• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENGARUH FAKTOR FUNDAMENTAL EKONOMI TERHADAP INDEKS HARGA OBLIGASI PERUSAHAAN TESIS. Oleh ELFITHASARI /EP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS PENGARUH FAKTOR FUNDAMENTAL EKONOMI TERHADAP INDEKS HARGA OBLIGASI PERUSAHAAN TESIS. Oleh ELFITHASARI /EP"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENGARUH FAKTOR FUNDAMENTAL EKONOMI TERHADAP INDEKS HARGA

OBLIGASI PERUSAHAAN

TESIS

Oleh

ELFITHASARI 057018006/EP

SE K O L A H PA

SCA S A R JANA

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008

(2)

ANALISIS PENGARUH FAKTOR FUNDAMENTAL EKONOMI TERHADAP INDEKS HARGA

OBLIGASI PERUSAHAAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ELFITHASARI 057018006/EP

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008

(3)

Judul Tesis : ANALISIS PENGARUH FAKTOR FUNDAMENTAL EKONOMI TERHADAP INDEKS HARGA OBLIGASI PERUSAHAAN

Nama Mahasiswa : Elfithasari Nomor Pokok : 057018006

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Muslich Lufti, MBA) (Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Dr. Murni Daulay, M.Si) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B.,M.Sc)

Tanggal lulus : 31 Juli 2007

(4)

Telah diuji pada Tanggal : 31 Juli 2007

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Muslich Lufti, MBA

Anggota : 1. Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec 2. Dr. Dede Ruslan, M.Si

3. Dr. Murni Daulay, M.Si 4. Dr. Irsyad Lubis, M.Soc.Sc

(5)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor fundamental ekonomi terhadap indeks harga obligasi perusahaan. Dengan menggunakan beberapa teori dan penelitian sebelumnya terhadap indeks harga obligasi perusahaan, maka variabel-variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah tingkat bunga SBI, nilai tukar dan jumlah uang yang beredar.

Penelitian ini menggunakan data time series selama periode Januari 2001- Desember 2005, yang merupakan data sekunder dari Bank Indonesia dan Bursa efek Surabaya dan dianalisis dengan menggunakan metode Ordinary Least Square. Dalam penelitian ini menggunakan model regresi linear.

Penelitian ini menemukan bahwa faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi indeks harga obligasi perusahaan adalah tingkat bunga SBI, nilai tukar dan jumlah uang beredar. Nilai R-Squared (R2) sebesar 97,38%

menunjukkan bahwa variabel-variabel tingkat bunga, nilai tukar dan jumlah uang beredar mampu menjelaskan variasi indeks harga obligasi perusahaan.

Kata kunci : Tingkat bunga SBI, nilai tukar dan jumlah uang yang beredar.

(6)

ABSTRACT

The object of this research is to know the effect of economic fundamental to corporate bond price index. Using several theories and previous researches on corporate bond price index, the variables observed in this research are interest rate, exchange rate and money supply.

This research uses the time series data within of January 2001-December 2005, as secondary data from Bank of Indonesia and Surabaya Stock Exchange. And the analysis of this research uses Ordinary Least Square method and regression model.

This research finds that interest rate, exchange rate and money supply significantly effect corporate bond price index. R-Squared (R2) is 97,38% refer to variables of interest rate, exchange rate and money supply can explain variation of corporate bond price index.

Keywords : Interest rate, exchange rate and money supply

(7)

KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini. Salawat dan salam yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa manusia dari alam kegelapan kepada alam yang berilmu pengetahuan.

Adapun tesis dengan judul “Analisis Pengaruh Faktor Fundamental Ekonomi Terhadap Indeks Harga Obligasi Perusahaan”, ditulis dalam rangka memenuhi syarat-syarat untuk menyelesaikan studi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Ucapan Terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Yang tercinta Ayahanda H. Afifuddin Ibrahim, SE, MM dan Ibunda Hj. Elli Zuhaida, SPd atas segala doa, bimbingan dan arahan yang telah

diberikan dan adik-adikku Rizkiansyah, ST, Redha Dian Akbar dan Mukhamad Farid yang telah memberikan dukungan dan motivasi serta saudara-saudara yang setia memberikan dukungan.

2. Yang terhormat Bpk. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara dan Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B.,MSc

selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Yang terhormat Bpk. Dt. Muslich Lufti, MBA dan Bpk. Wahyu Ario Pratomo, SE, MEc selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

4. Yang terhormat Ibu Dr. Murni Daulay, MSi dan Bpk. Dr. Sa’ad Afifuddin, SE,MEc selaku ketua dan sekretaris Jurusan Magister

Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Seluruh Staf pengajar dan karyawan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

(8)

6. My Best Friend Bpk. M. Yusuf Rangkuti, MSi, Rudi Gunawan, MSi, M. Adli Putra, MSi, Prima Indra M, MSi, Bapak Sofyan Safar, MSi, Rimadhona

Siregar yang selalu menemani dan memberikan dukungan juga kepada rekan- rekan seperjuangan yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

7. Rasa terima kasih yang mendalam khususnya penulis sampaikan kepada M. Adli Putra, SP, MSi yang selalu mendoakan juga kepada Novita Hidayah yang

selalu memberikan kritikan dan semangat kepada penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini disebabkan keterbatasan-keterbatasan yang ada pada penulis, untuk itu penulis sangat mengharapkan saran-saran dan masukan-masukan yang membangun bagi kesempurnaan tesis ini.

Akhirnya atas segala bantuan dari berbagai pihak penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya.

Amin yaa rabbal’alamin….

Medan, Juli 2007 Penulis

Elfithasari

(9)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Elfithasari

Alamat : Kompleks Taman Setia Budi Indah

Blok MM 20 Medan

Agama : Islam

Umur : 24 tahun

Tempat/Tgl Lahir : Banda Aceh/21 Agustus 1982

Jenis Kelamin : Perempuan

Kewarga Negaraan : Indonesia

Nama Orangtua Laki-laki : H. Afifuddin Ibrahim, SE,MM Nama Orangtua Perempuan : Hj. Elli Zuhaida, SPd

PENDIDIKAN FORMAL

1. SD Negeri 1 Langsa – Aceh Timur : 1988- 1994

2. SMP Negeri 1 Langsa - Aceh Timur : 1994-1997 3. SMU Negeri 1 Langsa – Aceh Timur : 1997-2000 4. Sarjana Universitas Syiah Kuala Jurusan Ekonomi

Pembangunan : 2000-

2005

5. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara : 2005-2007

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Obligasi ... 10

2.1.1 Pengertian Obligasi ... 10

2.1.2 Jenis-Jenis Obligasi ... 19

2.1.3 Teori Penentuan Harga Obligasi ... 22

2.2 Tingkat Bunga ... 26

2.2.1 Pengertian Tingkat Bunga dalam Penilaian Obligasi... 26

2.2.2 Teori Tingkat Bunga Keynes ... 29

2.3 Nilai Tukar (Exchange Rate) ... 30

2.3.1 Sistem Nilai Tukar ... 30

(11)

2.3.2 Perkembangan Sistem Nilai Tukar ... 33

2.4 Uang Beredar... 36

2.5 Penelitian Sebelumnya ... 42

2.6 Hipotesis Penelitian ... 45

2.7 Kerangka Pemikiran... 46

BAB III METODE PENELITIAN ... 47

3.1 Ruang Lingkup Penelitian... 47

3.2 Sumber dan Jenis Data... 47

3.3 Model Analisis ... 48

3.4 Defenisi Operasional Variabel ... 48

3.5 Metode Analisis... 49

3.6 Uji Kesesuaian ... 50

3.7 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 50

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53

4.1 Perkembangan Obligasi Perusahaan ... 53

4.2 Perkembangan Tingkat Bunga... 61

4.3 Perkembangan Nilai Tukar... 64

4.4 Perkembangan Jumlah Uang Beredar ... 67

4.5 Hasil Estimasi Dengan Menggunakan OLS... 70

4.6 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik Pada Hasil Estimasi Indeks Harga Obligasi Perusahaan ... 73

4.7 Pembahasan... 74

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

5.1 Kesimpulan ... 78

5.2 Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 74

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1 Perkembangan Pasar Obligasi Perusahaan Periode 2002-

2005... 7 4.1 Perkembangan Emisi Obligasi Periode 2001-2005... 54 4.2 Perkembangan Perdagangan Obligasi Perusahaan Melalui Over

The Counter-Fixed Income Service Bursa Efek Surabaya

Periode 2001-2005 ... 55 4.3 Hasil Estimasi Uji Multikolinearitas (Koefisien Korelasi

Parsial) ... 73 4.4 Uji Autokorelasi Pada Hasil Estimasi Indeks Harga Obligasi

Perusahaan ... 74

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Permintaan dan Penawaran Obligasi Pemerintah ... 16 2.2 Pasar Surat Berharga Swasta... 18 2.3 Pengaruh Penambahan Uang Beredar ... 41 2.4 Kerangka Pemikiran Pengaruh Faktor Fundamental Ekonomi

Terhadap Indeks Harga Obligasi Perusahaan ... 46 4.1 Grafik Perkembangan Indeks Harga Obligasi Perusahaan

Tahun 2001 ... 55 4.2 Grafik Perkembangan Indeks Harga Obligasi Perusahaan

Tahun 2002 ... 56 4.3 Grafik Perkembangan Indeks Harga Obligasi Perusahaan

Tahun 2003 ... 57 4.4 Grafik Perkembangan Indeks Harga Obligasi Perusahaan

Tahun 2004 ... 59 4.5 Grafik Perkembangan Indeks Harga Obligasi Perusahaan

Tahun 2005 ... 60 4.6 Grafik Perkembangan Suku Bunga SBI 1 Bulan Periode

2001-2005 ... 62 4.7 Grafik Perkembangan Nilai Tukar Periode 2001-2005 ... 65 4.8 Grafik Perkembangan Jumlah Uang Beredar Periode

2001-2005 ... 68

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Data Indeks Harga Obligasi Perusahaan, Tingkat Bunga SBI, Nilai Tukar dan Uang Beredar Periode Januari 2001-Desember

2005... 76 2. Hasil Estimasi Model Regresi Linear Menggunakan OLS ... 77 3. Hasil Parsial Model Regresi Linear dengan Menggunakan

Metode OLS pada Indeks Harga Obligasi Perusahaan... 78 4. Hasil Parsial Model Regresi Linear dengan Menggunakan

Metode OLS pada Indeks harga Obligasi Perusahaan ... 79 5. Hasil Parsial Model Regresi Linear dengan Menggunakan

Metode OLS pada Indeks harga Obligasi Perusahaan ... 80 6. Hasil Parsial Model Regresi Linear dengan Menggunakan

Metode OLS pada Indeks Harga Obligasi Perusahaan... 81 7. Hasil Parsial Model Regresi Linear dengan Menggunakan

Metode OLS pada Indeks Harga Obligasi Perusahaan... 82 8. Hasil Parsial Model Regresi Linear dengan Menggunakan

Metode OLS pada Indeks Harga Obligasi Perusahaan... 83 9. Hasil Uji LM Test Model Regresi Linear pada Indeks Harga

Obligasi Perusahaan ... 84

(15)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor fundamental ekonomi terhadap indeks harga obligasi perusahaan. Dengan menggunakan beberapa teori dan penelitian sebelumnya terhadap indeks harga obligasi perusahaan, maka variabel-variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah tingkat bunga SBI, nilai tukar dan jumlah uang yang beredar.

Penelitian ini menggunakan data time series selama periode Januari 2001- Desember 2005, yang merupakan data sekunder dari Bank Indonesia dan Bursa efek Surabaya dan dianalisis dengan menggunakan metode Ordinary Least Square. Dalam penelitian ini menggunakan model regresi linear.

Penelitian ini menemukan bahwa faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi indeks harga obligasi perusahaan adalah tingkat bunga SBI, nilai tukar dan jumlah uang beredar. Nilai R-Squared (R2) sebesar 97,38%

menunjukkan bahwa variabel-variabel tingkat bunga, nilai tukar dan jumlah uang beredar mampu menjelaskan variasi indeks harga obligasi perusahaan.

Kata kunci : Tingkat bunga SBI, nilai tukar dan jumlah uang yang beredar.

(16)

ABSTRACT

The object of this research is to know the effect of economic fundamental to corporate bond price index. Using several theories and previous researches on corporate bond price index, the variables observed in this research are interest rate, exchange rate and money supply.

This research uses the time series data within of January 2001-December 2005, as secondary data from Bank of Indonesia and Surabaya Stock Exchange. And the analysis of this research uses Ordinary Least Square method and regression model.

This research finds that interest rate, exchange rate and money supply significantly effect corporate bond price index. R-Squared (R2) is 97,38% refer to variables of interest rate, exchange rate and money supply can explain variation of corporate bond price index.

Keywords : Interest rate, exchange rate and money supply

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan suatu negara memerlukan dana investasi dalam jumlah yang besar. Dalam pelaksanaannya diarahkan kepada pemanfaatan sumber- sumber daya dalam negeri, disamping memanfaatkan sumber-sumber lain sebagai pendukung. Diperlukan usaha yang konsisten untuk mengarahkan dana investasi yang bersumber dari dalam negeri, seperti tabungan masyarakat, tabungan pemerintah dan penerimaan devisa. Kebijakan- kebijakan secara mikro dan makro harus ditempuh untuk menjalankan perekonomian suatu negara. Secara makro, kebijaksanaan harus ditempuh yang mencakup dua permasalahan utama yaitu:

1. Masalah stabilisasi. Masalah ini berkaitan dengan bagaimana menjaga perekonomian tetap seimbang dengan menghindari tiga permasalahan utama yaitu inflasi, pengangguran serta ketimpangan dalam neraca pembayaran.

2. Masalah pertumbuhan. Masalah ini berkaitan dengan bagaimana menjaga keseimbangan antara pertumbuhan penduduk, pertambahan kapasitas produksi dan tersedianya dana untuk investasi.

Indikator-indikator perekonomian seperti tingkat bunga, nilai tukar, dan jumlah uang beredar sangat mempengaruhi perekonomian suatu negara.

(18)

Kebijakan-kebijakan yang ditempuh secara makro harus didasarkan pada pertimbangan menjaga kestabilan indikator perekonomian tersebut. Kebijakan harus ditempuh secara moneter maupun fiskal melalui pasar uang dan pasar modal.

Pasar uang akan mempertemukan permintaan akan uang dengan penawaran akan uang. Selanjutnya permintaan dan penawaran akan uang ini akan menentukan tingkat harga umum. Menurut kaum klasik, di pasar uang ditentukanlah nilai dari uang, yaitu daya beli uang untuk dibelikan barang- barang. Sedangkan berdasarkan teori Keynes bahwa di pasar uang ditentukan harga dari uang (tingkat bunga) bukan nilai dari uang (tingkat harga umum) (Boediono, 2001). Sedangkan pasar modal merupakan salah satu wadah untuk pengerahan dana dalam jangka panjang dari masyarakat untuk disalurkan ke sektor-sektor produktif. Apabila pengerahan dana dari masyarakat berjalan dengan baik, maka sumber dana dari luar negeri dapat dikurangi (Anoraga dan Pakarti, 2006).

Pasar modal di Indonesia sudah dimulai sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda. Perdagangan sekuritas dimulai dengan mendirikan bursa di Batavia pada 14 Desember 1912. penyelenggaranya adalah Verreniging Voor de Effectenhandel. Sekuritas yang diperjual belikan adalah saham dan obligasi perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah Hindia Belanda serta sekuritas Belanda lainnya.

Perkembangan bursa efek yang pesat, menarik perhatian pemerintah Hindia

(19)

Belanda untuk mendirikan bursa di Semarang dan Surabaya tahun 1925 dengan investor selain Belanda juga Arab dan Cina (Tandelilin, 2001).

Perang Dunia II sekitar tahun 1939 menyebabkan pasar modal terhenti dan bursa efek di Indonesia ditutup pada 10 Mei 1940. Pada 3 Juni 1952 Bursa Efek Jakarta dibuka kembali karena didorong oleh adanya penerbitan obligasi pemerintah Indonesia dan terus berkembang hingga tahun 1958.

Kelesuan yang terjadi di pasar modal saat itu disebabkan oleh warga negara Belanda yang meninggalkan Indonesia dan dilakukannya nasionalisasi terhadap perusahaan Belanda di Indonesia. Hal ini terjadi hingga berakhirnya masa orde lama (Tandelilin, 2001).

Pada masa orde baru, pasar modal diaktifkan kembali dengan membentuk Badan Pelaksana Pasar Modal (BAPEPAM) dan pasar modal dibuka pada 10 Agustus 1977. Tujuannya lebih ditekankan pada azas pemerataan sehingga kepemilikan saham tidak jatuh pada golongan masyarakat tertentu. Untuk itu pemerintah berperan aktif dalam menangani pasar modal. Besarnya campur tangan pemerintah menyebabkan lambannya perkembangan pasar modal Indonesia. Adanya deregulasi perbankan tahun 1983, menyebabkan tingkat suku bunga deposito naik sehingga investasi di pasar modal kurang menarik. Untuk itu pemerintah mengeluarkan berbagai deregulasi seperti Paket Desember 1987, Paket Oktober 1988, Paket Desember 1988 dan Paket September 1997 dengan tujuan menggairahkan perdagangan bursa efek di Indonesia (Tandelilin, 2001).

(20)

Salah satu instrumen pasar modal adalah instrumen utang (obligasi/bond) seperti obligasi perusahaan, obligasi langganan, obligasi yang dikonversikan dengan menjadi saham, dan sebagainya (Anoraga dan Pakarti, 2006). Obligasi didalamnya mengandung suatu perjanjian yang mengikat kedua belah pihak, antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Harga dari obligasi ini ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar.

Obligasi merupakan janji pihak penerbit untuk membayar sejumlah bunga dalam periode waktu tertentu dan membayar nilai nominal obligasi pada waktu jatuh tempo. Obligasi pendapatan tetap sebagai salah satu jenis obligasi yang menawarkan kesempatan untuk memperoleh hasil yang tetap dari waktu ke waktu selama periode tertentu dan kesempatan untuk memperoleh capital gain. Kebijakan penurunan suku bunga Bank Indonesia berdampak pada naiknya harga obligasi. Investor umumnya berinvestasi dalam obligasi pemerintah karena relatif aman namun potensi kenaikan harga yang lebih besar membuat obligasi perusahaan merupakan alternatif yang lebih baik.

Pada November 2005 saat tingkat bunga masih mengalami kenaikan, harga obligasi juga naik. Hal ini disebabkan pelaku pasar optimis lonjakan inflasi dan peningkatan jumlah uang beredar pada Oktober 2005 hanya sementara. Dampak dari kenaikan harga bulan Oktober 2005 hingga April 2006, imbal hasil obligasi perusahaan tercatat sebesar 15,11%. Tahun 2004

(21)

tingkat suku bunga SBI 1 bulan berada pada 7,33%-7,43% dengan yield terendah obligasi perusahaan sebesar 11,25% dengan selisih 3,83% (Susanto, 2006).

Namun kelesuan pasar obligasi perusahaan terjadi pada Juli 2005 dimana saat itu terjadi kenaikan suku bunga SBI hingga ke posisi 8,44%.

Keadaan tersebut diperburuk dengan naiknya harga minyak dunia hingga USD 70,80/barel pada 29 Agustus 2005. kenaikan harga minyak dunia mendorong terjadinya inflasi sehingga Fedres menaikkan Fed Fund Rate dan Indonesia juga melakukan penyesuaian terhadap BI Rate, namun inflasi tetap tinggi. Tingginya inflasi terlihat dari peningkatan jumlah uang beredar di Indonesia akibat pemerintah menaikkan harga BBM untuk menyesuaikan dengan harga minyak dunia. Hal ini memicu aksi borong dolar oleh sejumlah BUMN/perusahaan dalam negeri yang akhirnya menekan nilai rupiah (Bank Indonesia, 2005).

Melemahnya kurs rupiah hingga level Rp 10.000 di bulan Agustus 2005 menyebabkan terjadinya reaksi negatif pasar diikuti aksi penjualan sovereign bond Indonesia yang mengakibatkan turunnya harga sovereign bond. Keadaan tersebut berpengaruh terhadap obligasi perusahaan Indonesia terutama terhadap penerbitan baru obligasi perusahaan di pasar keuangan.

Indeks harga obligasi perusahaan mengalami penurunan pada bulan September hingga November 2005 dari 1.866,2257 basis poin ke 1.797,4046 basis poin (Bank Indonesia, 2005).

(22)

Pergerakan jumlah uang beredar pada 2005 mengalami perlambatan.

Kembali tingginya suku bunga menyebabkan jumlah uang beredar bergerak tipis. Peningkatan uang beredar digunakan untuk keperluan transaksi terkait dengan hari besar keagamaan. Jumlah uang beredar tahun 2005 sebesar Rp 281.905 milyar meningkat tipis dari bulan sebelumnya. Peningkatan uang beredar ini sedikit menguatkan indeks obligasi pada 1.855,999 poin meskipun tingkat bunga relatif tinggi (Bank Indonesia, 2005).

Perkembangan pasar obligasi Indonesia juga diwarnai dengan maraknya penerbitan obligasi internasional oleh perusahaan Indonesia.

Tingginya animo perusahaan untuk menerbitkan obligasi internasional didorong oleh faktor biaya yang rendah dan meningkatnya kebutuhan dana untuk ekspansi bisnis. Selain itu penerbitan obligasi internasional akan meningkatkan citra perusahaan. Respon dari investor asing terhadap penerbitan obligasi internasional cukup tinggi karena imbal hasil yang ditawarkan juga tinggi. Hal itu terlihat pada penawaran obligasi yang mengalami kelebihan permintaan/oversubcribe (Bank Indonesia, 2006).

Pada pertengahan Mei 2006 harga obligasi perbankan menunjukkan penurunan yang cukup tajam meskipun pada minggu selanjutnya harga obligasi kembali meningkat. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap penurunan harga obligasi antara lain depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap US Dolar, isu capital outflow, kinerja IHSG yang terus mengalami tekanan, sentimen regional (penurunan sebagian besar nilai tukar mata uang negara-

(23)

negara di kawasan Asia terhadap Dolar Amerika Serikat) serta rencana peningkatan suku bunga oleh The Fed (Bank Indonesia, 2006).

Tabel berikut ini menunjukkan perkembangan pasar obligasi perusahaan tahun 2002-2005.

Tabel 1.1 Perkembangan Pasar Obligasi Perusahaan Periode 2002-2005

2002 2003 2004 2005

IDR USD IDR USD IDR USD IDR USD

Pencatatan terbaru 12 0 80 2 81 0 47 0

Volume

perdagangan(IDR dalam milyar, USD dalam juta)

6.092 0 13.511 6 15.776 1 23.947 4

Rata-rata harian 25 0 56 0 65 0 97 0

Kapitalisasi pasar (IDR dalam milyar, USD dalan juta)

21.520 0 45.390 105 58.791 105 59.523 105

Frekuensi pelaporan

2.077 0 2.701 7 4.569 1 3.858 3

Sumber: Bursa Efek Surabaya

Tabel di atas menunjukkan penurunan pencatatan obligasi di tahun 2005. Perusahaan yang melakukan pencatatan obligasi dalam denominasi rupiah adalah 47 perusahaan dengan volume perdagangan yang lebih besar yaitu Rp 23.947 milyar. Frekuensi pelaporan dalam denominasi rupiah adalah 3.858 kali dan 3 kali dalam denominasi US Dolar. Penurunan perdagangan obligasi di tahun 2005 karena perekonomian mengalami kelesuan. Perusahaan menunda melakukan penerbitan obligasi dan menunggu saat yang lebih menguntungkan.

Obligasi perusahaan dapat menawarkan pilihan investasi yang terdiversifikasi berdasarkan industri dan kualitas kredit (tingkat resiko) yang

(24)

disukai investor. Selain memberikan kelebihan berinvestasi, obligasi perusahaan juga mengalami resiko. Pertama, resiko likuiditas karena volume perdagangan yang lebih rendah dibandingkan obligasi SUN. Volume perdagangan yang rendah menyebabkan pemegang obligasi perusahaan lebih sulit menjual obligasinya dalam waktu singkat dengan harga yang wajar.

Kedua, resiko kredit yaitu kemungkinan penerbit obligasi gagal membayar kewajiban keuangannya berupa bunga dan pokok utang. Jika investor lebih mengutamakan optimalisasi imbal hasil dibandingkan likuiditas, maka obligasi perusahaan merupakan alternatif yang lebih baik (Susanto, 2006).

Berdasarkan gambaran di atas maka dirasakan perlu untuk mengkaji lebih jauh mengenai obligasi, suku bunga, nilai tukar serta jumlah uang beredar dengan judul “Analisis Pengaruh Faktor Fundamental Ekonomi Terhadap Indeks Harga Obligasi Perusahaan”.

1.2 Perumusan Masalah

Sesuai dengan persoalan yang telah dikemukakan terlebih dahulu maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan pasar obligasi di Indonesia?

2. Bagaimana pengaruh faktor fundamental ekonomi seperti tingkat bunga, nilai tukar, dan jumlah uang beredar terhadap indeks harga obligasi perusahaan?

(25)

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui perkembangan pasar obligasi di Indonesia.

2. Untuk mengetahui pengaruh faktor fundamental ekonomi seperti tingkat bunga, nilai tukar dan jumlah uang beredar terhadap indeks harga obligasi perusahaan.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. Sebagai bahan informasi kepada pihak-pihak terkait sebagai pengambil keputusan mengenai kebijakan yang ditempuh sehubungan dengan jual beli obligasi.

2. Sebagai referensi bagi pihak-pihak lain yang berminat untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang masalah ini secara luas dan mendalam.

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Obligasi

2.1.1. Pengertian Obligasi

Obligasi merupakan suatu bukti pengakuan utang dari perusahaan yang sering disebut bonds. Di dalam obligasi mengandung suatu perjanjian atau kontrak yang mengikat kedua belah pihak antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman dengan berbagai ketentuan yang sudah diatur, baik mengenai waktu jatuh tempo pelunasan utang, bunga yang dibayarkan, besarnya pelunasan, dan ketentuan-ketentuan lain. Obligasi yang tercatat di bursa efek dapat diperdagangkan dengan cara yang sama seperti transaksi saham. Penentuan harga obligasi sangat tergantung pada kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar.

Seperti halnya investasi surat berharga lainnya, ada dua kemungkinan yang dapat dialami oleh investor yaitu perolehan keuntungan dan resiko.

Keuntungan yang dapat diperoleh dari investasi obligasi berupa bunga dan capital gain. Bunga yang diterima sesuai dengan waktu jatuh tempo yang diterapkan, misalnya setiap 3 bulan, 6 bulan atau setahun sekali. Sedangkan, capital gain akan diperoleh jika harga pembelian lebih rendah dari harga penjualan atau pemegang obligasi mendapatkan diskon saat pembelian obligasi, sehingga pemegang obligasi mendapatkan keuntungan pada saat

(27)

pelunasan sebesar harga pari saat jatuh tempo sedangkan resiko yang mungkin dihadapi adalah turunnya harga obligasi (Anoraga dan Pakarti, 2006).

Pendapat lain mengatakan obligasi adalah surat utang jangka panjang yang dapat dipindahtangankan yang berisi janji dari pihak yang menerbitkan untuk membayar imbalan berupa bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok utang pada waktu yang telah ditentukan kepada pihak pembeli obligasi tersebut (Bursa Efek Surabaya, 2001). Emisi obligasi dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu dari emiten maupun dari sisi investornya. Sisi emitennya, emisi obligasi merupakan alternatif investasi yang aman. Karena obligasi memberikan penghasilan tetap berupa kupon bunga yang dibayar secara reguler dengan tingkat bunga yang kompetitif serta pokok utang yang dibayar secara tepat waktu pada saat jatuh tempo yang telah ditentukan.

Sedangkan menurut SK Menteri Keuangan RI No.

1548/KMK/013/1996 obligasi adalah bukti utang dari emiten yang mengandung janji pembayaran bunga atau janji lainnya serta pelunasan pokok pinjaman yang dilakukan pada saat jatuh tempo sekurang-kurangnya 1 tahun sejak tanggal emisi (Manurung dan Rahardja, 2004).

Ketika investor telah membeli obligasi dari penerbit, pada umumnya investor tersebut menjualnya kembali kepada investor lain di pasar sekunder melalui bursa atau over-the-counter. Harga jual obligasi di pasar tersebut dapat berada di bawah harga awal atau sama dengan nilai nominalnya saat

(28)

penerbitan. Dengan kata lain, investor pertama kemungkinan besar akan menjual obligasi dengan mendapatkan untung atau bahkan rugi. Faktor utama yang menentukan harga jual obligasi di pasar sekunder antara lain (Meitaria, 2004):

1. Perubahan tingkat bunga.

Setelah obligasi diterbitkan dan kemudian tingkat bunga mengalami kenaikan, maka nilai dari obligasi akan mengalami penurunan. Begitu juga sebaliknya, jika tingkat bunga mengalami penurunan maka harga obligasi akan naik. Fluktuasi tersebut merupakan faktor utama yang menentukan nilai atau harga pasar dari obligasi. Dengan demikian harga obligasi di pasar sekunder tidak akan terlepas dari pengaruh resiko tingkat bunga. Harga obligasi akan bereaksi terhadap faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat bunga.

2. Peringkat kredit.

Nilai pasar dari obligasi di pasar sekunder akan berubah antara lain tergantung pada peringkat kredit dari obligasi tersebut. Akan tetapi semua investor mempunyai nara sumber untuk memperoleh data dengan akurat mengenai kualitas kredit dari beberapa penerbit. Oleh karena itu, kehadiran lembaga pemeringkat Internasional seperti Standard dan Poor (S&P), Moody’s dan Fitch akan sangat membantu.

Untuk mengetahui peringkat kredit dari setiap penerbit, peringkat kredit berpengaruh karena jika peringkat dan obligasi tesebut

(29)

mengalami penurunan, investor cenderung untuk menjual obligasi yang mereka pegang. Sementara investor lain tidak bersedia membeli obligasi tersebut mengingat kualitas kredit dari penerbit mengalami penurunan.

3. Permintaan dan Penawaran

Dari waktu ke waktu penawaran obligasi relatif akan mengalami perubahan seiring dengan permintaan akan obligasi tersebut. Pada masa dimana penawaran obligasi cenderung sedikit, investor yang bermaksud menjual obligasi akan mendapat harga yang lebih baik dibandingkan jika pada saat terjadi kelebihan obligasi di pasar.

Seringkali perubahan pajak mengakibatkan penawaran obligasi membanjiri pasar sehingga berakibat memberikan tekanan pada pasar obligasi untuk sementara waktu.

Dari ketiga faktor utama tersebut, secara umum pergerakan tingkat bunga di pasar keuangan sangat mempengaruhi harga obligasi. Bila kita asumsikan bahwa obligasi dengan kupon 7% diterbitkan 5 tahun yang lalu ketika tingkat bunga sebesar 8%. Selanjutnya diasumsikan bahwa tingkat bunga ini mengalami kenaikan menjadi 9%.

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa investor mau membeli obligasi yang sudah 5 tahun diterbitkan dengan kupon 8% sementara mereka bisa membeli obligasi yang baru diterbitkan dengan kupon 9%. Salah satu cara yang bisa dilakukan oleh pemilik obligasi untuk mencari pembeli adalah

(30)

dengan menjual obligasi tersebut dengan diskon, sehingga penghasilan total dari obligasi tersebut sama dengan kupon dari obligasi yang baru diterbitkan.

Seperti halnya investasi dalam bentuk saham, obligasi juga memiliki kemungkinan untung dan resiko. Keuntungan dalam investasi obligasi berupa bunga dan capital gain. Resiko yang dihadapi oleh pemegang obligasi adalah turunnya harga obligasi. Harga obligasi ini sangat tergantung pada perkembangan suku bunga bank. Setelah obligasi diterbitkan dan tingkat bunga mengalami kenaikan, maka nilai obligasi akan mengalami penurunan.

Harga obligasi akan bereaksi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat bunga (Meitaria, 2004).

Secara umum, ada beberapa karakteristik dari obligasi yang dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut (Tandelilin, 2001):

1. Nilai instrinsik dari obligasi, yang dipengaruhi oleh tingkat kupon yang diberikan, waktu jatuh tempo dan nilai prinsipalnya.

2. Tipe penerbitannya. Obligasi dapat mempunyai tipe jaminan dan urutan klaim yang berbeda. Emiten bisa menerbitkan obligasi dengan menggunakan jaminan aset riil tertentu yang dimiliki oleh perusahaan atau tanpa menggunakan jaminan.

3. Bond indenture yaitu dokumen legal yang memuat hak-hak pemegang obligasi maupun emiten obligasi. Dokumen tersebut akan memuat spesifikasi tertentu seperti waktu jatuh tempo, waktu pembayaran

(31)

bunga, dan pembatasan pemberian deviden bagi para pemegang saham perusahaan.

4. Call provision yaitu hal emiten obligasi untuk melunasi obligasi sebelum jatuh tempo yang akan dilaksanakan oleh emiten jika tingkat suku bunga pasar di bawah tingkat kupon obligasi. Hal ini dilakukan untuk mengurangi biaya modal peusahaan, akibat kewajiban membayar bunga di atas bunga pasar yang berlaku.

Jumlah obligasi yang diminta mempunyai hubungan positif dengan tingkat bunga obligasi dan berhubungan negatif dengan tingkat bunga untuk aktiva lain yang sifatnya competitive. Demikian juga, mempunyai hubungan positif dengan nilai total kekayaan dan hubungan negatif dengan penghasilan, sebab naiknya penghasilan akan mendorong naiknya keinginan akan uang, sehingga permintaan terhadap jenis aktiva yang lain akan berkurang. Terakhir faktor resiko, makin tinggi resiko jumlah obligasi yang diminta akan makin kecil (Nopirin, 1990).

Terlihat bahwa kenaikan nilai total kekayaan akan menggeser kurva permintaan obligasi ke kanan atas. Sebaliknya kenaikan penghasilan, tingkat inflasi yang diperkirakan serta tingkat bunga kekayaan jenis lain yang competitive akan menggeser kurva permintaan obligasi ke kiri bawah.

Dari segi penawaran, perlu dibedakan antara jumlah obligasi lama dengan tambahan terhadap jumlah obligasi selama suatu periode tertentu.

Jenis yang pertama adalah jumlah obligasi selama suatu periode tertentu.

(32)

Jenis yang pertama adalah jumlah obligasi di tangan masyarakat pada suatu saat tertentu, yang terdiri dari obligasi yang dikeluarkan pemerintah untuk menutup/membiayai defisit atau pinjaman pada waktu/tahun lalu. Jenis kedua adalah tambahan terhadap jumlah/stock yang ada. Oleh karena itu makin pendek jangka waktunya, tambahan ini akan makin kecil.

Untuk mempermudah analisa, diasumsikan jangka waktu yang pendek sehingga tambahan obligasi sangat kecil, tidak ada pengaruhnya terhadap jumlah obligasi yang ditawarkan. Oleh karena itu kurva penawaran obligasi tersebut berbentuk lurus, seperti gambar berikut.

Tingkat Tingkat

Bunga Bunga

D

0

D

S0 S1 A Obligasi B 0 Obligasi lama 0 Obligasi baru

(a) (b)

Sumber : Nopirin (1990)

Gambar 2.1 Permintaan dan Penawaran Obligasi Pemerintah

Gambar (a) menunjukkan pasar obligasi pemerintah. Tingkat bunga ditentukan oleh jumlah obligasi yang ditawarkan dan yang diminta. Pada gambar tersebut, tingkat bunga dalam keadaan keseimbangan adalah r0, dimana kurva penawaran S0 berpotongan dengan kurva permintaan OD.

(33)

Tingkat bunga r0 adalah keseimbangan dalam jangka pendek, sebab pada periode tersebut (pada tingkat bunga r0) terdapat tambahan obligasi baru sebesar OB (pada gambar (b)). Obligasi baru ini akan mempengaruhi tingkat bunga pada periode berikutnya, sehingga kurva penawaran bergeser ke kanan (S1) dan tingkat bunga akan naik. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah dalam jangka panjang, apabila hal-hal lain tidak berubah, defisit anggaran belanja terus menerus yang dibiayai dengan pengeluaran obligasi akan mendorong tingkat bunga makin lama makin tinggi.

Besarnya jumlah obligasi yang ditawarkan tergantung dari pengeluaran obligasi oleh pemerintah guna menutup defisit, ada sebab/cara lain dimana jumlah obligasi yang ditawarkan berubah, yakni melalui kebijaksanaan moneter pasar terbuka. Untuk mempengaruhi jumlah uang beredar, Bank Sentral dapat menjual/membeli surat berharga (termasuk obligasi). Dengan kebijaksanaan ini jumlah obligasi yang ditawarkan dapat berubah.

Gambar (b) menunjukkan obligasi baru yang dikeluarkan pada periode tertentu, yang mempunyai lereng positif. Artinya, obligasi baru mempunyai hubungan positif dengan tingkat bunga. Alasannya, pertama tingkat bunga merupakan biaya/pengeluaran bagi pemerintah atas utang (obligasi yang dikeluarkannya), sehingga kenaikan tingkat bunga akan memperbesar defisit yang berarti pemerintah harus mengeluarkan obligasi baru. Kedua, kenaikan tingkat bunga akan menekan investasi sehingga pendapatan akan turun.

Karena penerimaan pajak sangat tergantung dari pendapatan, maka

(34)

penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak akan turun. Defisit anggaran belanja pemerintah meningkat. Apabila jumlah uang beredar tetap, kenaikan defisit ini akan mendorong pemerintah untuk mengeluarkan obligasi lagi.

Dalam hal ini terlihat bahwa kenaikan tingkat bunga diikuti dengan naiknya jumlah obligasi baru.

Pasar surat berharga swasta (obligasi dan saham) dapat digambarkan sebagai berikut (Nopirin, 1990).

Tingkat Tingkat

Bunga Bunga

rce

D rcl

r co

D

S0 S1

10

Jumlah Pasar dan Saham Obligasi dan Saham Baru - investasi (a) (b)

Sumber : Nopirin (1990)

Gambar 2.2. Pasar Surat Berharga Swasta

Kurva permintaan obligasi dan saham (DD) mempunyai lereng positif, sebab masyarakat akan terdorong memegang/membeli obligasi lebih banyak apabila tingkat bunga makin tinggi. Kurva penawarannya seperti pada obligasi pemerintah, berbentuk garis vertikal karena anggapannya adalah jangka waktu yang pendek sehingga tambahan jumlah obligasi yang ada

(35)

sangat kecil. Keseimbangan terjadi pada titik perpotongan antara kurva permintaan dan penawaran, yaitu pada tingkat bunga rco. Dalam jangka panjang keseimbangan ini akan berubah. Pengeluaran obligasi dan saham baru digunakan untuk membiayai investasi sehingga sumbu horizontal juga menggambarkan pengeluaran investasi. Oleh karena itu, kurva ini mempunyai lereng negatif.

Pada tingkat bunga rco pengeluaran investasi sebesar I0. Tambahan investasi baru sebesar I0 dibiayai dengan pengeluaran obligasi dan saham baru. Akibatnya, kurva penawaran obligasi dan saham akan bergeser ke S1

dan tingkat bunga naik rc1. Proses pergeseran ini akan berjalan terus sampai tingkat bunga mencapai rcc dimana investasi memotong sumbu vertikal. Titik ini merupakan keseimbangan jangka panjang, dimana jumlah obligasi dan saham yang ditawarkan tidak berubah, dan tidak ada obligasi dan saham baru yang dikeluarkan.

2.1.2 Jenis – Jenis Obligasi

Ada beberapa jenis obligasi swasta yaitu (Widiatmodjo, 2004) :

1. Obligasi dengan jaminan (secured bond). Obligasi ini dijamin dengan kekayaan tertentu. Jika terjadi likuidasi, maka pemegang obligasi jenis ini akan mendapatkan pembayaran dari hasil penjualan kekayaan yang dijadikan jaminan.

(36)

Ada 3 jenis obligasi dengan jaminan:

1. Obligasi yang dijamin dengan tanah dan bangunan yang disebut mortgage bond.

2. Obligasi yang dijamin dengan perlengkapan misalnya mesin-mesin, mobil, pesawat terbang, dan lain-lain disebut equipment bond.

3. Obligasi yang dijamin dengan saham atau obligasi lain yang dimiliki emiten disebut collateral trust bond.

2. Obligasi tanpa jaminan (unsecured bond/naked bond). Obligasi ini memang tidak dijamin dengan harta. Obligasi ini laku dijual karena emitennya memiliki reputasi yang bagus.

3. Obligasi senior dan subordinated bond. Obligasi senior memiliki hak mendapatkan penggantian atas semua harta yang dijaminkan apabila dilikuidasi. Obligasi subordinated berarti tidak memiliki hak atas semua harta yang dijaminkan, namun tetap memiliki sebagian hak untuk mendapatkan penggantian.

4. Callability. Obligasi ini mencantumkan persyaratan bahwa emiten mempunyai hak untuk membeli kembali obligasi yang telah diterbitkan. Obligasi jenis ini biasanya akan ditarik kembali pada saat suku bunga secara umum sedang menunjukkan kecenderungan menurun. Jadi pemegang obligasi yang mempunyai persyaratan callability berpotensi merugi, apabila suku bunga turun. Untuk

(37)

mengkompensasi kerugian ini, biasanya emiten memberikan harga premium.

5. Obligasi tanpa bunga atau berbunga rendah (perpetuity bond). Obligasi ini mengizinkan perusahaan penerbitnya membayar bunga yang rendah atau tidak ada sama sekali. Obligasi ini dijual dengan harga diskon dari nilai nominal. Investor menerima sebagian besar pengembalian dari nilai apresiasi obligasi.

6. Junk bond yaitu obligasi yang memiliki peringkat yang rendah.

Penerbit obligasi ini biasanya perusahaan-perusahaan baru yang memiliki catatan kinerja yang belum mapan. Walau demikian, obligasi ini juga dikeluarkan oleh perusahaan yang sudah mapan.

Selain hal tersebut diatas, ada dua hal yang muncul pada pembelanjaan obligasi yaitu negara penerbitan dan sarana penerbitan. Obligasi yang dijual dengan denominasi mata uang tempat mata uang negara penjualannya disebut obligasi asing. Misalnya perusahaan Kanada menjual obligasinya ke New York dengan denominasi dolar AS. Perusahaan Brazil dapat menjual obligasi dengan denominasi Deutschmark di Jerman. Obligasi asing ini biasanya dijual oleh pialang di negara obligasi itu diterbitkan. Sedangkan eurobond adalah obligasi yang didenominasi dalam mata uang negara lain, bukan negara yang mengeluarkan obligasi tersebut. Misalnya obligasi dengan denominasi Dolar dijual diluar AS (di Eropa atau di negara lain). Misalnya obligasi dengan denominasi Dolar dijual diluar AS (di Eropa atau di negara lain) eurobond

(38)

atau obligasi eurodollar. Eurobond dijual oleh sindikat pialang internasional karena eurobond biasanya dijual bersamaan di beberapa negara (Levi, 2001).

2.1.3 Teori Penentuan Harga Obligasi

Teori mengenai penentuan harga obligasi sangat berhubungan dengan bagaimana harga obligasi bereaksi atas perubahan yield to maturity obligasi.

Yield to maturity yaitu tingkat hasil yang akan diperoleh pemodal jika membeli obligasi pada harga pasar dan memegangnya sampai masa jatuh tempo. Jika obligasi memiliki nilai pasar yang sama dengan nilai pokoknya, maka yield to maturity akan sama dengan tingkat bunga kuponnya. Namun jika nilai pasar kurang dari nilai pokok maka obligasi akan memiliki yield to maturity yang lebih besar dari tingkat kupon. Sebaliknya jika nilai pasar lebih besar dari nilai pokok, maka obligasi akan memiliki yield to maturity yang lebih rendah dari tingkat bunga kupon. Dengan mengingat hal tersebut, maka terdapat lima teori yang berhubungan dengan penentuan harga obligasi (Sharpe,et.al, 1997):

1. Jika harga pasar obligasi naik, maka imbal hasilnya akan turun, sebaliknya jika harga pasar obligasi turun, maka imbal hasilnya akan naik.

2. Jika imbal hasil obligasi tidak berubah sepanjang masa hidupnya, maka besarnya diskon/premium akan menurun jika jangka semakin pendek.

(39)

3. Jika imbal hasil obligasi tidak berubah sepanjang hidupnya, maka besarnya diskon/premium akan menurun dengan penurunan yang semakin besar jika jangkanya makin singkat.

4. Penurunan pada imbal hasil obligasi akan menaikkan harga obligasi sejumlah yang lebih besar ukurannya dibanding penurunan harga obligasi yang akan terjadi jika besarnya penurunan imbal hasil obligasi sama.

5. Persentase perubahan pada harga obligasi yang disebabkan oleh perubahan imbal hasilnya akan semakin kecil jika tingkat bunga kuponnya lebih tinggi.

Sedangkan untuk melakukan perhitungan indeks harga yaitu dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Bursa Efek Surabaya, 2004):

% 100

, ,

, X

P IF P

b v

t v t

v =

Keterangan:

Pv,b = harga pasar obligasi dengan v hari pada waktu dasar Pv,t = harga pasar obligasi dengan v hari pada waktu dasar t IFc,t = v hari indeks harga pada waktu t

Sedangkan indeks yield merupakan angka yang diperoleh dari rata-rata tertimbang dari yield terhadap nilai nominal obligasi tercatat. Angka indeks ini dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur keberhasilan perolehan

(40)

yield suatu portofolio. Berikut ini rumus untuk menghitung indeks yield obligasi (Bursa Efek Surabaya, 2004):

N q i

y q Y

i t i

t i t

t ., 1,2,...., . ,

=

=

Keterangan:

q = jumlah obligasi yang beredar Yt = yield obligasi i pada hari t

Harga jual suatu sekuritas ini mencerminkan tingkat kepercayaan dan prospek lembaga yang menerbitkannya. Pihak-pihak yang sangat dipercaya dan dinilai memiliki prospek yang baik, harga obligasinya relatif baik.

Misalnya obligasi yang diterbitkan pemerintah pusat atau BUMN yang besar dan sehat cenderung memiliki harga yang relatif tinggi dan stabil dibandingkan obligasi perusahaan milik pemerintah daerah.

Seorang pemodal yang tertarik untuk membeli obligasi tentunya harus memperhatikan peringkat obligasi (bond ratings). Rating atau peringkat, merupakan sebuah pernyataan tentang keadaan pengutang dan kemungkinan apa yang bisa dan akan dilakukan sehubungan dengan utang yang dimiliki, sehingga dapat dikatakan bahwa peringkat mencoba mengukur resiko default, yaitu peluang emiten atau peminjam akan mengalami kondisi tidak mampu memenuhi kewajiban keuangannya. Peringkat obligasi perusahaan diharapkan

(41)

dapat memberikan petunjuk bagi investor tentang kualitas investasi obligasi yang mereka minati.

Pemodal bisa menggunakan jasa credit rating agency yang memberikan jasa penilaian terhadap obligasi yang beredar untuk mendapatkan informasi mengenai peringkat obligasi. Di Indonesia terdapat lembaga pemeringkat sekuritas utang yaitu PEFINDO (Pemeringkat Efek Indonesia).

Hasil dari pemeringkat surat utang didasarkan atas beberapa hal seperti (Andry, 2005):

1. Kemungkinan pelunasan pembayaran yaitu kemampuan obligor untuk memenuhi kewajiban finansialnya sesuai dengan perjanjian.

2. Struktur, karakteristik serta berbagai ketentuan yang diatur dalam surat utang.

3. Perlindungan yang diberikan maupun posisi klaim dari pemegang surat utang tersebut bila terjadi pembubaran/likuidasi serta hukum lainnya yang mempengaruhi hak kreditur.

(42)

Defenisi Peringkat PT Pefindo

Simbol Arti

idAAA Perusahaan dengan resiko investasi paling rendah, berkemampuan paling baik untuk membayar bunga dan pokok utang dari seluruh kewajiban finansialnya sesuai dengan yang diperjanjikan.

idAA Perusahaan dengan resiko investasi sangat rendah, berkemampuan paling baik untuk membayar bunga dan pokok utang dari seluruh kewajiban finansialnya sesuai dengan yang diperjanjikan dan tidak mudah dipengaruhi oleh perubahan keadaan.

idA Perusahaan dengan resiko investasi rendah dan berkemampuan baik untuk membayar bunga dan pokok utang dari seluruh kewajiban finansialnya sesuai dengan yang diperjanjikan, dan hanya sedikit dipengaruhi oleh perubahan keadaan yang merugikan.

idBBB Perusahaan dengan resiko investasi cukup rendah dan berkemampuan baik untuk membayar bunga dan pokok utang dari seluruh kewajiban finansialnya sesuai dengan yang diperjanjikan, meskipun kemampuannya tersebut cukup peka terhadap perubahan keadaan yang merugikan.

idBB Perusahaan yang masih berkemampuan untuk membayar bunga dan pokok utang dan seluruh kewajiban finansialnya sesuai dengan yang diperjanjikan, namun resiko investasi cukup tinggi dan sangat peka terhadap perubahan keadaan yang merugikan.

idB Perusahaan dengan resiko investasi sangat tinggi dan berkemampuan sangat terbatas untuk membayar bunga dan pokok utang dari seluruh kewajiban finansialnya sesuai dengan yang diperjanjikan.

idCCC Perusahaan yang berkemampuan lagi untuk memenuhi segala kewajiban finansialnya.

idD Utang efek yang macet atau perusahaan yang sudah berhenti berusaha.

Sumber :Widiatmodjo, 2004

2.2 Tingkat Bunga

2.2.1 Pengertian Tingkat Bunga dalam Penilaian Obligasi

Untuk memahami perhitungan tingkat bunga dalam obligasi, ada tiga titik waktu yang penting untuk dipahami. Titik waktu tersebut menyangkut

(43)

tingkat bunga atas obligasi tersebut, kapan dana akan diserahkan dan kapan hutang akan dilunasi.

1. Spot Interest Rates merupakan tingkat bunga dari obligasi yang hanya mempunyai satu arus kas bagi pembeli obligasi tersebut. Obligasi yang hanya mempunyai satu arus kas bagi pemodal disebut pure discount bond atau zero coupon bond.

2. Future rates atau Forward rates merupakan tingkat bunga atas obligasi dimana terjadinya komitmen dan kapan uang akan diserahkan ke pihak emiten berbeda.

3. Current yield merupakan pembayaran bunga dibagi dengan harga obligasi.

Current yield adalah tingkat bunga yang sering dicantumkan pada surat kabar keuangan, meskipun manfaatnya tidak terlalu banyak. Misalnya, Zero coupon bond mempunyai current yield sebesar nol (per defenisi).

Jika pemodal memilih obligasi berdasarkan atas current yield mereka akan selalu menolak membeli zero coupon bond.

4. Yield to maturity merupakan internal rate of return (IRR) yang diperoleh pemodal dengan memiliki obligasi sampai dengan jatuh tempo (Husnan dan Pudjiastuty, 1993).

Harga obligasi sangat tergantung dari perkembangan suku bunga bank.

Pada saat suku bunga bank mengalami peningkatan, investor akan cenderung melepas/menjual obligasinya dan menyimpan uangnya di bank dengan bunga yang tinggi, sehingga penawaran mengalami peningkatan dan mengakibatkan

(44)

harga obligasi cenderung turun. Resiko Capability juga dapat dialami oleh pemegang obligasi yaitu terjadinya pelunasan atas utang obligasi/penarikan obligasi sebelum jatuh tempo sedangkan pada saat itu suku bunga di bank menurun dan bunga yang diperoleh dari obligasi jauh lebih menguntungkan.

Pengaruh perubahan tingkat bunga pasar terhadap harga obligasi akan terkait dengan maturitas dari obligasi tersebut. Bila terjadi kenaikan/penurunan tingkat bunga maka harga obligasi yang mempunyai maturitas lebih lama akan mengalami penurunan/kenaikan harga yang lebih besar dibandingkan dengan obligasi yang mempunyai maturitas yang lebih pendek, ceteris paribus. Misalnya pada obligasi yang maturitasnya 10 tahun, apabila terjadi kenaikan tingkat bunga dari 10% menjadi 18% maka harga obligasi akan mengalami penurunan sebesar 33,8% yaitu dari Rp 1.373,96 menjadi Rp 908,32. Sedangkan pada obligasi yang mempunyai maturitas yang lebih lama misalnya 25 tahun, jika ada penurunan tingkat bunga yang sama yaitu dari 10% menjadi 18%, maka harga obligasi akan mengalami penurunan sebesar 41,99% (Tandelilin, 2001).

Selain dipengaruhi oleh maturitas obligasi, perubahan harga obligasi karena adanya perubahan tingkat bunga juga tergantung pada tingkat kupon yang diberikan oleh obligasi tersebut. Tetapi, hubungan tingkat kupon obligasi dengan sensivitas harga obligasi terhadap perubahan tingkat bunga merupakan hubungan yang tidak searah. Oleh karena itu, bila terjadi perubahan tingkat bunga maka harga obligasi yang mempunyai tingkat kupon

(45)

yang lebih rendah akan relatif lebih berfluktuasi dibandingkan dengan harga obligasi yang tingkat kuponnya lebih tinggi. Misalnya pada obligasi yang memberikan kupon 10%, jika terjadi kenaikan tingkat bunga sebesar 6% maka harga obligasi tersebut akan turun menjadi Rp 642,25 atau sebesar 35,77%.

Sedangkan pada obligasi yang memberikan kupon lebih tinggi misalnya 20%

jika terjadi perubahan tingkat bunga yang besarnya sama maka harga obligasi hanya turun sebesar 33,34%. Kesimpulan yang dapat ditarik yaitu jika terjadi perubahan tingkat bunga, maka dua faktor penting yang mempengaruhi perubahan harga obligasi adalah tingkat kupon dan maturitasnya. Bila terjadi penurunan/kenaikan tingkat bunga, maka harga obligasi akan naik/turun, tetapi persentase perubahan harga yang relatif lebih besar akan terjadi pada obligasi yang mempunyai maturitas lebih panjang dan tingkat kupon yang lebih rendah (Tandelilin, 2001).

2.2.2 Teori Tingkat Bunga Keynes

Keynes mengatakan bahwa tingkat bunga adalah balas jasa yang diterima seseorang karena orang tersebut mengorbankan liquidity preferencenya. Makin besar liquidity preferencenya, makin besar keinginan orang tersebut untuk menahan uang tunai, maka makin besar tingkat bunga yang diterima orang tersebut bila ia meminjamkan uang tersebut kepada orang lain.

(46)

Bila tingkat bunga turun dari tingkat bunga normal, dalam masyarakat ada suatu keyakinan akan naik suku bunga masa yang akan datang. Bila masyakat memegang obligasi pada saat suku bunga naik (obligasi mengalami penurunan) pemegang obligasi tersebut akan menderita kerugian (capital loss). Guna menghindari kerugian ini tindakan yang dilakukan adalah menjual obligasi yang dengan sendirinya akan mendapatkan uang kas dan uang kas ini yang dipegang pada saat suku bunga naik. Hubungan inilah yang disebut motif spekulasi permintaan uang kas karena masyarakat akan melakukan spekulasi tentang obligasi di masa yang akan datang (Nasution, 1998).

2.3 Nilai Tukar (Exchange Rate) 2.3.1 Sistem Nilai Tukar

Valuta asing atau foreign exchange, secara tipikal merupakan mata uang asing dan bukan sesuatu yang legal tender pada negara lain. Oleh karena itu, penerimaan devisa dari kegiatan ekonomi internasional perlu di konversikan dengan mata uang domestik agar dapat diterima sebagai alat tukar terhadap barang dan jasa di luar negara pencetaknya. Dengan demikian timbul suatu usaha untuk bisa menukar valas tersebut dengan mata uang lokal agar dapat ditukarkan dengan barang atau jasa di negara tersebut (Hadi, 2001).

Kontribusi kurs terhadap resiko obligasi jauh lebih besar dari pada terhadap saham. Terjadinya depresiasi mata uang dapat mendorong

(47)

pemerintah untuk meningkatkan tingkat bunga dalam usaha untuk mendongkrak nilai mata uang. Tingkat bunga yang lebih tinggi akan menurunkan harga obligasi dalam mata uang lokal, sehingga depresiasi mata uang diikuti dengan penurunan nilai obligasi dalam mata uang lokal. Nilai aset mata uang lokal dan pergerakan kurs saling menguatkan, yang meningkatkan variasi nilai obligasi dalam dolar AS yang memiliki korelasi positif antara nilai aset mata uang lokal dan kurs menambah volatilitas.

Dalam kasus obligasi mata uang asing yang dinilai dengan Dolar AS, proporsi yang cukup besar dari volatilitas berasal dari variasi kurs. Hal ini berlawanan dengan saham, dimana volatilitas terutama disebabkan oleh variasi dalam nilai mata uang lokal dari pasar saham (Levi, 2001).

Secara umum ada empat macam sistem kurs yang telah banyak di kenal masing-masing:

a) Free Floating Exchange rate System

Dalam sistem kurs mengambang bebas atau disebut juga Clean Floating Rate System, kurs suatu mata uang ditentukan oleh pengaruh permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar valas sesuai dengan mekanisme pasar yang berlaku. Secara teoritis, penentuan kurs sepenuhnya diserahkan pada pengaruh pasar sehingga pemerintah tidak perlu lagi melakukan intervensi di pasar baik melalui transaksi jual-beli valas maupun intervensi dalam bentuk ketentuan-ketentuan peraturan. Oleh karena itu, cadangan yang ada bisa digunakan untuk maksud lain.

(48)

b) Managed Floating Exchange rate System

Dalam sistem kurs mengambang terkendali, pemerintah dapat kapan saja melakukan intervensi baik melalui pembelian atau penjualan valas, ataupun melalui berbagai kebijaksanaan Bank sentral akan memelihara tingkat apresiasi/depresiasi pada suatu persentase tertentu dengan melakukan penjualan atau pembelian valas pada level-level yang dianggap mengkhawatirkan. Selain itu bila diperkirakan kurs valas sudah terlalu menyimpang, maka pemerintah secara bertahap akan memperkecil perbedaan tersebut melalui devaluasi atau lainnya.

c) Fixed Exchange Rate System

Sistem penetapan kurs tetap, muncul pertama kali pada tahun 1944 bersamaan dengan lahirnya Dana Moneter International (IMF) dan Bank dunia yang beroperasi berdasarkan standar pertukaran emas. Sistem kurs yang tetap atau stabil diperlukan saat itu dengan maksud untuk memperlancar arus perdagangan dan investasi internasional karena dengan sistem kurs tetap tersebut, dijamin ada suatu kepastian biaya atau pendapatan daripada kegiatan perdagangan atau investasi dimaksud. Atau paling tidak resiko karena perbedaan kurs di negara dimaksud bisa diperkecil. Dengan penetapan kurs tetap ini, bukan berarti kesignifikan permintaan dan penawaran menjadi hilang, melainkan hanya timbul tenggelam karena adanya intervensi Bank Sentral di pasar valas.

(49)

Pemerintah dalam hal ini betul-betul mengendalikan pasar valas.

d) Pegged Exchange rate System.

Sering disebut juga sebagai sistem kurs terkait yaitu sistem kurs terkait yaitu sistem kurs yang dilakukan dengan mengkaitkan nilai mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain yang dinilai stabil. Kurs mata uang tersebut akan berfluktuasi mengikuti mata uang negara-negara yang ditambatinya dan karenanya nilai mata uang negara tersebut (yang ditambatkan) menjadi sangat tergantung pada kondisi negara lain. Pada umumnya negara-negara yang ditambatinya adalah negara-negara yang mempunyai hubungan dagang yang erat dan secara ekonomi cukup potensial. Dalam perkembangannya kita kenal dengan Crawling Peg System atau sistem kurs terkait merambat, yang pada prinsipnya kurs yang ditambatkan diperbolehkan berfluktuasi atau berubah (Crawl or glide) secara periodik sesuai dengan kondisi yang berkembang.

2.3.2 Perkembangan Sistem Nilai Tukar

Yati dan Hardiyanto (1999), penelitian Hongliang (1998) menyatakan bahwa nilai tukar negara-negara Eropah sejak rejim nilai tukar tetap Bretton Woods sampai dengan tahun 1997, mengungkapkan bahwa perilaku nilai tukar adalah regimedependent, yaitu tergantung pada sistem nilai tukar yang berlaku.

(50)

Secara garis besar, Indonesia telah mengimplementasikan sistem nilai tukar yang berbeda-beda dalam tiga dekade terakhir. Perubahan dari suatu sistem ke sistem lainnya didasarkan pada kebutuhan agar sistem nilai tukar sesuai dengan perekonomian yang mengalami perubahan seiring dengan perkembangan ekonomi.

a. Sistem Nilai Tukar Tetap (1970 – November 1978).

Sesuai dengan Undang-undang No. 32 tahun 1964, Indonesia menganut sistem nilai tukar tetap dengan kurs resmi Rp 250 per 1 USD (Sebelumnya Rp 45 per 1 USD), sementara kurs mata uang lainnya dihitung berdasarkan nilai tukar rupiah terhadap USD di bursa valuta asing Jakarta.

Dalam rezim ini tidak ada pembatasan dalam hal kepemilikan, penjualan maupun pembelian valuta asing. Sebagai konsekwensi kewajiban penjualan devisa tersebut maka Bank Indonesia harus dapat memenuhi seluruh kebutuhan valuta asing bank komersial untuk memenuhi permintaan para importir maupun masyarakat yang membutuhkan valuta asing. Pada masa tersebut penentuan nilai tukar mutlak dilakukan oleh pemerintah atas dasar nilai tukar riil. Dengan sistem nilai tukar tetap ini, Bank Indonesia memiliki wewenang penuh dalam mengawasi transaksi devisa. Sementara untuk menjaga kestabilan nilai tukar pada tingkat yang telah ditetapkan, Bank Indonesia melakukan intervensi aktif di pasar valuta asing. Sistem nilai tukar tetap dengan sistem kontrol devisa pada awal tahun 1970-an masih dimungkinkan karena lembaga keuangan belum

(51)

berkembang, volume transaksi devisa masih relatif kecil dan kegiatan spekulasi valas belum ada.

b. Sistem nilai tukar mengambang terkendali (November 1978-Agustus 1997).

Pada sistem ini nilai rupiah diambangkan terhadap sekeranjang mata uang (basket of currencies) negara-negara mitra dagang utama Indonesia.

Kebijakan ini diimplementasikan bersamaan dengan dilakukannya devaluasi Rupiah pada awal tahun 1978 sebesar 33,6%. Dengan sistem tersebut pemerintah menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs bergerak di pasar dengan spread tertentu. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, pemerintah melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas atas batas bawah dari spread. Perkembangan selanjutnya dengan semakin terbukanya perekonomian nasional terhadap perekonomian dunia yang ditandai dengan semakin besarnya capital inflow ke Indonesia, serta semakin pesatnya perkembangan sektor keuangan dan dunia usaha maka kebijakan nilai tukar managed floating, lebih ditekankan pada unsur floating sementara unsur pengendaliannya (managed) semakin mengecil.

c. Sistem Nilai Tukar Managed Floating dengan Crawling band system (September 1995-Agustus 1997).

Fleksibilitas nilai tukar rupiah semakin ditingkatkan melalui penerapan kebijakan nilai tukar crawling band sejak tahun 1992, hingga Agustus

(52)

1997. Peningkatan fleksibilitas nilai tukar tersebut telah mendorong perkembangan pasar valuta asing dalam negeri, yang tercermin dari semakin berkurangnya ketergantungan bank-bank kepada Bank Indonesia dalam melakukan transaksi devisa. Di samping itu, jumlah pelaku transaksi juga semakin meningkat dan produk pasar valuta asing semakin bervariasi. Hal ini terlihat dari transaksi swap Bank Indonesia yang menurun tajam dari USD 13 milliar pada tahun 1991 menjadi sebesar USD 1 milliar tahun 1994. Sebaliknya transaksi swap antar bank meningkat dari USD 29 milliar pada tahun 1991 menjadi sebesar USD 596 milliar pada tahun 1997.

d. Sistem nilai tukar mengambang bebas (sejak 14 Agustus 1997).

Sejak pertengahan Juli 1997, nilai tukar Rupiah mengalami tekanan- tekanan yang menyebabkan semakin melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap USD. Tekanan tersebut berawal dari krisis Thailand yang dengan segara menyebar ke Indonesia dan negara Asean sehubungan dengan karakteristik perekonomian yang mempunyai kemiripan. Langkah-langkah yang dilakukan Bank Indonesia antara lain dengan melakukan intervensi, untuk sementara memang dapat menstabilkan nilai tukar Rupiah. Namun tekanan tersebut semakin meningkat khususnya sejak awal Agustus 1997, dimana rupiah telah menembus Rp 6.250/USD. Sehubungan dengan itu dan dalam rangka mengamankan cadangan devisa yang terus berkurang maka pada tanggal 14 Agustus 1997, pemerintah memutuskan untuk

(53)

menghapus rentang intervensi dan menganut sistem nilai tukar mengambang bebas (fleksible exchange rate). Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif dari kegiatan spekulatif terhadap Rupiah dan memantapkan pelaksanaan kebijakan moneter dalam negeri.

2.4 Uang Beredar

Uang beredar dalam arti sempit adalah seluruh uang kartal dan uang giral yang tersedia untuk digunakan oleh masyarakat. Uang kartal disini adalah uang tunai yang dikeluarkan oleh Bank Sentral yang langsung berada di masyarakat untuk digunakan. Uang kartal terdiri dari uang kertas dan uang logam. Sedangkan uang giral adalah seluruh nilai saldo rekening koran (giro) yang dimiliki masyarakat pada bank umum.

Ms = C + DD Dimana :

C = Uang kartal (currency) D = Uang giral (demand deposit)

Uang beredar dalam arti luas adalah terdiri dari uang beredar dalam arti sempit, deposito berjangka dan saldo tabungan. Perkembangan uang beredar dalam arti luas ini yang mempengaruhi perkembangan harga, produksi dan keadaan perekonomian pada umumnya.

(54)

M2 = M1 + TD + SD Dimana :

TD = time deposit (deposito berjangka) SD = Saving deposit (saldo tabungan)

Uang beredar dalam arti luas (M2) terdiri dari semua time deposit dan saving deposit dalam rupiah pada bank–bank dan tidak mencakup time deposit dan saving deposit dalam mata uang asing (dollar) (Boediono, 1998).

Dalam teori klasik, loanale funds merupakan dana yang tersedia untuk dipinjamkan. Misalnya dalam suatu priode terdapat anggota masyarakat yang menerima pendapatan melebihi apa yang mereka perlukan untuk kebutuhan konsumsinya selama periode tersebut. Masyarakat tersebut akan membentuk suatu supply atau penawaran akan loanable funds. Di lain pihak, dalam periode yang sama terdapat anggota masyarakat yang membutuhkan dana untuk berkonsumsi lebih daripada pendapatan yang diterima selama periode tertentu atau karena keperluan dana untuk ekspansi bisnis. Masyarakat ini akan membentuk suatu demand atau permintaan akan loanable funds. Proses transaksi ini akan terjadi suatu keseimbangan di pasar dana investasi (Loanable Funds) (Boediono, 1998).

Di dalam pasar loanable funds terdapat kemungkinan untuk memilih pola konsumsi yang tidak harus sama dengan pola pendapatannya. Pada tingkat bunga tertentu, ia bisa meminjamkan sebagian pendapatannya pada periode tertentu dan memperoleh kembali uang yang dipinjamkannya pada

(55)

periode berikutnya sejumlah pokok pinjaman dan bunganya yang siap dikonsumsikan pada periode tersebut. Misalnya tingkat bunga yang berlaku di pasar loanable funds adalah 10% untuk satu periode, maka dengan menyerahkan satu Rupiah sekarang, seseorang akan memperoleh kembali 1,1 Rupiah satu periode kemudian.

Sedangkan dari sisi permintaan akan loanable funds adalah karena aliran pendapatan yang kecil pada periode sekarang dan pendapatan yang besar pada periode selanjutnya. Apabila masyarakat dihadapkan pada pola pendapatan seperti ini, maka akan menguntungkan baginya untuk meminjam dana dari pasar sekarang dan membayarnya kembali nanti. Investor bersedia membayar bunga atas dana yang digunakan karena ia mengharapkan penerimaan yang lebih besar daripada jumlah yang diinvestasikan.

Keuntungan inilah yang merupakan daya tarik bagi investor untuk melakukan investasi (Boediono, 1998).

Sedangkan menurut teori Keynes tentang permintaan uang dengan tujuan spekulasi adalah untuk memperoleh keuntungan apabila si pemegang uang tersebut dapat meramal apa yang akan terjadi dengan benar. Secara garis besar teori Keynes membatasi pada keadaan dimana pemilik kekayaan bisa memilih memegang kekayaannya dalam bentuk uang tunai atau obligasi (bonds). Uang tunai dianggap tidak memberikan penghasilan. Sedangkan obligasi dianggap memberikan penghasilan berupa sejumlah uang tertentu setiap periode. Menurut Keynes, orang dapat berspekulasi mengenai

Gambar

Gambar 2.1 Permintaan dan Penawaran Obligasi Pemerintah
Gambar 2.2. Pasar Surat Berharga Swasta
Gambar 2.3 Pengaruh Penambahan Uang Beredar
Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran Pengaruh Faktor Fundamental  Ekonomi Terhadap Indeks Harga Obligasi Perusahaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Maka dalam penelitian ini diambil judul “Analisis Pengaruh Nilai Tukar, Inflasi, Suku Bunga, Pertumbuhan Ekonomi, dan Harga Minyak Indonesia terhadap Indeks

FORMULASI TEPUNG JAGUNG, TEPUNG PISANG NANGKA DAN OATMEAL PADA PRODUK FLAKES DITINJAU DARI.. KARAKTERISTIK FISIKOKIMIAWI

Dari hasil wawancara, terlihat bahwa siswa menghapal Hukum-hukum tentang pembiasan, tetapi tidak memahami bahwa ketika medium suatu benda kurang rapat maka

Rodentisida dengan bahan aktif brodifacoum dan bromadiolone dipilih untuk pengujian tikus pohon, tikus rumah, dan tikus sawah karena kedua jenis rodentisida ini

Dari sini penulis mencoba untuk meneliti lebih lanjut, dengan melakukan penelitian sendiri dimana peneliti mencoba membuktikan atas penelitian terdahulu yang dilakukan

Jual beli melalui pesanan atau sala>m yaitu dengan menyebutkan barang dengan sifat-sifatnya dengan kriteria tertentu dalam tanggungan dengan pembayaran

Pajak penghasilan adalah Pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan

Adapun kegiatan yang dimaksudkan untuk memberikan kepuasan nasabah, melalui pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan nasabah.Pelayanan dikatakan baik