• Tidak ada hasil yang ditemukan

POKOK-POKOK TAUHID SYAIKH ‘ABDURRAHMAN SHIDDÎQ

A. Pengertian Syari’ah, Tarekat, Hakikat, Ma’rifah

3. Tauhid Sifah

Dalam kitab Amal Ma’rifah tauhid sifat adalah bagaimana mengesakan Allah SWT pada sifat, yaitu jika engkau pandang dengan mata hati dan mata kepalamu dengan i’tikad yang putus bahwasanya Allah SWT sajalah wahdaniyah segala sifat, artinya asa pada bersifat kodrat dan

iradah dan ilmu dan hayat dan sama’ dan basar dan kalam dan lainnya, karena tiada ada dzat bersifat dengan yang tersebut itu pada hakikinya melainkan dzat Allah SWT dan dibangsakan sifat itu kepada mahluk yaitu hanya majaz saja bukan pada hakikinya. Dan engkau lihat sifat itu berdiri kepada mahkluk, maka apabila di pandang dengan haqqul yakin niscaya fana’lah sifat-sifat mahluk di dalam sifat Allah SWT yakni tiadalah kuasa

61

ia melainkan dengan qodrat Allah SWT dan tiada berkehendak ia melainkan dengan iradah Allah SWT hingga akhirnya. Maka ketika itu mufakatlah ma’rifah Engkau dengan al-Qur’an dan hadits beserta ijma’ ulama dalam firman Allah:

ا

ﺮ ﺪ ﺊ آ ﻰ ﷲا ن

“Bahwasanya Allah SWT yang amat kuasa atas tiap-tiap sesuatu” Dalam firman Allah SWT di dalam hadits qudsi menegaskan kembali tentang tauhid sifat ini :

إ بﺮ ﺎ

نْﻮ ﺮ ْا

ْ ْ ﺮ ْأﺎ ءادأ ْﺜ

لاﺰ و ْ ﻬ

يﺬ ا ْ ْآ ْ ْ أ اذﺈ أ ﻰ اﻮ ﺎ إ بﺮ ﺪْ ْا

ﻰ ا ﻩاﺪ و ﻄْ ىﺬ ا ﺎ و ﺮﺼْ يﺬ ا ﻩﺮﺼ و ْ

ا رو ﺎﻬ ﻄْ

ﺮ ْ يﺬ ا ْ و ﺎﻬ ْ

.

“Tiada menghampirikan oleh segala orang menghampirkan dirinya kepada Aku dengan seumpama mengerjakan barang yang Aku fardukan atas mereka itu dan senantiasa hamba-Ku menghampirikan dirinya kepada Aku dengan mengerjakan segala ibadah sunnah hingga Aku kasih akan ia, Maka apabila Aku kasih akan dia niscaya adalah Aku Pendengarnya yang mendengar ia denga dia, dengan pengelihtannya yang melihat ia akan dia, dan lidahnya yang berkata-kata ia dengan dia, dan tangannya yang memegang ia dengan dia dan kakinya yang berjalan ia dengan dia dan Aku hatinya yang berjuta-juta ia dengan dia.

Tingkatan tauhid sifat inilah kesudahan yang diharuskan dan yang dimaksudkan dan yang ditetapkan. Dan tiada yang melampaui dari pada maqam ini melainkan Saydina Muhammad SAW dan Ambiya dan Auliya yang di bawah qidamnya. Maka maqam yang di atasnya yaitu maqam tauhid dzat.28

Tauhid al-sifat, yakni fana’ (luluh)-nya seluruh sifat mahluk, termasuk dirinya sendiri, di dalam sifat Allat Swt. Sifat seperti qudrah

(berkuasa), iradah (berkehendak), ‘ilmu (mengetahui), hayat (hidup),

sama’ (mendengar), basar (melihat), dan kalam (berkata-kata), adalah sifat-sifat itu yang dimiliki Allah, sedangkan sifat mahluk hanyalah merupakan perwujudan dari sifat-sifat Allah, sebagaimana di katakan dalam oleh Muhammad Nafis Al-Banjari dalam kitabnya “seperti bahwa engkau lihat dan engkau musyahadahkan dengan hatimu dan iktikadmu bahwasanya sifat yang berdiri ia kepada dzat-Nya itu, yaitu seperti

Qudrah, dan iradah, dan ‘ilmu, dan hayah, dan sama’, dan basyar, dan

kalam, sekalianya itu sifat Allah Ta’ala, karena tiada ada dzat yang bersifat dengan segala sifat yang tersebut pada hakikatnya, melainkan dzat Allah Ta’ala jua, dan dibangsakan segala sifat itu kepada mahluk itu, yaitu madhar-Nya sifat Allah Ta’ala juga.29

Dalam wahdaniyah sifat, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq mengajarkan hanya Allah yang Esa pada segala sifat; dalam kudrah,       

28

Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah., h. 33-36. 29

Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan. h. 134.  

63

iradah, ilmu, hayah, sama’, bashar, kalam dan sebagainya. Tidak ada zat lain yang punya sifat seperti sifatnya Allah. Kalaupun ada makhluk punya sifat itu hanya majaz, hakikatnya hanya sifat Allah.

Dengan memiliki dan meyakini wahdaniyah sifat ini, seorang hamba akan mampu mencapai maqam fana fillah dan baqa‘ bisifatillah. Hamba akan beroleh ma’rifah dan Allah akan membukakan rahasia sifat-Nya yang mulia kepada hamba.

Pandangan demikian juga timbul karena penglihatan syuhûdi, bukan dalam realitas. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa ‘Abdurrahman Shiddîq menghilangkan eksistensi makhluk dan khaliq. Pengarang hanya menekankan tauhid al-Sifah ini pada segi zauqiyah (perasaan). Orang yang mencapai tauhid jenis ini merasakan mereka kehilangan diri dan sifat-sifat mereka dan merasa menyatu dalam sifat-Nya Tuhan.30

Dalam kitab Fath-‘Alim fi Tartib al-Ta’lim oleh Syaikh Abdurrahman Shdiddiq di sebutkan bermula fasal pada menyatakan berbagai sifat yang wajib kepada empat bagi ketahui olehmu bahwasanya sifat duapuluh itu terbagi ia kepada empat bagi pertama sifat nafsiah

artinya sifat yang dibangsakan kepada diri zat Allah Swt karena melazimi sifat itu baginya kedua sifat salbiah artinya sifat yang dibangsakan kepada meninggalkan karena bahwasanya qidam meninggalkan berpermulaan adanya dan baqa’ meninggalkan berkesudahan adanya hingga akhirnya ketiga sifat ma’ani yang berdiri dengan zat Allah Swt, keempat sifat

       30

Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h. 35-36.  

ma’nawiyah artinya sifat yang dibangsakan kepada makna yang berdiri bagi zat Allah Swt karena melazimi sifat ma’naiyah itu baginya syahdan sifat nafsiah itu satu wujûd dan takrifnya hiya al-hal al-wajibah li al-dzat ma damat al-dzat ghayr al-mu’allalatin bi ‘illatin artinya yaitu hal yang wajib bagi zat selama kekal zat tiada dikarenakan dengan suatu. Dan martabatnya maujud pada dzihn (rasanya) dan tiada maujud pada kharij

(luarnya). Adapun sifat salbiah itu ada lima sifat qidam baqa’ mukhalafatuhu ta’ala li al-hawadits qiyamuhu ta’ala binafsih dan takrifnya hiya ‘ibaratun ‘an nafsi ma la yaliqu bihi jalla wa ‘azza artinya yaitu ibarat dari pada menafikan barang yang tiada layak dengan Tuhan kita yang Maha Besar dan Maha Mulia. Adapun sifat ma’ani itu tujuh sifat

qudrah iradah ‘ilmu hayah sama’ bashar kalam dan takrifnya hiya kull shifatin mawjudatin qa’omatin bi mawjudin awjabat lahu hukman artinya yaitu tiap-tiap sifat yang maujud yang berdiri dengan zat yang maujud yang wajib baginya satu hukum yaitu hal ma’nawiyah dan martabatnya maujud pada dzihn dan tiada maujud pada kharij. Adapun sifat

ma’nawiyah itu tujuh sifat qadirun muridun ‘alimun hayyun sami’un bashirun mutakallimun dan takrifnya hiya al-hal wajibah li al-dzat ma damat al-dzat mu’allamatan bi ‘illatin artinya yaitu hal yang wajib bagi zat selama kekal zat yang dikarenakan dengan suatu karena yaitu sifat

ma’ani pada akal karena tiada terakal keadaannya yang kuasa melainkan

65

kemudian daripada terakal keadaannya yang kuasa melainkan kemudian daripada terakal kuasa hingga akhirnya.31

Dalam sebuah kitab Awaluddin sifat dua puluh di jelaskan secara ringkas bahwasanya sifat Allah yang wajib secara ijmali terbagi empat bagian sebagaimana berikut:

a. Sifat Nafsiah

Artinya ialah suatu hal yang wajib bagi zat Allah. Bersifat dengan sifat wujûd yaitu “ada” tidak dikarenakan oleh karena yang lain adapun sifat nafsiah itu hanya satu yaitu wujûd

b. Sifat Salbiah

Arti dari sifat salbiah, ialah menolak atau menapikan, segala macam sifat yang tidak layak pada zat Allah Ta’ala. Sifat salbiah itu terdiri dari lima yaitu qidam, baqo, mukholafatu lilhawadits, wahdaniyah, qiyamuhu binafsih

c. Sifat Ma’ani

Arti dari sifat Ma’ani ialah sifat yang maujud (ada) yang diri pada zat Allah yang maujud. Yang mewajibkan zat itu bersifat dengan suatu hukum sifat ma’nawiah. Sifat ma’ani ini terdiri dari tujuh sifat yaitu, qudrah, iradah, ‘ilmu, hayah, sama’, bashar, kalam.

d. Sifat Ma’nawiah

       31

Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Fath al-‘Alim Fi Tartib al-Ta’lim , (Singapura: Matba’ah Ahmadiyah, 1936), h. 7.

Arti dari sifat ma’nawiah ialah suatu yang tsabit, yang tetap bagi zat Allah bersifat dengan ma’ani, tegasnya anatara sifat ma’ani dengan sifat ma’nawiah jadi berlazim-laziman keduanya. Sedangkan sifat ma’nawiah ada tujuh sifat juga, yaitu, qodirun, muridun, alimun, hayyin, sami’un, bashirun, mutakallimun.32

Melihat dari ajaran wahdah al-wujûd yang dikemukakan oleh Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq ini agaknya juga dipengaruhi oleh pendapat Junaid al-Baghdadi. Dan pendapat ini juga searah dengan pendapat Hamzah Fansuri, menurut pandangan Hamzah Fansuri wujud itu pada dasarnya hanyalah satu, walaupun kelihatannya banyak. Wujud yang satu ini berkulit dan berisi, atau ada yang mazhar (kenyataan lahir) dan ada yang batin. Ataupun semua benda-benda yang ada ini, sebenarnya adalah merupakan pernyataan saja dari pada wujud yang hakiki, dan wujud hakiki itulah yang disebut Allah.33

Bila dilihat dari ajaran yang beliau ajarkan sepertinya ada kaitannya dengan Tarekat Sammaniyah, yang mungkin menjadi ciri khasnya adalah corak wahdat al-wujud yang dianut oleh aliran ini. Keterkaitan ini diperkuat dengan penyebaran Tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan yang disebar dan dibawakan oleh M. Arsyad Al-Banjari hal ini beliau aplikasikan dalam bentuk qasidah pujian Syaikh Samman. Syaikh M. Arsyad Al-Banjari masih keturunan Syaikh

       32

Utsman bin Abdullah, Sifat duapuluh, Yayasan Sosial Pendidikan Pengembangan & Penelitian Islam M.A Jaya –jakarta, Indonesia, hl 29-31

33

Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, (Jakarta, Kencana, 2006), h, 74

67

Abdurraman Shiddik dari pihak ayahnya34 Dan di di daerah Bangkapun sampai sekarang masih sering terdengar bacaan Manaqib Samman dan

Hikayat Syaikh Samman di majlis-majlis pengajian.

Orang yang berhasil mencapai tauhid al-Sifat ini akan mengantarkannya kepada pengalaman dan penghayatan fana’ fillah. Fana,

ecstasy, ini amat didambakan oleh para sufi. Orang yang mencapainya akan mengalami perubahan-perubahan: Pertama, peralihan moral dari sifat-sifat tercela dengan jalan pengendalian nafsu dan keinginannya.

Kedua, lenyapnya kesadaran terhadap apa yang ada di sekeliling, baik pikiran, perbuatan dan perasaan, lantaran terhisap dalam penghayatan pada Tuhan, karena penghayatan hanya tertuju pada sifat-sifat Allah. Ketiga,

lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya.

Jadi orang yang mampu bertauhid sifat ini akan tenggelam perasaan, pikiran dan sifat-sifat dirinya dan semuanya terhisap atau tertuju pada sifat-sifat Tuhan saja. Orang tidak akan merasa ada makhluk yang kuasa, berilmu, berkehendak dan lain-lain, karena pemilik semua sifat-sifat utama hanya Allah saja, sebab hanya Allah yang amat berkuasa atas segala sesuatu.35

      

34

Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia,

Jakarta, Kencana, 2005, h194

35

http;//zuljamalie,blogdetik. Com/2009/07/17/36, diakses pada 10 juli 2010.

Dokumen terkait