BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.7 Kerangka Pemikiran
Tingkat Bunga
Nilai Tukar
Jumlah uang
INDEKS OBLIGASI PERUSAHAAN
beredar
Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran Pengaruh Faktor Fundamental Ekonomi Terhadap Indeks Harga Obligasi Perusahaan
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana pengaruh dari faktor-faktor fundamental ekonomi seperti tingkat bunga, nilai tukar dan jumlah uang beredar terhadap indeks harga obligasi perusahaan. Adapun sebagai objek dalam penelitian ini adalah perusahaan yang telah mencatatkan obligasi perusahaannya di bursa efek.
3.2 Sumber dan Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan jenis data time series (runtun waktu) selama kurun waktu 2001-2005. Data yang digunakan berasal dari laporan bulanan Bursa Efek Surabaya, dan Bank Indonesia. Adapun data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah indeks harga obligasi perusahaan (basis poin), tingkat bunga (persen), nilai tukar (Rupiah) dan uang beredar (milyar Rupiah). Sedangkan sumber data yakni perusahaan yang telah mencatatkan obligasinya di bursa efek selama kurun waktu Januari 2001-Desember 2005.
3.3 Model Analisis
Model persamaan yang digunakan untuk menganalisa permasalahan tersebut adalah persamaan regresi linear dengan menggunakan metode Ordinary Least Square dengan fungsi sebagai berikut:
INOB = f(SBI, Kurs, JUB)
Selanjutnya dispesifikasikan ke dalam bentuk model regresi linear:
INOB = β0+ β1SBI+ β2kurs+ β3JUB+μ Dimana:
INOB = Indeks Harga Obligasi Perusahaan (basis poin) SBI = Tingkat Bunga SBI (persen)
Kurs = Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar (Rupiah) JUB = Jumlah Uang Beredar (milyar Rupiah)
β0 = Konstanta
β1,β2,β3 = Koefisien Regresi μ = Faktor Pengganggu
3.4 Defenisi Operasional Variabel
Untuk memudahkan pemahaman terhadap variabel yang digunakan dalam penelitian ini maka perlu diberikan batasan operasional dari variabel tersebut sebagai berikut:
1. Indeks harga obligasi perusahaan yaitu rata-rata nilai indeks harga obligasi perusahaan yang dikeluarkan oleh Bursa Efek Surabaya periode Januari 2001-Desember 2005 (basis poin).
2. Tingkat bunga yang diukur dengan tingkat bunga SBI jangka waktu 1 bulan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia periode Januari 2001-Desember 2005 (persen).
3. Nilai tukar yaitu rata-rata kurs Rupiah terhadap Dolar periode Januari 2001-Desember 2005 (Rupiah)
4. JUB adalah jumlah uang yang beredar di masyarakat periode Januari 2001-Desember 2005 (milyar Rupiah)
3.5 Metode Analisis
Untuk menguji hipotesis di atas digunakan alat regresi linear yang diestimasi dengan metode OLS (Ordinary Least Square). Model ini mempunyai sifat-sifat yang dapat diunggulkan yaitu secara teknis sangat akurat, mudah menginterpretasikan perhitungannya serta sebagai alat estimasi linear dan unbiased terbaik. Untuk mengolah data digunakan program Eviews 4.1.
3.6 Uji Kesesuaian
Uji kesesuaian (Test Goodness of Fit) dilakukan berdasarkan perhitungan nilai koefisien determinasi (R2) yang kemudian dilanjutkan dengan uji F (F-test) dan uji t (T-test).
1. Penilaian terhadap koefisien determinasi (R2) bertujuan untuk melihat seberapa besar variasi dan variabel terikat (dependent variabel) dapat diterangkan oleh variabel bebas (independent variabel).
2. Uji F (overall test) dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik koefisien regresi secara bersama-sama/serentak dari semua variabel bebas (independent variable) penelitian.
3. Uji t (partial test) dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik koefisien regresi secara parsial.
3.7 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik
Ada beberapa permasalahan yang akan terjadi dalam model regresi linear dimana secara statistik permasalahan tersebut dapat mengganggu model yang ditentukan, bahkan dapat menyesatkan kesimpulan yang diambil dari persamaan yang terbentuk. Untuk itu perlu dilakukan uji penyimpangan asumsi klasik yang terdiri dari:
3.7.1 Uji Multikolinearitas
Interpretasi dari persamaan regresi linear secara implisit bergantung pada asumsi bahwa variabel-variabel bebas dalam persamaan tersebut
tidak saling berkorelasi. Jika dalam sebuah persamaan terdapat multikolinearitas dengan besar-besaran regresi yang didapat sebagai berikut:
1. variasi besar (dari taksiran OLS)
2. interval kepercayaan lebar (karena variasi besar sehingga standar error besar yang berdampak pada interval kepercayaan lebar).
3. Uji t(t-rasio) tidak signifikan. Suatu variabel bebas yang signifikan baik secara substansi maupun secara statistik jika dilakukan regresi sederhana maka terjadi bias dan tidak signifikan karena variasi besar akibat adanya kolinearitas. Bila standar error terlalu besar maka besar pula kemungkinan taksiran koefisien regresi tidak signifikan.
4. R2 tinggi tetapi tidak hanya variabel yang signifikan dari uji t.
5. terkadang nilai taksiran koefisien yang didapat akan mempunyai nilai yang tidak sesuai dengan nilai yang sebenarnya, sehingga dapat menyesatkan interpretasi.
3.7.2 Uji Autokorelasi
Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu. Dalam konteks regresi, model regresi linear klasik mengasumsikan bahwa autokorelasi seperti itu tidak terdapat dalam disturbansi atau
pengganggu μ. Dengan menggunakan lambang F(μi,μj) = 0; i≠j. Secara sederhana dapat dikatakan model klasik mengasumsikan bahwa unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur disturbansi atau gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain yang manapun. Untuk menguji autokorelasi digunakan Langrange Multiplier Test (LM test).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Perkembangan Obligasi Perusahaan
Perkembangan pasar obligasi di Indonesia terus mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari terus meningkatnya emisi obligasi dari tahun ke tahun. Banyaknya penerbitan obligasi diantaranya dipengaruhi oleh menurunnya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Suku bunga deposito berjangka yang turun tajam menyebabkan para investor beralih untuk menginvestasikan dananya dari deposito ke obligasi. Bagi perusahaan, penerbitan obligasi merupakan salah satu alternatif pembiayaan perusahaan.
Keuntungan perusahaan yang menggunakan obligasi sebagai instrumen pembiayaan adalah memperoleh keuntungan pajak atas pembayaran bunga.
Maraknya pasar obligasi dikarenakan obligasi perusahaan merupakan alternatif berinvestasi yang menarik dengan tingkat kupon bunga yang tetap maupun mengambang (floating). Biayanya yang harus dikeluarkan perusahaan dalam penerbitan obligasi adalah pada saat penerbitan dan biaya-biaya tahunan sampai masa jatuh tempo. Persyaratan yang cukup mudah dalam penerbitan obligasi merupakan penyebab maraknya peredaran obligasi perusahaan.
Secara umum perkembangan pasar obligasi perusahaan Indonesia tidak terlepas dari perkembangan pasar obligasi global dan pemerintah.
Perkembangan yang positif dari pasar obligasi ditandai dengan yield yang terus menurun dan harga yang bergerak naik. Tabel berikut menunjukkan emisi obligasi yang dilakukan oleh emiten periode 2001-2005.
Tabel 4.1 Perkembangan Emisi Obligasi Periode 2001-2005
Emisi Obligasi Realisasi Emisi Outstanding
Periode Emi ten
Volume Nilai Emisi (Milyar)
Volume Nilai Emisi (Milyar)
Volume Nilai
(Milyar) 2001 94 1.067.695 31.662,433 1.050.482 29.614,255 219.975 14.307,763 2002 100 1.181.095 37.812,433 1.154.782 35.237,244 318.275 19.630,751 2003 136 7.877.420 63.825,526 7.693.356 60.921,506 6.829.849 44.925,013 2004 152 13.740.146 83.005,349 12.952.310 78.796,692 12.118.803 62.800,199 2005 159 16.171.146 91.255,349 15.413.310 87.046,692 14.351.716 62.955,941 Sumber : Bursa Efek Surabaya
Perkembangan emisi obligasi dari tahun 2001 hingga 2005 mengalami peningkatan yang signifikan. Jumlah emiten terus meningkat hingga berjumlah 159 emiten pada tahun 2005 dengan nilai emisi Rp 91.255,349 milyar. Realisasi emisi sebesar Rp 87.046,692 milyar pada tahun 2005 dengan volume obligasi yang beredar adalah 14.351.716 obligasi senilai Rp 62.955,941 milyar.
Sedangkan perkembangan perdagangan obligasi perusahaan periode 2001-2005 ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 4.2 Perkembangan Perdagangan Obligasi Perusahaan Melalui Over The Counter-Fixed Income Service Bursa Efek Surabaya Periode 2001-2005 Sumber : Bursa Efek Surabaya
Perkembangan perdagangan obligasi perusahaan juga mengalami peningkatan yang signifikan. Volume obligasi tercatat meningkat cukup besar pada tahun 2005 yaitu sebesar Rp 27.098,38 milyar dengan frekuensi 5.723 kali. Rata-rata transaksi per hari adalah sebesar Rp 111,52 milyar dengan frekuensi 24 kali di tahun 2005. Sedangkan perkembangan indeks harga obligasi perusahaan dapat ditunjukkan pada grafik sebagai berikut.
0
Sumber : Bursa Efek Surabaya
Gambar 4.1 Grafik Perkembangan Indeks Harga Obligasi Perusahaan Tahun 2001
Indeks harga obligasi perusahaan pada tahun 2001 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pergerakan indeks relatif stabil hal ini terlihat dari terus meningkatnya indeks secara bertahap. Indeks sempat melemah pada Mei 2001 menjadi sebesar 457,83 poin dari 460,817 di bulan April 2001. Pada bulan berikutnya indeks mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada akhir tahun 2001 indeks obligasi kembali melemah menjadi 531,175 poin. Melemahnya indeks pada akhir tahun 2001 diakibatkan menurunnya perdagangan obligasi di bursa efek. Hal ini disebabkan oleh naiknya suku bunga SBI sehingga investor menjual obligasinya untuk menghindari kerugian.
Sumber : Bursa Efek Surabaya
Gambar 4.2 Grafik Perkembangan Indeks Harga Obligasi Perusahaan Tahun 2002
71
Pergerakan indeks obligasi pada tahun 2002 juga terus mengalami peningkatan. Indeks sempat melemah di awal tahun 2002 namun pada bulan berikutnya kembali mengalami peningkatan. Peningkatan indeks ini terus terjadi sepanjang tahun 2002. Hal ini disebabkan oleh menurunnya suku bunga SBI. Penurunan suku bunga ini masih dirujuk sebagai pendorong aktifnya transaksi di pasar bursa efek. Namun jika suku bunga terus menurun, aktifnya perdagangan di pasar sekunder akan terhambat. Hal ini dikarenakan investor akan enggan melepas obligasi yang dipegangnya kecuali dengan premi yang cukup tinggi.
0
Sumber: Bursa Efek Surabaya
Gambar 4.3 Grafik Perkembangan Indeks Harga Obligasi Perusahaan Tahun 2003
Indeks harga obligasi perusahaan pada tahun 2003 terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini terlihat dari banyaknya perusahaan yang mencatatkan obligasinya di Bursa Efek Surabaya. Transaksi yang terjadi di bursa terus meningkat dikarenakan perekonomian Indonesia yang semakin baik dan pulihnya kepercayaan investor domestik maupun asing untuk berinvestasi di Indonesia. Pada tahun 2003 pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan yang didorong oleh konsumsi pemerintah dan swasta juga kegiatan investasi, ekspor dan impor. Tingkat inflasi mengalami penurunan yang disebabkan oleh membaiknya ekspektasi inflasi dan penguatan nilai tukar Rupiah. Stabilnya nilai tukar Rupiah dan turunnya laju inflasi memberikan peluang pada turunnya suku bunga instrumen moneter.
Penurunan suku bunga SBI mendorong perkembangan yang positif pada obligasi perusahaan dan membantu restrukturisasi utang perusahaan. Indeks obligasi pada 28 Mei–10 Juni 2003 sebesar 1.052,757 naik 59,832 poin dari 992,925 pada tanggal 14-27 Mei 2003. Indeks obligasi terus mengalami peningkatan hingga akhir bulan Desember 2003 sebesar 1.325,468 poin.
Faktor-faktor lain yang menyebabkan investor menanamkan modal di Indonesia adalah dikarenakan pusat kegiatan investasi yang ramai di kunjungi di Asia Timur seperti Singapura, Thailand, Hongkong, Taiwan dan China mengalami gangguan akibat wabah SARS. Wabah tersebut mengganggu aktivitas pasar modal maupun sektor riil sehingga aktivitas tersebut berpindah
antara lain ke Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan pasar obligasi mengalami kenaikan dan menguatnya nilai indeks obligasi.
Sumber: Bursa Efek Surabaya 0
Gambar 4.4 Grafik Perkembangan Indeks Harga Obligasi Perusahaan Tahun 2004
Pertumbuhan obligasi perusahaan merupakan satu fenomena baru bagi perbankan karena kemudahan perusahaan dalam menerbitkan obligasi yang membuat ekspansi pinjaman perbankan menjadi terganggu. Perbankan sangat selektif dalam melakukan ekspansi pinjaman. Saat suku bunga SBI dan simpanan mengalami penurunan, suku bunga pinjaman masih lambat penurunannya. Hal inilah yang menyebabkan perusahaan menerbitkan obligasi untuk memenuhi kebutuhan dananya. Pasar merespon positif penerbitan obligasi perusahaan karena merupakan alternatif investasi bagi para pemilik dana yang menganggap suku bunga simpanan sudah terlalu rendah.
74
Indeks obligasi tahun 2004 mengalami kenaikan yang signifikan. Pada awal tahun 2004 indeks obligasi berada pada 1.325,468 dan terus mengalami kenaikan hingga ke posisi 1.660,698 di akhir tahun. Indeks mengalami peningkatan yang cukup tinggi di bulan Februari dari 1360,868 naik sebesar 112,308 poin menjadi 1.473,176. Pergerakan indeks harga obligasi di tahun 2004 masih tetap stabil.
15001550
Gambar 4.5 Grafik Perkembangan Indeks Harga Obligasi Perusahaan Tahun 2005
Sedangkan pasar obligasi di tahun 2005 secara umum mengalami kenaikan, namun pada triwulan III-2005 mengalami kelesuan pasar. Hal ini terjadi dikarenakan kenaikan suku bunga SBI juga kenaikan harga minyak dunia yang mencapai level USD 70,80/barel di bulan Agustus 2005. Hal tersebut menyebabkan terjadinya inflasi. Indeks obligasi terus mengalami
penurunan hingga November 2005. Indeks terendah terjadi di bulan November 2005 sebesar 1.797,4046 yang turun sebesar 43,8604 poin dari bulan Oktober 2005.
Kecenderungan naiknya suku bunga menyebabkan turunnya harga obligasi dan membuat beberapa perusahaan menunda realisasi penerbitan obligasinya hingga waktu yang menguntungkan. Frekuensi perdagangan obligasi mengalami penurunan yang signifikan yang menyebabkan indeks melemah. Indeks kembali mengalami kenaikan di triwulan IV-2005 hingga mencapai level 1.913,2841 diakhir tahun 2005.
4.2 Perkembangan Tingkat Bunga
Penaksiran terhadap harga obligasi sangat tergantung pada tingkat bunga. Tinggi rendahnya tingkat bunga berpengaruh pada tinggi rendahnya harga obligasi. Di Indonesia, tingkat bunga yang dijadikan acuan (benchmark) dalam pembelian obligasi adalah tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia. Sebagai instrumen moneter naik turunnya suku bunga SBI selain berdampak pada harga obligasi juga berdampak langsung pada suku bunga perbankan, baik suku bunga tabungan dan deposito maupun kredit. Bila dikaitkan dengan perekonomian, turunnya suku bunga akan sangat membantu mendorong kegiatan ekonomi yang berjalan, menggerakkan sektor riil ataupun juga mendinamiskan kegiatan perekonomian agar tercipta kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat. Turunnya suku bunga
diharapkan dapat memancing para pelaku ekonomi untuk membuka investasi baru atau mengadakan perluasan usaha. Perkembangan suku bunga SBI satu bulan periode 2001-2005 dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
0
Gambar 4.6 Grafik Perkembangan Suku Bunga SBI 1 Bulan Periode 2001-2005
Tahun 2001 suku bunga SBI mengalami kenaikan. Di awal tahun 2001 suku bunga SBI 1 bulan berada pada posisi 14,79% terus mengalami peningkatan hingga akhir tahun 2001 berada pada 17,61%. Kenaikan suku bunga SBI 1 bulan tertinggi terjadi pada September 2001 yaitu sebesar 17,64%.
Tahun 2002 suku bunga SBI mengalami penurunan. Pada Januari 2002 suku bunga SBI 1 bulan berada pada posisi 17,22% terus mengalami penurunan hingga mencapai 13% diakhir tahun 2002. melemahnya suku
bunga SBI ini dikhawatirkan akan berdampak pada melemahnya kinerja sektor-sektor keuangan dan perbankan.
Tahun 2003 suku bunga SBI 1 bulan terus mengalami penurunan.
Pada Januari 2003 suku bunga SBI berada pada posisi 12,79% turun menjadi 8,39% di akhir tahun. Turunnya suku bunga ini tidak semata-mata bermanfaat bagi pengusaha. Turunnya suku bunga SBI ini juga akan mengurangi beban bunga yang akan dibayar Bank Indonesia. Semakin kecil bunga SBI maka semakin kecil beban pembayaran bunga oleh Bank Indonesia yang menyangkut SBI.
Kegiatan perekonomian pada tahun 2003 juga menunjukkan peningkatan. Tingkat inflasi secara tahunan mencapai 6,62% pada triwulan II-2003. Rendahnya laju inflasi terutama disebabkan oleh membaiknya ekspektasi inflasi dan penguatan nilai tukar rupiah. Stabilnya nilai tukar rupiah dan penurunan laju inflasi telah memberi peluang bagi berlanjutnya suku bunga instrumen moneter. Penurunan suku bunga SBI ini membantu mengurangi beban anggaran pemerintah, mendorong perkembangan obligasi perusahaan dan membantu restrukturisasi utang perusahaan.
Tahun 2004 pergerakan suku bunga SBI cukup stabil. Pada triwulan I-2004 suku bunga SBI ini terus mengalami penurunan juga pada triwulan III-2004 dan triwulan IV-III-2004. Suku bunga SBI pada Maret III-2004 sebesar 7,42%
turun menjadi 7,33% di triwulan II-2004. kecenderungan penurunan suku bunga SBI masih terus berlanjut sejalan dengan membaiknya ekpektasi
inflasi, relatif stabilnya nilai tukar rupiah dan terkendalinya uang primer.
Akhir tahun 2004 suku bunga SBI 1 bulan mengalami peningkatan menjadi 7,43%.
Sedangkan di tahun 2005 suku bunga SBI 1 bulan mengalami peningkatan yang signifikan pada triwulan I-2005 suku bunga SBI 1 bulan berada pada posisi 7,42% menjadi 12% pada triwulan IV-2005. kenaikan suku bunga ini disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia, hingga mencapai level USD 70,80/barel. Kenaikan harga minyak dunia mendorong terjadinya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah. Untuk itu pemerintah mengambil keputusan untuk menaikkan BI rate dengan pertimbangan ekspektasi inflasi yang cenderung meningkat sejalan dengan kenaikan harga minyak dunia dan pelemahan nilai tukar rupiah. Pertimbangan lainnya yaitu meningkatnya resiko stabilitas makro ekonomi terkait dengan perkembangan faktor eksternal yaitu kenaikan suku bunga Fed, melemahnya mata uang dunia terhadap USD dan meningkatnya harga minyak.
4.3 Perkembangan Nilai Tukar
Perkembangan nilai tukar di Indonesia juga sangat berfluktuatif.
Kondisi eksternal dan internal dalam perekonomian Indonesia sangat berpengaruh terhadap pergerakan nilai tukar. Perkembangan nilai tukar Indonesia periode 2001-2005 dapat dilihat pada grafik berikut ini.
0 2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000
Januari Februari Maret April Mei J
Sumber: Bank Indonesia
Gambar 4.7 Grafik Perkembangan Nilai Tukar Periode 2001-2005
Pergerakan nilai tukar rupiah di tahun 2001 sangat berfluktuatif. Kurs rupiah pada Januari 2001 berada pada posisi Rp 9.482/USD. Nilai tukar rupiah terus mengalami depresiasi hingga bulan Juni yang berada pada posisi Rp 11.350/USD. Apresiasi nilai tukar rupiah terjadi pada triwulan III-2001 namun kembali mengalami depresiasi ditriwulan IV-2001. Nilai tukar rupiah pada Desember 2001 berada pada posisi Rp 10.320/USD.
Tahun 2002 nilai tukar rupiah mengalami penguatan. Penguatan ini didorong oleh sentimen positif pasar berkaitan dengan penguatan pada beberapa mata uang regional Asia. Pergerakan rupiah di level atas disebabkan oleh berkurangnya efek pesimisme pasar atas mata uang rupiah.Di awal tahun 2002 rupiah berada pada posisi Rp 10.442/USD. Penguatan nilai tukar rupiah
uni Juli Agustus September Oktober November Desember
Periode
Nilai Tukar (Rupiah) 2001
2002 2003 2004 2005
terus terjadi hingga Juni 2002 yaitu Rp 8.732/USD. Triwulan III-2002 nilai tukar rupiah kembali mengalami depresiasi namun kembali menguat di akhir tahun yaitu berada pada posisi Rp 8.949/USD.
Pergerakan nilai tukar rupiah tahun 2003 relatif stabil. Derasnya arus dana masuk atau capital inflow menjadi faktor utama stabilnya nilai tukar rupiah sehingga meningkatkan pasokan valas di pasar domestik. Nilai tukar berada pada posisi Rp 8.530/USD di bulan Desember 2003. Beberapa faktor lainnya yang menopang daya tarik rupiah di tahun 2003 antara lain membaiknya indikator resiko, suku bunga dalam negeri yang jauh lebih besar dari suku bunga luar negeri dan semakin beragamnya outlet penanaman modal dalam rupiah. Penguatan rupiah secara nominal juga menyebabkan nilai tukar rupiah secara riil menguat sehingga mendukung penurunan laju inflasi.
Januari 2004 nilai tukar rupiah berada pada posisi Rp 8.437/USD terus mengalami peningkatan hingga mencapai Rp 9.269/USD di akhir tahun 2004.
pada triwulan I-2004 nilai tukar rupiah relatif stabil dikarenakan faktor fundamental ekonomi domestik yang tetap kondusif, ekspektasi pasar yang positif terhadap pergerakan nilai tukar rupiah, meningkatnya kepercayaan investor berkaitan dengan peningkatan peringkat kredit oleh lembaga peringkat internasional Moody’s dan Fitch serta stabilitas sosial politik yang terpelihara. Namun pada triwulan II nilai tukar melemah pada posisi Rp
9.030/USD hingga pada triwulan IV nilai tukar berada pada posisi Rp 9.162/USD.
Sedangkan pada tahun 2005 secara umum nilai tukar rupiah terdepresiasi. Selama tahun 2005 nilai tukar berada pada Rp 9.250/USD terus melemah hingga berada pada Rp 10.284/USD di bulan September 2005. nilai tukar mengalami penguatan di bulan Oktober hingga akhir tahun 2005 berada pada Rp 9.906/USD. Kelemahan rupiah pada 2005 tidak terlepas dari pengaruh negatif faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal berhubungan dengan meningkatnya harga minyak dunia, serta berlanjutnya kenaikan kebijakan suku bunga di AS. Kondisi ini memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah sejalan dengan melemahnya kinerja neraca pembayaran dan memburuknya sentimen pasar terhadap pergerakan rupiah kedepan.
Sedangkan faktor internal terkait dengan tingginya impor serta kebutuhan untuk pembayaran kewajiban luar negeri turut memberikan tekanan terhadap rupiah. Pelemahan rupiah lebih lanjut diperburuk akibat akselerasi ekspektasi depresiasi yang dipicu oleh melemahnya kepercayaan terhadap kondisi stabilitas makro ekonomi terkait dengan kondisi moneter dan fiskal.
4.4 Perkembangan Jumlah Uang Beredar
Perkembangan jumlah uang beredar sangat tergantung pada kebijakan otoritas moneter yaitu bank sentral. Perkembangan jumlah uang yang beredar periode 2001-2005 dapat dilihat pada grafik berikut.
0
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Periode
Gambar. 4.8 Grafik Perkembangan Jumlah Uang Beredar Periode 2001-2005
Perkembangan jumlah uang beredar di tahun 2001 mengalami peningkatan yang signifikan. Di awal tahun 2001 jumlah uang beredar sebesar Rp 145.345 Milyar. Peningkatan jumlah uang beredar diharapkan dapat menekan tingkat bunga yang tinggi namun tingginya angka inflasi dan lemahnya nilai tukar masih belum dapat mengatasi permasalahan tersebut.
Angka indeks obligasi tahun 2001 tetap mengalami peningkatan dikarenakan meningkatnya emiten yang masuk ke bursa.
Jumlah uang beredar tahun 2002 lebih berfluktuasi namun tetap relatif stabil. Jumlah uang beredar pada Maret 2002 mengalami penurunan tipis menjadi Rp 166.173 Milyar dari Rp 168.643 Milyar pada bulan sebelumnya.
Pertumbuhan uang beredar tahun 2002 ini mengalami perlambatan diiringi oleh relatif stabilnya angka yang pengganda uang, sehingga lambatnya
pertumbuhan uang beredar lebih disebabkan oleh lambatnya pertumbuhan uang primer. Rendahnya pertumbuhan uang beredar dibandingkan dengan laju inflasi menyebabkan likuiditas perekonomian secara riil mengalami pertumbuhan yang negatif. Akhir tahun 2002 jumlah uang beredar sebesar Rp 191.939 Milyar turun dibandingkan bulan sebelumnya.
Uang beredar di tahun 2003 masih mengalami peningkatan.
Peningkatan ini masih mengalami perlambatan. Jumlah uang beredar Januari 2003 sebesar Rp 180.112 Milyar dan di akhir tahun Rp 223.799 Milyar.
Turunnya suku bunga dikarenakan naiknya jumlah uang beredar. Turunnya inflasi dan meningkatnya laju perekonomian juga sebagai penyebab pertumbuhan uang beredar secara riil mengalami peningkatan. Peningkatan ini menyebabkan angka indeks obligasi menguat.
Jumlah uang beredar tahun 2004 juga masih mengalami peningkatan.
Januari 2004 uang beredar sebesar Rp 216.343 Milyar dan di akhir tahun sebesar Rp 253.818 Milyar. Pertumbuhan uang beredar ini mencerminkan semakin baiknya daya beli masyarakat. Seiring terus membaiknya pertumbuhan ekonomi dan terkendalinya inflasi. Pertumbuhan uang beredar ini juga terus mendongkrak kenaikan indeks obligasi karena semakin menariknya imbal hasil di pasar obligasi.
Pertumbuhan jumlah uang beredar di tahun 2005 mengalami pertumbuhan yang positif. Pertumbuhan jumlah uang beredar di tahun 2005 ini tidak terlalu besar dikarenakan inflasi yang tinggi, suku bunga yang meningkat dan nilai tukar yang lemah. Jumlah uang beredar tahun 2005 sebesar Rp 281.905 milyar pada Desember
mengalami peningkatan dibandingkan bulan sebelumnya yaitu sebesar Rp 276.729 milyar.
4.5 Hasil Estimasi dengan Menggunakan OLS
Hasil estimasi yang diperoleh dalam indeks harga obligasi perusahaan adalah dengan menggunakan data time series bulanan dari Januari 2001-Desember 2005 dan
Hasil estimasi yang diperoleh dalam indeks harga obligasi perusahaan adalah dengan menggunakan data time series bulanan dari Januari 2001-Desember 2005 dan