• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM PELAKSANAAN HAK ASUH ANAK SETELAH PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KELAS I A MAKASSAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "ANALISIS HUKUM PELAKSANAAN HAK ASUH ANAK SETELAH PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KELAS I A MAKASSAR"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

ANALISIS HUKUM PELAKSANAAN HAK ASUH ANAK SETELAH PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KELAS I A

MAKASSAR (STUDI KASUS PUTUSAN No.2582/Pdt.G/2021/PA.Mks)

Diajukan Oleh ASRIANI ARBILLAH

NIM: 4620101058

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS BOSOWA

2022

(2)

iii

(3)

iv

(4)

v

(5)

vi ABSTRAK

Asriani arbillah (4620101058), ANALISIS HUKUM PELAKSANAAN HAK ASUH ANAK SETELAH PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KELAS I A MAKASSAR (STUDI KASUS PUTUSAN No.2582/Pdt.G/2021/PA.Mks), ccc

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) perlindungan hak anak dalam eksekusi putusan pengadilan agama 2) Putusan Pengadilan Agama Memberi manfaat kepada Anak Setelah Perceraian.

Metode penelitianayang di gunakan adalah penelitian hukum yuridis empiris. Hasil penelitian menunjukkan 1) Pelaksanaan hak anak oleh eksekutor pengadilan agama telah dilakukan dengan, mendatangi kediaman Tergugat dan meminta Tergugat untuk menyerahkan anak yang disengketakan tersebut kepada Penggugat, walaupun mendapatkan rintangan dari keluarga pihak ibu sehingga Pihak eksekutor Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar menentukan Hadanah jatuh kepada ayah tergugat. 2) Pelaksanaan putusan perceraian memberi manfaat tidak hanya perlindunganya kepada anak dengan memberikan hak hadanah kepada penggugat (ayah) oleh karna tergugat ghoib namun demikian penggugat dapat hak hadanah sedangkan ibu dimediasi untuk dapat bertemu bahkan membawa anak tersebut sesuai dengan kesepakatan pada saat eksekusi.

Kata kunci : Hak asuh, Anak, Putusan Pengadilan

(6)

iv ABSRACT

Asriani arbillah (4620101058), LEGAL ANALYSIS OF THE IMPLEMENTATION OF CHILD CUSTODY AFTER THE DECISION OF THE MAKASSAR CLASS I A RELIGIOUS COURT (CASE STUDY OF JUDGMENT No.2582/Rev.G/2021/PA. Mks). Guided by Zulkifli Makkawaru as supervisor I and Kamsilaniah as supervisor II.

This study aims to find out: 1) protection of children’s rights in the execution of religious court decisions2) Religious Court Decisions Provide benefits to Children After Divorce.

The research method used is empirical juridical legal research. The results showed that 1) The exercise of children's rights by the executor of the religious court has been carried out by, visiting the defendant's residence and asking the Defendant to hand over the disputed child to the Plaintiff, even though he received obstacles from the mother's family so that the executor of the Makassar Class 1A Religious Court determined Hadanah to fall to the defendant's father. 2) The execution of the divorce judgment benefits not only the protection of the child by giving the right of hadanah to the plaintiff (father) by the defendant ghoib but nevertheless the plaintiff can have the right of hadanah while the mother is mediated to be able to meet and even bring the child in accordance with the agreement at the time of execution.

Keywords : Custody, Child, Court Decision

(7)

v

KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Wr.Wb

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Hasil Penelitian tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah “

ANALISIS HUKUM PELAKSANAAN HAK ASUH ANAK SETELAH PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KELAS I A MAKASSAR (STUDI KASUS PUTUSAN No.2582/Pdt.G/2021/PA.Mks)”.

Dalam penulisan tesis ini, penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu besar harapan penulis semoga Hasil Penelitian tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Hukum (M.H.) pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Bosowa.

Terselesaikannya Tesis ini dengan baik berkat dukungan, motivasi, petunjuk dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Batara Surya, M.Si, selaku Rektor Universitas Bosowa ; 2. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Muhibuddin, M.S, selaku Direktur Program

Pascasarjana Universitas Bosowa ;

3. Bapak Dr. Baso Madiong, S.H., M.H, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Bosowa.

4. Ibu Dr. Kamsilaniah,S.H.,M.H, selaku Dosen Pembimbing I yang selalu memberikan masukan, saran dan petunjuk dalam proses menyelesaikan Tesis ini ;

(8)

vi

5. Bapak Dr. Zulkifli Makkawaru,S.H,.M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang selalu memberikan masukan, saran dan petunjuk dalam proses menyelesaikan Tesis ini ;

6. Bapak Abd. Azis Yarape dan Ibunda Alm. Mega wati, orang tua yang telah Mendukung, memberikan motivasi. Semangat yang tinggi selama perkuliahan hingga selesai.

7. Nur Hanisa, S.E, Aismail Arbillah, Resky Saputri Tulada saudara yang telah memberikan semangat sehingga adiknya telah menyelesaikan perkuliahan.

8. Alifia Regitha Cahyani Sayye,S.H, Vira Yuniar, S.Psi.,Sahrul Gunawan, S.H.,M.H., Muh Ridwan, S.H.,M.H., Nur Sri Rahayu, S.Sos., Dwi Ayu Febriani, S.H. sahabat yang telah memberikan dukungan, bantuan tenaga dan waktu sehingga penulis selalu ceria.

9. Semua Bapak dan Ibu Dosen Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Bosowa yang telah mengajarkan dan memberikan banyak ilmu dengan tulus. Semoga Ilmu yang di berikan dapat bermanfaat di dunia dan akhirat ;

10. Seluruh Staff Program Pascasarjana Universitas Bosowa tanpa terkecuali yang telah banyak memberikan kemudahan kepada penulis terutama dalam hal administrasi akademik.

11. Rekan-rekan Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum yang telah membantu dan mendorong kami dalam penyelesaian Tesis ini.

12. Kepada Semua Pihak yang tidak sempat saya sebutkan namanya, saya mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas motivasi dan bantuannya sehingga terselesainya Tesis ini dengan baik.

(9)

vii

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Tesis ini, masih banyak kekurangan dan banyak mengalami kendala, oleh karena itu bimbingan, arahan, kritikan dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi hasil yang lebih baik.

Semoga Hasil Penelitian Tesis ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan juga bagi pembaca umumnya serta mampu menjadi referensi untuk teman-teman yang lain dalam penyusunan Tesis dikemudian hari. Atas bimbingan serta petunjuk yang telah diberikan dari berbagai pihak akan memperoleh imbalan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.

Makassar, oktober 2022

ASRIANI ARBILLAH, S.H

(10)

viii

D A F T A R I S I

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PENERIMAAN ... iii

PERNYATAAN KEORISINILAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR A. Landasan Teori ... 11

1. Teori Perlindungan Hukum ... 11

2. Teori Kemanfaatan ... 19

B. Tinjauan Tentang Hak Anak ... 21

1. Hak anak dalam UU No 4 /1979 C tentang Kesejahteraan Anak.. 21

2. Hak anak dalam UU No 23/2002 Jo UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak ... 29

3. Hak Anak dalam Kompilasi Hukum Islam ... 31

C. . Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan ... 33

(11)

ix

1. UU No 1/1974 Jo UU No 16/2019 tentang Perkawinan ... 33

2. UU No 23/2002 Jo UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak . . 34

3. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam ... 35

D. Perceraian dan Akibat Hukum ... 36

1. Pengertian Perceraian ... 36

2. Akibat Hukum Perceraian ... 53

3. Eksekusi perdata... 65

E. Kerangka Pikir ... 67

F. Definisi Operasional... 68

BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ... 69

B. Tipe Penelitian ... 69

C. Jenis dan Sumber Data ... 69

D. Teknik Pengumpulan Data ... 69

E. Analisis Data ... 70

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Perlindungan Hak Anak Oleh Eksekutor Putusan Pengadilan Agama ... 71

B. Putusan Pengadilan Agama Memberi Manfaat Kepada Anak Setelah Perceraian ... 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 84

B. Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85 LAMPIRAN

(12)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perceraian merupakan peristiwa yang sangat menakutkan bagi setiap keluarga (Suami, istri, dan anak-anak) penyebab perceraian bisa bermacam- macam, yaitu antara lain gagal berkomunikasi sehingga menimbulkan pertengkaran, ketidaksetiaan, kekerasan dalam rumah tangga, masalah ekonomi, pernikahan usia dini, perubahan budaya, dan lain sebagainya.

Setelah perceraian ada penyesuain-penyesuain yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak (mantan suami dan mantan istri) terhadap kehidupan mereka yang baru. Terutama masalah finansial, apalagi perkawinan dari mereka telah dilahirkan seorang anak.

Jika dalam keluarga bapak ibunya baik, rukun dan menyayangi maka anak akan mendapatkan unsur positif dari kepribadiannya dan apabila orang tuanya beragama dan taat dalam menjalankan agama dalam kehidupan sehari- sehari. maka anak akan mendapatkan pengalaman keagamaan yang menjadi unsur dalam kepribadiaanya.

Tujuan mulia dari sebuah perkawinan adalah untuk meningkatkan diri dan ketakwaan kepada Allah SWT. Menikah berarti kita mampu mengawal nafsu daripada langkah yang salah. dan Setiap persetubuhan suami istri untuk menghindar dari kemaksiatan adalah mendapat pahala dari Allah SWT. Dan Sesungguhnya menikah itu ikatan yang mulia dan penuh berkah.

(13)

2

Perkawinan sebenarnya itu rumit dan butuh usaha yang keras. Semua orang menikah yang jujur pasti mengakui bahwa perkawinan dapat membahagiakan tapi juga dapat merupakan pergaulan antara percintaan dan kekecewaan, tuntutan dan kompromi, idealnya adalah terkait hidup sendiri.

Yang penting sebenarnya adalah pernikahan yang baik atau memutuskan untuk tidak menikah.1

Anak merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat. Bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga dan bagaimana seharusnya ia diperlakukan oleh kedua orang tuanya, bahkan juga dalam kehidupan masyarakat dan negara melalui kebijakan-kebijakannya dalam mengayomi anak ayah kandung berkewajiban memberikan nafkah anak kandungnya dan seorang anak begitu dilahirkan berhak mendapat nafkah dari ayahnya baik berupa pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya meskipun perkawinan orangtua Anak sudah putus. Bagi anak-anak yang dilahirkan, perceraian orang tuanya merupakan hal yang akan mengguncangkan kehidupannya dan akan berdampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangannya, biasanya anak-anak adalah pihak yang paling menderita dengan terjadinya perceraian orang tuanya. 2

Landasan kewajiban ayah menafkahi anak selain karena hubungan nasab juga karena kondisi anak yang belum mandiri dan sedang membutuhkan pembelanjaan, hidupan nya tergantung kepada adanya pihak yang bertanggung jawab menjamin nafkah hidupnya. Orang yang paling dekat dengan anak

1 http;//Jibononsu.Blogspot.co.id/2021/11/Proposal.html.Diunduh Pada 11 Oktober 2021

2 Satria Effendi,UshulFiqh, Pustaka, 2014, Jakarta, hal.166.

(14)

adalah ayah dan ibunya, apabila ibu bertanggung jawab atas pengasuhan anak dirumah maka ayah bertanggung jawab mencarikan nafkah anaknya3. Pihak ayah hanya berkewajiaban menafkahi anak kandungnya selama anak kandungnya dalam keadaan membutuhkan nafkah, Ia tidak wajib menafkahi anaknya yang mempunyai harta untuk membiayai kehidupannya sendiri.

Sebaliknya anak keturunan sudah semestinya berbuat baik dan berkhidmad kepada orang tuanya secara tulus. Orang tualah yang menjadi sebab terlahirnya ia didunia.

M. Yahya Harahap menegaskan bahwa Pasal 9 Undang-Undang No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak bahwa orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara fisik, jasmani, maupun sosial. Tanggung jawab orang tua atas anak mengandung kewajiban memelihara dan mendidik anak sedemikian rupa, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang sehat, cerdas, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbakti kepada kedua orang tua, berbudi pekerti luhur dan berkemauan, serta berkemampuan untuk meneruskan cita-cita bangsa berdasarkan Pancasila.4 Kewajiban bersama antara suami dan istri dalam membina dan menjalin rumah tangga akan luntur apabila rumah tangga yang di bangun tersebut mengalami goncangan dan terlebih parahnya lagi apabila tatkala rumah tangga tesebut bubar.

Pemeliharaan anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberikan pelayanan yang semestinya serta

3 Syaifullah,Problematika Anak Dan Solusinya Pendekatan Sudduzaara’i Jurnal Mimbar Hukum,UI Press, Jakarta,1999,hal 48.

4 M.yahya Harahap,Hukum Acara Perdata, Rajawali Press, 2012, Jakarta, hal.204

(15)

mencukupi kebutuhan hidup anak dari orang tuanya, kewajiban untuk melakukan pemeliharaan terhadap anak bersifat tetap sampai si anak mampu berdiri sendiri.

Dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan sebagai berikut:

1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak–anak itu kawin atau berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara keduanya putus.

Selanjutnya dalam pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan sebagai berikut:

a. Anak yang belum mencapai umur 18 Tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

b. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.

Dari beberapa penjelasan undang-undang No 1 Tahun 1974 maka, dapat diketahui bahwa Undang-Undang perkawinan mengatur kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya sekalipun rumah tangga telah putus karena perceraian.

Kewajiban orangtua tersebut meliputi:

a. Orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya.

(16)

b. Orangtua mewakili anak mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.

Adapun di dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan dijelaskan bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaannya dan pendidikan yang diperlukan anak, kewajiban tersebut tetap berlaku meskipun kekuasaan sebagai orangtua dicabut.

Di dalam beberapa aturan perundang-undangan dapat diketahui hal yang mengatur kewajiban orang tua terhadap anak diantaranya yaitu:

1) kewajiban orang tua terhadap anak setelah perceraian menurut Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. secara hukum kewajiban antara suami dan istri akan timbul apabila perkawinan tersebut telah dilakukan atau dilangsungkan, dengan kata lain kewajiban seorang istri atau suami tidak akan ada apabila seorang pria dan wanita belum melangsungkan perkawinan. Adapun kewajiban dan hak yang seimbang antara suami maupun istri apabila dibarengi dengan kewajiban yang sama pula yaitu kewajiban untuk membina dan menegakkan rumah tangga yang diharapkan akan menjadi dasar dalam membangun rumah tangga yang diharapkan akan menjadi dasar dalam membangun rumah tangga.

2) Kewajiban Orang Tua terhadap anak setelah perceraian menurut KHI.

Dalam pandangan ajaran Islam terhadap anak menempatkan anak dalam kedudukan yang mulia. Anak mendapatkan kedudukan dan tempat yang istimewa dalam Nash Al- Qur’an dan Al-Hadist, karena itu di dalam pandangan Islam anak itu harus diperlakukan secara manusiawi, diberikan pendidikan, pengajaran, keterampilan, keterampilan dan akhlakul karimah

(17)

agar anak tersebut kelak dapat bertanggung jawab dalam mensosialisasikan diri untuk memenuhi kebutuhan hidup di masa depan.

Didalam KHI yang memuat hukum materiil tentang Perkawinan, kewarisan dan juga wakaf yang dirumuskan secara sistematis Hukum Islam di Indonesia secara konkrit, ditugaskan di dalam ketentuan KHI yang mengatur tentang kewajiban orang tua terhadap anak.

Pasal 77 KHI menyebutkan :

a. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakan keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarkat. Suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberikan bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.

b. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak- anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.

c. Suami istri wajib memelihara kehormatannya.

d. Jika suami istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan di Pengadilan.

Berkaitan kewajiban orang tua setalah putusnya perkawinan, KHI dalam pasal-pasalnya menggunakan istilah Pemeliharaan Anak yang dimuat di dalam bab XVI Pasal 98 sampai dengan Pasal 106, tetapi secara eksplisit pasal yang mengatur kewajiban pemeliharaan anak jika adanya perceraian hanya terdapat didalam Pasal 105 dan Pasal 106. Dalam Pasal 98 KHI ditegaskan :

(18)

a. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak terdapat fisik ataupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

b. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

c. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.

Sementara Pasal 105 KHI dalam hal terjadinya perceraian, menyebutkan:

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantaranya ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Dalam hal ini dengan siapapun anak ikut ayah sebagai mantan suami tetap berkewajiban memberi nafkah kepada anak untuk biaya hidup dan pendidikannya sampai anak tersebut telah dewasa atau anak tersebut telah menikah.

Adapun menyangkut harta yang dimiliki anak, orangtua berkewajiban untuk merawat dan mengembangkan harta tersebut, Hal ini diatur di dalam Pasal 106 KHI yang menentukan:

a. Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau masih di bawah pengampauan dan tidak

(19)

diperbolehkan memindahkan atau menggadaikan kecuali keperluan yang sangat mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak iu menghendaki atau sesuatu kenyataan tidak dapat dihindari lagi.

b. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).

Pasal-pasal yang terdapat dalam KHI tentang hadlanah menegaskan bahwa kewajiban pengasuhan meterial dan non material kepada anak merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya lebih lagi KHI membagi tugas yang haarus dilakukan orangtua sekalipun mereka telah terpisah. Anak yang belum mumayyiz tetap diasuh oleh ibunya sedangkan pembiayaan tetap menjadi tanggung jawab dan kewajibaan ayahnya.

KHI juga menentukan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 Tahun adalah hak bagi ibu untuk memeliharanya sedangkan apabila anak tersebut sudah mumayyiz ia dapat memilih antara ayah atau ibunya untuk bertindak sebagai pemeliharanya.

Secara psikis Perceraian tentu akan berpengaruh pada anak, baik ketika anak tersebut masih anak-anak atau telah dewasa. Di kota Makassar, Perceraian semakin meningkat di setiap tahunnya. Terbukti dengan adanya perkara yang masuk di Pengadilan Agama Makassar pada tahun 2018 sebanyak 2.264 perkara. Pada tahun 2019 sebanyak 2.595 perkara dan Pada tahun 2020 sebanyak 2916 perkara. Adapun pada tahun 2021 adalah sebanyak 4.700.5 Fenomena Perceraian yang terjadi di Kota Makassar merupakan

5 Data dari Pengadilan Agama kelas I A makassar

(20)

masalah yang serius dan membutuhkan langkah preventif dari pemerintah terkait hal tersebut, berkonsekuensi pada anak dalam hal hak pengasuhan.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas inilah yang menjadi dasar penulis untuk melakukan penelitian dan penulisan Tesis dengan judul

“Analisis Hukum Pelaksanaan Hak Asuh Anak Setelah Putusan Pengadilan Agama Kelas I A Makassar (Studi kasus Putusan No 2582/Pdt.G/2021/PA.Mks”

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1) Bagaimanakah Perlindungan Hak Anak Dalam Eksekusi Putusan Pengadilan Agama?

2) Bagaimana Putusan Pengadilan Agama Memberi manfaat kepada Anak Setelah Perceraian?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1) Untuk mengetahui Perlindungan Hak Anak Dalam Eksekusi Putusan Pengadilan Agama?

2) Untuk mengetahui Putusan Agama Memberi perlindungan hak anak setelah perceraian

(21)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara tertulis maupun secara praktis:

1) Teoritis

Memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka mengembangkan Ilmu hukum pada umumnya , dan hukum perdata pada khususnya.

2) Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan mengenai Hak-hak anak oleh Eksekutor pengadilan agama kelas I A Makassar bagi masyarakat umum khususnya Mahasiswa Fakultas Hukum dan Pakar Ilmu Hukum.

(22)

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori

1. Teori Perlindungan Hukum

Teori Perlindungan Hukum tidak lepas dari pengaruh Teori Hukum Alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato. Menurut aliran hukum alam bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan.

Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.6

Menurut Hugo Grotius,7 ada empat prinsip utama yang merupakan inti hukum alam, yaitu:

a. Milik orang lain harus dihormati, Jika kita pinjam dan membawa keuntungan maka harus diberi imbalan:

b. Kesetiaan pada janji. Kontrak harus dihormati (pacta sunt servanda);

c. Harus ada ganti rugi untuk tiap kerugian yang diderita;

d. Harus ada hukuman untuk setiap pelanggaran.

Adapun Thomas Aquinas,8berpendapat bahwa hukum alam adalah ketentuan akal yang bersumber dari Tuhan yang bertujuan untuk kebaikan dan

6 Kamsilaniah,2018, Eksistensi Rumah Panggung Sebagai Jaminan Fidusia Dalam Perspektif Asas Pemisahan Horizontal,Disertasi. Universitas Hasanuddin, Makassar.Hal 58

7 Bernard L.Tanya DKK,2006, Moralitas Hukum, Ge``````nta Publising, Yogyakarta, Hlm 57

8 Thomas Aquinas selaku salah satu pelopor hukum alam mengatakan bahwa hukum alam merupakan hukum akal budi, karena itu hanya diperuntukan bagi nahluk yang rasional. Artinya hukum alam adalah partisipasi mahluk sosial. Artikal “Hari kekyaan intelektual sedunia”. Catatan

(23)

dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat untuk disebarluaskan. Hukum alam adalah cerminan dari undang-undang abadi (lex naturalis). Jauh sebelum lahirnya aliran sejarah hukum, ternyata aliran hukum alam tidak hanya disajikan sebagai ilmu pengetahuan, tetapi juga diterima sebagai prinsip-prinsip dasar dalam perundang-undangan. Keseriusan umat manusia akan kerinduan terhadap keadilan, merupakan hal yang esensil yang berharap adanya suatu hukum yang lebih tinggi dari hukum positif Hukum alam telah menunjukkan, bahwa sesungguhnya hakikat kebenaran dan keadilan merupakan suatu konsep yang mencakup banyak teori.

Pada abad ke-17, substansi hukum alam telah menempatkan suatu asas yang bersifat universal yang bisa disebut Hak Asasi Manusia (HAM).9 Hak Asas Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Than Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi olen negara, hukum, dan Pemerintah, dan setiap orang demi kenormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Phillips M. Hadjon10, bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegan terjadinya sengketa, dan perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan.

akhir Vol V/No.3/Juni 20. Hlm. 3, Diakses tgl 14 juni 2022, lihat pula Satjipto Raharjo, 1958, Ilmu hukum, Alumni, Bandung , Hlm 292.

9 Marwan Mas,Pengantar ilmu hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hlm 116

10 Phillipus M. Hadjon Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya,1987, hlm 2.

(24)

Patut dicatat banwa upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang dinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilal dasar dan hukum yakni adanya kepastian hukum, kemanfaatan hukum serta keadilan hukum, meskipun pada umumnya dalam praktik ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.

Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan oleh orang lain dan perlindungan itu diberikan oleh masyarakat agar dapat menikmati semua hak- hak yang diberikan oleh hukum.11

Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dan Konsep tentang pengakuan dan perlindungan teradap nak-nak asasi manusia karena menurut sejaran dan barat, lahimya Konsep-konsep tentang pengakuan dan perindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarankan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintahan.

Aspek dominan dalam Konsep barat tentang hak asasi manusia menekankan eksistensi hak dan kebebasan yang melekat pada Kodrat manusia dan statusnya sebagai individu, hak tersebut berada di atas negara dan di atas semua organisasi politik dan bersifat mutiak sehingga tidak dapat diganggu gugat.

Konsep ini, sering kali dilontarkan kritik bahwa konsep Barat tentang hak-hak asasi manusia adalah Konsep yang individualistik. Kemudian dengan masuknya

11 Zulkifli Makkawaru.2019, Perlindungan Hukum Ekspresi Budaya Tradisonal, Farha Pustaka, Sukabumi Hlm 66-67

(25)

hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi serta hak kultural, terdapat Kecenderungan mulai melunturnya sifat indivudualistik dan konsep Barat.

Dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum di Indonesia, landasannya adalah Pancasila sebagai ideologi dan falsatah negara. Konsepsi perlindungan hukum bagi rakyat di Barat bersumber pada konsep-konsep Rechtstaat dan "Rule of The Law" Dengan menggunakan konsepsi Barat sebagai kerangka bertikir dengan landasan pada Pancasila, prinsip perlindungan hukum di Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindak pemerintah bertumpu dan bersumber dari konseptentang pengakuan danperlindungan

terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi menusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.

Ada beberapa pengertian tentang perlindungan hukum menurut para ahli yaitu:

a. Perlindungan Hukum12 adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.

12 Satjipto Raharjo, 1993,Penyelenggaraan keadilan dalam Masyarakat yang sedang Berubah.

Gramedia, Jakarta,hlm.45

(26)

b. Perlindungan Hukum 13adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.

c. Perlindungan Hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangquan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.

d. Perlindungan Hukum adalah sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut.

e. Perlindungan Hukum 14adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal in hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subjek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia sera lingkungannya. Sebagai subjek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.

Sehubungan dengan itu, Menurut Fitzgerald, Teori perlindungan hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan masyarakat karena dalam suatu lalulintas kepentingan, perlindungan terhadap Kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara

13 CST Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm.67

14 A. Fadjar Muktie, 1989,Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, hlm.35

(27)

membagi berbagai kepentingan di lain pihak. 15Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarya merupkan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur nubungan prilaku antara angota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakill kepentingan masyarakat.

Menurut Satijipto Raharjo, Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak- hak yang diberikan oleh hukum16. Oleh karena itu, perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya tungsi nukum untuk mewujudkan tujuan- tujuan hukum, yakni keadilan, kemantaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalan suatu perlindungan yang diberikan kepada subjek nukum sesual dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif maupun dalam bentuk yang bersifat represif, baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum. Hakikatnya setiap orang berhak mendapatkanperlindungan dari hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum.

15 Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2000, hlm 53

16 Ibid. Hal 69

(28)

Adapun Roscoe Pound17, bagi kepentingan manusia yang dilindungi hukum menjadi tiga macam yakin: 1) kepentingan umum (public interest), 2) kepentingan masyarakat (public interest), dan 3) kepentingan individu (privat interset)

Perlindungan hukum bisa berarti perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar tidak ditafsirkan berbeda dan tidak dicederai ole aparat penegak hukum dan juga bisa berarti perlindungan yang diberikan ole hukum terhadap sesuatu. Perlindungan hukum juga dapat menimbulkan pertanyaan yang kemudian meragukan keberadaan hukum. Hukum sejatinya harus memberikan perlindungan terhadap semua pihak sesuai dengan status hukumnya karena setiap orang memiliki kedudukan yang Dihadapan hukum. Setiap apart penegak hukum jelas wajib menegakkan hukum dan dengan berfungsinya aturan hukum, maka secara tidak langsung pula hukum akan memberikan perlindungan terhadap setiap hubungan hukum atau segala aspek dalam kehidupan masyarakat yang diatur oleh hukum itu sendiri.

Dalam upaya melindungi anak dunia internasional bersepakat untuk membuat suatu aturan yang mengatur tentang perlindungan anak. Pada 28 november 1989 majelis umum PBB telah mengesahkan konfensi hak anak (KHA) atau Conpention on Right of the Child (CRC). Setahun setelah konvensi anak disahkan pada 25 Agustus 1990 Pemerintah Indonesia meretifikasi konvensi tersebut melalui keputusan Presiden No 36 1990 dan mulai berlaku sejak 5 oktober 1990. Dengan ikutnya Indonesia dalam mengesahkan konvensi tersebut

17 Zulkifli Makkawaru.2019, Perlindungan Hukum Ekspresi Budaya Tradisonal, Farha Pustaka, Sukabumi hlm 64

(29)

maka Indonesia terikat dengan konvensi hak anak dengan segala konsekuensinya.

Artinya, setiap yang menyangkut tentang kehidupan anak harus mengacuh kepada konvensi hak anak dan tak ada pilihan lain kecuali melaksanakan dan menghormati konvensi hak anak dan apabila Indonesia tidak melaksanakan dan menghormatinya maka memiliki pengaruh negatif dalam hubungan internasional.

Dalam mewujudkan pelaksanaan dari konvensi anak tersebut maka pemerintah Indonesia telah membuat aturan dalam upaya melindungi anak.

Aturan hukum tersebut tertuang dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Umat Islam telah diperingatkan oleh Tuhan betapa pentingnya perlindungan anak demi menghadapi generasi mendatang.

Adapun prinsip dasar CRC yaitu : non discrimination, the best interest of child, right of survival dan develop and participation:

a. Non diskriminasi ( discrimination )

Prinsip dasar yang pertama ini dimaksudkan dalam penyelengaraan bahwa dan kesejahteraan serta perlindungan terhadap anak adaalah tidak adanya diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang suku, ras, adat budaya, status, jenis kelamin, agama dan golongan. Dalam UU PA No. 23 Tahun 2002 Pasal 13 dan 17 dijelaskan bahwa perlindungan anak dari diskriminasi adalah hak yang dilindungi hukum dan bagi yang melanggar hak tersebut akan dipidana.

Dari ayat tersebut di atas, secara implisit dapat dipahami bahwa hendaknya memperlakukan anak-anak tidak diskriminasif baik terhadap anak sendiri maupun terhadap anak-anak secara umum telebih terhadap anak yatim.

(30)

Non deskriminasi Rasulullah saw dalam berbagai perjamuan yang dihadiri para sahabat tidak saja dalam bentuk materi, namun juga dalam bentuk psikis. Sabda Rasulullah saw kulmimmayali. Misalnya, Rasulullah SAW juga mengingatkan bahwa, jika orang tua ingin dihormati dan dihargai, maka anak-anak harus dididik dengan baik dan diperlakukan adil tidak diskriminatif, tidak memihak.

b. Asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup perkembangan anak (survival and development of child). Prinsip dasar kedua adalah hak asasi untuk hidup, Kelangsungan hidup dan hak untuk berkembang bagi anak. Dalam CRC atau dalam konvensi hak anak (KHA) ditegaskan adanya jaminan bagi kelangsungan hidup dan perkembangan anak. Setiap anak memiliki hak kehidupan yang melekat (inherent right of life) yang secara maksimal akan dijamin. Hak asasi mendasar inilah hak untuk hidup dan kelangsungan hidu, yaitu hak akan identitas dan kewarganegaraan (KHA pasal 7). Pemberian hak identitas di negeri kita kenal dengan akte kelahiran. Akte kelahiran menjadi bukti otentik yang memiliki kekuatan hukum atas jati diri seseorang.

2. Teori Kemanfaatan (Utilitarianisme)

Utilitarianisme pertama kali dikembangkan oleh Jeremi Bentham (1748- 1831). Jeremy Bentham sebagai penemunya menunjuk banyak dari karyanya pada kecaman-kecaman yang hebat atas seluruh konsepsi hukum alam.

Bentham tidak puas dengan kekaburan dan ketidaktetapan teori-teori tentang hukum alam, dimana Utilitarianisme mengetengahkan salah satu dari gerakan-gerakan periodik dari yang abstrak hingga yang konkret, dari yang

(31)

idealitis hingga yang materialistis, dari yang apriori hingga yang berdasarkan pengalaman.

“Gerakan aliran ini merupakan ungkapan-ungkapan/tuntutan-tuntutan dengan ciri khas dari abad kesembilan belas”.18 “Menurut aliran ini, tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan sebanyak- banyaknya kepada warga masyarakat yang didasari oleh falsafah sosial yang mengungkapkan bahwa setiap warga negara mendambakan kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu alatnya”. 19

Aliran Utilitarianisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Adapun ukuran kemanfaatan hukum yaitu kebahagian yang sebesar-besarnya bagi orang-orang. “Penilaian baik-buruk, adil atau tidaknya hukum tergantung apakah hukum mampu memberikan kebahagian kepada manusia atau tidak.”20

Utilitarianisme meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama dari hukum, kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happines), yang tidak mempermasalahkan baik atau tidak adilnya suatu hukum, 21melainkan bergantung kepada pembahasan mengenai apakah hukum dapat memberikan kebahagian kepada manusia atau tidak”. Penganut aliran Utilitarianisme mempunyai prinsip bahwa manusia akan melakukan tindakan-tindakan untuk

18 Friedman, Teori dan Filsafat Hukum ; Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhamad Arifin, Disunting oleh Achmad Nasir Budiman dan Suleman Saqib, Jakarta : Rajawali, 1990, h. 111

19 Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum ; Edisi lengkap (Dari Klasik sampai Postmoderenisme), Jogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011, h.159

20 Lilik Rasyidi dalam Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2010, h. 59

21 Muh. Erwin, Filsafat Hukum ; Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 2011, h. 179

(32)

mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan.

B. Tinjauan Tentang Anak

1. Hak Anak dalam UU No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Anak merupakan seseorang yang dilahirkan dari sebuah hubungan antara pria dan wanita. Hubungan antara pria dan wanita ini jika terikat dalam suatu ikatan perkawinan lazimnya disebut sebagai suami istri.22

Ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “anak” dimata hukum positif di Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring atau person under age), orang yang dibawah umur atau keadaan dibawah umur (minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga disebut sebagai anak yang dibawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij). 23

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberi batasan mengenai pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 330 yang berbunyi belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu kawin.24

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa anak adalah

22 Abu Huraerah, 2006, Kekerasan Terhadap Anak, Bandung: Nuansa, Hal. 36

23 Sholeh Soeaidy dan Zulkhair, 2001, Dasar Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri, Hal. 5

24 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(33)

seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.25

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak, anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah delapan belas tahun kecuali berdasarkan undang-undang lain yang berlaku bagi anak-anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.26

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.27

Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Sementara Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.28

25 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

26 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak

27 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

28 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

(34)

Dengan demikian maka pengertian anak (juvenile) pada umumnya adalah seorang yang masih di bawah umur tertentu, yang belum dewasa dan belum pernah kawin. Pada beberapa peratuaran perundang–undangan di Indonesia mengenai batasan umur berbeda-beda. Perbedaan tersebut bergantung dari sudut manakah pengertian anak dilihat dan ditafsirkan. Hal ini tentu ada pertimbangan aspek psikis yang menyangkut kematangan jiwa seseorang.29

Di sisi lain, beberapa pengertian dan batasan umur anak sebagaimana tersebut di atas, dirasa menjadi perlu untuk menentukan dan menyepakati batasan umur anak secara jelas dan lugas agar nantinya tidak terjadi permasalahan.30

Dalam batasan ini, batasan umur anak lebih condong mengikuti Undang-Undang tentang Perlindungan Anak.

Menurut kodrat alam, manusia selalu hidup bersama (berkelompok).

Aristoteles menyatakan dalam ajarannya, bahwa manusia adalah zoon politicon artinya bahwa manusia itu sebagai mahkluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya. Oleh karena sifat yang suka bergaul satu sama lain, maka manusia disebut mahkluk sosial.

Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat dipisahkan dari masyarakat.

29 Abintoro Prakoso, 2016, Hukum Perlindungan Anak, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, Hal.

42-43

30 Gultomjosi, Selasa 16 Oktober 2010, Batasan Mengenai Anak Menurut Hukum Positif di Indonesia, http://googleweblight.com/?lite_url+http://lawofpardomuan.blogspot.com/2010/10/bata san-mengenai-anak-menurut-hukum.html?m%3D1&ei+rmqwdxTE&IC=id-ID&geid+33&s=1&m

=443&host=www.google.co.id&ts=1511678164&sig=ANTY_LOIAeY4sKwyodMFsThpC7aZzB BOtQ, diuntuh pada tanggal 7 Juni 2022.

(35)

Karena manusia lahir, hidup berkembang dan meninggal dunia di dalam masyarakat.31

Adapun yang menyebabkan manusia hidup bermasyarakat ialah adanya dorongan kesatuan biologis yang terdapat dalam naluri manusia misalnya hasrat untuk memenuhi keperluan makan dan minum, hasrat untuk membela diri dan hasrat untuk mempunyai keturunan.32

Eksistensi sebagai makhluk sosial menghendaki adanya jalinan atau hubungan antar sesama, hidup berdampingan dan saling membutuhkan satu sama lain (hidup bermasyarakat) yang pada hakikatnya semata–mata untuk kepentingan manusia itu sendiri. Namun manusia diharuskan untuk menunjukan sesuatu yang menjadi jati diri yaitu kemuliaan (self of dignity), kepercayaan diri (self of image), dan harga diri (self esteem) terhadap lingkungan sosial. Jati diri seseorang lahir sebagai wujud kepemilikan terhadap suatu nilai yang mendasar di dalam dirinya (human rights). Nilai ini kemudian meletakkan dasar kepribadian yang membedakan antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Nilai ini selanjutnya dikenal sebagai “hak”

dari seorang manusia atau subjek hukum.33

Definisi mengenai hak menurut Bernhard Winscheid, hak adalah suatu kehendak yang dilengkapi dengan ketentuan (macht) dan yang diberikan oleh tertib hukum atau sistem hukum kepada yang bersangkutan. Van Apeldoorn, hak adalah suatu kekuatan (macht) yang diatur oleh hukum. Sedangkan

31 C.S.T. Kansil, loccit, Hal. 29-31

32 C.S.T. Kansil, Ioccit, hal. 32-33

33 Daud A. Busroh dan Abubakar Busroh, 1938, Asas – Asas Hukum Tata Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 14

(36)

menurut Lamaire, hak adalah sesuatu izin bagi yang bersangkutan untuk berbuat sesuatu. Leon Duguit, mengatakan hak diganti dengan fungsi sosial yang tidak semua manusia mempunyai hak, sebaliknya tidak semua manusia menjalankan fungsi–fungsi sosial (kewajiban) tertentu.34

Pengertian–pengertian hak di atas sebagai suatu pengantar untuk memahami atau meletakkan makna dari hak yang sebenarnya. Menurut hukum, pengertian hak adalah izin atau kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang untuk melakukan sesuatu. Hak dapat dibagi menjadi 2 (dua) bentuk yaitu:35

1. Hak mutlak Hak yang diberikan secara langsung kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan dan yang dapat dipertahankan serta wajib dihormati oleh siapapun. Hak mutlak terbagi menjadi 3 (tiga) golongan yaitu hak asasi manusia, hak publik mutlak, dan hak keperdataan;

2. Hak relatif (hak nisbi) Hak yang diberikan kepada seseorang atau kelompok tertentu untuk menuntut agar supaya seseorang atau kelompok lain memberikan sesuatu, melakukan sesuatu dan/atau tidak melakukan sesuatu.

Dalam masyarakat setiap orang mempunyai kepentingan sendiri yang berbeda antara manusia satu dengan yang lainnya untuk itu diperlukannya aturan hukum untuk menata kepentingan itu. Ketentuan hukum yang menyangkut kepentingan anak disebut hukum perlindungan anak. Hukum perlindungan anak adalah hukum yang menjamin perlindungan hak dan

34 Utrecht, 1957, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Buku Ichtiar, hal. 233

35 C.S.T. Kansil, Loccit, Hal. 120-121

(37)

kewajiban anak. Bismar Siregar mengatakan aspek perlindungan anak lebih dipusatkan kepada hak–hak anak yang diatur oleh hukum bukan kewajiban, mengingat secara hukum anak belum dibebani kewajiban.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mengatur hak-hak anak sebagai berikut :

a. Pasal 2 Ayat 1

“Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.”

b. Pasal 2 Ayat 3

“Anak berhak atas perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.”

c. Pasal 2 Ayat 4

“Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar”

d. Pasal 8

“Bantuan dan pelayanan, yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak tanpa membedabedakan jenis kelamin, agama, pendirian politik, dan kedudukan sosial.”

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:

a. Pasal 4

“Setiap anak berhak dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

b. Pasal 5

“Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.”

c. Pasal 6

“Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua atau wali.”.

(38)

d. Pasal 7 ayat 1

“Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri”

e. Pasal 8

“Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spritual, dan sosial.”

f. Pasal 9 Ayat 1

“Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.”

g. Pasal 10

“Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai- nilai kesusilaan dan kepatutan.”

h. Pasal 11

“Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.”

i. Pasal 12

“Setiap anak Penyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.”

j. Pasal 13

“Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasaan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan f. perlakuan salah lainnya.”

k. Pasal 14

“Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir."

l. Pasal 15

“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari: a.

penyalahgunaan dalam kegiatan politik; b. pelibatan dalam sengketa bersenjata; c. pelibatan dalam kerusuhan sosial; d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; e. pelibatan dalam peperangan.”

m. Pasal 16 Ayat 1

“Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.”

(39)

n. Pasal 16 Ayat 2

“Setiap anak berhak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.”

o. Pasal 17 Ayat 1

“Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk: a) Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; b)Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan c)Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.”

p. Pasal 18

“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.”

Sedangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, perlindungan terhadap anak di atur dalam:

a. Pasal 52 Ayat 1

“Setiap anak berhak atas perlindungan orang tua, keluarga, masyarakat dan negara.”

b. Pasal 53 Ayat (1) dan Ayat 2

“(1) Setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupan; (2)Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan.”

c. Pasal 54

“Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus atas biaya negara untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.”

d. Pasal 55

“Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tuanya dan atau wali.”

e. Pasal 56 Ayat 1

“Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.”

f. Pasal 57 Ayat 1 dan Ayat 2

“(1) Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat dan dibimbing oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; (2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal sebagai orang tua.”

(40)

g. Pasal 58 Ayat 1

“Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, pemberlakuan buruk dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan.”

Dari beberapa ketentuan perundang-undangan di atas, maka penulis mengkategorikan hak-hak anak sebagai berikut:

1. Hak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang;

2. Hak untuk mendapatkan identitas dan kewarganegaraan;

3. Hak untuk mengetahui orang tua, dibesarkan, dan diasuh orang tuanya;

4. Hak untuk memperoleh pendidikan yang sesuai;

5. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial;

6. Hak untuk mendapatkan kebebasan beribadah, berekspresi, dan berpikir;

7. Hak untuk memperoleh lingkungan terbaik;

8. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari segala hal yang dapat merugikan;

9. Hak untuk mendapatkan Air Susu Ibu (ASI).

2. Hak Anak dalam UU No 23 Tahun 2002 Jo UU No 3 Tahun 52014 tentang perlindungan anak

Anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara dimasa yang akan datang. Agar anak kelak mampu memikul tanggungjawab, maka perlu mendapat

(41)

kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Oleh karena itu anak harus mendapat perlindungan dan kesejahteraan, dan ini diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya. Maka pada tanggal 22 Oktober 2002 disahkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang memuat beberapa pasal mengenai hak-hak anak sebagai berikut :

Pasal 4

“Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Pasal 5

“ Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan”.

Pasal 6

“Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua”.

Pasal 7

(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.

(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 8

“Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan social”.

Pasal 9

(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.

(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa,

(42)

sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.

Pasal 10

“Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan”.

3. Hak Anak dalam Kompilasi Hukum Islam

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak ditentukan secara khusus tentang pengelompokan jenis anak, hanya saja di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan kriteria anak sah sebagaimana terdapat dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berbunyi : anak sah adalah : (a) anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah (b) hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.

Selain kedudukan, anak juga memiliki hak dan kewajiban. Hubungan orang tua dan anak mengenai hak dan kewajiban mereka dalam Islam yaitu seperti yang digambarkan hadist Nabi Muhammad SAW : " Tidak termasuk dalam golongan umatku, mereka yang (tua) tidak menyayangi yang muda, dan mereka yang (muda) tidak menghormati yang tua." (di riwayatkan oleh Tirmidzi)

Seorang anak berhak menerima sesuatu dari orang tuanya, dan orang tua wajib memberikan sesuatu itu kepada anaknya, mengingat tanggung jawab orang tua terhadap anak. Berikut hak-hak yang dimiliki oleh anak : a. Hak Untuk Hidup

Hak yang sangat dasar dalam hak asasi manusia adalah hak untuk hidup dan seorangpun tidak boleh membunuh orang lain.

(43)

b. Hak Mendapat Nama Yang Baik

Pemberian nama yang baik bagi anak merupakan awal dari sebuah upaya pendidikan terhadap anak.

c. Hak Untuk Mendapatkan ASI

Allah memberikan kesempatan kepada ibu seorang anak untuk menyusui anaknya, dalam jangka waktu paling lama dua tahun. Boleh kurang dari dua tahun dengan alasan yang dibenarkan.

d. Hak Makan dan Minum Yang Baik

Makan dan Minum yang baik dan halal, dua kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Yang dapat diartikan halal dari segi syariah dan baik dari segi kesehatan, gizi, estetika, dan lainnya.

e. Hak diberi Rizqi yang baik

Tidak berdosa engkau memberi makan mereka (anak-anakmu) dengan cara yang baik.

f. Hak mendapat Kasih Sayang

Kecintaan orang tua kepada anak tidak cukup hanya memberinya materi baik berupa pakaian, makanan, atau mainanan dan sebagainya. Tapi yang lebih daripada itu adalah adanya perhatian serta kasih sayang yang tulus dari kedua orang tua.

Akan tetapi persoalan yang utama yang harus dicamkan adalah anak harus mengenal Allah SWT. Dan rasulnya, dan upaya pengenalan Allah dan rasul-Nya.

(44)

Secara Syar'i anak harus mengenal Allah SWT sebagai penciptanya, Allah sebagai tempat kembalinya, Allah sebagai zat yang akan menghisabnya, dan sifat-sifat Allah.

C. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan

1. UU No 1 Tahun 1974 Jo UU No 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan Pasal 45 dijelaskan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anakanaknya yang belum mencapai umur 18 tahun dengan cara yang baik sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Adapun isi pasal 45 yaitu:

1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua si anak putus karena perceraian atau kematian. Kekuasaan orang tua juga meliputi untuk mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Kewajiban orang tua memelihara anak meliputi pengawasan (menjaga keselamatan jasmani dan rohani) pelayanan (memberi dan menanamkan kasih sayang) dan pembelajaran dalam arti yang luas yaitu kebutuhan primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan dan tingkat sosial

(45)

ekonomi orang tua si anak. Ketentuan ini sama dengan konsep hadhanah dalam hukum Islam, dimana dikemukakan bahwa orang tua berkewajiban memelihara anak-anaknya, semaksimal mungkin dengan sebaikbaiknya.36 2. UU No 23 Tahun 2002 Jo UU No 35 Tahun 2014 Tentang

Perlindungan Anak

Sejak awal kehidupan, anak-anak bergantung kepada orang tuanya untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan mereka. Ya, setiap orang tua memiliki tugas untuk merawat anak mereka. Lebih lanjut, di Indonesia, tanggung jawab orang tua terhadap anak ini diatur dalam pasal 26 Undang undang Nomor 35 Tahun 2014Perlindungan Anak bahwa:

1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;

b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya; dan

c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

d. Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.

2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), maka hal ini dapat

36 Maulana Hassan Wadong, 2000, Advokasi Dan Hukum Perlindungn Anak, Jakarta:

PT.Grasindo, Hal. 18

(46)

beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.37

3. Kompilasi Hukum Islam

Menurut Kompilasi Hukum Islam kewajiban orang tua terhadap anak dalam pandangan ajaran Islam terhadap anak menempatkan anak dalam kedudukan yang mulia. Anak mendapatkan kedudukan dan tempat yang istimewa di dalam nash-Al-Qur’an dan Al-Hadist, oleh karena itu anak harus diperlakukan secara manusiawi, diberikan pendidikan, pengajaran, keterampilan dan akhlakul karimah agar anak tersebut kelakdapat bertanggung jawab dalam mensosialisasikan diri untuk memenu hi kebutuhan hidup dimasa depan. Di dalam Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang kewajiban orang tua terhadap anak terdapat dalam pasal 77 KHI yang menyebutkan:

1. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

2. Suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberikan bantuan lahir batin yang satu kepada yang lainnya.

3. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak- anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.

4. Suami istri wajib memelihara kehormatannya.

37 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:

Kencana, 2008), hlm. 428-429

(47)

5. Jika suami istri melalaikan kewajibannya, masingmasing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan Agama.

D. Perceraian dan Akibat Hukum 1. Pengertian Perceraian

Dalam Islam, Rasulullah, pernah bersabda, “tindakan halal tapi paling dilaknat oleh Allah Swt. adalah perceraian.” ketika pernikahan membuat seseorang atau masing-masing pasangan yang menikah merasa tersiksa secara lahir dan batin akibat sebuah ikatan bersama, maka dihalalkan bagi mereka untuk melakukan perpisahan di dalam sebuah rumah tangga.

Secara harfiah, definisi perceraian adalah pemutusan terhadap ikatan pernikahan secara Agama dan hukum.38 Namun di dalam Islam, arti perceraian tidaklah semudah pernikahan. Banyak tahap yang harus dilalui ketika perceraian, bahwa perceraian hanya akan terjadi katika ada saksi dan melalui tiga tahap, yaitu talak 1, talak 2, dan kemudian talak 3.39

Perceraian menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1994 (Pasal 16), terjadi apabila suami dan istri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun dalam suatu rumah tangga.

Perceraian terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan (pasal 18). Gugatan perceraian dapat diajukan oleh suami dan istri atas kuasanya pada pengadilan dengan alasan-alasan yang dapat

38Departemen Pendidikan Nasiona, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ke IV; Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal.45.

39H.M Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta: Balai Aksara dan Yudistira, 1995), hal.15.

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan: Dari perspektif gender, wanita lebih takut mengoperasikan komputer jka dibandingkan dengan pria; Kegelisahan atau ketakutan menggunakan komputer dapat menyebabkan

Keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh Indonesia yaitu ketersediaan bahan baku yang cukup melimpah yaitu kayu, ongkos produksi yang jauh lebih murah, dan

Cangkang kelapa sawit disamping sebagai limbah dengan potensi yang cukup banyak juga memiliki nilai kalor yang cukup tinggi (> 5000 kalori/gram), sehingga berpotensi untuk

Bahasa merupakan sistem simbol yang memiliki makna, dan makna adalah arti yang mengacu pada suatu fakta dan realita. Artinya, tidak akan terwujud suatu bahasa yang hanya

Akuntansi merupakan salah satu mata pelajaran keahlian di SMK, oleh karena itu sangat memerlukan pemahaman, ketelitian dan latihan didalam mempelajarinya dan suatu

dalam penerapan kehidupan islami di sekolah. Dari keseluruhan responden menjawab bahwa telah tersedia fasilitas tempat wudhuk di sekolah. Berdasarkan

Perbedaan yang menjadikan penelitian penulis orisinil yakni menekankan pada faktor-faktor yang memengaruhi sikap abstain Amerika Serikat dalam Sidang DK PBB pada

Keinginan Suriah mewujudkan Suriah Raya dengan menjadikan Lebanon masuk dalam wilayah Suriah dengan tidak membuka hubungan diplomatik dengan Lebanon dan putusnya