KEKUATAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN SEBAGAI JAMINAN
PENGEMBALIAN UTANG PEMBIAYAAN BERMASALAH
DALAM PRAKTIK PT. BANK MUAMALAT
INDONESIA, Tbk CABANG MEDAN
TESIS
OLEH
SHERHAN
117005021 / HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KEKUATAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN SEBAGAI JAMINAN
PENGEMBALIAN UTANG PEMBIAYAAN BERMASALAH
DALAM PRAKTIK PT. BANK MUAMALAT
INDONESIA, Tbk CABANG MEDAN
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
OLEH
SHERHAN
117005021 / HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
Judul Tesis :
Nama : Sherhan
KEKUATAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN SEBAGAI JAMINAN PENGEMBALIAN UTANG PEMBIAYAAN BERMASALAH DALAM PRAKTIK PT. BANK MUAMALAT INDONESIA, Tbk CABANG MEDAN
NIM : 117005021 Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
Ketua
(Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S)
(Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum)
Anggota Anggota
(Dr. Hasyim Purba, SH, M.Hum)
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
Telah diuji Pada Tanggal : 15 Juli 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS. Anggota : 1. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum
2. Dr. Hasyim Purba, SH, M.Hum
ABSTRAK
Bank syariah sebagai lembaga intermediasi yang mana dalam aktifitasnya menghimpun dana dan menyalurkan kembali kepada masyarakat dengan prinsip syariah wajib memperhatikan aspek prudential banking. Pembiayaan menjadi salah satu aktifitas perbankan yang sangat mengandung resiko karena apabila Bank Syariah memberikan pembiayaan kepada nasabah (Mudharib) berarti Bank Syariah tersebut telah memutuskan untuk mengambil dan mengelola resiko tersebut. Salah satu upaya yang telah diciptakan Undang-undang dalam memitigasi resiko pembiayaan bermasalah adalah dengan diwajibkannya nasabah memberikan jaminan dalam pembiayaannya.
Sifat penelitian adalah deskriptif analitis, dengan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu mengadakan analisa terhadap masalah dengan melihat peraturan yang berlaku (khususnya UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan). Sumber data dalam penelitian ini berasal dari bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang berhubungan dengan peraturan perundang-undangan. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang berasal dari karangan ilmiah, buku-buku referensi dan informasi, akta perjanjian kredit dan sertifikat hak tanggungan, dan bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk dan penjelasan-penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, yakni kamus umum, kamus hukum, jurnal, artikel, majalah dan dokumen-dokumen pendukung yang ada di PT. Bank Muamalat Indonesia,Tbk
Semangat lahirnya Undang-undang Hak Tanggungan merupakan suatu solusi bagi dunia perbankan dalam hal menguasai jaminan debitur yang mengalami pembiayaan bermasalah sebagai sumber pengembalian. Setelah dilakukan penelitian pada praktek di PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk yang melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan sebagai jaminan pengembalian utang bagi nasabah pembiayaan bermasalah hasilnya tidak signifikan dan maksimal. Pelaksanaan parate eksekusi maupun riil eksekusi memiliki kelemahan dan celah hukum tersendiri. Pelaksanaan parate eksekusi sebagai kelebihan yang dimiliki UUHT memiliki celah hukum dalam hal menguasai aset jaminan yang masih ditempati/dihuni karena wajib memasukkan gugatan pengosongan ke Pengadilan Negeri Domisili, selain itu pelaksanaan parate eksekusi juga dapat menimbulkan gugatan atau perlawanan dari nasabah sendiri dengan alasan harus dilaksanakan melalui Pengadilan. Sedangkan pelaksanaan Riil Eksekusi lebih memiliki kepastian hukum karena langsung dilakukan oleh Pengadilan Negeri melalui perintah Ketua Pengadilan Negeri akan tetapi prosesnya membutuhkan waktu cukup lama karena wajib melalui beberapa tahapan proses eksekusi antara lain : Aanmaning, Penetapan Sita Eksekusi, Pelaksanaan Sita Eksekusi, Penetapan dan proses Lelang. Hal tersebut menjadi kendala bagi perputaran bisnis Bank dalam menyehatkan NPF (Non Produktif Financing) dan dilema bagi Bank dalam menyalurkan pembiayaan kepada masyarakat.
ABSTRACT
Islamic bank as an intermediary institution in which the activities to collect funds and distribute it back to the community with regard to Islamic principles shall banking. Financing prudential aspects of banking activity into one that is very risky because if the Islamic banks provide financing to customers (Mudharib) means Islamic Bank has decided to take on and its manage risk. One of the efforts that have created laws to mitigate the risk of financing problems that arise from the provision of financing to the community is to provide assurance to customers of compulsory its financing.
Type of the study is descriptive with normative juridical approach, which approached the problem by looking at the existing regulations (particularly Law No. 4 of 1996 on Mortgage). Sources of data in this study came from the primary, secondary and tertiary legal materials related to the regulations of legislation, scientific writing, reference books, and information, credit agreement deed and certificate of right of guarantee, any legal materials directing and explaining the secondary legal materials such as general dictionary, dictionary of legal terms/law, journals, articles, magazines and supporting documents that exist in PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk
The spirit of the birth of the Mortgage Act was a solution for the banking sector in terms of having control collateral that debtor financing problems as a source returns. After doing research on practice in PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk which carry out executions Mortgage as a loan repayment guarantees for customers financing problems and the results are not significantly the maximum. Parate execution and real implementation of execution has its own weaknesses and loopholes. Parate execution as UUHT has advantages in terms of legal loopholes guarantee control assets that are still occupied because mandatory evacuation filed suit to state court of domicile, in addition to the implementation of parate execution may also lead to a lawsuit or opposition from its own customers with reasons to be implemented through the courts. While the implementation of the execution of real legal certainly for directly by the district court through the command chair of the district court, but the process will take a long time because it must go through several stages of the process execution like Aanmaning, Determination confiscation execution, Execution of confiscation execution, Determination and the auction
process. It’s make obstacles for the Bank's business turnover in healthy NPF (Non Productive Financing), this is a problem for the Bank in disbursing financing to
the community.
.
KATA PENGANTAR
Pertama dan terutama dengan segala kerendahan hati terimakasih saya kepada
Allah SWT karena atas karunia dan rahmatnya yang telah menambah keyakinan dan
kekuatan penulis dengan segala keterbatasan yang dimiliki telah dapat menyelesaikan
penulisan Tesis dengan judul “KEKUATAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN SEBAGAI JAMINAN PENGEMBALIAN UTANG PEMBIAYAAN BERMASALAH DALAM PRAKTIK PT. BANK MUAMALAT INDONESIA, Tbk CABANG MEDAN sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan moril
berupa bimbingan dan arahan sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu,
diucapkan terimakasih kepada dosen komisi pembimbing, yang terhormat dan amat
terpelajar Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS, Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH,
M.Hum, dan Bapak Dr. Hasyim Purba, SH, M.Hum, selaku dosen pembimbing,
juga kepada dosen penguji dan atas bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan
penulisan tesis ini. Selanjutnya diucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA (K), selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, dan para Pembantu Dekan serta seluruh Staf atas bantuan,
Program Magister Ilmu Hukum (M.H.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
3. Bapak Prof. Suhaidi, SH, MH, selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum
(M.H.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara beserta seluruh Staf yang
memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga dapat diselesaikan studi pada
Program Magister Ilmu Hukum (M.H.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
4. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, MHum, selaku Sekretaris Program Studi Magister
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara.
5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum (M.H.)
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran
dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.
6. Kepada semua rekan-rekan seangkatan mahasiswa Magister Ilmu Hukum (M.H)
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang juga berperan dalam
penyelesaian tesis ini.
7. Kepada kekasihku Aryta yang selalu membantu penulis dalam hal penulisan tesis,
merapikan format tesis, doa dan dukungan dalam menyelesaikan penulisan ini.
Teristimewa dengan tulus hati diucapkan terima kasih kepada kedua orang tua
penulis yang selalu mengasihi, Ayahanda Junaidi, dan Ibunda Nazia yang selalu
demi masa depan penulis, demikian juga kepada Fadhil adik penulis tercinta, atas
motivasi dan doa kalian telah dapat diselesaikan tesis ini.
Akhir kata kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu,
terimakasih atas kebaikan, ketulusan dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Medan, Juli 2013
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi
Nama : Sherhan
Tempat/ Tgl. Lahir : Medan, 17 Oktober 1988
Alamat : Jl. Tulip Blok-J.43 Komp. Griya Riatur Indah Medan
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Belum Kawin
II. Orang Tua
Nama Ayah : Junaidi Ibu : Nazia
III. Riwayat Pendidikan Formal
1. SD : SD Angkasa II Lanud Medan Tamat tahun 2000
2. SMP : SMP Harapan 1 Medan Tamat tahun 2003
3. SMA : SMA Negeri 1 Medan Tamat tahun 2006
4. S-1 : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat tahun 2010
5. S-2 : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
IV. Riwayat Pendidikan Non Formal A. Seminar Ilmiah
1. Peserta Dialog bersama Kapoldasu “Jangan Ada Lagi Air Mata di Kantor Polisi tanggal 3 September 2010
2. Peserta Dialog Interaktif Deponering Kasus Bibit-Chandra tanggal 11 November 2010
3. Peserta Seminar Kepailitan AKPI tanggal 9 November 2011
4. Peserta Seminar Refleksi Penanganan Masalah Pertanahan di Sumatera Utara tanggal 15 Januari 2011
5. Peserta Seminar Essential Selling Skills Training Bank Muamalat tanggal 11-12 Maret 2011
B. Kegiatan Non Formal
1. Peserta Pesantren Kilat Ramadhan VII tanggal 4 Desember 2000
2. Atlet Institut Karatedo Indonesia (INKAI) tanggal 14 Februari 2006
3. Pendidikan Pelatihan Komputer TRICOM tanggal 14 November 2006
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR SKEMA ... xiii
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1
B.Permasalahan ... 11
C.Tujuan Penelitian ... 11
D.Manfaat Penelitian ... 12
E. Keaslian Penelitian ... 12
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi ... 15
1. Kerangka Teori ... 15
2. Kerangka Konsepsi ... 33
G. Metode Penelitian ... 37
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 37
2. Sumber Data ... 38
3. Pendekatan Masalah ... 38
4. Metode Pengumpulan Data ... 39
BAB II KEKUATAN EKSEKUTORIAL HAK TANGGUNGAN YANG DILAKUKAN SECARA PARATE EKSEKUSI PADA PRAKTIK YANG DILAKUKAN DI PT. BANK MUAMALAT INDONESIA, TBK CABANG MEDAN
A.Pengertian Hak Tanggungan ... 44
B.Pengertian Parate Eksekusi Dalam Hak Tanggungan ... 46
C.Kekuatan Eksekutorial Parate Eksekusi Dalam Hak Tanggungan .... 54
D.Pelaksanaan Parate Eksekusi melalui Balai Lelang Swasta ... 61
E. Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan di PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk ... 63
BAB III KEKUATAN EKSEKUTORIAL HAK TANGGUNGAN YANG DILAKUKAN SECARA EKSEKUSI MELALUI PENGADILAN NEGERI PADA PRAKTIK YANG DILAKUKAN DI PT. BANK MUAMALAT INDONESIA, TBK CABANG MEDAN A.Eksekusi Hak Tanggungan Melalui Pengadilan Negeri ... 69
1. Pengertian Eksekusi ... 69
2. Proses Permohonan Eksekusi Melalui Pengadilan Negei ... 72
3. Implementasi Eksekusi Hak Tanggungan Melalui Pengadilan Negeri ... 75
B.Tahapan Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan ... 78
1. Aanmaning ... 78
a. Pengertian Aanmaning ... 78
2. Sita Eksekusi ... 81
a. Pengertian Sita Eksekusi ... 81
b. Macam-macam Sita Yang Diatur Di dalam HIR ... 83
1) Sita Revindicatoir (Pasal 226 HIR) ... 83
2) Sita Conservatoir (Pasal 227 HIR) ... 84
3) Sita Eksekutoir (Pasal 197 HIR) ... 85
c. Tata Cara Pelaksanaan Sita Eksekusi ... 86
3. Eksekusi ... 87
a. Persiapan Sebelum Pelaksanaan Eksekusi ... 87
b. Pelaksanaan Eksekusi (Pasal 1033 Rv) ... 88
4. Lelang ... 90
a. Pengertian Lelang Eksekusi ... 90
b. Tata Cara Pelaksanaan Lelang Eksekusi ... 91
C.Pelaksanaan Eksekusi Melalui Pengadilan Negeri Pada Praktik yang dilakukan PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk Cabang Medan ... 93
BAB IV KELEMAHAN DAN KEUNTUNGAN MENGGUNAKAN PARATE EKSEKUSI DIBANDINGKAN DENGAN MENGGUNAKAN EKSEKUSI MELALUI PENGADILAN NEGERI A.Keuntungan Menggunakan Parate Eksekusi ... 98
B.Kelemahan Menggunakan Parate Eksekusi ... 101
C.Keuntungan Menggunakan Eksekusi Melalui Pengadilan Negeri ... 105
BAB V KESIMPULAN & SARAN
A.Kesimpulan ... 113
B.Saran ... 116
ABSTRAK
Bank syariah sebagai lembaga intermediasi yang mana dalam aktifitasnya menghimpun dana dan menyalurkan kembali kepada masyarakat dengan prinsip syariah wajib memperhatikan aspek prudential banking. Pembiayaan menjadi salah satu aktifitas perbankan yang sangat mengandung resiko karena apabila Bank Syariah memberikan pembiayaan kepada nasabah (Mudharib) berarti Bank Syariah tersebut telah memutuskan untuk mengambil dan mengelola resiko tersebut. Salah satu upaya yang telah diciptakan Undang-undang dalam memitigasi resiko pembiayaan bermasalah adalah dengan diwajibkannya nasabah memberikan jaminan dalam pembiayaannya.
Sifat penelitian adalah deskriptif analitis, dengan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu mengadakan analisa terhadap masalah dengan melihat peraturan yang berlaku (khususnya UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan). Sumber data dalam penelitian ini berasal dari bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang berhubungan dengan peraturan perundang-undangan. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang berasal dari karangan ilmiah, buku-buku referensi dan informasi, akta perjanjian kredit dan sertifikat hak tanggungan, dan bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk dan penjelasan-penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, yakni kamus umum, kamus hukum, jurnal, artikel, majalah dan dokumen-dokumen pendukung yang ada di PT. Bank Muamalat Indonesia,Tbk
Semangat lahirnya Undang-undang Hak Tanggungan merupakan suatu solusi bagi dunia perbankan dalam hal menguasai jaminan debitur yang mengalami pembiayaan bermasalah sebagai sumber pengembalian. Setelah dilakukan penelitian pada praktek di PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk yang melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan sebagai jaminan pengembalian utang bagi nasabah pembiayaan bermasalah hasilnya tidak signifikan dan maksimal. Pelaksanaan parate eksekusi maupun riil eksekusi memiliki kelemahan dan celah hukum tersendiri. Pelaksanaan parate eksekusi sebagai kelebihan yang dimiliki UUHT memiliki celah hukum dalam hal menguasai aset jaminan yang masih ditempati/dihuni karena wajib memasukkan gugatan pengosongan ke Pengadilan Negeri Domisili, selain itu pelaksanaan parate eksekusi juga dapat menimbulkan gugatan atau perlawanan dari nasabah sendiri dengan alasan harus dilaksanakan melalui Pengadilan. Sedangkan pelaksanaan Riil Eksekusi lebih memiliki kepastian hukum karena langsung dilakukan oleh Pengadilan Negeri melalui perintah Ketua Pengadilan Negeri akan tetapi prosesnya membutuhkan waktu cukup lama karena wajib melalui beberapa tahapan proses eksekusi antara lain : Aanmaning, Penetapan Sita Eksekusi, Pelaksanaan Sita Eksekusi, Penetapan dan proses Lelang. Hal tersebut menjadi kendala bagi perputaran bisnis Bank dalam menyehatkan NPF (Non Produktif Financing) dan dilema bagi Bank dalam menyalurkan pembiayaan kepada masyarakat.
ABSTRACT
Islamic bank as an intermediary institution in which the activities to collect funds and distribute it back to the community with regard to Islamic principles shall banking. Financing prudential aspects of banking activity into one that is very risky because if the Islamic banks provide financing to customers (Mudharib) means Islamic Bank has decided to take on and its manage risk. One of the efforts that have created laws to mitigate the risk of financing problems that arise from the provision of financing to the community is to provide assurance to customers of compulsory its financing.
Type of the study is descriptive with normative juridical approach, which approached the problem by looking at the existing regulations (particularly Law No. 4 of 1996 on Mortgage). Sources of data in this study came from the primary, secondary and tertiary legal materials related to the regulations of legislation, scientific writing, reference books, and information, credit agreement deed and certificate of right of guarantee, any legal materials directing and explaining the secondary legal materials such as general dictionary, dictionary of legal terms/law, journals, articles, magazines and supporting documents that exist in PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk
The spirit of the birth of the Mortgage Act was a solution for the banking sector in terms of having control collateral that debtor financing problems as a source returns. After doing research on practice in PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk which carry out executions Mortgage as a loan repayment guarantees for customers financing problems and the results are not significantly the maximum. Parate execution and real implementation of execution has its own weaknesses and loopholes. Parate execution as UUHT has advantages in terms of legal loopholes guarantee control assets that are still occupied because mandatory evacuation filed suit to state court of domicile, in addition to the implementation of parate execution may also lead to a lawsuit or opposition from its own customers with reasons to be implemented through the courts. While the implementation of the execution of real legal certainly for directly by the district court through the command chair of the district court, but the process will take a long time because it must go through several stages of the process execution like Aanmaning, Determination confiscation execution, Execution of confiscation execution, Determination and the auction
process. It’s make obstacles for the Bank's business turnover in healthy NPF (Non Productive Financing), this is a problem for the Bank in disbursing financing to
the community.
.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam perjalanan waktu, berbagai faktor dapat mempengaruhi kualitas dari
pembiayaan yang diberikan bank kepada nasabah debitur. Macetnya pembiayaan
yang diberikan dapat disebabkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor
internal berkaitan erat dengan keadaan di dalam internal usaha debitur itu sendiri,
sedang faktor eksternal berkaitan dengan kondisi ekonomi secara keseluruhan yang
berada di luar kekuasaan debitur. Nasabah debitur tidak dapat berbuat banyak apabila
keadaan ekonomi mengalami resesi yang berpengaruh terhadap volume penjualan dan
kelesuan daya beli konsumen. Faktor eksternal seperti gejolak nilai tukar juga berada
di luar kekuasaan debitur, yang dapat menggerus equivalent valuta asing dari rupiah
yang dimiliki oleh nasabah debitur.1
Ketentuan perundang-undangan mewajibkan bahwa setiap pemberian
pembiayaan harus didukung oleh jaminan baik berupa jaminan utama yakni proyek
yang dibiayai dengan pembiayaan tersebut maupun jaminan tambahan yang tidak
merupakan bagian dari objek yang dibiayai dengan fasilitas pembiayaan.
2
Tujuan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah untuk meningkatkan
kesempatan kerja dan kesejahteraan ekonomi sesuai dengan nilai-nilai Islam.
1
Jonker Sihombing, Tanggung Jawab Yuridis Banker Atas Kredit Macet Nasabah, Cet-1, (Bandung : PT Alumni,2009), halaman 68
2
Pembiayaan tersebut harus dapat dinikmati oleh sebanyak-banyaknya
pengusaha yang bergerak dibidang industri, pertanian, dan perdagangan untuk
menunjang kesempatan kerja dan menunjang produksi dan distribusi barang-barang
dan jasa-jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.3
Bank dalam menyalurkan dana bagi masyarakat harus menerapkan prinsip
kehati-hatian dan walaupun Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tidak
mewajibkan kepada bank untuk meminta jaminan dalam pemberian pembiayaan
namun telah menjadi prinsip umum pada setiap bank bahwa bank memerlukan
jaminan dalam setiap penyaluran pembiayaan kepada masyarakat dengan tujuan
untuk lebih memberikan kepastian terhadap pengembalian dana yang telah diterima
oleh debitor bank.4
Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang – Undang No.10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya
disebut UUP) menyebutkan “bahwa dalam memberikan kredit atau pembiayaan yang berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga
dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas–asas pembiayaan atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang sehat”.5
3
Irma Devita Purnamasari, Hukum Jaminan Perbankan, (Bandung : Visi Media, 2011), halaman 12
4
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis. (Jakarta : Djambatan, 1995), halaman 59
5
Lazimnya, jaminan yang digunakan oleh Perbankan adalah jaminan yang
bersifat kebendaan. Jaminan kebendaan merupakan jaminan yang berupa hak mutlak
atas sesuatu benda yang mempunyai ciri-ciri antara lain mempunyai hubungan
langsung atas benda tertentu dengan debitor, dapat dipertahankan siapapun, selalu
mengikuti bendanya dan dapat diperalihkan. Jaminan kebendaan dapat berupa
jaminan benda bergerak dan jaminan benda tidak bergerak. Benda bergerak adalah
kebendaan yang karena sifatnya, dapat berpindah atau dipindahkan atau dalam
Undang-Undang dianggap sebagai benda bergerak, seperti hak-hak yang melekat
pada benda bergerak. Benda dikatakan sebagai benda tidak bergerak atau tetap adalah
kebendaan yang sifatnya tidak dapat berpindah atau dipindahkan, karena
peruntukannya atau karena Undang-Undang menggolongkannya sebagai benda tidak
bergerak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 506, dan Pasal 507 serta Pasal 508
KUHPerdata.6
Pembebanan atau pengikatan jaminan pembiayaan didasarkan pada obyek
bendanya. Jika yang dijadikan jaminan berupa benda bergerak, maka pembebanan
atau pengikatannya dilakukan dengan menggunakan gadai atau fidusia. Jika yang
dijadikan jaminan berupa kapal laut dengan berat tertentu dan pesawat udara, maka
pembebanan atau pengikatannya dengan menggunakan hipotik, sedangkan jika yang
6
dijadikan jaminan berupa tanah, maka pembebanan atau pengikatannya dengan
menggunakan Hak Tanggungan atas tanah.7
Istilah Hak Tanggungan sebagai hak jaminan, dilahirkan oleh Undang-
Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(selanjutnya disebut UUPA). Pembebanan Hak Tanggungan atas tanah dilakukan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang diundangkan pada
tanggal 9 April 1996, selanjutnya akan disebut Undang-Undang Hak Tanggungan
(UUHT). Lembaga Hak Tanggungan tersebut merupakan pengganti lembaga hipotik
dan creditverband, yang sebenarnya merupakan produk hukum yang telah
diamanatkan oleh Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok – Pokok Agraria yang disebut juga Undang-Undang Pokok Agraria,
bahwa sudah disediakan lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat dibebankan
pada hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan.
8
Berkaitan dengan hal tersebut Sutan Remy Sjahdani mengatakan :
Hak Tanggungan hanya menggantikan Hipotik sepanjang yang menyangkut tanah saja. Hipotik atas kapal laut dan pesawat udara tetap berlaku. Disamping hak- hak jaminan berupa Hipotik atas kapal laut dan Hipotik atas pesawat udara, juga berlaku Gadai dan Fidusia sebagai hak jaminan. Dengan demikian, ada beberapa jenis hak jaminan dengan nama yang berbeda-beda, tetapi asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokoknya boleh dikatakan sama. Hal ini akan dapat sangat membingungkan bagi mereka, lebih-lebih lagi bagi orang asing,
7
Ibid
8
yang ingin atau harus mempelajari hukum Indonesia mengenai hak-hak jaminan tersebut.9
Kelebihan dari Hak Tanggungan yang dapat melaksanakan eksekusi langsung
dikenal dengan Parate eksekusi. Parate eksekusi merupakan pelaksanaan eksekusi
tanpa melalui bantuan pengadilan. Apabila debitur cidera janji, kreditor berhak untuk
menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum
menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.10
Pelaksanaan Parate eksekusi dianggap sederhana karena tidak melibatkan
debitur, pengadilan maupun prosedur hukum acara. "Pelaksanaannya hanya
digantungkan pada syarat 'debitur wanprestasi', padahal kreditur sendiri baru
membutuhkannya apabila debitur melakukan wanprestasi. Kewenangan seperti itu
tampak sebagai hak eksekusi yang selalu siap ditangan jika dibutuhkan, itulah
sebabnya eksekusi yang demikian disebut sebagai Parate eksekusi".11
9
Sutan Remy Sjahdani, Hak Tanggungan, Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang dihadapi oleh Perbankan; Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan, (Bandung : Alumni, Bandung, 1999), halaman 6
Dengan
demikian, parate eksekusi memberikan kepastian dan kedudukan kreditur akan
semakin terlindungi apabila debitur wanprestasi/cidera janji, karena debitur
seolah-olah telah menyisihkan sebagian/seluruh harta kebendaannya untuk pelunasan
hutangnya, dikemudian hari.
10
Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, Edisi 1, Cetakan 2 (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), halaman 128
11
Kemudian dalam eksekusi Hak Tanggungan dikenal juga dengan pelaksanaan
eksekusi riil yang bersumber dari perjanjian utang atau penghukuman membayar
ganti kerugian yang timbul dari “wanprestasi” berdasarkan Pasal 1243 jo. Pasal 1246
KUHPerdata atau yang timbul dari “perbuatan melawan hukum” berdasarkan Pasal
1365 KUHPerdata. Namun secara kuantitatif, eksekusi riil hampir bersumber dari
penghukuman pembayaran utang atau dikenal dengan istilah eksekusi pembayaran
sejumlah uang. Apabila tergugat sebagai debitur tidak melunasi pembayaran sejumlah
yang dihukumkan kepadanya secara sukarela, terbuka kewenangan pengadilan
menjalankan putusan secara paksa melalui eksekusi dengan melakukan penjualan
lelang harta kekayaan tergugat di depan umum. Dari hasil penjualan lelang,
dibayarkanlah kepada pihak penggugat (kreditor) sesuai dengan jumlah yang
disebutkan dalam amar putusan.12
Dewasa ini setelah dilakukan penelitian diperoleh sebuah masalah bahwa pada
praktiknya pada lembaga keuangan khususnya Bank, dalam menggunakan kekuatan
eksekusi Hak Tanggungan baik secara Parate eksekusi maupun secara Riil Eksekusi
melalui Pengadilan Negeri belum efektif.
Bank dalam menggunakan Parate eksekusi, masih ditemukan banyaknya celah
hukum yang dapat digugat oleh debitur jika Bank melakukan Parate eksekusi
terhadap jaminan yang dijaminkan debitur kepada bank. Alasannya adalah dalam
praktik penggunaan Parate eksekusi belum memiliki kepastian hukum. Apabila Bank
atau kreditur melakukan Eksekusi Riil melalui Pengadilan Negeri, maka akan
12
ditemukan kendala-kendala teknis yang terjadi dalam penerapan Eksekusi riil
tersebut, seperti menggunakan waktu relatif cukup lama.
PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk adalah bank syariah pertama yang lahir di
Indonesia, yang didirikan pada 24 Rabius Tsani 1412 H atau 1 November 1991,
diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pemerintah Indonesia, dan
memulai kegiatan operasinya pada 27 Syawwal 1412 H atau 1 Mei 1992. Dengan
dukungan nyata dari eksponen Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan
beberapa pengusaha Muslim, pendirian Bank Muamalat juga menerima dukungan
masyarakat, terbukti dari komitmen pembelian saham Perseroan senilai Rp. 84 miliar
(delapan puluh empat miliar rupiah) pada saat penandatanganan akta pendirian
Perseroan. Selanjutnya, pada acara silaturahmi peringatan pendirian tersebut di Istana
Bogor, diperoleh tambahan komitmen dari masyarakat Jawa Barat yang turut
menanam modal senilai Rp.106 miliar (seratus enam miliar rupiah). Pada tanggal 27
Oktober 1994, hanya dua tahun setelah didirikan, Bank Muamalat berhasil
menyandang predikat sebagai Bank Devisa. Pengakuan ini semakin memperkokoh
posisi Perseroan sebagai bank syariah pertama dan terkemuka di Indonesia dengan
beragam jasa maupun produk yang terus dikembangkan.13
Pada akhir tahun 90an, Indonesia dilanda krisis moneter yang
memporak-porandakan sebagian besar perekonomian Asia Tenggara. Sektor perbankan nasional
tergulung oleh pembiayaan macet di segmen korporasi. Bank Muamalat pun terimbas
13
dampak krisis. Di tahun 1998, rasio pembiayaan macet (NPF) mencapai lebih dari
60% (enam puluh) Perseroan mencatat rugi sebesar Rp 105 miliar (seratus lima miliar
rupiah). Ekuitas mencapai titik terendah, yaitu Rp 39,3 miliar (tiga puluh Sembilan
koma tiga miliar rupiah), kurang dari sepertiga modal setor awal.14
Dalam upaya memperkuat permodalannya, Bank Muamalat mencari pemodal
yang potensial, dan ditanggapi secara positif oleh Islamic Development Bank (IDB)
yang berkedudukan di Jeddah, Arab Saudi. Pada RUPS tanggal 21 Juni 1999 IDB
secara resmi menjadi salah satu pemegang saham Bank Muamalat. Oleh karenanya,
kurun waktu antara tahun 1999 dan 2002 merupakan masa-masa yang penuh
tantangan sekaligus keberhasilan bagi Bank Muamalat. Dalam kurun waktu tersebut,
Bank Muamalat berhasil membalikkan kondisi dari rugi menjadi laba berkat upaya
dan dedikasi setiap Kru Muamalat, ditunjang oleh kepemimpinan yang kuat, strategi
pengembangan usaha yang tepat, serta ketaatan terhadap pelaksanaan perbankan
syariah secara murni.15
Saat ini Bank Mumalat memberikan layanan bagi lebih dari 2,5 juta nasabah
melalui 275 (dua ratus tujuh puluh lima) gerai yang tersebar di 33 (tiga puluh tiga)
provinsi di Indonesia. Jaringan BMI didukung pula oleh aliansi melalui lebih dari
4000 (empat ribu) Kantor Pos Online/SOPP di seluruh Indonesia, 32.000 (tiga puluh
dua ribu) ATM, serta 95.000 (sembilan puluh lima ribu) merchant debet. BMI saat ini
juga merupakan satu-satunya bank syariah yang telah membuka cabang luar negeri,
14
Ibid
15
yaitu di Kuala Lumpur, Malaysia. Untuk meningkatkan aksesibilitas nasabah di
Malaysia, kerjasama dijalankan dengan jaringan Malaysia Electronic Payment System
(MEPS) sehingga layanan BMI dapat diakses di lebih dari 2000 (dua ribu) ATM di
Malaysia. Sebagai Bank Pertama Murni Syariah, bank muamalat berkomitmen untuk
menghadirkan layanan perbankan yang tidak hanya comply terhadap syariah, namun
juga kompetitif dan aksesibel bagi masyarakat hingga pelosok nusantara. Komitmen
tersebut diapresiasi oleh pemerintah, media massa, lembaga nasional dan
internasional serta masyarakat luas melalui lebih dari 70 (tujuh puluh) award
bergengsi yang diterima oleh BMI dalam 5 (lima) tahun terakhir. Penghargaan yang
diterima antara lain sebagai Best Islamic Bank in Indonesia 2009 oleh Islamic
Finance News (Kuala Lumpur), sebagai Best Islamic Financial Institution in
Indonesia 2009 oleh Global Finance (New York) serta sebagai The Best Islamic
Finance House in Indonesia 2009 oleh Alpha South East Asia (Hong Kong). Diakhir
tahun 2012 Bank Muamalat berhasil membukukan asset kurang lebih 34 Triliun (tiga
puluh empat triliun).16
Sebagai bagian dari perbankan nasional, PT. Bank Muamalat Indonesia
Cabang Medan juga mengalami permasalahan yang hampir sama dengan
Bank umum lainnya, yaitu persoalan pembiayaan yang dijaminkan dengan Hak
Tanggungan. Menurut pengamatan awal berdasarkan data yang ada pada Bank,
diketahui bahwa pelaksanaan penjualan barang jaminan, didominasi oleh penjualan
barang jaminan tidak melalui lelang, yaitu dengan cara penjualan dibawah tangan
16
berdasarkan atas kesepakatan antara debitor dan kreditor atau Bank, dimana
prosesnya dilakukan dengan cara debitor menyerahkan jaminan untuk dijual secara
sukarela yang mana hal tersebut dilakukan di depan notaris setelah itu hutang debitur
dianggap lunas.
Fenomena ini dalam periode tertentu telah menjadi kecenderungan yang
berlaku di Bank Muamalat, karena secara sistemik penjualan barang jaminan secara
dibawah tangan tersebut pada akhirnya telah menjadi pola penanganan pembiayaan
bermasalah, karena dengan pola tersebut telah memberikan hasil yang cukup
signifikan bagi Bank. Sehingga pola tersebut tidak hanya dipertahankan bahkan
semakin ditingkatkan. Akan tetapi terkadang pola tersebut menimbulkan polemik
terhadap Bank sebab terkadang terdapat debitor yang sudah menyerahkan aset
jaminan akan tetapi tidak mengosongkan aset atau tetap menempati, hal ini menjadi
dilema tersendiri terhadap bank dalam hal melakukan penjualan aset jaminan untuk
menjadi pelunasan pembiayaan.
Untuk menghindari permasalahan di atas, Bank Muamalat cenderung memilih
melakukan penjualan jaminan melalui Eksekusi Riil Hak Tanggungan dimana
Penjualan dilakukan melalui putusan Pengadilan Negeri Domisili melalui tahapan
Aanmaning, Sita Eksekusi, Lelang Eksekusi, dan Pengosongan bila perlu. Akan tetapi
hal tersebut dinilai sangat lambat dalam mengembalikan portoFolio Pembiayaan
Bermasalah atau NPF (Non Produktif Financing) Bank Muamalat sendiri karena
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka permasalahan yang diteliti adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kekuatan eksekutorial Hak Tanggungan yang dilakukan secara
parate eksekusi pada praktek yang dilakukan di Bank Muamalat Cabang Medan?
2. Bagaimana kekuatan eksekutorial hak tanggungan yang dilakukan secara eksekusi
melalui pengadilan negeri pada praktek yang dilakukan Bank Muamalat Cabang
Medan?
3. Apa saja kelemahan dan keuntungan dalam menggunakan parate eksekusi
dibandingkan dengan menggunakan eksekusi melalui Pengadilan Negeri?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mendapatkan gambaran dan jawaban dari perumusan masalah, sehingga dapat
memberikan penjelasan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kekuatan eksekutorial Hak Tanggungan yang dilakukan
secara parate eksekusi pada praktek Bank Muamalat Cabang Medan.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan yang dilakukan secara
eksekusi melalui Pengadilan Negeri pada praktek Bank Muamalat Cabang
Medan..
3. Untuk mengetahui kelemahan dan keuntungan dalam melakukan parate eksekusi
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan ataupun
tambahan ilmu pengetahuan hukum, khususnya mengenai kekuatan eksekutorial
Hak Tanggungan sebagai jaminan pengembalian hutang terhadap pembiayaan
bermasalah terhadap kelebihan dan kekurangannya.
2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat memberikan pemikiran terhadap
mahasiswa – mahasiswi, praktisi hukum, maupun lembaga perbankan dalam
mengetahui tentang kekuatan eksekusi hak tanggungan sebagai jaminan
pengembalian hutang pembiayaan bermasalah.
E. Keaslian Penelitian
Setelah melakukan penelusuran kepustakaan dari hasil penelitian yang pernah
dilakukan khususnya di Universitas Sumatera Utara, maka diketahui belum ada
tulisan yang mengangkat mengenai “Kekuatan Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai
Jaminan Pengembalian Utang Pembiayaan Bermasalah Dalam Praktek PT. Bank
Muamalat Indonesia, Tbk Cabang Medan”. Penulisan ini dilakukan berdasarkan
literatur-literatur yang berkaitan dengan lembaga Hak Tanggungan, kasus aktual yang
dialami lembaga-lembaga perbankan yang ingin mendapatkan perlindungan hukum
terhadap debitor yang cidera janji melalui media jaminan Hak Tanggungan untuk
penyehatan pembiayaan bermasalah, terdapat juga penelitian sebelumnya yang
1.
a.
Saudari Suhaili, NIM : 087011058, Magister Kenotariatan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Kajian Hukum
Terhadap Pelunasan Kredit Dengan Menyerahkan Jaminan kepada Bank dalam
Menyelesaikan Kredit Bermasalah (Penelitian Pada PT. Bank Danamon
Indonesia, Tbk Kantor Wilayah VI Medan) dan permasalahan yang diteliti
adalah :
b.
Bagaimanakah proses Penyerahan Jaminan sebagai pelunasan kredit pada
PT. Bank Danamon Indonesia TbkWilayah VI Medan ?
c.
Apakah pelunasan dengan menyerahkan jaminan kepada Bank pada PT.
Bank Danamon Indonesia Tbk.Wilayah VI medan telah sesuai dengan
ketentuan yang ada ?
2.
Permasalahan apa sajakah yang timbul dalam pelunasan kredit dengan
menyerahkan jaminan kepada Bank pada PT. Bank Danamon Indonesia,
Tbk Wilayah VI Medan dan bagaimana upaya penyelesaiannya ?
a.
Saudara Marcel Soekandar, NIM: 067011049, Magister Kenotariatan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Pelaksanaan
Pembebanan Hak Tanggungan Atas Tanah Sebagai Jaminan Kredit Pada PT.
Bank Dipo Internasional Cabang Medan” dan permasalahan yang diteliti adalah
:
Bagaimanakah Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur dan Debitur Dalam
b.
c.
Bagaimanakah Pelaksanaan APHT Atas Tanah Sebagai Jaminan Kredit Di
PT. Bank Dipo Internasional Cabang Medan?
3.
Apakah Hambatan yang dialami PT. Bank Dipo Internasional Cabang
Medan Dalam Melakukan Eksekusi Hak Tanggungan Atas Tanah Sebagai
Jaminan Kredit Bilamana Debitur Wanprestasi?
a.
Saudari Saraswati Jaya, NIM: 087011111, Magister Kenotariatan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Kreditor Pemegang
Hak Tanggungan Dalam Penangguhan Eksekusi Jaminan Berkaitan Dengan
Undang – Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
permasalahan yang diteliti adalah :
b.
Bagaimanakah Proses Eksekusi Hak Tanggungan Oleh Bank Sebagai
Kreditor Separatis Dan Perlindungan hukum Yang Didapat Oleh Kreditur
Tersebut ?
c.
Bagaimanakah Kedudukan Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Dengan
Adanya Lembaga Penangguhan Eksekusi ?
Bila Penangguhan Eksekusi Yang Diakhiri Oleh Debitor Insolven (Tidak
Mampu Membayara Utang – Utangnya), Bagaimanakah Hak Eksekusi
Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Dilaksanakan ?
Pada penelitian sebelumnya sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka
dengan penelitian yang dilakukan saat ini adalah berbeda. Oleh karena itu,
keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka. Semua ini merupakan
implikasi etis dari proses menemukan keadilan hukum yang bersifat ilmiah.
Sehingga tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi 1. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir – butir pendapat,
teori, tesis, penulis mengenai sesuatu ataupun permasalahan, problem, yang mana
bagi pembaca menjadi bahan perbandingan pasangan teori, yang mungkin disetujui
maupun tidak disetujuinya dan ini merupakan masukan eksternal bagi si pembaca.17
Teori Hukum merupakan ilmu yang sangat luas. Cakupan ilmu hukum tidak
terbatas hanya pada lingkup hukum, norma, perundang-undangan semata tapi
meliputi aspek antropologi, kultur, sosial, ideologi dan politik. Cakupan yang relatif
luas mengindikasikan bahwa hukum tidak dapat mudah dimengerti baik definisi
maupun substansinya. Namun demikian, menekuni pembelajaran ilmu hukum
signifikan untuk menambah pemahaman dalam berhukum. Perjalanan teori hukum itu
sendiri sudah cukup lama, bahkan untuk konteks Indonesia, teori hukum itu sudah
ada sebelum adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meskipun teori-teori
hukum sudah sangat lama, namun keberadaannya dalam hukum dan terutama
pembelajaran ilmu hukum masih sangat relevan. Beberapa teori hukum yang masih
17
menarik untuk didalami antara lain aliran-aliran Yunani, Romawi, Natural,
Positivisme. 18
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Positivisme Yuridis.
Teori ini mengakui bahwa keberadaan hukum berdampingan dengan aturan-aturan
moral, bahkan hubungan antara hukum dengan aturan serta patokan moral merupakan
hal yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakat. Teori Positivisme Yuridis
memandang hukum positif sebagai suatu gejala tersendiri, yaitu sebagai satu-satunya
hukum (tata hukum) yang dapat diterima dan dipastikan kenyataannya.19
Tujuannya adalah untuk melihat sistem dari hukum jaminan itu sendiri dimana sistem
sebagai entitas yang mana hukum jaminan dilihat sebagai suatu kumpulan, asas-asas
hukum, ataupun kumpulan norma-norma yang membangun tertib hukum jaminan itu
sendiri. Tata tertib hukum jaminan yang dimaksud adalah hukum jaminan kebendaan
yang lebih dikhususkan dalam Hak Tanggungan. Hak Tanggungan merupakan
subsistem dari sistem hukum jaminan kebendaan yang menurut asas-asas hukum Hak
Tanggungan yang diatur dalam hukum positif yaitu pada Undang-Undang Hak
Tanggungan No.4 tahun 1996.20
Hukum Jaminan dilihat sebagai kumpulan asas-asas hukum atau kumpulan
norma yang membangun tertib Hukum Jaminan. Tertib hukum jaminan yang
18
Teori Stufenbau di Indonesia. 2011. februari 2013
19
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta : Konstitusi Press, 2012), halaman 9
20
dimaksud di atas adalah Hukum Jaminan Kebendaan. Hak Tanggungan merupakan
sub sistem dari sistem Hukum Jaminan Kebendaan yang menurut asas-asas hukum
Hak Tanggungan yang diatur dalam Hukum Positif yaitu Undang-Undang No.
4/1996.21
Asas atau prinsip dapat diartikan merupakan suatu pernyataan fundamental
atau kebenaran umum yang dapat dijadikan pedoman pemikiran dan tindakan.
Asas-asas muncul dari hasil penelitian dan tindakan. Asas sifatnya permanen, umum dan
setiap ilmu pengetahuan memiliki asas yang mencerminkan “intisari”
kebenaran-kebenaran dasar dalam bidang ilmu tersebut. Asas adalah dasar tapi bukan suatu yang
absolut atau mutlak. Artinya penerapan asas harus memperbangkan keadaan-keadaan
khusus dan keadaan yang berubah-ubah.22
Selanjutnya yang dimaksud dengan Norma adalah dari segi bahasa Norma
berasal dari bahasa inggris yakni norm. Dalam kamus oxford norm berarti usual or
expected way of behaving.23
21
Ibid
yaitu norma umum yang berisi bagaimana cara
berperilaku. Norma adalah patokan perilaku dalam satu kelompok tertentu, norma
memungkinkan sesorang untuk menentukan terlebih dahulu bagaimana tindakannya
itu akan dinilai oleh orang lain, norma juga merupakan kriteria bagi orang lain untuk
mendukung atau menolak perilaku seseorang.
22
Malayu S.P Hasibuan, Manajemen: Dasar, Pengertian, dan Masalah (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), halaman 9
23
Norma juga merupakan sesuatu yang mengikat dalam sebuah kelompok masyarakat,
yang pada keselanjutannya disebut norma sosial, karena menjaga hubungan dalam
bermasyarakat. Norma pada dasarnya adalah bagian dari kebudayaan, karena awal
dari sebuah budaya itu sendiri adalah intraksi antara manusia pada kelompok tertentu
yang nantinya akan menghasilkan sesuatu yang disebut norma. Sehingga kita akan
menemukan definisi dari budaya itu seperti ini; budaya adalah suatu cara hidup yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari
generasi ke generasi.24
Ada pula yang mengartikan norma sebagai nilai karena norma merupakan konkretasi
dari nilai. Norma adalah perwujudan dari nilai karena setiap norma pasti terkandung
nilai di dalamnya, nilai sekaligus menjadi sumber bagi norma. Tanpa ada nilai tidak
mungkin terwujud norma. Sebaliknya, tanpa dibuatkan norma maka nilai yang
hendak di jalankan itu mustahil terwujud. Norma di bagi menjadi dua yaitu norma
yang datang dari Tuhan dan norma yang dibuat oleh manusia. Norma yang pertama di
sebut norma agama sedang yang kedua di sebut norma sosial, meskipun pada
dasarnya keduanya dalam orientasi yang sama, yakni mengatur kehidupan manusia
agar menjadi manusia yang berbudaya dan beradab.25
Norma hukum merupakan aturan sosial yang dibuat oleh lembaga-lembaga
tertentu, misalnya pemerintah, sehingga dengan tegas dapat melarang serta memaksa
24
Stewart L. Tubbs dan Sylvia moss, Human comunication: Principles and Context . (London : McGraw-Hill, 2005), halaman 237
25
orang untuk dapat berperilaku sesuai dengan keinginan pembuat peraturan itu sendiri.
Pelanggaran terhadap norma ini berupa sanksi denda sampai hukuman fisik
(dipenjara, hukuman mati).26
Pasal-pasal dalam Undang-Undang Hak Tanggungan menjadi tatanan yang
berhubungan satu sama lain yang mana hal itu sebagai tujuan yang melengkapi aturan
dari Undang-Undang Hak Tanggungan itu.27
Ada beberapa asas dari Hak Tanggungan yang perlu dipahami untuk
membedakan Hak Tanggungan dari jenis jaminan utang yang lain. Asas- asas Hak
Tanggungan tersebut adalah28
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan (Preferent) bagi kreditor Pemegang Hak
Tanggungan. Hal ini berarti bahwa kreditor pemegang hak tanggungan
mempunyai hak di dahulukan di dalam mendapatkan pelunasan atas piutangnya
dari pada kreditor-kreditor lainnya atas hasil penjualan benda yang dibebani hak
tanggungan tersebut;
:
b. Selalu mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada artinya
benda-benda yang dijadikan objek hak tanggungan itu tetap terbebani hak
tanggungan walau di tangan siapapun benda itu berada. Jadi meskipun hak atas
tanah yang menjadi objek hak tanggungan tersebut telah beralih atau
berpindah-26
Ibid
27
Ibid
28
pindah kepada orang lain, namun hak tanggungan yang ada tetap melekat pada
objek tersebut dan tetap mempunyai kekuatan mengikat.29
c. Memenuhi Asas Spesialitas dan Publisitas. Asas Spesialitas maksudnya wajib
dicantumkan berapa yang dijamin serta benda yang dijadikan jaminan, juga
identitas dan domisili pemegang dan pemberi Hak Tanggungan yang wajib
dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Asas Publisitas maksudnya
wajib dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan wajib
didaftarkan pada Kantor Pertanahan.
d. Asas Droit de Suite yang memiliki arti Asas berdasarkan hak suatu kebendaan
seseorang yang berhak terhadap benda itu mempunyai kekuasaan/wewenang untuk
mempertahankan atau menggugat bendanya dari tangan siapapun juga atau
dimanapun benda itu berada.
e. Asas droit de preference yang memiliki arti Keistimewaan yang bersangkutan
dengan hasil penjualan tanah yang dijadikan jaminan, dalam hubungannya dengan
kreditur-kreditur lain yang tidak mempunyai hak yang lebih mendahulu.
f. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, artinya dapat di eksekusi seperti
putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan pasti.30
Asas-asas dari Hak Tanggungan di dalam UUHT meliputi :
29
Sutan Remy Sjahdani,,op. cit, hal. 15
30
a. Asas publisitas ini dapat diketahui dari Pasal 13 ayat (1) UUHT yang
menegaskan bahwa : “Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada kantor
pertanahan”. Pendaftaran Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk
lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikatnya Hak Tanggungan tersebut
terhadap pihak ketiga.
b. Asas spesialitas ini dapat diketahui dari Penjelasan Pasal 11 ayat (1) yang
menyatakan bahwa : “ketentuan ini menetapkan isi yang sifatnya wajib untuk
sahnya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Tidak dicantumkannya secara
lengkap hal-hal yang disebut dalam APHT mengakibatkan akta yang
bersangkutan batal demi hukum”. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi
asas spesialitas dari Hak Tanggungan, baik mengenai subjek, objek maupun
utang yang dijamin
c. Asas tidak dapat dibagi-bagi ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1), bahwa Hak
Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan
dalam APHT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) 31
Setelah menunggu selama 34 tahun sejak Undang-undang No 5 tahun 1960
tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) menjanjikan akan adanya
Undang-undang tentang Hak Tanggungan. Undang-undang No.4 tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah telah
disahkan pada tanggal 9 April 1996. Singkatan resmi dari nama Undang-undang
31
tersebut adalah “Undang-Undang Hak Tanggungan” (UUHT). Dengan telah
diundangkannya UUHT tersebut, terwujudlah sudah unifikasi hukum tanah nasional.
Lembaga Hak Tanggungan yang diatur oleh Undang-Undang ini adalah dimaksudkan
sebagai pengganti dari Hypotheek (selanjutnya disebut dengan hipotik) sebagaimana
diatur dalam buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang
mengenai tanah, dan Creditverband yang diatur dalam staastblad 1908-542
sebagaimana telah diubah dengan staatsblad 1937-190, yang berdasarkan pasal 57
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agararia
(UUPA), masih diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya Undang-undang
tentang Hak Tanggungan tersebut. 32
Selanjutnya Norma Hukum dari Hak tanggungan ini di dalam beberapa pasal
juga mengatur perihal eksekusi hak tanggungan yang sebelumnya pernah menjadi
obyek Putusan Mahkamah Agung No. 3201 sebagaimana disebut di atas. Dengan
demikian dalam praktek hukum terdapat dua norma hukum yang dapat dijadikan
sebagai dasar hukum dalam pelaksanaan eksekusi hak tanggungan tersebut. Di satu
sisi mengatur pelaksanaan eksekusi hak tanggungan harus melalui Ketua Pengadilan,
di sisi lain pelaksanaan eksekusi hak tanggungan dapat dilaksanakan atas kekuasaan
sendiri tanpa melalui Ketua Pengadilan sebagaimana disebut dalam Pasal 6 UUHT’.33
Pasal 6 UUHT secara jelas menyebutkan bahwa:
32
St. Remy Syahdeny, op.cit, hlm. 1-2
33
“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri
melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
tersebut”.
Memperhatikan bunyi Pasal 6 di atas, dapat ditarik beberapa unsur sebagai berikut:
a. Debitor cidera janji;
b. Hak menjual obyek hak tanggungan ditangan Pemegang Hak tanggungan Pertama;
c. Penjualan obyek melalui pelelangan;
d. Hak mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
Dengan demikian apabila unsur (a) terbukti/terpenuhi, maka pemegang hak
tanggungan berhak menjual obyek hak tanggungan asalkan dilakukan melalui
pelelangan. Pemegang hak tanggungan juga berhak mengambil bagian dari hasil
penjualannya itu untuk memenuhi membayar pelunasan hutangnya pihak pemberi hak
tanggungan. Untuk memiliki kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
tersebut maka dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dicantumkan janji
sebagaimana diperintahkan dalam 11ayat (2) e yang berbunyi :
“Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji- janji, antara lain
janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas
Pemberian kewenangan untuk menjual sendiri atas obyek hak tanggungan
melalui pelelangan ini sesuai dengan tujuan dikeluarkannya UUHT. Penjelasan
umum UUHT angka 9 menyatakan:
Salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji. Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-Undang ini, yaitu yang mengatur lembaga parate eksekusi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan Pasal 258 Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura). Sehubungan dengan itu pada sertipikat Hak Tanggungan, yang berfungsi sebagai surat-tanda-bukti adanya Hak Tanggungan, dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANANYANG MAHA ESA”, untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mernpunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu sertifikat hak tanggungan tersebut dinyatakan sebagai pengganti grosse acte Hypotheek, yang untuk eksekusi Hypotheek atas tanah ditetapkan sebagai syarat dalam melaksanakan ketentuan pasal-pasal kedua Reglemen di atas. Agar ada kesatuan pengertian dan kepastian mengenai penggunaan ketentuan-ketentuan tersebut, ditegaskan lebih lanjut dalam Undang-Undang ini, bahwa selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, peraturan mengenai eksekusi
Hypotheek yang diatur dalam kedua Reglemen tersebut, berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan.34
Disamping itu Undang-undang Hak Tanggungan juga memiliki sifat yang
mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada. Hal ini tercantum
dalam UUHT pasal 7 yang berbunyi :
“Hak Tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangansiapa pun obyek tersebut
berada”.
Selanjutnya terdapat aturan bahwa yang memberikan Hak Tanggungan adalah
orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan perbuatan hukum terhadap
34
objek Hak Tanggungan, hal tersebut tercantum dalam UUHT pasal 8 ayat (1) yang
berbunyi :
“Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak
Tanggungan yang bersangkutan”
Selain itu Hak Tanggungan juga memiliki jangka waktu pendaftaran setelah
Akta Pemberian Hak Tanggungan ditandatangani, hal ini tercantum dalam UUHT
pasal 13 ayat (2) yang berbunyi :
“Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian
Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), PPAT wajib
mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain
yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan”.
Di dalam aturan Undang-Undang Hak Tanggungan sendiri dalam hal
melakukan eksekusi hak tanggungan secara tegas mengatur hal tersebut dalam pasal
20 ayat (1) huruf a dan b yang berbunyi :
“(a) hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
Salim HS juga mengemukakan dalam Hak Tanggungan juga dapat
dikelompokkan aturan sebagai berikut 35
a. mempunyai kedudukan yang diutamakan bagi kreditor pemegang Hak
Tanggungan (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996); :
b. tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
c. hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada (Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
d. dapat dibebankan selain tanah juga berikut benda-benda lain yang berkaitan
dengan tanah tersebut (Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996;
e. dapat dibebankan atas benda lain yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada
di kemudian hari (Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Dengan
syarat diperjanjikan secara tegas;
f. sifat perjanjian adalah tambahan (accesoir) (Pasal 10 ayat (1), Pasal 18 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996;
g. dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru akan ada (Pasal 3 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996;
h. dapat menjamin lebih dari satu utang (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996;
i. mengikuti objek dalam tangan siapa pun objek itu berada (Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996;
35
j. tidak dapat diletakkan sita oleh pengadilan;
k. hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu (Pasal 8, Pasal 11 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996;
l. wajib didaftarkan (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
m.pelaksanaan eksekusi mudah dan pasti;
n. dapat dibebankan dengan disertai janji-janji tertentu (Pasal 11 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.
Walaupun tidak disebutkan secara tegas, tetapi mengingat Hak Tanggungan
merupakan bagian dari pengaturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (vide Pasal 51 juncto Pasal 57
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria), maka
bisa disimpulkan, bahwa hak-hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan
sebagaimana disebut diatas adalah hak-hak atas tanah menurut Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.36
“Hak tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada dan yang akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanahnya, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan.”
Disamping
itu, menurut Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
berbunyi:
36
Jadi selain tanah, bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu
kesatuan dengan tanahnya dapat dijadikan objek hak tanggungan. Perhatikan
baik-baik syarat “merupakan satu-kesatuan” dengan tanahnya. Namun, perlu diperhatikan
dengan baik bahwa penyebutannya adalah: “juga dapat dibebankan “pada hak atas
tanah....”, dari cara penyebutan mana kita tahu bahwa bangunan, tanaman dan hasil
karya itu hanya bisa menjadi objek hak tanggungan kalau tanah diatas mana
bangunan itu berdiri, tanaman itu tumbuh dan hasil karya itu berada juga dijaminkan
dengan Hak Tanggungan. Benda-benda di luar tanah, yang disebutkan dalam Pasal 4
ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah tidak bisa dijaminkan dengan
Hak Tanggungan terlepas dari tanahnya.37
Penyebutan “yang merupakan satu-kesatuan dengan tanah tersebut”
mengingatkan kita pada syarat “dipersatukan secara permanen atau nagelvast” dan
“dengan akar tertancap dalam tanah atau wortelvast” pada hipotik. Jadi, walaupun
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
menganut asas hukum adat dan karenanya menganut asas pemisahan horisontal,
namun disini di syaratkan harus merupakan satu-kesatuan dengan tanahnya.38
Dapat dibayangkan apa yang menjadi satu-kesatuan dengan tanah adalah apa
yang berada di atas tanah, maka menurut penjelasan Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang
37
Sudaryanto.W. “Pokok-pokok Kebijaksanaan Undang-Undang Hak Tanggungan” Seminar Nasional Undang-Undang Hak Tanggungan, Tanggal 10 April 1996. (Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 1996), halaman 7
38
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah ternyata meliputi juga bangunan yang ada di
permukaan tanah, seperti basement. Jadi, yang ada di bawah tanah hanya meliputi
bangunan, atau bagian dari bangunan, yang ada di bawah tanah, dan ada
hubungannya dengan tanah yang ada di atasnya. Tambang dan mineral tidak
termasuk didalamnya.
Sudikno Mertokusumo mengatakan ada tiga macam eksekusi yang dikenal oleh hukum secara perdata yaitu:39
1. Eksekusi yang diatur dalam Pasal 197 HIR dan seterusnya dimana seorang dihukum untuk membayar sejumlah uang.
2. Eksekusi yang diatur dalam Pasal 225 HIR, dimana seorang dihukum untuk melaksanakan suatu perbuatan.
3. Eksekusi pembayaran uang, yang dalam praktik banyak dilakukan akan tetapi tidak diatur dalam HIR.
Eksekusi yang diatur dalam pasal 197 HIR dan seterusnya dimana
hukum untuk membayar sejumlah uang. Apabila seseorang enggan untuk dengan
sukarela memenuhi bunyi putusan dimana ia dihukum untuk membayar sejumlah
uang, maka apabila sebelum putusan dijatuhkan telah dilakukan sita jaminan, maka
sita jaminan itu setelah dinyatakan sah dan berharga menjadi sita eksekutorial.
Kemudian eksekusi dilakukan dengan cara melelang barang milik orang yang
dikalahkan, sehingga mencukupi jumlah yang harus dibayar menurut putusan hakim
dan ditambah semua biaya sehubungan dengan pelaksanaan putusan tersebut. Apabila
sebelumnya belum dilakukan sita jaminan, maka eksekusi dilanjutkan dengan
menyita sekian banyak barang bergerak, apabila tidak cukup juga
barang-39
barang tidak bergerak milik pihak yang dikalahkan sehingga cukup untuk membayar
jumlah uang yang harus dibayar menurut putusan beserta biaya-biaya pelaksanaan
putusan tersebut. Penyitaan yang dilakukan ini disebut sita eksekutorial.
Eksekusi yang diatur dalam pasal 225 HIR, dimana seorang dihukum untuk
melaksanakan suatu perbuatan. Pasal 225 HIR mengatur tentang beberapa hal
mengadili perkara yang istimewa. Apabila seseorang dihukum untuk melakukan
suatu pekerjaan tertentu tetapi ia tidak mau melakukannya maka hakim tidak dapat
memaksa terhukum untuk melakukan pekerjaan tersebut, akan tetapi hakim dapat
menilai perbuatan tergugat dalam jumlah uang, lalu tergugat dihukum untuk
membayar sejumlah uang untuk mengganti pekerjaan yang harus dilakukannya
berdasarkan putusan hakim terdahulu.
Eksekusi rill yang dilakukan melalui eksekusi pembayaran sejumlah uang
tidak hanya didasarkan pada putusan pengadilan saja, tetapi dapat juga didasarkan
pada bentuk akta tertentu yang oleh Undang-Undang ”disamakan” nilainya dengan
putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap untuk pembayaran sejumlah uang,
antara lain berupa40
a. Grosse Akta Pengakuan Hutang; :
b. Grosse Akta Hipotek;
c. Creditverband;
40
d. Hak Tanggungan (HT);
e. Jaminan Fidusia
Hak Tanggungan di dalam UUHT tidaklah dibangun dari suatu yang belum
ada. Hak Tanggungan dibangun dengan mengambil alih atau mengacu asas-asas dan
ketentuan-ketentuan pokok dari hipotik yang diatur oleh KUHPerdata. Oleh karena
itu, dalam penelitian ini disamping menyajikan asas-asas dan ketentuan-ketentuan
pokok dari Hak Tanggungan menurut UUHT, juga dilakukan perbandingan asas-asas
dan ketentuan-ketentuan pokok dari Hak Tanggungan tersebut dengan asas-asas dan
ketentuan-ketentuan pokok dari hipotik yang diatur dalam KUHPerdata. Bila kedua
lembaga jaminan ini dibandingkan, banyak asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokok
dari hipotik yang diambil alih atau ditiru dari hipotik. Namun, ada pula asas-asas dan
ketentuan-ketentuan pokok Hak Tanggungan yang berbeda. Bahkan, ada asas-asas
dan ketentuan-ketentuan pokok dari Hak Tanggungan yang baru yang tidak terdapat
di dalam Hipotik.41
Dalam ketentuan hukum perdata dinyatakan bahwa suatu benda yaitu segala
sesuatu yang dapat dihaki oleh orang, memberikan hak kebendaan (zakelijke recht)
yaitu suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda yang dapat
dipertahankan terhadap setiap orang. Hak kebendaan ini kemudian memberikan 2
(dua) fungsi kepada pihak yang memilikinya sesuai dengan sifat yang dimiliki benda
tersebut, yaitu hak kebendaan yang bersifat memberikan jaminan. Lembaga hak
41
tanggungan merupakan salah satu dari hak kebendaan yang bersifat memberikan
jaminan.42
Di sisi lain kedudukan preferensi hak tanggungan, secara jelas diatur dalam
Pasal 5 UUHT, bahwa peringkat masing-masing hak tanggungan ditentukan tanggal
pendaftaran hak tanggungan tersebut. Kemudian dalam Pasal 7 UUHT hak kebendaan
droite de suite secara tegas dinyatakan bahwa hak tanggungan tetap mengikuti
objeknya dalam tangan siapapun.43
Pemberian pembiayaan selalu meminta jaminan dari debitor, jaminan yang
dimaksud adalah keyakinan kreditor atas kemampuan debitor untuk melunasi
utangnya. Keyakinan tersebut diperoleh setelah kreditor menilai watak (character),
kemampuan (capacity), modal (capital), agunan (collateral) dan prospek usaha dari
debitor (condition of economy). Seringkali kreditor tidak saja memegang agunan
pokok yaitu barang yang dibiayai dengan pembiayaan bank, tetapi juga meminta
agunan tambahan dari debitor berupa barang yang tidak dibiayai oleh pembiayaan
yang diikat secara hukum. Konsekuensinya jika pembiayaannya macet, maka kreditor
dapat memperoleh prioritas pengembalian dananya dengan mencairkan (melelang)
agunan yang diberikan nasabah.44
42
R.Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan Ke-24 (Jakarta : Intermarsa, 1992), halaman 60
43
St. Remy Syahdeny, op.cit, hlm. 22
44