• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Pengertian Perjanjian

Untuk mengetahui arti sebenarnya dari suatu perjanjian tidaklah mudah karena banyak pendapat para ahli-ahli hukum didalam memberikan rumusan perjanjian tersebut.Dengan adanya berbagai pendapat tentang rumusan dari perjanjian tersebut.Penulis merasa perlu memberikan beberapa pengertian perjanjian menurut para sarjana.

Buku III KUH Perdata bebicara tentang perikatan (Van Verbibtenissen) yang memiliki sifat terbuka artinya isinya dapat ditentukan oleh para pihak dengan

8

beberapa syarat yaitu tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan

undang-undang.9

Menurut Prof.Dr.Wrijono Prodjodikoro Perjanjian adalah : “Sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak

menuntut janji itu.”10

Menurut Abdul Kadir Muhammad, SH. Bahwa : “Perjanjian adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk saling

melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan.”11

Menurut M. Yahya Harahap,SH ,perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian: “Suatu hubungan Hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan

sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. 12

9

Handri Raharjo,Hukum Perjanjian di Indonesia,Pustaka Yustisia,Yogyakarta,2009,hlm 39.

10

Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas hukum perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm 7

11

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian,PT.Alumni, Bandung, 1986, hlm 78

12

M.Yahya Harahap, Op.Cit.,hlm.6.

Secara harafiah kata “verbintenis”yang merupakan pengambilalihan dari kata “obligation” dalam Code Civil Perancis dengan demikian berarti perikatan adalah kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum perikatan tersebut.

Dengan demikian berarti perikatan adalah kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum perikatan tersebut.Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memberikan rumusan, definisi, maupun arti istilah “perikatan”.Diawali dengan ketentuan pasal 1233, yang menyatakan bahwa.“Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena undang-undang”, ditegaskan bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan yang secara sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena ditentukan oleh peraturan

perundang-undangan yang berlaku.13

Oleh karena itu prestasi dapat dirumuskan secara luas sebagai “sesuatu yang diberikan, dijanjikan, atau dilakukan secara timbal balik.Perbuatan, sikap tidak

Dari beberapa pengertian perjanjian yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa wujud pengertian perjanjian itu sendiri yaitu, hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban dipihak lain untuk memenuhi suatu hal (prestasi) yang telah disepakati.

Perjanjian harus menjadi perbuatan kedua belah pihak, tiap-tiap pihak yang berjanji untuk mematuhi prestasi kepada pihak lainnya, begitupula pihak lainnya harus memperoleh pemenuhan prestasi yang telah dijanjikan oleh pihak lainnya itu.

13

Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja,Perikatan Pada Umumnya,PT.Raja Grafindo Pusaka,Jakarta,2004.,hlm.17.

berbuat, atau janji dari masing-masing pihak adalah harga bagi janji yang telah dibeli

oleh pihak lainnya itu.”14

Adapun bunyi dari pasal 1313 KUH Perdata tersebut adalah sebagai berikut : “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Prestasi ini adalah “objek” tanpa prestasi hubungan hukum yang dilakukan tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian.Prestasi harus berwujud dan mempunyai nilai; jika tidak demikian, maka tidak ada perjanjian.

Dari pengertian yang telah dikemukakan para sarjana di atas, maka dalam buku III kitab undang-undang hukum perdata terdapat rumusan tentang perjanjian itu, yang diatur dalam pasal 1313 KUH Perdata

15

1. Didalam KUH Perdata disebutkan “Merupakan perbuatan” menurut handri

raharjo makna ini terlalu luas, seharusnya dipersempit dengan “Merupakan perbuatan hukum”

Namun menurut Handri Raharjo ada beberapa kelemahan dalam definisi perjanjian menurut KUH Perdata tersebut diantara nya:

14

Ibid.,hlm.99.

15

R.Subekti, R.Tjitorosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata,Pradnya Paramita, Jakarta,1979, hlm 304.

2. Dari pengertian diatas juga ditemukan “Yang mengikatkan dirinya hanya 1 pihak , hal tersebut kurang lengkap sehingga bisa disebut perjanjian sepihak, seharusnya “saling mengikatkan diri”.

3. Apa yang menjadi tujuan tidak jelas, seharusnya diperjelas.

Penyempurnaan terhadap definisi perjanjian menurut Handri Raharjo adalah :

“Suatau hubungan hukum dibidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan diantara mereka(para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum lainnya berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah

disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.” 16

Dari rumusan itu dapat kita ketahui ada dua pihak dalam suatu perikatan, yaitu pihak yang berhak dan pihak yang berkewajiban.Pihak yang berhak dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau “debitur”.Dalam hal ini kedua belah pihak memiliki hubungan hukum dengan arti jika pihak debitur tidak melakukan kewajibannya untuk memenuhi hak kreditur, maka pihak kreditur dapat melakukan tuntutan kepada pihak debitur. Dengan kata lain bahwa perikatan adalah suatu hubungan hukum untuk

16

memenuhi suatu prestasi, prestasi adalah suatu hal tertentu yang patut dipenuhi menurut undang-undang.

Menurut pasal 1338 KUH Perdata: semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Dengan begitu segala sesuatu yang telah dibuat didalam suatu persetujuan berlaku sebagai suatu undang-undang atau aturan bagi para pihak yang turut sepakat dalam penyusunan perjanjian tersebut.Dengan berlakunya segala sesuatu tersebut sebagai suatu undang-undang maka apabila ada pihak yang melakukan suatu hal sebagaimana dilarang didalam suatu perjanjian, pihak lainnya dapat melakukan penuntutan untuk mendapatkan pertanggungjawaban atas hal tersebut.

Persetujuan yang telah disepakati tersebut tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.Dan tentunya persetujuan yang telah disepakati tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana diatur dalam pasal 1338 kitab undang-undang hukum perdata.

Suatu perjanjian adalah semata-mata suatu persetujuan yang diakui oleh hukum.Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha, dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang, seperti jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan barang, dan lainnya.

Oleh karena itu hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya.Hubungan tersebut timbul karena adanya “tindakan hukum”.Tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasi.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa prestasi adalah sebuah “objek” dan kreditur berhak atas prestasi yang diperjanjikan dan debitur wajib melaksanakan prestasi tersebut. Jika demikian inti dari suatu perjanjian tiada lain adalah prestasi. Jika undang-undang telah menetapkan pihak kreditur adalah yang berhak atas prestasi dan pihak debitur yang wajib melaksanakan prestasi, maka inti dari perjanjian ialah prestasi itu sendiri.

Sesuai dengan ketentuan pasal 1234 BW, prestasi yang diperjanjikan itu ialah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu.Memberikan sesuatu dalam pasal 1235 adalah kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan. Dalam hal berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu bisa bersifat postif dan negatif

Bersifat positif jika isi perjanjian ditentukan untuk melakukan/berbuat sesuatu.Hal ini timbul misalnya dalam perjanian kerja seperti diatur dalam pasal 1603 BW.Perjanjian yang bersifat negatif adalah verbintenis/perjanjian yang

memperjanjikan untuk tidak berbuat/melakukan sesuatu.Sewa-menyewa sebagaimana diatur dalam pasal 1550 BW merupakan salah satu perjanjian dengan prestasi negatif.

Tentang objek perjanjian harus dapat ditentukan adalah sesuatu yang logis dan praktis. Tidak akan ada arti perjanjian jika undang-undang tidak menentukan hal demikian. Itulah sebabnya pasal 1320 BW menentukan bawah objek perjanjian harus memenuhi syarat, yaitu objeknya harus tertentu seperti yang dirumuskan dalam pasal

1320 BW, yaitu suatu hal tertentu dan merupakan suatu sebab yang halal.17

Dengan demikian dapat dipahami bahwa, agar perjanjian itu memenuhi kekuatan hukum yang sah, objek perjanjian tersebut haruslah objek yang dengan hukum atau undang-undang serta aturan yang berlaku tidak melarang.Karena suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kepentingan umum dan nilai-nilai kesusilaan.

Jikalau objek yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian adalah nyata dilarang oleh undang-undang maka perjanjian dengan demikian “tidak sah” karena objek perjanjian merupakan syarat yang mengikat perjanjian tersebut.Sehingga suatu perjanjian dapat dinyatakan tidak sah atau batal demi hukum jika objek yang diperjanjikan melanggar undang-undang dan aturan yang berlaku.

18

Oleh karena itu prestasi yang dilaksanakan debitur harus benar-benar sesuatu yang dapat dilaksanakan.Dengan maksud adalah bahwa hal yang diwajibkan untuk

17

M.Yahya Harahap,Segi-segi Hukum Perjanjian,PT.Alumni,Bandung,1986,.,hlm.10.

18

dilaksanakan oleh debitur haruslah hal yang memang mungkin dapat dilaksanakan.Misalnya mengangkut barang dari Pekanbaru ke Medan melalui darat dalam tempo 2 jam.Hal tersebut adalah sesuatu yang mustahil dapat dilaksanakan oleh pihak debitur.

Akan tetapi dalam mempersoalkan masalah prestasi yang tidak mungkin ini, harus dibedakan antara prestasi yang pada dasarnya benar-benar tidak mungkin dilakukan, dengan prestasi yang memang debitur tidak sanggup untuk memenuhinya. Dengan membedakan ketidak mungkinan yang terdapat dalam prestasi itu sendiri dengan ketidak mungkinan yang berasal dari debitur itu sendiri, secara teoritis dan praktis harus dibedakan antara :

1. Ketidak mungkinan subjektif hanya didasarkan pada anggapan subjektif

debitur. Ketidak mungkinan yang subjektif tidak menyebabkan batalnya perjanjian; melainkan perjanjian tetap sah.

2. Ketidak mungkinan yang objektif. Dalam hal ini prestasi tidak mungkin

dilaksanakan debitur sekalipun dengan alat dan perhitungan yang benar-benar

cermat. Seperti pada contoh diatas.19

Jikalau perjanjian yang prestasi sama sekali tidak mungkin dilakukan sejak dari semula membuat persetujuan, perjanjian yang demikian dengan sendirinya dianggap “tidak berharga” , dan tidak ada kewajiban debitur untuk memenuhinya. Sebab ketidak mungkinan itu telah menghapuskan kewajiban itu sendiri. Hal ini telah

19

menjadi prinsip umum dalam kehidupan hukum, yang berbunyi: “imppossibilium nulla obligation est.” , artinya “ketidak mungkinan meniadakan kewajiban”20

Untuk membedakan antara “absolute overmacht” dan “ relative overmacht” pada absolute overmacht pelaksanaan perjanjian sama sekali tidak mungkin dapat Sesuai dengan prinsip umum dalam kehidupan hukum bahwa ketidak mungkinan meniadakan kewajiban, maka resiko yang timbul akibat ketidak mungkinan; tidak dapat dibebankan kepada pihak debitur.Sebab perjanjian demikian tidak mempunyai akibat perjanjian, dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.Dengan catatan bahwa ketidak mungkinan yang mengakibatkan perjanjian sejak dari awal adalah tidak sah dan tidak mengikat, ialah ketidak mungkinan melaksanakan prestasi yang diperjanjikan.

Jika pada saat perjanjian tersebut dibuat, prestasi tersebut memang benar-benar mungkin dapat dilaksanakan,kemudian oleh karena suatu hal menjadi tidak mungkin, maka perjanjian tersebut tetap sah dan berharga. Adapun masalah sampai dimana pengaruh kejadian yang menyebabkan ketidak mungkinan melaksanakan prestasi, persoalan ini termasuk ruanglingkup “overmacht” atau “keadaan memakasa” .

Jika prestasi secara mutlak tidak bisa dilaksanakan , maka debitur tidak dianggap merugikan kreditur, jika hal itu terjadi karena “keadaan memaksa” pihak debitur harus dengan jelas membuktikan kebenaran dari overmacht tersebut. Karena kemungkinan itu baru terjadi pada saat sebelum atau pada waktu hendak melakukan pemenuhan prestasi.

20

dilaksanakan oleh debitur. Pada relative overmacht pelaksanaan perjanjian masih mungkin dilakukan tapi dengan menanggung kerugian yang sangat berat bagi pihak

debitur.21

Dalam Hukum Perjanjian ada beberapa asas, namun secara umum asas perjanjian ada lima, yaitu :

Namun dalam hal relative overmacht yang menimbulkan kerugian besar, tidak dianggap sebagai alasan overmacht yang membebaskan debitur untuk melaksanakan prestasi.Sebab kerugian seperti itu dalam perikatan merupakan resiko. Bahwa setiap orang yang sepakat untuk membuat suatu perjanjian harus sudah siap memperkirakan segala resiko yang akan terjadi.

Akan tetapi dalam memperhitungkan resiko kerugian yang terjadi, pada prakteknya selalu dibebankan kepada kedua belah pihak antara kreditur dan debitur; jika benar keadaan yang menimbulkan overmacht tadi tidak dapat diperhitungkan sejak awal.Harus diingat dengan jelas bahwa keadaan-keadaan yang bersifat pribadi tidak dapat diperhitungkan sebagai alasan overmacht.

22

1. Asas kebebasan berkontrak.

Asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapapun, apa pun isinya, apa pun bentuknya sejauh tidak melanggar

21

Ibid.,hlm.13.

22

undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (pasal 1337 dan 1338 KUH Perdata)

Dalam perkembangannya hal ini tidak lagi bersifat mutlak tetapi relatif(kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab). Asas inilah yang menyebabkan hukum perjanjian bersistem terbuka. Pasal-pasal dalm hukum perjanjian sebagian besar (karena Pasal 1320 KUH Perdata bersifat memaksa) dinamakan hukum pelengkap karena pihak boleh membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian namun bila mereka tidak mengatur sendiri sesuatu soal maka mereka(para pihak) mengenai soal itu tunduk pada undang-undang dalam hala ini Buku III KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :

a) Membuat atau tidak membuat perjanjian.

b) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun.

c) Menentukan bentuknya perjanjian yaitu secara tertulis atau lisan.

Namun, keempat hal tersebut boleh dilakukan dengan syarat tidak melanggar undang-undang ketertiban umum, dan kesusilaan.

2. Asas konsensualisme.

Perjanjian lahir atau terjadi dengan adanya kata sepakat (Pasal 1320,Pasal 1338 KUH Perdata) Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kemauan para pihak.

3. Asas mengikatnya suatu perjanjian (pacta sunt servanda).

Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata).

4. Asas itikad baik (Togue dentrow).

Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata). Itikad baik ada dua, yakni:

a) Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan.

Contoh, Si A melakukan perjanjian dengan si B membangun rumah. Si A ingin memakai keramik cap gajah namun di pasaran habis maka diganti cap semut oleh si B.

b) Bersifat subjektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang. Contoh, si A

ingin membeli motor, kemudian datanglah si B (berpenampilan seperti preman) yang mau menjual motor tanpa surat-surat dengan harga yang sangat murah. Si A tidak mau membeli karena takut bukan barang halal atau barang tidak legal.

5. Asas kepribadian (personalitas)

Pada umumnya tidak seorang pendapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri.Pengecualiannya terdapat di dalam Pasal 1317 KUH Perdata tentang janji untuk pihak ketiga.

Dokumen terkait