BAB III FORCE MAJEURE DALAM HUKUM PERDATA
A. Pengertian dan Pengaturan Force Majeure
Istilah keadaan memaksa berasal dari bahasa Inggris, yaitu force majeure, sedangkan
dalam bahasa Belanda disebut dengan overmacht. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan ketika debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannnya, seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan lain-lain.
Force majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai "keadaan memaksa" memiliki arti keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut
tidak dalam keadaan beritikad buruk.77Di dalam keadaan memaksa tersebut, debitur tidak
dapat dpertanggungjawabkan karena keadaan timbul dari luar kemauan dan kemampuan
debitur.78 Menurut Abdulkadir Muhammad force majeure adalah suatu peristiwa yang tidak
dapat diduga akan terjadi karena keadaann ini tidak dapat diprediksi, oleh karena itu force majeure tidak mewajibkan debitur mengganti rugi segala kerugian yang diderita oleh
kreditur. Dengan perkataan lain, bahwa peristiwa yang merupakan force majeure tersebut
tidak termasuk ke dalam asumsi dasar (basic asumption) dari para pihak ketika kontrak
tersebut dibuat.79 Sedangkan menurut Handri Raharjo80 yang di dalam bukunya Hukum
Perjanjian di Indonesia memberikan arti overmacht adalah sebagai suatu keadaan tidak terduga, tidak sengaja dan tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh debitur, dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur dan dengan terpaksa peraturan hukum
77
Munir Fuady, Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis,Cetakan Ketiga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung ,2007, hlm.113.
78
Djaja s. Meliala. Loc. Cit., hlm.103 79
Ibid. 80
juga tidak diindahkan sebagaimana mestinya, hal ini disebabkan adanya kejadian yang berada diluar kekuasaannya dan keadaan ini dapat dijadikan sebagai alasan untuk dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.
Dasar hukum force majeure diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata, akan tetapi
kedua pasal tersebut hanya mengatur keadaan memaksa yang bersifat sebagai pembelaan debitur untuk dibebaskan dari pembayaran ganti kerugian jika debitur tidak memenuhi
perjanjian karena adanya keadaan memaksa.81.
Dalam KUHPerdata, istilah force majeure tetapi Pasal 1244 KUH Perdata mengatur
bahwa debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tak terduga, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya.
Lebih lanjut, Pasal 1245 KUH Perdata mengatur bahwa para pihak tidak harus membayar biaya kerugian dan bunga apabila salah satu pihak berhalangan berprestasi akibat dari kejadian memaksa atau kejadian yang tidak terduga atau akibat hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang. KUH Perdata tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang disebut sebagai keadaan memaksa, hal tidak terduga dan perbuatan yang terlarang tersebut.
Beberapa pasal dalam KUH Perdata yang dapat digunakan sebagai pedoman ketentuan force majeure selain pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata yang sudah tersebut di atas, antara lain adalah
Pasal 1545 :
“Jika suatu barang tertentu, yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah di luar salah pemiliknya, maka persetujuan dianggap sebagai gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar-menukar”.
Pasal 1553 :
81
“Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi hukum”.
Berdasarkan rumusan pasal-pasal tersebut, setidaknya terdapat 3 (tiga) unsur yang harus
dipenuhi untuk force majeure ini, yaitu:82
1. Tidak memenuhi prestasi
2. Ada sebab yang terletak di luar kesalahan yang bersangkutan
3. Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepada yang bersangkutan
Menurut Munir Fuady83, pengaturan force majeure dalam KUHPerdata adalah sebagai
berikut:
1. Tidak ada pengaturan force maeure secara umum
Tidak ada pengaturan secara khusus ataupun secara umum mengenai force maeure di
dalam KUHPerdata, sehingga dalam hal ini tidak ada yang menjadi patokan dalam
mengartikan force maeure ataupun juga maksudnya. Oleh karena itu untuk menafsirkan
force maeure dalam KUHPerdata adalah dengan menarik kesimpulan-kesimpulan umum
dari pengaturan-pengaturan khusus yaitu pengaturan khusus tentang force maeure yang
terdapat di dalam bagian tentang ganti rugi atau pengaturan resiko akibat force maeure
untuk kontrak sepihak ataupun dalam bagian kontrak khusus (bernama). Untuk kontrak sepihak yakni yang prestasinya dilakukan oleh salah satu pihak saja yaitu seperti dalam Pasal 1237 KUHPerdata yakni yang mengatur tentang resiko. Pasal 1237 KUHPerdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, maka sejak perikatan-perikatan dilahirkan benda tersebut menjadui tanggungan pihak kreditur.
2. Pengaturan force maeure dalam hubungan dengan ganti rugi
Force maeure selalu dikaitkan dengan adanya masalah ganti rugi dari suatu kontrak.
Karena force maeure membawa konskuensi hukum, bukan saja hilangnya atau
tertundanya kewajiban-kewajiban untuk melaksanakan presasi yang terbit dari suatu
kontrak, melainkan juga suatu force maeure dapat juga membebaskan para pihak untuk
memberikan ganti rugi akibat tidak terbebaskan kepada para pihak untuk memberikan ganti rugi sebagai akibat tidak terlaksananya kontrak yang bersangkutan. Dalam hal ganti rugi, KUHPerdata mengaturnya dalam Pasal 1244 dan 1245.
3. Pengaturan force maeure untuk kontrak tertentu
Untuk kontrak-kontrak tertentu atau bernama, terdapat pasal-pasal khusus dalam
KUHPerdata yang mengatur mengenai force maeure, khususnya pengaturan resiko
sebagai akibat dari peristiwa force maeure, yaitu:
82
Daeng Naja, Contract Drafting, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm.235-236 83
1) force maeure dalam kotrak jual beli
Force maeure untuk kontrak jual beli yang terkait dengan ganti rugi diatur dalam Pasal 1460 KUHPerdata, yaitu jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan si penjual berhak menuntu harganya. Apabila dipahami atas Pasal 1460 KUHPerdata ini, maka resiko beralih kepada pihak penjual walaupun benda belum diserahkan setelah adanya penandatanganan. Bukan merupakan suatu keadilan apabila Pasal 1640 KUHPerdata ini diterapkan karena satu sisi resiko sudah ditanggung penjual sementara itu barang belum diserahkan. Berdasarkan ketentuan ini, maka Mahkamah Agung Republik Indonesia melalu Surat Edarannya No. 3 Tahun 1963 agar tidak memberlakukan Pasal
1460 KUHPerdata tersebut. Dengan demikian force maeure dalam Pasal 1460
KUHPerdata tidak dipakai sebagai pedoman untuk mengartikan resiko dalam hukum kontrak secara umum.
2) force maeure dalam kontrak dalam tukar menukar
Kontrak tukar menukat atas pengaturan resikonya diatur dalam Pasal 1545 KUHPerdata, yaitu jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar musnah diluar salah pemiliknya, maka kontrak dianggap gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi kontrak, dapat menuntut kembali barang yang telah dia berikan dalam tukar menukar. Ketentuan ini menjelaskan bahwa suatu kontrak timbal
balik maka resiko dari force maeure ditanggung bersama oleh para pihak. Jika ada
para pihak yang terlanjur berprestasi dapat memintakan kembali prestasinya tersebut. Jadi kontrak tersebut dianggap gugur. Dengan demikian pengaturan resiko dalam kontrak tukar menukar ini dianggap pengaturan resiko yang adil, sehingga dapat dicontoh pengaturan resikonya.
3) force maeure dalam kontrak sewa-menyewa
Pengaturan force maeure untuk sewa menyewa diatur dalam Pasal 1553 KUHPerdata
yaitu jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja maka kontrak sewa menyewa tersebut gugur demi hukum. Jika barangnya hanya sebagian musnah, pihak penyewa dapat memilih menurut keadaan apakah dia akan meminta pengurangan harga sewa ataukah dia akan meminta pembatalan sewa menyewa. Dalam kedua hal tersebut, dia tidak berhak untuk meminta ganti rugi. Ketentuan resiko dalam Pasal 1553 KUHPerdata ini
menempatkan kedua belah pihak untuk menanggung resiko dari keadaan force maeure
tanpa adanya hak dari pihak yang merasa dirugikan untuk meminta ganti rugi.