Bila tarekat itu telah dijalani dengan segenap kesungguhan, maka akhirnya bertemulah dengan hakikat, yang merupakan tujuan dari perjalanan spiritual ini. Hakikat ialah mengetahui inti yang paling dalam dari sesuatu sehingga tidak ada yang tersembunyi baginya.

Pada tahap ini akan tercapailah apa yang dinamakannya kasyaf.

Yaitu terbukanya rahasia yang senantiasa menyelubungi, yang menjadi di antara hamba dengan Sang Khalik sehingga hamba bisa memperoleh kenyataan akan Tuhan. Di sini muncul dua pendirian yang merupakan perasaan yang didapat oleh ahli suluk. Sebagian merasa dalam perjumpaan

       5

Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h 8. 6

Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h 323.

(56)

45

tersebut, dirinya telah lenyap. Yang ada dan yang disaksikannya hanyalah

al-haqq. Di sinilah timbul paham hulul yaitu timbul kesatuan antara ‘Asyik

dengan Ma’syuk. Sebagian yang lainnya berpendirian bahwa yang mungkin terjadi hanya ittisal, yaitu perhubungan antara aku dan Dia. Antara mahluk dengan Dia Khalik. Tiada kesatuan antara Khalik dan makluk.7

4. Pengertian Ma’rifah

Dari segi bahasa ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya pengetahuan dan pengalaman. Dan dapat berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya.

Ma’rifah adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu dan segala yang maujud berasal dari yang satu.8

Dengan penghayatan atas pengalaman syari’ah itu maka seseorang akan mendapatkan manisnya iman yang disebut ma’rifah. Sedangkan Ma’rifah artinya pengenalan yang sempurna kepada Allah Ta’ala yaitu takluk pada sirr hati. Maka arti mengenal itu yaitu mengenal wahdaniah Allah Ta’ala pada af’al-Nya (perbuatan-Nya) dan pada asma’-Nya

(nama-       7

Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h 112. 8

‘Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1996), h. 220.

(57)

Nya) dan pada sifat dan pada dzat dengan i’tiqad yang yakin sekira-kira tetap pada i’tiqadnya tiada yang memperbuat sekalian kainat melainkan Allah Ta’ala dan tiada yang bernama didalam kainat hanya Allah Ta’ala. Dan tiada yang bersifat didalam kainat hanya Allah Ta’ala. Dan tiada yang maujud didalam kaina

Referensi

Dokumen terkait

ANAK DALAM ISLAM (Telaah Terhadap Terjemahan Kitab Athfaalul Muslimin Kaifa Robbaahum An Nabiyyul Amin Shalallahu ‘Alaihi Wassalam Karya Syaikh Jamal Abdurrahman) ” ini

Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari menjelaskan Hukum Nik ἇ h diwajibkan bagi orang yang sudah mampu dan amat besar keinginannya untuk itu, jika tidak segera dilaksanakan

Konsep pendidikan karakter menurut Syaikh Musthafa al- Ghalayaini dalam kitab Izhatun Nasyi‟in adalah usaha pembinaan nilai-nilai karakter baik yang sudah tertanam

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dampak pendidikan akhlak bagi Santri pada Kitab Washaya Al-Abaa‟ Lil Abnaa‟ karya Syaikh Muhammad Syakir (Studi Kasus di

Menurut Syaikh al- Zarnuji seorang peserta didik harus selalu bersyukur kepada Allah dan hendaknya juga memohon hidayah kepadaNya, karena Allah swt akan selalu

Skripsi yang berjudul “Kontribusi Syaikh Yasin Bin Isa Al-Fadani Dalam Perkembangan Kajian Hadis Di Indonesia Melalui Karyanya Kitab Al-Mujalah Fi Al-Hadis Al-Musalsal”

Nilai-nilai pendidikan tauhid dalam kitab Sullam At-Taufiq karya Syaikh Sayyid Abdullah bin Husain bin Thahir yang dapat penulis paparkan, yaitu pertama, nilai ilahiyah

Abdurrahman bin Muhammad Ali Dalam Kitab Kifayatul Mubtadi’in dan Relevansinya Dengan Materi Akidah Akhlak di Mdarasah Ibtidaiyah 1. Analisis Konsep Akidah Perspektif