• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

D. Perceraian dan Akibat Hukum

1. Pengertian Perceraian

diterima oleh pengadilan yang bersangkutan. Undang-Undang perkawinan Tahun 1974 bab VIII, pasal 39 Ayat (2) berbunyi :

“Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan antara suami dan istri untuk tidak akan hidup rukun sebagai suami istri”

Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, perceraian adalah keadaan putusnya suatu ikatan perkawinan.40 Perceraian merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan atau berpisah sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami dan istri. Apabila seorang suami sangat marah terhadap istrinya sehingga terlontar kata cerai, maka tidak akan terbisik cerai ketika tidak terdapat saksi antara mereka pada saat terucap kata tersebut. Itupun berlaku ketika seorang suami tidak dalam kondisi yang tidak sadar. Misalnya sedang marah dan gelap mata sehingga berkata cerai di luar akal dan niat sehatnya, maka dianggap tidak akan terjadi perceraian.

Kehidupan manusia masa kini yang semakin modern dan maju telah mengikis kesakralan pernikahan. Sehingga perceraian atau pisah ranjang sangat mudah terjadi antara pasangan rumah tangga. Tidak ada usaha yang cukup berarti untuk terus mempertahankan mahligai rumah tangga yang telah dibangunkan butuh nasihat yang sempurna. Egosentris yang menyelimuti individu-individu modern telah menjadikan nilai agamis tidak lagi melebihi nilai duniawi

40 Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Bentuk dan tahap perceraian dan akan harus dilalui seseorang, diantaranya:

a. Perceraian Emosional ialah berawal dengan persoalan dari perkawinan yang mulai memburuk. Bentuk perceraian ialah awal dari tahapan yang sangat berpengaruh dimana struktur perkawinan menjadi runtuh dan motivasi untuk bercerai mulai muncul. perilaku-perilaku yang muncul diantaranya adalah konflik, terhambatnya komunikasi, hilangnya kepercayaan, dan timbulnya kebencian.

b. Perceraian ilegal, memerlukan lembaga pengaduan untuk memutuskan ikatan perkawinan. pasangan biasanya mengalami kelegaan, jika perceraian telah diputuskan secara legal dimana berbagai ekspresi emosionalnya akan bermunculan pada tahap-tahap ini.

c. Perceraian Ekonomi menunjukkan pada tahap ini dimana pasangan telah memutuskan untuk membagi kekayaan dan harta mereka masing-masing. pada tahap ini seringkali dibutuhkan seorang penengah karena biasanya kedua pasangan menunjukkan reaksi kebencian, kemarahan, dan permusuhan berkaitan dengan pembagian harta kekayaan.

d. Perceraian karena orang tua, merupakan tahapan yang ke empat yang berkenan dengan berbagai persoalan anak. Kekhawatiran dan perhatian terhadap dampak perceraian pada anak seringkali dalam tahapan tersebut.

e. Perceraian komunitas merupakan bahwa status individu dalam hubungan sosial menjadi berubah. Banyak individu merasa bahwa mereka telah terisolasi dan kesepian.

f. Perceraian psikis berkaitan dengan mendapatkan kembali otonomi individual. Perubahan dari situasi yang berpasangan menjadi individu yang sendirian, membutuhkan penyesuain kembali peran-peran dan penyesuaian mental.41

Suatu reaksi pertama yang dimunculkan oleh setiap individu saat menghadapi perceraian umumnya adalah reaksi-reaksi yang bersifat emosional. Reaksi tersebut tampak dengan wujud penyangkalan terhadap kenyataan perceraian dan kemarahan yang memuncak pada depresi seseorang. individu pada akhirnya setuju untuk bercerai hanya melihat ketika melihat kenyataan bahwa perceraian merupakn keputusan yang terbaik dari pada mempertahankan perkawinan yang sudah tidak harmonis.42

Beberapa sarjana juga memberikan rumusan atau definisi dari perceraian itu sendiri, antara lain:

a. Menurut Subekti, perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.43

41Fatchiah E Kertamuda, Konseling Pernikahan untuk Keluaga Indonesia, (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), hal. 20.

42 Hurlock, E. B. Psikolok Perkembangan, suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, (Jakarta:Erlagga, 1994), hal.34.

43 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1985), hal. 23.

b. Menurut R. Soetojo Prawiroharmidjojo dan Aziz Saefuddin, perceraian berlainan dengan pemutusan perkawinan sesudah perpisahan meja dan tempat tidur yang didalamnya tidak terdapat perselisihan bahkan ada kehendak baik dari suami maupun dari istri untuk pemutusan perkawinan. Perceraian selalu berdasar pada perselisihan antara suami dan istri.44

c. Menurut P.N.H. Simanjuntak, perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan karena sesuatu sebab dengan keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam perkawinan.45

d. Menurut Peraturan Perundang-undangan

Urgensi legitimasi Undang-Undang tentang perceraian dianggap sebagai salah satu bukti nyata dari kepedulian dan niat negara untuk menujukkan loyalitasnya demi realisasi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat utamanya di bidang permasalahan keluarga.

Berangkat dari hal tersebut, kelahiran Undang-Undang 1974 tentang perkawinan, belakangan ditenggarai sebagai dasar hukum perceraian di indonesia, yang disesuaikan dengan kebutuhan konsumsi hukum masyarakat, dan kemudian diadopsi dalam praktek perceraian di ranah pengadilan.

44 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Azis Safioedin, Hukum Orang Dan Keluarga, (Bandung:

Alumni, 1986), hal. 109.

45 P.N.H.Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Pustaka Djambatan, 2007), hal. 53.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan memuat substansi dasar hukum perceraian di indonesia, pada Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam Pasal 38 menjelaskan perceraian dapat terjadi karena beberapa hal.46 Pasal 39 menjelaskan bahwa perceraian secara sah menurut peraturan, hanya dapat dilaksanakan di depan Pengadilan. Pasal 40 menjelaskan tentang penegasan tata cara gugatan perceraian.

Sedangkan Pasal 41 menjelaskan tentang akibat putusnya perkawinan.

Undang-Undang 1974 sebagai dasar hukum dalam masalah perceraian diperjelas dengan pengesahan Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, dalam hal ini tentang pelaksanaan perceraian yang termuat pada Undang-Undang 1974.

1. Jenis-Jenis Perceraian

Adapun jenis-jenis perceraian diantaranya:

a. Cerai hidup

Perceraian adalah terpisahnya pasangan suami dan istri atau telah berakhirnya suatu ikatan perkawinan yang diakui oleh hukum atau ilegal. Emery mendifinisikan perceraian hidup adalah berpisahnya pasangan suami dan istri atau berakhirnya perkawinan karena tidak tercapainya kata kesepakatan mengenai masalah hidup.

46 Pasal 38: Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian, b. Perceraian dan c. atas keputusan Pengadilan.

Percerain dilakukan karena tidak ada lagi jalan lain yang tempuh untuk menyalamatkan perkawinan mereka.47

b. Cerai mati

Cerai mati merupakan meninggalnya dari salah satu pasangan hidup dan sebagai pihak yang di tinggal harus sendiri dalam menjalani suatu kehidupan. Salah satu pengalaman hidup yang paling menyakitkan yang mungkin dihadapi oleh seseorang adalah berakhirnya hubungan karena meninggalnya salah satu pihak yang dicintainya.

Sebuah pendapat menyatakan bahwa meninggalnya pasangan hidup bagi seorang wanita akan terasa lebih menyakitkan dibanding laki-laki, karena itu seseorang laki-laki yang ditinggal mati oleh pasangan hidup cenderung lebih cepat dapat melupakan atau menyelesaikan masalah tersebut dan memilih untuk menikah kembali.

Sebaliknya para wanita yang ditinggal mati suaminya biasanya akan memiliki masalah yang lebih kompleks. mereka harus memikirkan sumber masalah, sumber keuangan bagi kehidupan dan juga untuk anak-anaknya.48

2. Penyebab-penyebab terjadinya perceraian

Pernikahan harmonis sedianya merupakan dambaan setiap pasangan. Akan tetapi saat tak ada lagi kecocokan, seringkali

47 Emmery, E.R. Maryage, Divorce, Chlideren Adjusment, 2nd Edition, (New York: Prentice Hall Interenational,1999), hal.38.

48 Benaim, Mariage And Family Interaction, 5th Edition (Iiiinoice Thhe Dorsey Press,1979), T.H.

perceraian dianggap sebagai jalan terbaik dan akhir dari dari segalanya. menjalani kehidupan perkawinan tentu saja bukan suatu perkara yang sangat mudah. pasalnya dalam pernikahan, akan ada banyak cobaan dan msalah yang melanda. ketika tidak mampu melewati masalah, seringkali jalan perpisahan atau jalan yang terakhir.

Menurut Fauzi alasan-alasan untuk bercerai adalah:

a. Ketidak harmonisan dalam rumah tangga

Ketidak harmonisan merupakan alasan yang kerap dikemukakan bagi pasangan yang hendak bercerai. ketidak harmonisan disebabkan oleh berbagai hal antara lain, ketidak cocokan pandangan, krisis akhlak, perbedaan pendapat yang sulit disatukan dan lain-lain

b. Krisis moral dan akhlak

Percerain juga sering memperoleh landasan berupa krisis moral dan akhlak, misalnya kelalaian tanggung jawab baik suami maupun istri, poligami yang tidak sehat, penganiayaan, pelecehan, dan keburukan prilaku lainnya, misalnya mabuk-mabukkan, terlibat tindakan kriminal, bahkan utang piutang.

c. Perzinahan

Terjadinya perzinahan yaitu hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan baik suami maupun istri merupakan penyebab perceraian. Di dalam hukum perkawinan Indonesia, perzinahan dimaksudkan kedalam salah satu pasalnya yang dapat mengakibatkan berakhirnya pada perceraian.

d. Pernikahan tanpa cinta

Alasan lain yang kerap dikemukakan baik oleh suami atau istri untuk mengakhiri suatu perkawinan adalah bahwa perkawinan mereka telah berlangsung tampa dilandasi dengan cinta.49

Selain itu, perceraian merupakan proses sulit bagi pasangan. Akibat bercerai, pasangan suami istri bisa tersakiti secara fisik maupun emosional. Adapun penyebab perceraian yaitu:

a. Perbedaan prinsip

Alasan perbedaan prinsip sering digunakan oleh para pasangan ketika bercerai. Masalah prinsip ini biasanya berkaitan dengan agama, krier, anak, dan perbedaan lainnya.

b. Kekerasan

Masalah kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi salah satu penyebab pasangan bercerai. Kekerasan fisik merupakan faktor utama kenapa istri atau suami menggugat cerai pasangannya.

c. Perselingkuhan

Apalagi kalau perselingkuhan itu sudah menyangkut aktivitas seksual. Alasan inipun sering dipakai untuk menceraikan pasangan.

d. Keuangan

Uang memang tidak bisa membeli kebahagiaan. Tetapi kalau tidak ada uang seseorang bisa lari dari pasangannya. Masalah finansial ini tak jarang di temukan sebagai pemicu perceraian.

49 Fauzi, D.A. Perceraian Siapa Taku, (Jakarta:Restu Agung, 2006), T.h.

e. Kecanduan

Banyak orang yang kerap merokok, mabuk, sampai minum obat-obatan terlarang. kalau sudah kecanduan, tidak jarang mereka akan diceraikan oleh pasangannya.

f. Komunikasi

Terutama jika salah satu pasangan tinggal jauh dari rumah karena alasan pekerjaan. Buruknya komunikanyapun bisa membuat sebuah rumah tangga bisa hancur.

g. Seks

Seks jelas penting dalam hidup pernikahan. Tampa seks, semuanya akan terasa hambar. kebanyakan orang akhirnya memutuskan untuk cerai.50

4. Syarat-Syarat untuk Bercerai

Pada sebuah kasus perceraian selama perkara tersebut belum diputuskan, usaha untuk mendamaikan tersebut dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan dalam sidang perdamaian. Apabila ternyata upaya damai tidak berhasil maka sidang dapat dilanjutkan ke tahap pembacaan gugatan. Menurut Pasal 123 KHI perceraian hanya dapat dilakukan lewat sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Perceraian tersebut baru sah terhitung pada saat percera ian itu dinyatakan

50 Gunarsa, S. D.Psikologi untuk Keluarga,(Jakarta: Gunung Agung Mulia, 1999), hal. 15.

di depan sidang Pengadilan. 51 Mengacu pada pasal tersebut, maka pemohon dapat mengajukan surat (pemohon) yang menerangkan bahwa pemohon bermaksud menceraikan pemohon ke Pengadilan Agama di daerah tempat tinggal pemohon. Nantinya, Pengadilan Agama bersangkutan mempelajari isi surat tersebut dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pemohon dan juga termohon untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian tersebut.

Idealnya, pernikahan dilakukan sekali seumur hidup. Pada kenyataannya bagi sebagian pasangan, pernikahan sekali seumur hidup sulit dlakukan. Ada begitu banyak rintangan, mulai dari masalah ekonomi, prinsip hidup, keluarga, dan rintangan lainnya. Bahkan beberapa pasangan mengalami kasus kekerasan dalam rumah tangga. Pasal 8 dan Pasal 9 KHI mengatur bahwa putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama, baik yang berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak. Apabila bukti tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, maka dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama. Terkait surat bukti tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama.52Nantinya perceraian harus diputuskan di Pengadilan Agama. Pengajuan perceraian ini dapat

51 Libertus Jehani, Perkawinan Apa Resiko Hukumnya, (Jakarta: Forum Sahabat, 2008) hal 93-94

52 Ibid. hal. 94-95.

dilakukan oleh salah satu pihak, dari pihak istri atau dari pihak suami.

Pengajuan permohonan ini biasanya dalam bentuk ajuan tertulis dan ditujukan kepada Pengadilan Agama. Tetapi bila ajuan tertulis sulit dibuat, maka pasangan suami istri dapat membuat ajuan secara lisan. Nantinya pihak pengadilan agama akan membuat surat tertulis berdasarkan ajuan secara lisan yang telah disampaikan.

Cerai mati terjadi jika suami atau istri meninggal dunia. Jika salah satu dari mereka meninggal maka perkawinannya dianggap putus dengan sendirinya, serta putus hak dan kewajiban masing- masing. Menurut Pasal 170 KHI istri yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah. Suami yang ditinggal mati oleh istrinya, melakukan masa berkabung menurut kapatutan.53 Bagi seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, boleh menikah lagi dengan pria lain yang bukan muhrimnya setelah menjalani masa iddah. Masa iddah ini diberlakukan untuk mengetahui apakah sang istri ketika ditinggal saat meninggal dunia masih dalam keadaan hamil atau tidak. Masa iddah ini penting untuk mengerahui siapa orang tua dari sang anak kelak ketika lahir.

Menurut Pasal 116 KHI, perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut :

53 Ibid. hal. 93-94.

1. Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

6. Antara suami dan istri terus- menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

7. Suami melanggar taklik talak.

8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Khuluk menurut Pasal 1 huruf (i) KHI adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya. Selanjutnya dalam Pasal 148 KHI diatur tata cara gugatan perceraian dengan jalan khuluk yaitu:

1. Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk, menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan-alasannya.

2. Pengadilan Agama selambat- lambatnya 1 bulan memanggil istri dan suaminya untuk didengar keterangannya masing- masing.

3. Dalam persidangan tersebut, Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat khuluk, dan memberikan nasehat-nasehatnya.

4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan ini tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.

5. Setelah sidang penyaksian ikrar talak, Pegadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan istri.

a. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan untuk Pegawai Pencatat Nikah.

b. Helai kedua dan ketiga masing- masing diberikan kepada suami istri.

c. Helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.

6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau iwadl¸ Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa.

Menurut Pasal 125 KHI, Li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama- lamanya. Li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zinah dan atau mengingkari anak

dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut (Pasal 126 KHI).

Tatacara Li’an menurut Pasal 127 KHI adalah sebagai berikut:

1. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zinah dan atau pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “Laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”.

2. Istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata:

“murka Allah atas dirinya bila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”.

Sumpah istri dan suami tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Apabila sumpah suami tidak diikuti dengan sumpah istri, maka dianggap tidak terjadi li’an sebagaimana diatur dalam Pasal 162 KHI adalah perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suami terbebas dari kewajiban memberi nafkah.

Pada Pasal 153 KHI ditentukan bahwa bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul (perceraian sebelum melakukan hubungan intim) dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami. Selanjutnya

menurut Pasal 153 angka (2) KHI waktu tunggu bagi seorang janda adalah:

1. Apabila perkawinan putus karena kematian walaupun qobla al dukhull (perceraian sebelum melakukan hubungan intim), waktu tunggu ditetapkan 130 hari.

2. Apablia perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, dan bagi yang idak haid ditetapkan 90 hari.

3. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

4. Apabila perkawinan putus karena kematian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

Sementara dalam Pasal 153 ayat (3) KHI tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul (perceraian sebelum melakukan hubungan intim).

Talak menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Talak ada 4 macam, yaitu:

1. Talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah (Pasal 118 KHI).

2. Talak Ba’in adalah talak yang ketiga kalinya atau talak sebelum istri dicampuri atau talak dengan tebusan istri kepada suami. Talak ba’in terdiri atas:

a. Talak ba’in shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk, tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah(Pasal 119 KHI). Yang termasuk talak ba’in shughraa adalah:

1. Talak yang terjadi qabla al dukhul (perceraian sebelum melakukan hubungan intim).

2. Talak dengan tebusan atau khuluk.

3. Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

b. Talak ba’in kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al dukhul dan habis masa iddahnya(Pasal 120 KHI).

3. Talak Sunny adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut (Pasal 121 KHI).

4. Talak bid’iadalah talak yang dilarang dijatuhkan pada waktu istri dala keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci, tetapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut (Pasal 122 KHI).

Terkait itu, maka dapat dipahami bahwa esensi dari talak adalah hak suami untuk menceraikan istrinya yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditentukan oleh hukum Islam, baik yang ada

pada suami dan istri, yang berakibat hukum putusnya perkawinan antara suami dan istri.

Dokumen terkait