• Tidak ada hasil yang ditemukan

perencanaan pembangunan berbasis e informa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "perencanaan pembangunan berbasis e informa"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Musrenbang :

Forum awal dari proses perencanaan pembangunan

di Indonesia.

Oleh : Guritno Soerjodibroto1

Kondisi awal dan permasalahan dasar yang ada.

Mekanisme perencanaan pembangunan yang telah diterapkan di Indonesia sejak tahun 1982 melalui mekanisme yang disebut ‘bottom-up planning’, sampai dengan saat ini tidak mengalami perubahan secara essential. Dan yang lebih utama lagi adalah kelemahan kelemahan yang dihadapi masa lalu, hingga saat ini belum ada upaya untuk mengatasinya, sehingga dapat dikatakan bahwa dari segi pencapaian sasaran keseluruhan, mekanisme yang diadopsi ini masih banyak meninggalkan persoalan dari pada pencapaian sasarannya.

Mekanisme yang disebut diatas adalah proses musrenbang (masa lalu disebut Rakorbang)2, yakni proses yang diawali dari tingkat kelurahan atau desa dan berakhir pada tingkat kabupaten atau kota, sebagai ide awal. Itu semua dimaknakan sebagai proses untuk merangkum aspirasi masyarakat yang akan didengar dan dijadikan pertimbangan dalam perencanaan pembangunan. Untuk saat ini, hal ini menjadi jauh lebih berkembang dalam memaknakannya, yakni bahwa musrenbang tidak terbatas untuk megumpulkan aspirasi, tetapi juga dimanfaatkan sebagai perwujudan mekanisme demokrasi serta partisipasi warga untuk melakukan koreksi dan penyempurnaan rumusan yang akan diambil pemerintah dalam hal perencanaan pembangunan. Dengan berkembangnya jenis-jenis dokumen perencanaan seperti diamanatkan oleh UU25 tahun 2004 , maka proses musrenbang ini tidak hanya terbatas pada desa/kelurahan, kecamatan dan kabupaten/kota saja, melainkan juga untuk satuan kerja (SKPD), propinsi dan bahkan kementerian.

Kegiatan bersama masyarakat yang selanjutnya diartikan sebagai pengejawantahan dari kata pastisipasi seolah menjadi focus perhatian bagi pemerintah saat ini, sehingga kata ini diperlukan dimana-mana dan kapan saja, meskipun menjadi tidak mau tahu apakah essensinya bergeser atau tidak. Partisipasi menjadi lebih procedural dan mengikuti ritme yang telah ditentukan.

Beberapa pihak cenderung pesimis terhadap upaya mensosialisasikan paham partisipasi saat ini, seperti uraian dibawah ini :

1

Senior Adviser, Regional and Spatial Planning, project Good Local Governance yg didukung oleh GTZ bekerjasama dengan Departemen Dalam Negeri.

2

(2)

Partisipasi. Sekarang kata ini mungkin sudah menjadi semacam mantra. Praktisi pembangunan masyarakat di Indonesia biasa merapalnya tiga kali sehari. Konon, malahan ada yang menjadikan partisipasi sebagai “agama”. Mereka yakin benar jimat yang satu ini ampuh untuk membuka kultur bisu masyarakat dan menembus barikade struktur kekuasaan yang menindas. Dulu, mantra ini memang pernah begitu ditakuti, keramat, dan dianggap berbahaya. Hanya sedikit kalangan yang menguasai mantra ini, itupun dilakukan sambil sembunyi-sembunyi. Salah satu diantara segelintir kalangan itu adalah LSM.

Tetapi sekarang mantra ini bisa dirapal siapa saja dan di mana saja. Meminjam istilah George Ritzer dalam The McDonaldization of Society: An Investigation into The Changing Character of Contemporary Social Life (1993) partisipasi sudah mirip Mc Donald. Partisipasi layaknya fast food, dijual massal, instan, dan menjadi bagian dari gaya hidup. Para aktivis biasanya merasa makin keren dan modis jika memakai atribut partisipasi.(Dwijoko - diskusi di milis simfoni_desa@yahoogroups.com).

Dalam kata yang lebih sederhana, pemahaman mengenai partisipasi dalam kenyataanya yang dilakukan saat ini adalah sekedar ‘model berkerumun’ dalam membahas sesuatu.

Meskipun juga untuk mendapatkan kata akhir mengenai makna partsipasi dalam kaitanya proses perencanaan pembangunan sampai dengan saat ini juga masih belum menemukan intinya apakah lebih memfokuskan pada proses yang berarti penguatan dialog untuk kesetaraan dalam proses pengambilan keputusan, ataukah pencapaian hasil yang dapat memuaskan semua pihak ?

Untuk tidak berpanjang dalam masalah diatas, dalam kesempatan ini pembahasan keseluruhan mencoba untuk menghindarinya, dan lebih memfokuskan untuk upaya pencapaian sasaran yang tidak membebani atau mengecewakan semua pihak dengan tetap menghormati proses dan peran yang selayaknya ada di tiap pelaku.

Permasalahan dalam hasil :

Pelibatan masyarakat sebagai kata ganti kata partisipasi (untuk menghindari debat yang berkepanjangan mengenai esseni dan definisi partisipasi) dalam proses perencanaan sejak awal di niatkan untuk dapat megekplorasi kebutuhan pembangunan secara benar. Selanjutnya daftar kebutuhan tersebut dirumuskan kedalam beberapa proposal yang diajukan sebagai input bagi proses penganggaran di RAPBD.

Akan tetapi, fakta yang terjadi sejak dimulainya proses pelibatan masyarakat ini adalah tidak pernahnya atau selalu terjadinya penumpukkan jumlah proposal yang dihasilkan dari proses pelibatan masyarakat diatas dari proses ke proses dan tahun ke tahun. Dan juga selanjutnya ditambah dengan tak ada beritanya mengenai kapan proposal tersebut diatas akan direalisir atau diakomodasi dalam daftar program dan kegiatan di APBD.

Untuk mersepon keresahan diatas, memang selalu ada cara untuk menjawab, yakni dibangunya criteria bersama untuk menentukan skala prioritas di tiap proposal masyarakat diatas. Melalui proses panjang (yakni tingkat kecamatan dan kabupaten/kota, setidaknya), dalam kata akhirnya, masyarakat hanya cukup dipuaskan dengan informasi bahwa proposal yang ada belum dapat diakomodasi dalam APBD karena masih ada prioritas lain yang lebih tinggi, sementara budget yang ada terbatas.

(3)

Persoalan yang ada adalah ‘ Apakah kondisi diatas harus tetap dipertahankan ? Aparat harus menemukan dan mencari kata yang tepat untuk ‘menyejukkan hati’ masyarakat ? Di pihak lain, masyarakat dibiarkan terus untuk merasa tidak puas karena proposalnya tidak pernah/ sedikit sekali yang direalisir dengan dana dari APBD ?

Kalau hal ini terus berjalan seperti kondisi diatas, hal mendasar yang relative rawan akan dapat muncul, yakni “menurunnya kepercayaan rakyat kepada aparatnya”………….

Permasalahan dalam proses :

Kemauan pemerintah untuk melibatkan masyarakat sebagai pemeran utama dalam proses perencanaan di tingkat masyarakat adalah awal yang baik. Akan tetapi apabila kemauan diatas tidak dikemas dalam proses yang benar, hal inipun dikawatirkan akan menghasilkan efek yang tidak diharapkan. Setidaknya upaya pemberdayaan masyarakat yang didengungkan justru akan menumpulkan semangat dan nilai nilai social yang sudah berakar dimasyarakat.

Keterbatasan waktu, keterbatasan ruang serta keterbatasan motivasi dari pihak aparatur ataupun fasilitatornya, seringkali menjadi unsur dominan dalam menyumbangkan kegagalan untuk menciptakan proses pelibatan yang baik.

Bagaimana menjadikan isu perencanaan pembangunan menjadi isu yang menarik bagi masyarakat di perkotaan dan perdesaan adalah satu isu besar yang saat ini ada. Dan karenanya, pihak pihak yang hadir di setiap proses musrenbang pada akhirnya memang menjadi terbatas dan dapat disebut ‘yang itu-itu juga’. Pihak warga yang lebih potensial untuk berkonstrubusi seperti para pakar serta pengusaha, menjadi jauh dari tertarik untuk hadir, disisi lain, pihak yang paling ‘lemah’ dari sisi ekonomi maupun social sering merasa ‘tak layak’ untuk hadir di forum perencanaan ini. Ini adalah phenomena yang dijumpai saat ini.

Keterbatasan ruang, yakni jumlah kursi atau ruang fisik untuk menampung para peserta terpaksa menjadi referensi utama bagi upaya untuk menetapkan masyarakat mana yang perlu diundang dalam forum perencanaan ini . Pihak-pihak yang disebut sebagai ‘tokoh masyarakat’ pada akhirnya menjadi primadona dalam forum ini,meskipun seringkali ukuran tokoh ini berasosiasi dengan usia, yakni mereka yang sudah berusia tua, yang seringkali juga mereka ini tidak mampu merepresentasikan warganya karena kapasitas. Mereka terpilih hanya mempunyai kelebihan secara psikologis saja.

Apa yang menjadi inti persoalan ?

Proses perencanaan pembangunan yang diterapkan di seluruh pemerintah daerah di Indonesia saat ini secara diagramtis dapat digambarakan seperti dibawah (lihat diagram : Jalur Proses Prencanaan Pembangunan)

(4)

dokumen tersebut, adalah acuan utama yang harus dipergunakan untuk menyusun Renja SKPD, RKPD dan berlanjut ke KUA serta PPAS.

Sebagai input utama untuk merekam kondisi yang sedang dihadapi diperlukan mekanisme musrenbang dimulai dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan hingga kabupaten/kota. Keseluruhan pada intinya merupakan INPUT bagi proses perencanaan pembangunan. Dengan demikian, proses perencanaan pembangunan adalah proses mempertemukan situasi yang dihadapi saat ini dengan referensi atau arah pembangunan yang sudah ditetapkan dalam dokumen perencanaan jangka menengah yang ada.

Ketika keseluruhan proses perencanaan pembangunan diartikan sebagai upaya untuk menyiapkan pelaksanaan pembangunan, maka hal mendasar yang harus dihasilkan adalah bahwa hasil perencanaan harus dapat merefleksikan :

a. Upaya elaborasi mandate Prioritas Nasional yang sudah ditetapkan oleh pemerintah untuk dilaksanakan di seluruh daerah

b. Langkah-langkah strategis dalam mengoperasionalkan Visi pembangunan daerah yang merupakan ekstraksi atau kepanjangan dari visi jangka panjang yang ada.

c. Upaya konsisten untuk meningkatkan kualitas pelayanan dasar

d. Berbagai program yang bersifat multi years yang harus dilanjutkan serta program yang belum selesai pada ahun sebelumnya.

e. Persoalan atau isu-isu yang sedang dihadapi saat ini yang terbaru, yang secara teoritis belum terkamodasi pada upaya-upaya yang ada di butir-butir diatas (a s/d d).

Terkait dengan pengadaan informasi untuk mengungkapkan isu-isu saat ini diatas inilah diperlukan proses musrenbang dari segala tingkat yang ada saat ini. Sehingga konsentrasi pelaksanaan musrenbang

(5)

pada dasarnya adalah untuk ‘mengupdate’ dan ‘menangkap informasi’ terkini yang harus ditangani oleh pemerintah melalui anggaran belanjanya.

Mengapa daftar usulan atau proposal masayarakat kurang tepat ?

Berbagai konsep dasar tentang partisipasi yang diterapkan oleh berbagai pelaku, utamanya para lembaga swadaya masyarakat, diartikan sebagai sebuah upaya pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengaktualisasikan hak-haknya dalam proses perencanaan pembangunan, yang berujung pada pembuatan proposal pembangunan.

Dalam hal, masyarakat mempunyai otoritas sendiri, maka pemahaman bahwa masyarakat harus dapat merencanakan dirinya sendiri adalah tepat. Akan tetapi hal ini juga harus dibarengi dengan kapasitas masyarakat untuk menindak lanjutinya.

Mengutip Arnstein (1969) Partisipasi adalah bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam perubahan sosial yang memungkinkan mereka mendapatkan bagian keuntungan dari kelompok yang berpengaruh.

Dari pernyataan diatas, kata ‘terlibat’ dan ‘mendapatkan bagian keuntungan’ disini menjadi essensi sentral dari makna partisipasi dalam kerangka besar yakni perubahan sosial. Untuk itu, dalam posisi dialog antara masyarakat dengan aparat untuk tujuan agar masyarakat mendapatkan ‘keuntungan’, seyogyanya memang dibedakan fungsinya karena faktanya memang berbeda. Masyarakat jelas bukan yang bertanggung jawab untuk setiap rumusan rencana yang harus dibiayai dengan sumber dana APBD, tetapi aparatlah yang harus bertanggung jawab untuk itu (lihat : peraturan tentang evaluasi kinerja pemerintah). Disisi lain, masyarakat bukanlah ahli perencana , tetapi aparat lah yang mempunyai kapasitas untuk ini secara profesionalitas maupun legalitas. Dalam konteks perencanaan pembangunan, dimana proses dan keputusan berada diluar jangkauan kewenangan masyarakat itu sendiri, maka ada baiknya bila aktualisasi hak masyarakat dalam hal ini tidak pada level penentu kebijakan (decision

maker), tetapi lebih kepada pemberi input (informasi)

Persoalan mendasar yang terjadi dalam proses perencanaan berbasis dialog diatas adalah :

- Lemahnya kemampuan aparat dalam mendengarkan suara rakyat

- Kurang efektivnya mekanisme perumusan strategi penanganan masalah bersama yang seharusnya dilakukan bersama antara pemerintah (aparat) dengan masyarakat.

- Terbiasanya masyarakat untuk mengajukan proposal meskipun tidak memahami persoalan yang akan dipecahkan dan selalu proposalnya ditangguhkan hingga waktu yang tak terbatas. Sementara itu, dorongan dari berbagai kalangan terutama LSM juga senada, yakni menginginkan agar masyarakat dapat merebut posisi dialog sehingga dapat menghasilkan proposal sesuai dengan yang diajukan.

(6)

masalah yang dihadapi , cukup diragukan ketika proses perumusan masalahnya belum dapat dijamin kualitasnya.

Perubahan pendekatan dimana ?

Melihat jumlah proposal yang kadang juga termasuk didalamnya berupa proposal yang basisnya vested interest, yang bila di konversikan ke jumlah budget yang diajukan menjadi sangat tidak rational, maka hampir selalu seluruh jumlah proposal tersebut diatas hanya berakhir pada ‘ruang tunggu’ alias tidak diketahui kapan akan dimasukkan dalam APBD. Kondisi inilah yang selanjutnya melandasi perubahan pendekatan yang diajukan disini.

Melalui konsep bahwa memahami permasalahan dengan benar pada dasarnya sudah merupakan separo jalan untuk menyelesaikan permasalahan itu sendiri, maka dalam konsep yang ditawarkan disini, masyarakat di tingkat desa lebih didorong untuk lebih mengenali permasalahan yang mereka hadapi dengan cara yang lebih benar. Bukan sekedar menyatakan langsung disepakati bahkan juga langsung memberikan solusi berupa proposal yang belum tentu merupakan jawaban atas masalah yang ada, tetapi masih diperlukan proses analisis dan pembangunan kesamaan pendapat diantara peserta mengenai masalah yang diajukan tersebut. Sehingga pada akhirnya dapat dikenali atau dirumuskan ‘

core issue’ nya – inti masalahnya yang harus di rumuskan.

Masalah yang dirumuskan dengan benar tersebut diatas selanjutnya akan dijadikan input bagi semua pihak yang berkepentingan dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pembangunan.

Mekanisme identifikasi masalah ini akan menjadi forum yang diperbaharui melalui penyediaan fasilitator yang memadai untuk kepentingan ini. Dan hasil akhirnya adalah rumusan masalah yang memang ada di lingkungan yang ada dengan masalah yang mudah terlihat dan terasakan oleh semua stakeholder (sudah menjadi phenomena umum).

Keterlibatan fasilitator yang mempunyai kemampuan yang memenuhi persyaratan disini menjadi sangat vital. Untuk itu diperlukan proses pelatihan yang efektiv terhadap para calon fasilitator nantinya.

Bagaimana aparatur harus bertindak ?

Ditingkat desa, sepenuhnya adalah dominasi warga. Sementara di tingkat kecamatan, dimana outputnya adalah setara dengan Renja SKPD, maka sudah selayaknya di tingkat kecamatan ini, pihak SKPD sudah harus terlibat aktif. Persoalan yang ada diantara musrenbang tingkat desa dan kecamatan adalah persoalan transformasi ‘apa yang diresahkan masyarakat’ kedalam ‘format dokumen perencanaan di SKPD’.

(7)

Untuk membangun kesamaan pendapat dan kualitas rasa memiliki hasil-hasil dialog, prosedur yang dibangun untuk ini adalah berupa pembahasan masalah bersama untuk merumuskan strategi dan upaya penanganan masalah yang ada. Pihak SKPD akan menjadi narasumber untuk tema/isu yang sesuai, sementara warga dan lsm atau pakar(bila ada) akan menjadi peserta dalam dialog / forum tersebut. Untuk menjaga efektivitas komunikasi, diperlukan disini seorang fasilitator yang mengetahui tujuan dan prinsip-prinsip partisipasi. Perlu ada proses pelatihan khusus untuk ini.

Dengan berorientasi pada format Renja SKPD, setidaknya untuk setiap kegiatan sebagai penjabaran dari strategi penanganan masalah yang sdh teridentifikasi, akan ada rumusan kegiatan, target dan indicator akan menjadi perhatian utama dalam hasil akhir di tingkat kecamatan ini. Dengan demikian, selanjutnya akan mudah untuk diketahui SKPD mana yang paling relevan untuk bertanggung jawab atau mengusung daftar kegiatan tersebut ke proses penganggaran selanjutnya.

Mekanisme Kerja yang diperlukan

Sebagai konskewensi dari upaya perbaikan diatas, diperlukan perubahan terhadap instrument dan proses pendampingan yang sesuai dengan kebutuhan yang ada.

Dengan dasar perubahan bahwa untuk mensinkronkan hasil musrenbang, diperlukan sinkronisasi format yang dipergunakan yakni :

a. rumusan di tingkat kecamatan menggunakan format yang mengadopsi format Renja SKPD b. rumusan di tingkat kabupaten menggunakan format yang mengadopsi format Matrik RKPD

Ditingkat kecamatan setidaknya sudah dapat dirumuskan :

- Cara cara (kegiatan) mengatasi masalah yang sudah diidentifikasi di tingkat desa yang sudah di kelompokkan sesuai cakupan layanan tiap SKPD, sehingga dapat diketahui SKPD mana yang akan bertanggung jawab terhadap tindak lanjut dari usulan kegiatan ini.

- Ukuran atau target yang ditetapkan untuk setiap kegiatan.

Di tingkat SKPD, dengan bekal rumusan di tingkat kecamatan diatas, SKPD melakukan ‘assessment dan konfirmasi’ untuk setiap usulan kegiatan melalui proses kunjungan lapangan untuk assessment dan pelaksanan Forum SKPD untuk konfirmasi ke stakeholder.

Di tingkat kabupaten, keseluruhan daftar kegiatan yang telah di nilai dan di konformasikan diatas, dikonsolidasikan dengan berbagai program pembangunan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah terkait. Harapan terakhir dari proses ini berupa input bagi pengisian (ingat : bukan penyusunan) matrik RKPD.

(8)

Diagram : Hubungan fungsional Musrenbang dengan format perencanaan yang ada.

Sumber : Presentasi Guritno Soerjodibroto “ Perencanaan pembangunan untuk rakyat”.

Dari segi operasional, keseluruhan mekanisme yang dibutuhkan untuk mengakomodasi perubahan yang dimaksud diatas selanjutnya dapat terlihat pada Diagram Alir : Proses Pelaksanaan Modifikasi Musren Desa + Kecamatan (dibawah).

Perbedaan yang mendasar :

- Warga lebih didorong untuk menyampaikan permasalahan riil (bukan solusi) yang dihadapi melalui proses pendampingan yang berkualitas.

- Aparat formal (SKPD) bersama warga membahas kemungkinan pemecahan masalah yang telah diidentifikasi yang diorientasikan ke format Renja SKPD

- Berbagai informasi permasalahan (pelayanan dasar) yang diungkapkan di tingkat desa akan dimanfaatkan sebagai informasi dasar perencanaan di tiap SKPD

- Fungsi Bapeda untuk mengkoordinasikan perencanaan pembangunan sudah harus

(9)

mendistribuskannya ke SKPD terkait untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembahasan dip roses di kecamatan.

- Keseluruhan hasil adalah merepresentasikan makna perencanaan pembangunan yang memang seharusnya dilakukan yakni : mengatasi masalah atau isu-isu yang ada di masyarakat, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari program pembangunan satu daerah.

Diagarm Alir : Proses Pelaksanaan Modifikasi Musren Desa + Kecamatan

Kelompok MASALAH

Anggota MASALAH 1 MASALAH n Pendamping

Wakil warga Wakil masalah 1 Wakil masalah n

Fasilitator

SKPD SKPD 1 SKPD n

Pakar –Univ Pakar / Univ/LSM Pakar/Univ/LSM

(10)

Manfaat yang akan di dapat :

1. Berbagai ‘keluhan’ atau permasalahan yang dikeluhkan masyarakat sudah dapat diakomodasi oleh kegiatan dan program sesuai cakupan layanan tiap SKPD

2. Setelah musren Desa, warga tidak lagi mempersoalkan ‘usulan’ yang mereka ajukan. Ada perobahan cara memahami bahwa : usulan yang diajukan masyarakat belum tentu menjawab masalah, kalaupun usulan itupun menjawab masalah, usulan tadi belum tentu dapat diakomodasi oleh SKPD.

3. Dengan tidak adanya proses pengusulan ‘usulan’, maka diharapkan tidak ada lagi muncul istilah ‘proposal siluman’, atau ‘proposal kepentingan pribadi’ bahkan milik atau interest pribadi atau kelompok .

4. Dengan adanya proses pembahasan bersama dalam merumuskan strategi penanganan tiap masalah oleh peserta (bila dimungkinkan ada pakar dr warga) bersama SKPD selaku narasumber, setidaknya akan terjadi ‘pembauran yg solid’ sehingga ‘kesetaraan diantara warga dan aparat semakin terasa’. Kepemilikan program dan kegiatan menjadi lebih kuat di sisi aparat dan warga.

5. Dalam penyusunan Renja, tiap SKPD akan menerima informasi yang riil menyentuh harkat dan hajat hidup masyarakat, sehingga program dan kegiatan SKPD akan lebih memberi manfaat 6. Para pejabat Lurah ataupun Camat, tidak lagi harus menjawab keluhan warga tentang “ apakah

usulan kami sudah ditampung, kapan usulan kami di realisasikan ?”…tetapi dapat lebih meyakinkan bahwa masalahnya sudah masuk dalam program-program SKPD, tanpa harus memaksa SKPD mengorbankan ‘interest’nya.

(11)

Lampiran 1:

Merumuskan Masalah

Merumuskan masalah dengan benar sudah merupakan separo langkah dalam mencapai tujuan. Pendapat umum ini mudah dipahami, karena dalam berbagai proses perencanaan, hal yang sebenarnya menjadi titik crucial adalah menetapkan dan merumuskan masalah yang harus diatasi.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan masalah ?

Ketika melihat berbagai argument mengenai pengertian atau batasan masalah, sangat beragam jawabnya, dan cenderung memaknakan masalah sebagai hal yang terkait dengan diri sendiri. Akan tetapi, pengertian masalah yang lebih luas sulit ditemukan. Untuk itu, disini akan ditawarkan pemahaman untuk ini sebagai langkah atau metoda untuk memfasilitasi perumusan masalah pembangunan yang dihadapi oleh masyarakat.

Dalam proses musrenbang-musyawarah perencanaan pembangunan di tingkat desa terutama, masyarakat difasilitasi untuk merumuskan aspirasi, yang selanjutnya diwujudkan dalam bentuk ‘kebutuhan’ yang berupa usulan atau proposal pembangunan. Padahal kenyataanya, setiap proposal diatas pada akhirnya belum dapat dipastikan sebagai upaya untuk mengatasi masalah yang ada. Proposal yang ada lebih sering berorientasi pada ‘keinginan maju’, tetapi bukan ‘keinginan mengatasi masalah’, sehingga pada akhirnya muncul istilah daftar keinginan (wish list). Hal ini terjadi pada proses musrenbang di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini juga karena disebabkan oleh adanya petunjuk dalam Surat Edaran Bersama yang menyatakan bahwa lewat proses partisipatip dintingkat desa, akan dihasilkan daftar usulan pembangunan oleh masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

Önerilen malzemelerden bazıları kıvrılmış Kevlar -49 içeren PMA veya PEA gibi esnek polimerler, PHEMA içerisine heliks yapıda PET fiberlerinden oluşan malzemelerin yeterli

dipermasalahkan dalam pronunciation kayak misalnya satu kata dengan kata yang lain itu kan mirip bunyinya tapi cara pengucapannya itu bisa jadi berbeda nah disitu

Sesuai dengan informasi metadata, maka user akan diarahkan mengenai keberadaan data dan bagaimana cara yang bisa dilakukan untuk mendapatkan data yang dimaksud.. Hal

1) Dalam pandangan psikoanalitikyang dikemukakan oleh Sigmund Freud, Ansietas adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian id dan super ego. Id mewakili

Oleh karena itu diperlukan keseimbangan antara persediaan volume produksi air dengan kebutuhan air pada konsumen dan untuk menyelesaiakan persoalan yang ada

(3)Tanpa mempersoalkan ayat-ayat tersebut di atas, penanaman modal yang dilakukan oleh para investor dari satu Pihak di dalam wilayah Pihak lainnya harus diberikan perlakuan yang

Memberikan pedoman pelaksanaan pengukuran, pelaporan, dan verifikasi aksi Mitigasi Perubahan Iklim kepada Penanggung Jawab Aksi untuk mengetahui capaian aksi Mitigasi. Perubahan

b.TOKO MODERN (minimarket, supermarket, departement store, hypermarket ataupun grosir yang berbentuk perkulakan) dalam melaksanakan kegiatan operasional wajib menerapkan