• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

B. Pengertian Parate Eksekusi Dalam Hak Tanggungan

Di dalam mengatasi masalah nasabah bank atau yang disebut dengan debitur yang melakukan wanprestasi atau cidera janji, bank sering kali mengalami kesulitan untuk memperoleh pelunasan kreditnya. Jika ditempuh dengan cara gugatan melalui pengadilan, maka memerlukan waktu yang lama dan biaya yang cukup banyak, meskipun dalam proses beracara di pengadilan menganut asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Secara fakta sejarah perbankan di Indonesia telah mewariskan senjata yang paling ampuh dan cepat dalam memberantas kredit macet yaitu melalui Parate

65

Ibid

66

eksekusi atau mengeksekusi sendiri/langsung (melelang) agunan tanpa campur tangan pengadilan.67

Menurut Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan68

“Eksekusi yang dilaksanakan tanpa mempunyai titel eksekutorial (Grosse Akta Notaris atau Keputusan Hakim) melalui parate eksekusi (eksekusi langsung) yaitu pemegang Hak Tanggungan dengan adanya janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri dapat melaksanakan haknya secara langsung tanpa melalui keputusan hakim atau grosse akta notaris”.

, Parate Eksekusi adalah:

Pengertian mengenai parate eksekusi menurut Bachtiar Sibarani69 adalah “Melakukan sendiri eksekusi tanpa bantuan atau campur tangan pengadilan atau hakim.” Hal ini sejalan dengan pengertian parate eksekusi yang di definisikan oleh Rachmadi Usman70

Menurut Sudarsono

yakni “ Pelaksanaan eksekusi tanpa melalui pengadilan”. Subekti juga berpendapat bahwa Parate eksekusi adalah “menjalankan sendiri atau mengambil sendiri apa yang menjadi haknya (dalam arti tanpa perantaraan hakim)”

71

Dari beberapa arti dan definisi mengenai Parate eksekusi di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak hanya keputusan hakim yang dapat dieksekusi, tetapi terdapat ketentuan yang memberikan hak kepada kreditor untuk melaksanakan sendiri

, pengertian parate eksekusi adalah pelaksanaan langsung tanpa melalui proses pengadilan; eksekusi langsung yang biasa dilakukan dalam masalah gadai sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian.

67

Bachtiar Sibarani, Parate Eksekusi dan Paksa Badan, (Jurnal Hukum Bisnis,vol.15, September, 2001), halaman 22

68

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda, (Yogyakarta. : Liberty, 1981), halaman 32

69

Bachtiar Sibarani, Op Cit, halaman 5

70

R.Surbekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung : Bina Cipta, 1989), halaman 42

71

eksekusi tanpa perantara pengadilan yang disebut dengan Parate eksekusi. Hal ini berarti jika nasabah bank melakukan perbuatan wanprestasi, kreditor serta merta dapat langsung melaksanakan penjualan barang milik Debitur yang dijadikan barang jaminan atau agunan dengan perantara kantor pelayanan piutang dan lelang negara, penjualan ini dapat dilakukan tanpa media Pengadilan Negeri. Dapat dilihat juga apa yang dijelaskan oleh Sri Soedewi Mascjhoen Sofyan72

1. Tidak membutuhkan Titel Eksekutorial dalam melaksanakan haknya/eksekusi; . Pendapat beliau bahwa hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri menguntungkan dalam dua hal yaitu:

2. Dapat melaksanakan Eksekusi sendiri secara langsung (Mandiri) tidak peduli adanya kepailitan dari Debitur (di luar pengadilan) karena tergolong separatis.

Di dalam ilmu hukum sendiri pemberian kewenangan mengenai Parate eksekusi ini didasarkan atas doktrin yang antara lain menyatakan bahwa suatu perjanjian yang pasti atau tidak telah mengandung sengketa seperti piutang yang telah pasti (fixed loan). Hal seperti ini sudah dapat dilaksanakan sendiri oleh pihak yang berkepentingan tanpa campur tangan pengadilan. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, ternyata pengertian Parate eksekusi ini menjadi kabur sebagai akibat dari adanya putusan pengadilan yang menerapkan ketentuan eksekusi Grosse Akta dalam sengketa parate eksekusi. Menurut doktrin, Parate eksekusi ini adalah penjualan yang berada di luar hukum acara dan tidak diperlukan adanya penyitaan, tidak melibatkan

72

juru sita, kesemuanya diselesaikan seperti orang yang menjual sendiri barangnya di depan umum.73

Aturan mengenai parate eksekusi khususnya yang diberikan kepada pemegang hipotek diatur didalam Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata, yang selengkapnya berbunyi :

Namun diperkenankanlah kepada si berpiutang hipotek pertama untuk, pada waktu diberikannya hipotek, dengan tegas minta diperjanjikan bahwa, jika uang pokok tidak dilunasi semestinya, atau jika bunga yang terhutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil yang diperikatkan dimuka umum, untuk mengambil pelunasan uang pokok, maupun bunga serta biaya, dari pendapatan penjualan itu

Dari Pasal tersebut diketahui bahwa Undang-undang memberikan kepada pemegang hipotek pertama untuk menjual langsung atas kekuasaan sendiri barang objek hipotek tanpa melalui pengadilan.

Selain Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Parate eksekusi juga diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang diatur dalam Pasal 6 yang berbunyi :

“Apabila debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”

73

Dari Pasal 6 UUHT tersebut memberikan hak bagi pemegang hak tanggungan untuk melakukan parate eksekusi. Artinya pemegang hak tanggungan tidak perlu memperoleh persetujuan saja dari pemberi hak tanggungan, tetapi juga tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan setempat dimana objek hak tanggungan berada, apabila akan melakukan eksekusi atas objek hak tanggungan yang menjadi jaminan hutang debitur dalam hal debitur cidera janji atau wanprestasi.

Pemegang Hak Tanggungan dapat langsung datang dan meminta kepada Kepala Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas objek hak tanggungan yang bersangkutan. Karena kewenangan pemegang hak tanggungan pertama itu merupakan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang (kewenangan tersebut dimiliki demi hukum), maka kepala kantor lelang negara harus menghormati dan mematuhi kewenangan tersebut.74

Hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dimiliki oleh pemegang hak tanggungan, atau oleh pemegang hak tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang hak tanggungan, sebagaimana yang dimaksudkan dalam penjelasan Pasal 6 UUHT No.4 Tahun 1996 yang berbunyi :

Hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang hak tanggungan atau pemegang hak tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang hak tanggungan. Hak tersebut didasarkan

74

pada janji yang diberikan oleh pemberi hak tanggungan bahwa apabila debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek hak tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi hak tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu dari pada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi hak tanggungan

Ketentuan ini memberikan kepastian bagi Perbankan apabila debitur cidera janji dengan memberikan kemungkinan dan kemudahan untuk pelaksanaan parate eksekusi sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 258 Rbg75

Parate eksekusi dan menjual atas kekuasaan sendiri, penerapannya mengacu pada ketentuan Pasal 224 HIR dan Pasal 258 Rbg. Dimana apabila tidak diperjanjikan kuasa menjual sendiri, penjualan lelang harus diminta kepada Ketua Pengadilan Negeri dan permintaan tersebut harus berdasarkan alasan bahwa pihak debitur telah melakukan cidera janji atau wanprestasi. Akan tetapi karena Pasal 6 UUHT tidak mengatur tentang cidera janji, maka dengan demikian untuk menentukan adanya cidera janji merujuk pada ketentuan Pasal 1243 KUHPerdata atau sesuai dengan kesepakatan yang diatur dalam perjanjian atau bisa juga merujuk secara analog pada ketentuan Pasal 1178 KUHPerdata, dimana yang dikategorikan cidera janji yaitu apabila debitur tidak melunasi hutang pokok, atau tidak membayar bunga yang terhutang sebagaimana mestinya.76

75

Bambang Setijoprodjo, Pengamanan Kredit Perbankan Yang Dijamin Oleh Hak Tanggungan, (Medan: Lembaga Kajian Hukum Bisnis USU Medan, 1996), halaman 63

76

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk melakukan eksekusi terhadap hak tanggungan yang telah dibebankan atas tanah dapat dilakukan tanpa harus melalui proses gugat-menggugat (proses ligitimasi) apabila debitur telah melakukan cidera janji. Hal ini sesuai dengan yang ditentukan dalam UUHT Pasal 14 ayat (1), (2), dan (3) yang berbunyi:

1. Sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan, kantor pertanahan menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku;

2. Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah- irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti

grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.”

Pada prinsipnya penjualan objek hak tanggungan harus dilakukan melalui pelelangan umum, hal tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan penjualan itu dapat dilakukan secara jujur (fair). Dengan cara seperti ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk penjualan dari objek hak tanggungan yang menjadi agunan, hal ini sesuai dengan bunyi Undang-undang Hak Tanggungan Pasal 20 ayat (1) yaitu:

Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan :

a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual Objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau

b. Titel Eksekutorial yang terdapat dalam Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2).

Di dalam hal penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga yang tinggi apabila memungkinkan dilakukan penjualan objek hak tanggungan dilakukan dengan cara di bawah tangan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 20 ayat (2) UUHT. Pelaksanaan penjualan sendiri objek hak tanggungan secara di bawah tangan hanya dapat dilakukan dengan syarat-syarat sebagai berikut77 a. Apabila disepakati oleh pemberi dan pemegang hak tanggungan;

:

b. Setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan; c. Diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang

bersangkutan dan/atau media massa setempat yang jangkauannya meliputi tempat letak objek hak tanggungan yang bersangkutan;

d. Tidak ada pihak yang menyatakan keberatannya.

Kesepakatan yang terjalin antara pemberi dan pemegang hak tanggungan merupakan unsur atau kunci dalam penjualan objek hak tanggungan yang dilaksanakan di bawah tangan, yaitu jika dengan cara itu dilakukan, maka akan dapat

77

Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), halaman 131

diperoleh harga yang lebih tinggi yang dapat menguntungkan semua pihak. Dengan kata lain untuk memberikan kewenangan atas penjualan di bawah tangan tersebut yaitu agar tidak ada pihak yang dirugikan. Oleh karena penjualan di bawah tangan dari objek hak tanggungan hanya dapat dilaksanakan apabila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan.78

Pihak bank sendiri tidak mungkin melakukan penjualan di bawah tangan terhadap objek hak tanggungan atau agunan kredit apabila debitur tidak menyetujuinya. Kesepakatan untuk melakukan penjualan di bawah tangan terhadap objek hak tanggungan merupakan bentuk dari kebebasan yang diberikan kepada pemberi dan pemegang hak tanggungan dengan tujuan untuk mempercepat penjualan objek hak tanggungan dan juga untuk mengurangi beban biaya eksekusi yang harus dipikul oleh debitur. Namun demikian kesepakatan untuk melakukan penjualan di bawah tangan hanya boleh dibuat apabila telah terjadi cidera janji atau wanprestasi oleh debitur, sehingga dengan demikian kesepakatan tersebut tidak boleh dibuat dan dituangkan dalam APHT terlebih dahulu

.

79 .